Prolog Batu Pantai

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Prolog Batu Pantai
oleh Ikhsan
52629Prolog Batu PantaiIkhsan

PROLOG BATU PANTAI

Ikhsan

AIM, AMIK, STMIK Jayanusa Padang


PARA pekerja sedang membawaku. Dengan bersusah payah mereka mengangkatku di kedua telapak tangan kasarnya dan melemparkanku ke atas truk. Begitu pun dengan teman-temanku, kami saling berhimpitan di dalam sana. Tak ada sesal di hati kami walaupun kami akan dihijrahkan ke tempat yang belum pernah kami kunjungi.

Kami setiap harinya bertengger di sebuah bukit yang jarang sekali didatangi orang meskipun ia seorang yang berpredikat wisatawan. Sebab, bukit tempat kami bertengger tidak memiliki objek wisata yang bisa dibanggakan. Bukit kami hanyalah seonggok tanah yang ditumbuhi lumut dan ditenggeri bebatuan, seperti halnya diriku.

Aku memandangi langit biru dengan arak-arakan awan putih, seputih lembaran kapas. Hanya itu yang bisa kupandangi. Aku tidak dapat melihat tempat bertenggerku dahulu mataku telah terhalang oleh batasan papan truk di sekeliling body-nya.

Lima menit berlalu, aku tidak lagi dapat memandangi arak-arakan awan di langit sana. Sebuah batu besar telah menindih tubuhku, disusul oleh batu-batu yang lain. Tibalah saatnya untuk meninggalkan kampung halamanku, aku yakin tidak akan dapat melihat tempat bertenggerku lagi. Sudah tiba saatnya bagiku untuk dipergunakan oleh manusia, mungkin untuk membangun sebuah jembatan atau untuk membangun gedung, yang jika dilihat dari atasnya, orang-orang yang berlalu lalang di bawah akan terlihat seperti iring-iringan semut yang sedang membawa makanan.

Bunyi derum mesin menandakan kalau kami akan diangkut ke sebuah tempat. Tempat aku dan teman-temanku akan mendapatkan pemandangan dan suasana baru. Jalanan tepian bukit memang belum diaspal. Itu membuat perut kami mual, terhuyung ke sana kemari. Sampai di perempatan jalan depan, kami sudah merasa aman karena jalanannya adalah sebuah jalanan yang menghubungkan antardua kota. Dan, truk yang mengangkut kami telah berlari dengan tenangnya.

Cukup lama juga perjalanan kami, sampai akhirnya truk berhenti, entah di mana karena pembatas di sekeliling tubuh mobil belum juga dibuka. Kami semua penasaran, di mana kami nantinya akan ditempatkan.

Dua orang pekerja mulai membuka pengunci bak truk dan kami semua dituangkan. Kami mendarat dengan empuknya, hanya peraduan sesama kami yang menimbulkan suara. Kami jatuh di pasir yang lembut. Ternyata, kami hijrah ke sini, tempat yang ada laut, ombak, pasir, burung camar, dan lain sebagainya.

Aku merasa akan betah di sini sampai nantinya hancur menjadi pasir-pasir itu. Perasaanku begitu ceria, tidak ada lagi pemandangan lumut yang menjijikkan, tidak ada lagi curahan air dari akar-akar pohon yang dingin, tidak ada lagi keterkekangan pandangan, yang selalu terhalang oleh dahan dan ranting-ranting pohon. Tidak ada lagi kera-kera yang selalu membuang hajatnya di atas badanku. Tidak ada lagi kelengangan di hatiku. Semuanya sirna setelah aku memandangi keramaian pantai ini dan merasakan hangatnya juluran lidah air laut yang berbusa.

Kami semua disusun sedikit menjorok ke laut, mungkin sebagai pembatas agar ombak laut tidak menghantam jalanan sepanjang pantai ini atau kami akan dijadikan tempat orang-orang yang duduk menikmati indahnya matahari sore, tempat para penulis yang ingin mencari inspirasi, tempat para pelukis yang akan melukis indahnya gulungan ombak laut, atau tempatnya para pemikir yang kehabisan pikirannya.

Sore pertama yang aku rasakan adalah pantai ini begitu ramai dikunjungi orang, menikmati hangat dan indahnya sang perkasa siang yang akan menyelam ke dalam laut di balik pulau sana. Burung camar tidak henti-hentinya menari di sekitar cahaya kuning keemas-emasan. Menambah asri suasana.

Dan, malam pun jatuh. Tapi, orang-orang masih ramai berdatangan, apalagi yang masih remaja. Entah tradisi apa yang dipakai pemuda-pemudi harus keluar di Sabtu malam. Aku hanya bisa menggerutu melihat mereka bergandengan tangan dengan mesranya. Bukan aku iri karena aku hanya sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut?

