Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah, dan Praktiknya
Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/1 Dipersiapkan dan disusun oleh:
Tim Panel Ahli
Dr. Salman Luthan, S.H ., M.H.
Dr. H . Andi Samsan Nganro, S.H.,M.H.
Ifdhal Kasim, S.H.
Koordinator Tim Peneliti
Supriyadi Widodo Eddyono, S.H.
Tim Peneliti
Supriyadi W. Eddyono, S.H.
Wahyudi Djafar, S.H.
Sufriyadi, S.H ., M.H.
Erasmus A. T. Napitupulu, S.H.
Sriyana, S.H., LL.M., D.F.M.
Editor :
Anggara
Penerjemah
Pirhot Nababan
Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: infoicjr@icjr.or.id
http://icjr.or.id | @icjrid
Cover Picture and Desain oleh
Pista Simamora
Publikasi Pertama
Kata Pengantar
“Penahanan Pada Hakikatnya adalah Perampasan Kemerdekaan”
Pertama-tama, sesuai ketentuan Hukum Acara Pidana, penahanan terhadap seorang tersangka memang dapat dilakukan penyidik, penuntut umum maupun hakim di sidang pengadilan. Apabila suatu penahanan terhadap seorang tersangka memang harus dilakukan, artinya tidak ada lagi pilihan maka penahanan itu kemudian menurut KUHAP dapat berupa (1) penahanan rumah tahanan Negara, (2) penahanan rumah, dan (3) penahanan kota. Jenis penahanan ini dapat diterapkan sesuai karakteristik masing-masing kasus yang berbeda satu sama lain. Jadi pilihan penahanan jika harus dilakukan maka sesuai ketentuan hukumnya tidak satu-satunya yaitu harus penahanan rumah tahanan Negara;
Meskipun penahanan dapat dilakukan, tetapi penahanan itu haruslah semata-mata untuk kepentingan pemeriksaan itu sendiri. Penahanan itu sendiri merupakan accesoir terhadap suatu pemeriksaan perkara pidana . Konkritnya, penahanan akan dilakukan penyidik hanya apabila kepentingan pemeriksaan memerlukannya secara obyektif, utamanya pengambilan keterangan untuk dimasukkan dalam BAP dimana jangan sampai seorang tersangka menghindar pada saat diperlukan untuk pemeriksaan. Kaedah hukum penahanan itu sendiri oleh karena itu mengatur “dapat” (bukan harus) dilakukan terhadap setiap tersangka, sekalipun tindak pidana yang disangkakan memenuhi syarat untuk ditahan. Maksudnya, pada saat yang sama upaya paksa penahanan itu jangan sampai pernah mempengaruhi asas peradilan yang jujur, adil dan obyektif. Penahanan sebelum sidang pengadilan selalu potensial predice terhadap asas praduga-tidak bersalah.
Penahanan oleh karena itu tidaklah dapat menjadi suatu ”kebijakan” atau “kebiasaan” misalnya bila seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka maka haruslah ditahan. Ketentuan tentang penahanan tidaklah demikian hukumnya. Akan tetapi karena kebiasaan menahan ini sekalipun sesungguhnya tidak diperlukan telah menjadi faktor demoralisasi aparat untuk korupsi yakni menyalah-gunakan wewenang. Dengan kata lain telah menjadi faktor kriminogen. Oleh karena itu, penahanan dalam penyidikan pada dasarnya tidak diperlukan dan dihindarkan karena dapat mempengaruhi proses peradilan yang adil (due process of law).
