Puisi Afrizal Malna: Kajian Semiotika/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB 4
KESIMPULAN




Sajak-sajak Afrizal Malna dikenal dengan cirinya yang khas dan unik di antara deretan sajak penyair kontemporer Indonesia. Pada umumnya para penyair lainya menyandarkan ciri literernya pada pengucapan yang khas ditemukan dalam tradisi para penyair yang disebut oleh Malna sebagai penyair modernis, seperti Charil Anwar yang mengejutkn, Amir Hamzah, Sanusi Pane, hingga Rendra dan Sutardji C. Bachri. Mereka berangkat dari tradisi dan bahasa ibu mereka, terutama dari pengaruh budaya serta bahasa Melayu atau Jawa. Ciri puisi mereka dapat dilihat dari pengaruh pantun, mantra, tembang, dan berbagai mitologi masyarakat lokal yang tradisional.

Tidak demikian halnya dengan Malna. Memang benar bahwa ia memakai bahasa Indonesia sebagai medium sajaknya untuk sampai pada publik. Akan tetapi, bagi dia hal itu tidak serta merta bermaksud ia menyandarkan ciri literernya pada akar tradisi sebagaimana para penyair lain menemukan diri mereka mula-mula dibesarkan dan dibentuk oleh hal primordial itu. Bahkan, Malna memiliki suatu kesadaran literernya yang khas. Tampaknya, itu pula yang menjadi titik tolak yang mengantarkan persoalan puisinya yang bergerak melampaui persoalan bahasa. Jika dilihat, gagasan Malna itu adalah, pertama, ketidakpercayaannya terhadap bahasa yang menimbulkan implikasi yang tidak netral dalam komunikasi manusia. Itu merupakan bentuk keputusasaan Malna pada pemikiran filosofisnya tentang bahasa yang dipengaruhi oleh pemikiran pascamodernis yang memandang bahasa sebagai bentuk permainan. Oleh karena itu, bahasa juga menjadi medan pertandaan dan perayaan beragam hal yang memiliki kepentingan dan juga permainan bahasa. Ketidakpercayaan itu diungkapkan dengan kata "bahasa (dan juga kata) merupakan lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok, dan busyet," karena ia berasal dari "...suara dari seekor binatang yang baru saja membunuh, tapi dia menganggap pembunuhan itu biasa, karena kalau tidak membunuh dia kelaparan dan tidak mau mati" (Malna, 2002).

Kedua, Malna mengambil inspirisi dari dunia permainan tanda atau semiotika budaya yang beraku di tengah massa konsumer kontemporer. Dengan demikian, yang menjadi ciri utama penampakan dalam dunia konsumerisme adalah benda material dan permainan semiotis yang intens dan liar yang melahirkan citraan komoditas konsumsi sebagai bentuk permainan permukaan material yang bersifat dangkal. Maka, lanskap yang ditampilkan dalam tema-tema puisi Malna itu umumnya adalah benda-benda urban, seperti kota, benda teknologi elektronik, benda konsumtif, diksi dalam dunia kekerasan dan politik. Pembaca tidak akan menemukan keremangan ala puisi romantik yang memakai diksi dari alam pedesaan, seperti sungai dan hutan, atau diksi yang menggambarkan keintiman hubungan antarmanusia yang impersonal. Puisi Malna boleh disebut hidup dalam mitos atau mitologi dunia kontemporer.

Gagasan ketiga dalam sajak-sajak Malna adalah persoalan yang sering disebut dengan gerakan pascakolonialisme. Gagasan yang mewarnai sajak Malna itu berisi persoalan identitas, negara, dunia ketiga, serta kolonialisme. Permainan semiotis yang digunakan dalam sajak Malna adalah dengan mengandaikan puisi sebagai ruang yang dalam seni rupa dinamakan sebagai seni instalasi, yaitu tempat benda yang kebanyakan dari golongan barang bekas dicomot dan digantung, atau ditempatkan dengan ekspresi yang aneh dan menimbulkan saling-silang pertandaan secara vertikal dan horisontal. Dan puisi Malna pun digambarkan juga dengan beragam "tempelan benda-benda" seperti itu. Dalam suatu kesimpulan tentang perumpamaan itu, ia mengatakan bahwa puisinya terbentuk melalui "berpikir dengan gambar". Konskuensinya adalah pada umumnya puisi Malna tidak mempertimbangkan logika secara semantis. Ciri puisi Malna juga tidak terlepas dari aliran dadaisme yang tidak bertujuan menentang kemapanan nilai estetika dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Itu ditandai oleh adanya beberapa diksi dada yang mewarnai sajaknya.

Empat sajak yang dibahas dalam penelitian itu merupakan sajak Malana yang memiliki kemungkinan keberartian yang bisa dibahas melalui ilmu pertandaan, yaitu semiotika. Keempat sajak itu, yaitu "Asia Membaca", "Chanel 00", "Lorong Gelap dalam Bahasa", dan "Perempuan dalam Novel" sebenarnya dapat dianalisis dengan pendekatan ilmu semiotika. Dengan itu, penulis dapat menemukan tema penting yang menjadi ciri utama literer penyair Afrizal Malna.

Sajak "Asia Membaca" menampilkan tema yang menjadi salah satu sumber inspirasi penyairnya, yaitu tentang dunia ketiga dalam panorama kolonialisme. Sajak kedua, "Chanel 00", mewakili tema puisi Malna tentang dunia media konsumerisme. Sajak ketiga, "Lorong Gelap dalam Bahasa", menampilkan tema yang menjadi sentral dalam pemikiran Malna tentang bahasa. Sajak keempat, "Perempuan dalam Novel", mengemukakan sebuah mitos tentang sosok perempuan yang menjadi model dalam novel terkenal, yaitu Sitti Nurbaya.

Akhirnya, dalam membaca puisi Malna, kita harus ingat bahwa, seperti dikatakannya, puisinya hanya akan hidup dalam pikiran pembaca, dan bukan di tangan penyairnya, untuk menciptakan penafsiran lain lagi. Pembacanya akan memperoleh kemungkinan maknanya jika mereka memahami juga latar pemikiran sang penyair yang mewarnai dan menginspirasi sajaknya yang ganjil, yaitu hubungan intertekstualitas sajaknya dengan dunia referensial di luar dirinya yang kompleks itu dan pandangan Malna mengenai peran bahasa dan posisi puisi di dalam bahasa. Dengan demikian, tidak semua sajaknya akan menjadi gelap.