Tapi, yang aku herankan, kok mereka bisa dengan mesranya begitu, melebihi sepasang suami istri. Pantas saja ombak-ombak laut bisa marah karena melihat tingkah laku mereka. Dan, aku teringat akan kisah pilu yang dialami tanah rencong, pada bulan Desember, dua tahun yang lalu. Ombak begitu mengamuknya, melahap semua yang terlihat olehnya. Masyarakat yang tidak berdosa pun ikut ditelannya. Padahal, pemicunya hanya dua insan manusia yang belum sah melakukan hal yang telah disahkan menurut agama. Entahlah, yang kutahu hanya itu karena aku hanya sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut. Aku tidak pernah mendengar radio. menonton tv, atau pun membaca koran.

Malam sudah cukup larut, tapi sepasang remaja masih asyik duduk di tubuhku. Janji-janji muluk yang diutarakan pemuda itu membuatku ingin muntah dan meludahkannya tepat ke mukanya.

Ingin aku mengusir mereka, tapi aku tidak punya kuasa untuk itu karena aku hanya sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut.

Aku tidak lagi mendengarkan percakapan dan melihat tingkah yang mereka kerjakan. Yang kulakukan hanya berdoa kepada Yang Mahakuasa agar dua anak manusia ini diberi secercah cahaya barang sedikit agar mereka sadar dengan kelakuan yang mereka perbuat. Dan, satu lagi doa yang kupanjatkan adalah agar mereka cepat meninggalkan pantatnya dari tubuhku dan pulang.

Mereka mulai berdiri, saling meluruskan kaki, mungkin terasa keram, dan mulai berjalan menjauhiku. Aku pun lega. Ternyata Tuhan mengabulkan doa yang kupanjatkan. Moga- moga saja mereka langsung pulang dan mengistirahatkan badannya. Tidak keluyuran lagi.

Malam semakin dingin, cahaya bintang begitu indah berkedip saling bergantian. Burung hantu telah memainkan lagu sendu dari balik lembaran nyiur kelapa. Kelelawar beterbangan mengelilingi garis pantai, ombak sudah mulai mengecil, dan aku pun mulai mengistirahatkan badanku.

Pagi-pagi sekali aku telah bangun. Udara yang terembus dari laut sungguh sangat segar. Para nelayan baru pulang dari melaut. Istri dan anak-anak mereka telah menunggu di bibir pantai, mengharap akan hasil yang banyak agar lambungnya bisa terisi biji-biji nasi.

Beberapa orang nelayan menarik jala, berbaris dan kompak. Sekuat tenaga mereka menarik dengan tangan- tangan yang telah legam, dengan urat-urat yang menyembul dari pangkal lengannya. Tapi, itu bukanlah hambatan bagi mereka, mereka terus bersemangat. Sungguh pemandangan pagi di pantai yang mengagumkan. Pemandangan yang tidak pernah kujumpai di bukit tempat tinggalku dahulu.

***

Matahari mulai merangkak naik, remang-remang pagi telah disapunya, menandakan kalau siang ini adalah miliknya. Tidak kujumpai lagi embun yang menempel di tubuhku. Semuanya telah sirna.

 Jalanan di tepi pantai sungguh ramai, hari Minggu begini biasanya anak-anak sekolah libur, mungkin karena itulah pantai selalu ramai di hari Minggu. Biasanya para bapak meluangkan waktunya untuk mengajak anak-anaknya piknik ke pantai.

 Sebuah keluarga berjalan ke arahku, meletakkan bekal yang mereka tenteng sedari tadi di punggungku, saling bercanda gurau antara orang tua dan anaknya, sesekali mereka menanyakan perihal sekolah anaknya dan tak jarang mereka menasihati kelakuan anak-anaknya yang telah keluar dari norma-norma. Sungguh keluarga yang harmonis.

 Tapi siapa itu? pemuda dan pemudi yang mendudukiku malam tadi, mau ngapain lagi mereka? Entah mengapa, aku muak saja melihat mereka. Tapi, kelihatannya mereka cuma mau menikmati pemandangan laut.

 Ternyata dugaanku salah. Sepeninggal keluarga tadi, pemuda-pemudi itu mendekatiku, dan duduk tepat di atasku. Yang aku bingungkan, mengapa aku yang dipilih sebagai tempat untuk mereka.

 Tapi, sekarang aku ingin mendengarkan apa yang mereka omongkan. Siapa tahu mereka ingin melaksanakan sunah nabi, biar hubungannya halal.