Penahanan yang tidak diperlukan tersebut bisa diilustrasikan sebagai berikut : katakanlah penahanan dengan pengecualian sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 KUHAP dilakukan sehingga keseluruhan jangka waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan selama 120 hari. Apabila waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan misalnya hanya 20 hari, maka penahanan yang dilakukan selama waktu yang tersisa, yaitu 100 hari adalah sesungguhnya suatu perampasan kemerdekaan. Karena perampasan kemerdekaan adalah tindak pidana maka seharusnya hukum harus ditegakkan dalam hal ini sebagaimana dikenal dalam literartur dengan “Miranda Warning”.
iii Di sisi lain, lembaga praperadilan yang keberadaannya dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional tidak berjalan sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukannya. Pada awalnya, lembaga praperadilan diharapkan sebagai suatu bagian mekanisme sistem peradilan yang memberikan hak kepada tersangka berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawan atas jalannya suatu upaya paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Namun niat ini tidak berhasil oleh karena praperadilan dalam rumusan KUHAP lebih mengarah pada pengawasan administratif belaka. Misalnya, praperadilan tidak dapat digunakan untuk menguji (i) apakah asas yuridis dan nesesitas dalam upaya paksa itu abash dalam arti materill; (ii) apakah “bukti permulaan yang cukup” sebagai dasar untuk menentukan status sebagai tersangka dan kemudian dapat menetapkan upaya paksa seperti penahanan absah secara materill. Dengan demikian, sesungguhnya ada “kekosongan hukum” dalam lembaga praperadilan yang mengacu pada maksud dibentuknya lembaga praperadilan itu, yaitu melindungi hak asasi manusia dari tersangka dan terdakwa. Pada akhirnya, kekosongan hukum tersebut dapat diisi oleh suatu yurisprudensi atau melalui pembentukan hukum acara pidana yang baru dan mengatur hal-hal tersebut sebagaimana pembahasan RUU KUHAP yang sedang berjalan saat ini. “Naskah Riset dan Pedoman Penahanan dan Praperadilan Penahanan” yang disiapkan oleh ICJR dan didukung Open Society Justice Initiative ini tentunya sangat bermanfaat dalam konteks hal-hal di atas. Jakarta, Desember 2013 Dr.Luhut MP Pangaribuan, S.H., LL.M. iv Kata Pengantar Institute for Criminal Justice Reform Salah satu masalah mendasar yang sering menjadi perdebatan hangat di kalangan komunitas hukum adalah mengenai upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum, terutama Penyidik dan Penuntut Umum. Secara umum, upaya paksa yang dikenal dalam sistem peradilan pidana modern di dunia ini adalah upaya paksa di bidang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Dan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum seharusnya tunduk dibawah pengawasan Pengadilan (judicial scrutiny). Mestinya tak ada satupun upaya paksa yang dapat lepas dari pengawasan Pengadilan sehingga upaya paksa yang dilakukan oleh para pejabat penegak hukum tersebut tidak dilakukan secara sewenang wenang yang berakibat pada terlanggarnya hak – hak dan kebebasan sipil dari seseorang. Persis pada prinsip judicial scrutiny inilah yang justru tidak ditemukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan KUHAP. Pada saat diundangkannya, KUHAP disebut – sebut sebagai karya agung Bangsa Indonesia, tak heran karena pada saat itu, hanya KUHAPlah yang secara terang – terangan menyebutkan Hak Asasi Manusia secara eksplisit. Namun, sekali lagi, tindakan pengawasan dari Pengadilan bisa dikatakan absen pada setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Salah satu hal mendesak untuk segera dilakukannya perbaikan, dikarenakan saat ini berada pada titik yang paling bawah adalah mengenai penahanan pra persidangan (pre trial detention). Harus diakui, terminologi penahanan pra persidangan tidak dikenal di dalam KUHAP, karena yang dikenal adalah penahanan berdasarkan instansi yang menahan. Secara universal terminologi penahanan pra persidangan adalah sangat beragam, dan untuk kepentingan riset ini, ICJR menggunakan terminologi penahanan pra persidangan adalah penahanan yang diterapkan terhadap tersangka sebelum dimulainya persidangan pertama secara resmi. Secara singkat penahanan pra persidangan dalam riset ini merujuk pada penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Kenapa hal ini menjadi sangat krusial? Salah satu alasannya yang paling mendasar adalah buruknya situasi dan kondisi di rumah – rumah tahanan. Rumah – rumah tahanan, ataupun tempat – tempat lain yang digunakan untuk menahan tersangka di Indonesia, saat ini boleh dikata sudah dalam kondisi over crowded yang akut. Situasi ini akhirnya