Politikus juga
Majalah Tempo, 24 September 1977.
“Politik bukanlah permainan saya. Hati manusia adalah permainan saya.”
Itu kata-kata Richard Wright dalam American Hunger—bagian lanjutan dari kisah otobiografisnya yang terbit 17 tahun setelah ia meninggal di Paris, 28 November 1960. Kesombongankah yang tersembunyi di balik kalimat itu? Mungkin. Richard Wright merasa ia telah membuktikannya dengan hidupnya.
Perjalanan hidup itu agaknya harus dimulai dari kakek dan neneknya. Keduanya budak negro di Amerika bagian selatan. Richard adalah anak bebas, tapi dengan ruang yang muram karena ia anak hitam di tepi sungai Mississippi. Akhirnya ia melepaskan diri.
Seperti ditulisnya di bagian pertama otobiografinya yang terbit di tahun 1945, Black Boy, ia menuju ke Utara, dengan harapan kabur bahwa di sana “orang akan mampu menghadapi orang lain tanpa ketakutan atau rasa malu”.
Ia sampai di kota Chicago. Di sinilah bagian pokok dari American Hunger berlangsung. Namun jika ada bagian yang menarik bagi pembaca Indonesia, itu adalah pengalamannya dengan Partai Komunis Amerika. Akhirnya orang hitam yang tak merasa betah di bawah loteng kehidupan orang putih ini seperti mendapatkan apa yang tak pernah ditemuinya sebelumnya. Ia masuk partai itu di tahun 1932.
Cerita selanjutnya, seperti sudah dikenal dalam buku The God that Failed yang pernah di-bahasa-indonesia-kan, adalah kekecewaan. Ia ternyata bukan orang yang cocok untuk Partai. Potongannya lebih seorang intelektual, yang “individualis”, yang “ngomong seperti buku”. Rasa serba curiga dan keketatan yang meliputi kehidupan Partai Komunis Amerika menyebabkan ia meninggalkan partai itu di tahun 1936. Untuk selamanya.
Tapi dalam ia tidak menghukum kerinduan dan kebutuhan orang untuk berada dalam suatu gerakan politik. Di tahun 1955 Richard Wright mengunjungi Indonesia, untuk menyaksikan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Hasilnya adalah The Color Curtain, laporan dari pertemuan itu—suatu kesibukan yang mungkin tak sepenuhnya ia pahami, tapi ia coba timbang dengan baik maknanya.
“Politik bukanlah permainan saya. Hati manusia adalah permainan saya.” Namun ia menambahkan: “Tapi hanya dalam wilayah politiklah saya dapat menyaksikan dalamnya hati manusia.”
Mungkinkah kita merehabilitasi pengertian “politik”?
Tak semua orang adalah anak negro melarat di tepi sungai Mississippi, tapi bayangkan bila kita kebetulan adalah satu dari mereka yang merasa diperlakukan tak adil dan ingin mengubah situasi itu. Atau bayangkan bila kita punya program atau rencana atau cita-cita, yang menyangkut kepentingan orang banyak dan arenanya butuh dukungan mereka. Di situ kita memerlukan sesuatu, yang menyebabkan suara kita diterima dan keadaan diperbaiki. Dengan kata lain, kita perlu sejenis “kegiatan politik”—betapa pun bersahaja dan betapapun damai tampaknya.
Sebab sebuah negeri bukanlah sebuah asrama tentara atau calon biksu. Hubungan yang timbul antara orang yang di atas dengan yang di bawah tidak bisa berlangsung hanya berdasarkan hubungan kekuasaan. Program keluarga berencana tidak bisa berhasil dengan menempelkan fotokopi instruksi. Rencana pemeliharaan lingkungan tidak bisa hanya dianjurkan sekali lewat pidato 17 Agustus. Juga nasib petani atau tukang becak tidak bisa jadi lebih tertolong hanya dengan mengerahkan para pamong dan pejabat. Hubungan antara “atas” dengan “bawah” memerlukan suatu proses yang tak cuma bisa diselesaikan dengan sikap seorang mandor besar.
Mungkin kita perlu politisi.
Sayangnya seorang politikus, di lingkungan kita kini, memang tidak populer. Barangkali karena kita percaya, bahwa kita cuma butuh teknokrat, orang yang berurusan dengan pemecahan masalah, dan tak perlu berurusan dengan orang-orang yang terlibat dalam masalah serta pemecahannya itu….