 Mereka telah duduk di atasku, cukup lama diam. Aku masih memperhatikannya.

 "Karine, loe cinta gue, kan?" si pemuda mulai berbicara. Aku masih terus mendengarkannya.

 "Kapan, sih, Roy, gue nggak cinta, ama loe?"

 "Trus, ngapain loe kalau gue ajak ngelakuin yang satu itu, loe nggak mau."

 "Apa rasa cinta, harus ngelakuin itu."

 "Harus! sebagai bukti kalau loe emang cinta gue."

 "Oke! tapi dengan satu syarat, loe harus bertanggung jawab."

 "Itu nggak masalah."

 Astaghfirullah, aku beristighfar berkali-kali, dengan entengnya si pemuda tersebut berucap. Apa tidak ia pikirkan bagaimana masa depannya nanti?  Cukup lama juga mereka berucap, tapi aku tidak ingin lagi mendengarkan celotehnya yang terlalu tinggi menggapai mimpi. Sampai mereka pergi, aku masih saja menggerutu. Sampai-sampai keelokan matahari sore tidak lagi terasa indah olehku.

 Malam harinya aku tidur tidak nyenyak, aku masih memikirkan nasib si pemudi, jika seandainya ia memenuhi permintaan dari si pemuda yang ingin kuludahi wajahnya itu.

***

 Tiga minggu sudah aku tinggal di pantai ini. Seperti biasa, aku hanya berdiam di deretan batu-batu lain yang sebaya denganku, aku tidak bisa ke mana-mana karena aku hanyalah sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut.

 Semilir angin malam mengelus-elusku dengan lembut. Sebenarnya angin tersebut sangat dingin, tapi tidak bagiku, tubuhku yang keras mampu menahan dinginnya malam itu.

 Sedang asyik-asyiknya aku menikmati angin malam, tiba-tiba pemuda dan pemudi yang sering mendudukiku datang lagi, setelah tidak pernah memperlihatkan puncak hidungnya selama tiga minggu ini, entah ke mana mereka pergi. Tapi, yang kutahu sekarang, aku pasti merasa bosan dan jengkel lagi kepada mereka.

 Tapi, kelihatannya mereka sedang bertengkar. Lihat saja si pemudi sedang menangis.

 Si pemuda telah mulai mendudukiku, tapi tidak bagi si pemudi, ia masih saja berdiam diri sambil terus mengucurkan air mata di kedua kelopak matanya. Si pemuda tampak begitu suntuk. Tidak biasanya mereka begini. Aku terus memperhatikan mereka.

 "Mana janji loe, Roy, katanya loe siap mempertanggung jawabkan semua perbuatan loe ini."

 "Tapi, sekarang gue belum sanggup Karine, loe gugurin aja, deh."

 Si pemudi masih terus menangis.

 "Loe harus tenang Karine, gue janji, setelah gue wisuda nanti, gue akan ngomong ama kedua orang tua gue, dan di hari itu gue siap menikahi loe"

 "Itu masih lama, Roy, bagaimana dengan anak di dalam kandungan gue ini?"

 "Udah gue bilang, gugurin, aja."

"Gue nggak mau ngelakuin itu, loe harus menikahi gue."

 "Kalau loe nggak mau, ya udah, gue pergi."

 "Roy, tunggu!"

 Tapi, si pemuda tidak mau balik, tinggallah si pemudi seorang diri di kegelapan ini. Ingin rasanya aku berdiri dan mengejar pemuda sembrono itu, tapi aku hanyalah sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut. Aku hanya bisa diam mematung.

 Si pemudi menangis dengan sejadi-jadinya. Memukul-mukul diriku dengan tangannya yang lembut. Aku membiarkan seberapa sanggup ia memukul diriku.

 Tak berapa lama si pemudi berdiri menatap tajam ke laut lepas. Perlahan-lahan ia mendekati gulungan ombak, aku ingin menahannya karena aku tahu apa yang hendak ia lakukan. Tapi, aku hanyalah sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut. Tidak mampu berbuat apa-apa.

 Aku hanya memperhatikan adegan pahit itu, sampai aku tidak lagi melihat si pemudi, entah ia telah tenggelam atau masih dipermainkan riak air laut.

 Detik itu juga aku merindukan kampung halamanku, yang tidak akan aku temui kejadian seperti ini. Merindukan lumut-lumut yang menempel di tubuhku, merindukan curahan air dari akar-akar pohon yang dingin, merindukan keterkekangan pandangan yang terhalang oleh dahan dan ranting-ranting pohon, merindukan kera-kera yang membuang hajatnya di atas badanku, merindukan kelengangan di hatiku.