memunculkan beragam persoalan kesehatan yang dialami oleh para tahanan. Tak hanya persoalan kesehatan, namun penerapan penahanan pra persidangan juga memunculkan beragam masalah lain seperti terbukanya kemungkinan terjadinya praktek komodifikasi dan juga perkelahian antar tahanan atau kelompok tahanan. Selain itu, pengawasan terbatas dari peradilan—melalui mekanisme praperadilan terhadap institusi penyidik— menjadikan tindakan sewenang-wenang kerap kali terjadi terhadap para tahanan dalam bentuk penyiksaan, baik fisik maupun psikis, selama proses penyidikan. Setidaknya, ICJR mengidentifikasi dua hal yang menjadi penyebab utama dari situasi ini. Pertama, karena absennya pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) dalam setiap tahapan yang terdapat dalam KUHAP saat ini. Kedua, ketiadaan elaborasi yang mendalam terhadap syarat sahnya penahanan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 KUHAP. Meski ada lembaga praperadilan sebagai mekanisme komplain terhadap upaya paksa, namun dalam praktiknya lembaga ini hanya berkutat pada persoalan administrative dari dilakukannya penahanan oleh pejabat yang berwenang, dan masalah lain yang tak kalah penting untuk dibenahi yaitu minimnya pengaturan hukum acara Praperadilan di dalam KUHAP. Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/6 vi DAFTAR ISI BAGIAN I MENIMBANG EFEKTIFITAS PRAPERADILAN BAB I. Pendahuluan ............................................................................................................... 3 A. Latar belakang....................................................................................................................... 3 B. Tujuan ................................................................................................................................... 8 C. Metode ................................................................................................................................. 8 BAB II. Praperadilan sebagai instrumen pengawasan penahanan .............................................. 11 A. Konsep umum pengawasan penahanan pra-persidangan ................................................... 11 B. Instrumentasi yang menjamin perlindungan dari penahanan sewenang-wenang .............. 13 C. Perbandingan konseptual di beberapa negara..................................................................... 16 1. Amerika Serikat .............................................................................................................. 17 2. Perancis .......................................................................................................................... 19 3. Belanda ........................................................................................................................... 20 4. Jerman ............................................................................................................................ 21 5. Denmark ......................................................................................................................... 22 6. Italia ................................................................................................................................ 24 7. Jepang............................................................................................................................. 26 BAB III. Praperadilan dalam KUHAP .......................................................................................... 29 A. Sejarah lahirnya praperadilan di Indonesia .......................................................................... 29 B. Pengawasan penahanan dan penangkapan dalam Rancangan KUHAP dan proses pembahasannya.................................................................................................................... 31 C. Praperadilan dalam pengujian sah tidaknya penangkapan dan penahanan ........................ 42 C.1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa melalui praperadilan ......... 44 C.2. Hukum acara praperadilan ............................................................................................ 51 C.3. Putusan pengadilan praperadilan .................................................................................. 56 C.4. Gugurnya praperadilan .................................................................................................. 57 C.5. Upaya banding praperadilan ......................................................................................... 58 C.6. Penghentian praperadilan ............................................................................................. 59 BAB IV. Praperadilan dalam Praktik .......................................................................................... 60 A. Pengantar .............................................................................................................................. 60 B. Dinamika praktik praperadilan ............................................................................................. 62 B.1 . Jenis tindak pidana pokok yang penahannya dipraperadilankan .................................. 62 B.2 . Penasihat Hukum ........................................................................................................... 62 B.3 . Alasan pengajuan praperadilan..................................................................................... 62 B.4 . Pandangan pemohon, termohon dan hakim terhadap keabsahan penahanan............ 63 B.5 . Pandangan terhadap unsur kekhawatiran dan unsur dugaan keras ............................. 69 B.6 . Cacat administrasi tidak menyebabkan penangkapan dan penahanan tidak sah......... 78 C. Praperadilan: antara mekanisme perdata dan pidana ......................................................... 80 D. Efektifitas mekanisme praperadilan ..................................................................................... 83 BAB V. Reformasi Praperadilan Penahanan............................................................................... 85 A. Kelemahan praperadilan KUHAP .......................................................................................... 85 B. Perkembangan pengaturan penahanan prapersidangan dan pengawasannya dalam rancangan KUHAP ................................................................................................................. 95 C. Penahanan prapersidangan dalam Rancanngan KUHAP 2012 ............................................. 109 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/8 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/9 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/10 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/11 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/12 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/13 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/14 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/15 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/16 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/17 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/18 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/19 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/20 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/21 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/22 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/23 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/24 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/25 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/26 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/27 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/28 21 untuk berperan aktif. Pemeriksaan pendahuluan ini bersifat lebih terbuka daripada penyelidikan yang dilakukan oleh polisi, meski penyelidikan ini memungkinkan diselenggarakan secara rahasia demi kepentingan investigasi. Selama proses penyelidikan, pengacara berhak menghadiri setiap persidangan, termasuk mendengarkan keterangan saksi dan ahli, kecuali dilarang untuk kepentingan penyelidikan. Ia dapat menyarankan pertanyaan yang harus diajukan oleh hakim investigasi kepada saksi dan ahli. Jika pembela tidak hadir di persidangan, ia akan diberitahu secepatnya isi dari proses, kecuali bertentangan dengan kepentingan penyelidikan. Selama pemeriksaan pendahuluan, hakim berkuasa penuh untuk memutuskan kegiatan investigasi yang akan dilaksanakan, dan apakah pertanyaan yang diajukan oleh tim pembela harus dijawab oleh saksi dan ahli. Bagi pembela, mereka dapat meminta saksi tambahan atau ahli dalam batas yang wajar. Artinya, pembela memiliki kesempatan yang lebih luas dalam proses penyelidikan yang dipimpin oleh investigating judge daripada yang dilakukan oleh polisi. 55 Terkait dengan mekanisme pengawasan, selain Rechter Commissaris, di Belanda juga mengenal pranata submissie dan compositie. Submissie diadakan atas permohonan terdakwa yang disepakati oleh penuntut umum dan berisi permasalahan-permasalahan yang sulit pembuktiannya di persidangan. Kesepakatan tersebut diajukan kepada hakim untuk dimintai putusan tanpa pembuktian di persidangan. Hakim dengan kewenangannya akan memutus mengenai hal atau kasus tersebut. Dalam compositie, jaksa penuntut umum dapat menghentikan proses penuntutan setelah terdakwa membayar sejumlah uang tertentu. Pembayaran ini dimaksudkan sebagai penebusan, terutama untuk kejahatan ringan. Kedua pranata ini terkait dengan perkara yang menurut penuntut umum sulit dibuktikan dan dapat diselesaikan di luar persidangan dengan diajukan pada hakim melalui proses negosiasi. Tindak pidana yang diancam lebih dari 6 tahun dan tindak pidana pelanggaran dikecualikan dari proses ini. “Penyelesaian di luar sidang” dilakukan jaksa sebelum perkara masuk proses sidang pengadilan. 56 4. Jerman Jerman sebagai peletak dasar sistem hukum Eropa Kontinental menganut sistem inquisitorial dalam hukum acara pidananya. Jerman memiliki penuntutan yang independen dari polisi dan pengadilan. Namun, ia memiliki jalur karir yang mirip dengan peradilan dan dianggap sebagai otoritas kuasi- yudisial. Sementara, kantor kejaksaan adalah hirarki terstruktur dan bertanggung jawab kepada Menteri Kehakiman di negara bagian tertentu. Seperti negara Eropa lainnya, Menteri Kehakiman Jerman berhak memberikan arahan ke kejaksaan termasuk dalam penentuan kebijakan dan keputusan untuk penuntutan dalam kasus-kasus individu. Namun Menteri Kehakiman jarang memberikan arahan dalam kasus yang individual. Karena jaksa dianggap sebagai bagian dari otoritas kuasi-yudisial yang bersifat adversarial, ia dianggap netral dan obyektif, serta dipercaya untuk menimbang-nimbang kelanjutan proses penyidikan suatu kasus. Secara khusus, dalam membuat keputusan jaksa diharapkan dapat memperhitungkan, dan menyajikan ke Pengadilan, tidak hanya bukti memberatkan, tetapi juga bukti 55 P.J.P. Tak, The Dutch ... Ibid., hal. 83-84. 56 Lihat Ties Prakken and Taru Spronken, The Investigative Stage of the Criminal Process in the Netherlands, Faculty of Law, Maastricht University, versi elektronik tersedia di http://ssrn.com/abstract=1440214. Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/30 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/31 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/32 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/33 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/34 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/35 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/36 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/37 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/38 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/39 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/40 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/41 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/42 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/43 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/44 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/45 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/46 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/47 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/48 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/49 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/50 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/51 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/52 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/53 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/54 47 c. Unsur memenuhi syarat Pasal 21 ayat (1) KUHAP Disamping unsur-unsur penahanan di atas, penahanan harus memenuhi syarat sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP, meliputi: (1) Tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan; (2) Dugaan yang keras itu di dasarkan pada bukti yang cukup. Perlu dikemukakan, syarat penahanan berbeda dengan syarat penangkapan, dimana bukti menjadi pembeda dari keduanya. Pada penangkapan, syarat bukti didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sedangkan pada penahanan didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya daripada penangkapan. KUHAP tidak menjelaskan mengenai bukti yang cukup. Namun jika melihat Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 75 HIR ditemukan penjelasan bahwa penahanan harus didasarkan pada syarat: jika ada keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa tersangka bersalah. Jadi dalam HIR syarat bukti untuk melakukan penahanan didasarkan pada patokan: bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa bersalah. Namun karena KUHAP tidak menentukan sejauh mana bukti yang cukup, maka hal tersebut harus dilihat secara proporsional. Bukti dianggap cukup pada tahap penyidikan apabila telah terpenuhinya batas minimum pembuktian agar perkara tersebut dapat diajukan ke muka pengadilan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP. C.1 .3. Tata cara penahanan Tata cara penahanan atau penahanan lanjutan baik oleh penyidik maupun penuntut umum serta hakim merujuk kepada ketentuan Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. a. Melalui surat perintah/penetapan penahanan Jika penyidik atau penuntut umum yang melakukan penahanan, mereka mengeluarkan surat perintah penahanan. Sebaliknya, jika melakukan adalah hakim, ia akan mengeluarkan Surat Penetapan Penahanan. Meskipun berbeda sebutan, muatan keduanya relatif sama, yaitu memuat: - Identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin dan tempat tinggal - Menyebutkan alasan penahanan. Misalnya untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan sidang pengadilan. - Uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan. Tujuannya agar yang bersangkutan tahu dan mempersiapkan diri melakukan pembelaan, serta kepastian hukum - Menyebutkan dengan jelas tempat penahanan untuk kepastian hukum bagi yang ditahan dan keluarganya. Tanpa adanya surat penahanan, maka penahanan menjadi tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. Pada masa HIR praktik penahanan tanpa surat merupakan masalah yang kerap terjadi. Pada masa KUHAP, hal serupa masih terus berulang. Untuk mengatasi masalah ini, Menteri Kehakiman mengeluarkan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor: J.C .5/19/18 di tahun 1964 tentang Pembebasan Tahanan Yang Ditahan Tanpa Surat Perintah Penahanan Yang Sah. Surat di atas menginstruksikan Kepala Direktorat Pemasyarakatan; semua Kepala Inspektorat Pemasyarakatan Daerah; semua Direktur/Pimpinan Pemasyarakatan Daerah; dan semua Direktur/Kepala Lembaga Pemasyarakatan agar tidak menerima titipan tahanan tanpa surat perintah yang sah, tidak menerima titipan tahanan yang tidak berdasarkan surat perintah penahanan yang Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/56 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/57 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/58 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/59 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/60 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/61 ==C.2.6. Tata cara persidangan ==
Pemeriksaan dalam sidang praperadilan bukan hanya terhadap pemohon, tapi juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan praperadilan. Artinya, pejabat penyidik yang melakukan penangkapan ikut dipanggil dan diperiksa. Seperti dijelaskan di atas, proses pemeriksaan praperadilan mirip dengan sidang pemeriksaan perkara perdata. Pemohon seolah-olah bertindak sebagai penggugat, sedangkan pejabat berkedudukan sebagai tergugat. Mungkin juga ada yang beranggapan praperadilan cenderung memeriksa dan mengadili pejabat yang terlibat tentang sah atau tidaknya upaya paksa yang dilakukan. Dalam persidangan praperadilan dikenal tahap pemeriksaan sebagai berikut:
- - Pemeriksaan surat kuasa dan ataupun pembacaan isi surat permohonanya
- - Sidang berikutnya adalah jawaban dari termohon
- - Sidang berikutnya adalah replik dari pemohon
- - Sidang berikutnya adalah duplik dari termohon
- - Sidang pembuktian baik saksi-saksi maupun surat-surat dari kedua belah pihak.
- - Sidang pembacaan isi putusan hakim.
KUHAP tidak mengatur mengenai bentuk dari permohonan pemeriksaan praperadilan, apakah harus tertulis atau dapat dilakukan secara lisan. Pada praktiknya, permohonan pemeriksaan praperadilan dibuat secara tertulis oleh penasihat hukum atau kuasa hukum dalam bentuk surat permohonan yang mirip dengan bentuk dan susunan surat gugatan perdata. 123 Bentuk surat permohonan pada umumnya terdiri dari:
- Persyaratan formal berisi identitas pemohon dan termohon,
- Persyaratan materil berisi dasar alasan dan dasar hukum (fundamentum patendi/posita),
- Uraian mengenai apa yang dituntut/dimohon (petitum) untuk diputus oleh hakim praperadilan,
- Penyerahan/Pendaftaran Permohonan Pemeriksaan Praperadilan.
Secara formal, kedudukan dan kehadiran pejabat dalam praperadilan bukan sebagai pihak seperti sidang perkara perdata, meski yang dipakai adalah hukum acara perdata. Kedudukan dan kehadiran pejabat hanya untuk memberi keterangan. Keterangan pejabat didengar hakim dalam sidang sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Dengan demikian putusan hakim tidak hanya didasar atas permohonan dan keterangan pemohon saja, tetapi didasarkan atas data, baik yang ditemukan pemohon dan pejabat yang bersangkutan.
Keterangan dari pejabat berupa bantahan atas alasan permohonan yang diajukan pemohon, sehingga proses pemeriksaan keterangan pejabat dalam praperadilan mirip sebagai sangkalan atau bantahan dalam acara pemeriksaan perkara perdata. Tetapi, seperti telah ditegaskan, pejabat bukanlah tergugat atau terdakwa, meski dari segi prosedural kedudukan pejabat mirip tergugat semu atau terdakwa semu.
Statusnya sebagai tergugat semu atau terdakwa semu inilah yang membuat kalangan aparat penyidik atau penuntut umum keberatan, karena mereka merasa digugat atau didakwa oleh pemohon. Sikap kejiwaan dan pandangan ini yang mungkin membuat pemeriksaan sidang praperadilan kurang lancar. Banyak keluhan dari PN tentang kurang lancarnya pemeriksaan praperadilan, misalnya keengganan peajabat menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Untuk menghindari sikap kejiwaan dan pandangan yang sempit ini, pejabat harus berani menempatkan diri
123 Lihat H.M .A Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hal. 278 -279 . Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/63 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/64 Ada pendapat yang menyatakan bahwa gugurnya permintaan dalam Pasal 82 ayat (1) tidak mengurangi/tidak dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua permintaan itu dapat ditampung kembali oleh PN dalam pemeriksaan pokok, khususnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan.
Apa yang tidak bisa diperoleh pemohon pada praperadilan dapat dialihkan pengajuannya ke PN. Hanya saja, proses dan tatacaranya semakin panjang, khususnya mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi yang pengajuannya baru diperkenankan setelah perkaranya diputus dan putusan itu sendiri telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, jika hal itu diajukan kepada praperadilan maka prosesnya lebih singkat dan lebih cepat.[1]
Pada praktiknya, pendapat ini banyak ditolak oleh Hakim dan sangat jarang dilakukan bahkan mungkin tidak pernah dilakukan.[2] Banyak hakim berpendapat, hal Ini akan menimbulkan masalah terkait dengan locus dan tempus tindakan penyidik. Misalnya dalam perkara Tipikor, karena perkara praperadilan diajukan di PN Jaksel sementara perkara pokok ada di PN Jakpus. Bagaimana hakim di PN Jaksel mengetahui perkara pokok disidangkan di PN Jakpus?
C.5. Upaya banding praperadilan[sunting]
Pada awalnya, tidak semua putusan praperadilan dapat dimintakan banding. Sebaliknya, tidak seluruh putusan praperadilan tidak dapat dimintakan pemeriksaan banding. Hal ini diatur dalam Pasal 83 KUHAP, yang menyatakan bahwa putusan praperadilan dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
Dalam praktiknya, hampir seluruh putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Hal ini dianggap sesuai dengan asas hukum acara yang menyangkut tata cara pemeriksaan praperadilan. Demikian juga dari tujuan pelembagaan praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat. Jika putusan praperadilan diperkenankan upaya banding, hal ini tidak sejalan dengan sifat, tujuan, dan ciri untuk singkatnya putusan dan kepastian hukum dapat.
Namun, berdasarkan perkembangan terbaru, khususnya setelah Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 tertanggal 1 Mei 2012 mengenai pengujian KUHAP terhadap UUD 1945, seluruh putusan praperadilan termasuk yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak dapat lagi dimintakan banding ke PT.
MK berpendapat, filosofi diadakannya lembaga praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.[3]
=== C.6. Penghentian praperadilan === Ketentuan mengenai penghentian praperadilan didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 5 Tahun 1985 tentang Penghentian Praperadilan, tertanggal 1 Februari 1985. SEMA tersebut menyatakan, untuk menghindari keragu-raguan apakah acara praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan sewaktu-waktu oleh Hakim, mengingat hal ini tidak diatur KUHAP. MA memberikan arahan sebagai berikut: Pertama, acara praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan oleh Hakim atas dasar permintaan pihak yang semula mengajukan keberatan;dan Kedua, penghentian itu hendaknya dilakukan dengan sebuah penetapan. Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/67 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/68 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/69 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/70 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/71 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/72 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/73 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/74 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/75 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/76 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/77 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/78 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/79 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/80 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/81 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/82 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/83 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/84 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/85 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/86 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/87 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/88 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/89 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/90 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/91 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/92 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/93 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/94 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/95 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/96 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/97 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/98 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/99 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/100 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/101 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/102 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/103 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/104 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/105 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/106 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/107 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/108 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/109 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/110 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/111 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/112 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/113 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/114 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/115 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/116 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/117 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/118 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/119 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/120 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/121 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/122 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/123 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/124 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/125 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/126 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/127 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/128 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/129 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/130 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/131 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/132 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/133 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/134 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/135 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/136 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/137 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/138 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/139 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/140 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/141 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/142 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/143 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/144 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/145 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/146 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/147 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/148 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/149 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/150 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/151 9 melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. c. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ketentuan Pasal 75 undang-undang ini menyebutkan, dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; 300 Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah dari penyidik, memiliki wewenang untuk melakukan penahanan. Ukuran dari kepentingan penyidikan didasari oleh keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri, yang tentunya disandarkan pada pertimbangan-pertimbangan objektif. Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan. Sedangkan, tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan (institusi yang melakukan perawatan tahanan). 301 D.2. Penahanan di tingkat penuntutan Ketentuan Pasal 20 ayat (2) KUHAP menyatakan, penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan. Dalam menggunakan kewenangan tersebut, jaksa harus senantiasa memerhatikan UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai pedoman. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kejaksaan menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. E. Hak atas bantuan hukum dan akses kepada advokat E.1. Arti penting akses kepada advokat Bantuan hukum dari advokat sangat penting dan mendasar untuk mempertahankan hak asasi orang- orang yang menjalani penahanan prapersidangan. Keberadaan advokat akan menjamin kebebasan pengadilan dari tekanan yang tidak layak, agar penahanan yang tidak sah dapat diputuskan dengan baik berdasarkan hukum yang berlaku. 302 Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari pengacara dijamin sebab terkait dengan pelaksanaan hak atas persidangan yang adil. Hak ini harus diberikan segera setelah penahanan dilakukan. ICCPR menyatakan, dalam setiap penentuan tuduhan atas kejahatan terhadap seseorang, maka dia berhak atas jaminan-jaminan minimal dengan persamaan secara penuh, yaitu: ... (b) untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaannya dan untuk menghubungi pengacara yang dipilihnya sendiri; ... (d) untuk diadili dengan kehadirannya dan untuk membela dirinya secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri; untuk diberitahu akan hak ini 300 Pasal 75 huruf g UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 301 Lihat Pasal 43 Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajeman Penyidikan Tindak Pidana. 302 Pentingnya hak ini ditegaskan dalam Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Selain itu, Peraturan Standar Minimum juga menjamin para tahanan berupa hak mendapatkan akses kepada advokat pada awal proses peradilan pidana. Tiga perangkat standar yakni Pedoman tentang Peran Penuntut Umum (UN Guidelines on the Role of Prosecutors), Prinsip-prinsip Dasar tentang Peran Advokat (UN Basic Principles on the Role of Lawyers) dan Prinsip-prinsip Dasar tentang Kebebasan Pengadilan (UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary) juga memberikan penekanan yang sama, untuk turut membantu mempertahankan perlindungan hak-hak individu dalam tahanan. Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/153 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/154 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/155 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/156 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/157 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/158 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/159 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/160 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/161 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/162 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/163 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/164 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/165 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/166 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/167 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/168 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/169 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/170 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/171 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/172 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/173 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/174 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/175 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/176 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/177 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/178 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/179 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/180 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/181 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/182 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/183 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/184 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/185 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/186 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/187 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/188 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/189 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/190 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/191 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/192 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/193 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/194 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/195 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/196 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/197 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/198 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/199 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/200 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/201 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/202 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/203 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/204 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/205 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/206 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/207 Halaman:Praperadilan di Indonesia.djvu/208
- ↑ Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan ... Op.Cit., hal. 16.
- ↑ Monograf diskusi terbatas ICJR, hakim pemeriksaan pendahuluan dalam RKUHAP 2012.
- ↑ Dalam Putusan No. 65/PUU-IX/2011, Pemohon sebenarnya memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan agar Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi, Namun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian dari Permohonan pemohon yaitu menyatakan bahwa Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan konstitusi. Sejak saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka seluruh Putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding.