Pola-Pola Kebudajaan/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN

Antropologi ialah ilmupengetahuan jang mempeladjari ummat manusia sebagai machluk masjarakat. Perhatian ilmupengetahuan ini ditudjukan kepada sifat² chusus badani dan tjara² produksi, tradisi² dan nilai² jang membuat pergaulanhidup jang satu berbeda dari pergaulanhidup jang lainnja.

Berbeda dengan ilmupengetahuan² sosial lainnja, anthropologi mengadakan penjelidikan mendalam tentang masjarakat² lain diluar masjarakat kita sendiri. Baginja semua peraturan² dilapangan persetubuhan dan perkembangbiakan sama pentingnja dengan peraturan² dilapangan itu jang ada dalam masjarakat kita, meskipun jang dimaksud kan itu misalnja peraturan² jang berlaku pada bangsa Dayak Laut, jang tidak ada hubungan sedjarah sedikitpun dengan peradaban kita. Bagi para ahli-anthropologi adatkebiasaan² kita dan adatkebiasaan² suatu suku di Irian adalah dua kemungkinan sekéma sosial untuk memetjahkan satu djenis masalah, dan selama ia mengatasi dirinja dibidang tugasnja sebagai ahli-anthropologi, maka ia diwadjibkan mendjauhkan penghargaan jang satu lebih dari jang lain. Ahli-antropologi memperhatikan kelakuan, manusia, bukan sebagimana ia dibentuk oléh satu tradisi jang tertentu, jakni tradisi kita sendiri, akan tetapi sebagaimana ia dibentuk oléh tradisi manapun djuga. Ia memperhatikan lapangan luas adatkebiasaan jang terdapat dalam berbagai kebudajaan², dan tudjuannja ialah untuk memahami tjara kebudajaan² ini berobah dan berkembang, menemukan wataknja sendiri, memahami berbagai bentuk pendjelmaan²nja, dan memahami perananan adatkebiasaan² bangsa² dalam kehidupan individu² jang mendjadi anggota² bangsa² tersebut.

Adapun sampai sekarang adatkebiasaan pada umumnja tak begitu menarik perhatian orang. Kita berpendapat bahwa tjara-bekerdja otak kita misalnja merupakan hal mahapenting untuk diselidiki, akan tetapi adatkebiasaan mudah kita anggap sebagai salah satu segi kelakuan kita se-hari². Padalah sesungguhnja, spbaliknjalah jang terdjadi. Adatkebiasaan tradisionil diseluruh dunia merupakan serangkaian perbuatan² chusus jang sangat menakdjubkan, djauh melebihi jang bisa dihasilkan dalam perbuatan² individuil, betapapun luarbiasa kelakuan individu itu. Padahal ini belum mengenai pokok persoalannja, Jang pokok ialah peranan utama jang dilakukan oleh adatkebiasaan pada pengalaman dan kepertjajaan, serta banjaknja bentuk² jang didjelmakan. Tiada orang bisa menandang dunia ini tanpa prasangka samasekali. Setiap pandangan dikaburkan oléh serangkaian adatkebiasaan lembaga dan tjara berpikir jang tertentu. Bahkan filsuf jang berusaha se-kuat²nja untuk menemukan kebenaran, tak bisa melintasi rintangan² ini anggapannja mengenai apa jang benar dan apa jang tak benar tak akan bisa samasekali lepas daripada adatkebiasaan tradisionilnja jang tertentu. John Dewey setjara sungguh² mengatakan bahwa pengaruh adatkebiasaan kolléktif dalam membentuk kelakuan individu djika dibandingkan dengan pengaruh kelakuan individu terhadap adatkebiasaan kolléktif, adalah sama dengan perbandingan antara seluruh perbendaharaan kata² bahasa-ibunja dan kata² anak²nja jang dimasukkan dalam bahasa keluarganja. Apabila kita menjelidiki setjara mendalam dan tandas sistim² masjarakat jang mendapat kesempatan berkembang tanpa pengaruh² dari luar, maka ternjata, bahwa perbandingan ini memanglah benar dan sesuai dengan kenjataan. Riwajat hidup individu terutama sekali ialah penjesuaian diri kepada pola² dan ukuran², jang turun-temurun ada dalam masjarakatnja. Sedjak saat ia dilahirkan, adatkebiasaan lingkungan tempat ia dilahirkan menentukan pengalaman dan kelakuannja. Mendjelang waktu ia mulai berbitjara, ia telah merupakan hasil ketjil daripada kebudajaannja dan bila sudah déwasa dan sudah bisa ikutserta dalam kegiatan² masjarakatnja, maka adatkebiasaan², kepertjajaan dan larangan2 lingkungannja merupakan pula adatkebiasaan²nja, kepertjajaannja dan larangan²nja. Setiap anak² jang lahir dalam kelompoknja, akan mempunjai adatkebiasaan jang sama dengan adatkebiasaan kelompok itu, dan tiada anak jang dilahirkan dipendjuru lain didunia ini akan bisa memiliki seperseribu daripadanja. Tiada satu masalah sosial jang minta perhatian sedemikian mendesak seperti masalah peranan jang dilakukan oléh adatkebiasaan. Selama kita belum memahami hukum² dan keanékawarnaannja, maka kita tetap tak akan mengerti latarbelakang kenjataan² terpenting jang membuat kehidupan manusia itu sedemikian banjak selukbeluknja.

Penjelidikan adatkebiasaan² hanja bisa berhasil, setelah diterima dan diakui adanja beberapa dalil² tertentu, akan tetapi beberapa diantara dalil² jtu mendapat tentangan keras. Pertama, setiap penjelidikan ilmiah tidak memboléhkan adanja ketjenderungan untuk lebih menjukai bagian jang satu atas bagian jang lain dari rangkaian hal² jang telah dipilih sebagai objék penjelidikannja. Di-lapangan², jang tak banjak terdapat perbedaan2, seperti misalnja menjelidiki djenis² kaktus atau rajap atau sitat² kabut, tjarakerdja jang se-baik²nja ialah membagi bahan² jang penting dalam golongan² jang tertentu dan memperhatikan semua bentuk dan keadaan jang berlainan jang mungkin timbul. Setjara begitu kita mengetahui semua jang harus kita ketahui tentang misalnja hukum² ilmu-perbintangan atau adatkebiasaan² serangga sosial. Hanja dalam menjelidiki manusia itu sendiri, ilmu-pengetahuan² sosial jang terpenting menondjolkan satu variasi setempat jang chusus—peradaban Barat.

Antropologi sebagai ilmupengetahuan tak mungkin, selama djalan pikiran manusia dikuasai oléh perbédaan² ini, jakni perbédaana antara kita dan bangsa² primitif, antara kita dan bangsa² biadab, antara kita dan bangsa² perbégu. Kita harus mentjapai taraf objéktivitét sedemikian, sehingga kita mampu untuk tidak lagi menempatkan kepertjajaan kita disamping tachajul tetangga kita. Kita harus beladjar mengakui bahwa kedua lembaga itu berdasarkan asas jang sama—kita misalkan sadja „yang adikodrati”—dan oléh karena itu harus ditindjau dalam satu hubungan, jakni kepertjajaan kita di-tengah² kepertjajaan lainnja.

Pada permulaan abad kesembilanbelas, bahkan orang²jang pikirannja paling madju dikalangan peradaban Barat sekalipun, tak akan bisa memenuhi sjarat pertama jang diketengahkan oléh anthropologi. Sepandjang sedjarah, manusia selalu membéla dan mempertahankan kedudukannja jang istiméwa sebagai soal kehormatan. Pada zaman Copernicus kesombongan ini demikian hébatnja, sehingga bumipun, tempat-tinggal kita ini, dimasukkan dalam atjaranja, dan abad keempat belas menolak dengan sengitnja penempatan planit kita ini dalam lingkungan tatasurja dimenangkan, manusia berdjuang dengan sendjata² jang ada padanja untuk mempertahankan keistiméwaan djiwa, suatu attribut jang tidak boléh diganggugugat dan jang Tuhan anugerahkan kepada manusia ini adalah keturunan binatang. Baik bagian²lemah jang terdapat dalam alasan²ini, maupun keraguan mengenai sifat „djiwa” ini, bahkan kenjataan bahwasanja abad kesembilanbelas sama sekali tak menghiraukan tali² persaudaraan dengan golongan orang asing manapun, kesemuanja ini terlalu ringan dibandingkan dengan kegelisahan dan amarah hébat jang ditimbulkan terhadap ketjemasan jang hendak dilekatkan oleh adjaran kepada kesadaran akan keistiméwaan manusia.

Pertempuran dikedua front ini boléh dikata telah selesai—djikalau belum, tentu tak lama lagi pasti akan selesai. Akan tetapi pertempuran sekarang berpindah kefront lain. Sekarang kita mémang bersediamengakui, bahwa perputaran bumi mengelilingi matahari ataupun kenjataan bahwa manusia itu keturunan binatang tak ada sangkutpautnja dengan keistiméwaan peradaban dan kebudajaan manusia. Djikalau kita mendiami sesuatu planit disalah satu daripada per-puluh² tatasurja, hal ini bahkan membuat kita lebih djaja lagi. Dan djikalau djenis²

Pola-pola. — 2. manusia jang tak begitu tjotjok satu sama lain itu oléh évolusi dipertalikan dengan binatang, maka semangkin besar perbédaan jang bisa dibuktikan antara kita dan meréka dan lebih terang dan njata keistiméwaan serta keunggulan lembaga² kita. Peradaban kita dan lembaga² kita mémanglah istimewa; peradaban² dan lembaga² kita itu termasuk djenis jang chusus, lain watak dan sifatnja dengan peradaban dan lembaga² djenisbangsa² jang rendah, dan oléh karena itu harus dipertahankan mati²an. Sehingga sekarangpun kita - apakah jang demikian ini disebabkan oléh imperialisme atau prasangka djenisbangsa atau karena mem-banding²kan agama Kristen dengan perbégu - masih selalu dikuasai oléh rasa keistiméwaan, bukannja karena lembaga² manusia didunia ini pada umumnja, jang mémang tak ada jang menghiraukannja, akan tetapi karena keistiméwaan lembaga² kita sendiri dan karena hasil² jang kita tjapai sendiri, karena peradaban kita sendiri.

Oléh karena kedjadian² sedjarah jang bersifat kebetulan, peradaban Barat lebih luas tersebar dibandingkan dengan kelompokan setempat manapun djuga jang pernah diketahui sampai sekarang. Peradaban Barat telah mendesakkan ukuran²nja hampir diseluruh dunia, dan oléh karena itu kita mendjadi pertjaja akan keseragaman kelakuan manusia, padahal dalam keadaan lain pasti tak akan seperti demikian, Bahkan bangsa² jang sangat primitif kadang² djauh lebih sadar mengenai peranan adatkebiasaan dan gedjala² kebudajaan daripada kita. Meréka telah mempunjai pengalaman jang njata dengan berbagai bentuk kebudajaan. Meréka telah melihat, bagaimana agamanja, susunan ékonominja, datperkawinannja telah dikalahkan oléh agama, ékonomi dan adatperkawinan bangsa kulitputih. Meréka telah menjisihkan jang satu dan menerima jang lainnja, sering tanpa mengerti mengapa, akan tetapi meréka mengetahui betrar², bahwa ada berbagai tjara untuk mengatur hidup ini. Kadang² meréka itu menganggap sifat² utama si Kulitputih adalah semangat-saingannja dalam perdagangan atau tjaranja berperang, hal mana sangat mirip dengan anggapan ahli antropologi.

Si Kulitputih mendapat pengalaman² lain lagi. Memang barangkali ia belum pernah melihat orang dari kebudajaan lain, ketjuali jang sudah keras dipengaruhi oléh kebudajaan Eropah. Ia misalnja banjak bepergian, mungkin telah mengelilingi dunia dan menginap dalam hotél² besar. Ia mengetahui sedikit sekali tentang tjara hidup jang lain. ketjuali tjara hidupnja sendiri, Keseragaman adatkebiasaan jang dilihat disekelilingnja, tjukup memberi kejakinan kepadanja, sehingga ia tak mengetahui bahwa hal ini hanja kebetulan sedjarah se-mata², Ia menerima tanpa banjak komentar bahwa sifat manusia pada umumnja sesuai dengan ukuran² kebudajaannja sendiri.

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN


Akan tetapi meluasnja peradaban bangsa² kulit putih bukanlah suatu suatu kenjataan sedjarah yang berdiri sendiri. Kelompok Polynesia belum lama berselang telah meluas dari Ontong di Djawa kepulau Pasa, dari Hawai ke Selandia Baru, sedangkan suku² jang berbahasa Bantu meluas dari Sahara sampai di Afrika Selatan. Akan tetapi dalam hal ini kita anggap bangsa² itu se-mata² adalah variasi setempat dari djenis manusia jang terlalu tjepat berkembangnja. Peradaban Barat memiliki segala alat² hasil penemuan² dilapangan pengangkutan dan memilikj pula lembaga² perdagangan jang tjabang²nja meluas di-mana2, sehingga mempermudah meluasnja. Tidaklah sukar, untuk memahami perkembangan ini dalam hubungan sedjarah.


Akibat² psikologis peluasan kebudajaan bangsa2 kulitputih ini sama sekali tak sesuai dengan akibat² kebendaannja. Peluasan kebudajaan kita diseluruh dunia telah membuat kita tak setjara sungguh² mengenal peradaban bangsa² lain. Hal seperti ini belum pernah terdjadi sebelumnja. Karena itu, kebudajaan kita telah mentjapai bentuk universil massif, dan tak lagi kita anggap sebagai suatu gedjala sedjarah, tetapi sebaliknja telah kita anggap sebagai hal jang mesti kita terima sebagai suatu kenjataan jang mutlak. Arti mahapenting persaingan ekonomi dalam masjarakat kita, kita anggap sebagai bukti bahwa memang inilah motif terutama sifat alami manusia dan kita anggap kelakuana anakketjil dalam peradaban kita dan di-klinik² anak, sebagai ilmudjiwa anak² pada umumnja, jakni sebagai tjara satu²nja seorang anak manusia harus berkelakuan. Jang demikian itupun berlaku pada kita tentang moral dan organisasi keluarga. Kita membéla dan mempertahankan sifat mutlak setiap motif, jang lajak bagi kita dan dengan demikian selalu menganggap tjara perbuatan kita setempat sebagai „kelakuan manusia pada umumnja” dan menganggap kebiasaan² dimasjarakat kita sebagai „sifat manusia pada umumnja”.


Manusia modérn telah mengangkat thésis ini sebagai salah satu asas jang terpenting bagi alampikirannja dan perbuatan²nja se-hari². Asal-usul sikap ini nampaknja—djika kita bandingkan dengan sikap jang hampir umum ada pada bangsa² primitif—merupaka salah satu djenis pembédaan asasi jang dibuat manusia, jakni pembédaan antara „golonganku sendiri” jang bersifat chusus dan tersendiri dan „golongan lain.” Semua suku² primitif tidak ketjualinja mempunjai anggapan jang

sama mengenai golongan lain atau pihak luar ini; jakni dengan menempatkan golongan² lain itu diluar kodé moral jang berlaku dalam batas² kesukuannja serrdiri, bahkan menempatkan meréka itu sama sekali diluar bidang kemauusiaan. Banjak diantara suku², jang kita dapati misalnja : Zuni, Déné, Kiowa dan lain²nja, adalah nama² untuk menjebut dirinja sendiri, akan tetapi dalam pada itupun merupakan pula

POLA-POLA KEBUDAJAAN

nama2 untuk menjebut pengerian „manusia”, djadi : meréka itu sendiri! Diluar kelompok jang tertutup itu tiada manusia. Dan ini terdjadi meskipun dilihat setjara objéktif setiap suku dikungkungi oléh suku2 lainnja, jang sering menemukan alat2 jang sama, menggunakan tjara2 prodiksi jang sama pula, jang kesemuanja itu berkembang karena adanja saling tukar-menukar tjara dan kebiasaan antara suku jang satu dengan jang lainnja.

Manusia primitif tak pernah memandang djauh keseluruh dunia, dan menganggap „ummat manusia” sebagai satu keseluruhan sehingga sadar dan insjaf, bahwa ia senasib dengan manusia2 lainnja. Dari mulanja adalaah si provosialis jang memasang dinding–perpisahan tinggi2. Baik mengenai pemilihan isteri atau mengenai pemanggalan kepala, maka selalu jang merupakan perbédaan pertama dan utama jang dibuatnja ialah perbédaan antara kelompok sendiri dan semua orang jang tak termasuk kelompok itu. Kelompok sendiri, serta semua tatatjara maupun kelakuan2nja adalah istiméwa, tiada banding–taranja.

Dengan demikian manusia modérén, apabila ia membagi golongan2 atau kelompok2 jang berada dalam batas2 peradabannja sendiri dipandang dari sudut pertalian darah dan kebudajaan seperti halnja dengan suku2 digurun-pasir Australia dalam „bangsa jang terpilih” dan bangsa2 asing jang berbahaja, maka ia bisa membenarkan sikapnja itu karena sikap ini selalu ada sedjak dahulukala. Bangsa? Pynépun mempunjai prétensi sematjam itu pula. Tidak mudah untuk membébaskan diri dari pada sifat manusia jang sudah demikian mendalam dan mendarahdaging itu, akan tetapi se-tidak2nja kita bisa beladjar memahami sedjarahnja maupun berbagai bentuk dari sifat2 ini.

Salah satu bentuk jang sering dianggap sangat penting dan jang disebabkan oléh perasaan keagamaan, djadi tidak dianggap sebagai akibat umum provinsialisme, adalah suatu sikap jang lazim terdapat dalam peradaban Barat, selama agama masih merupakan unsurnja jang asasi. Perbedaan antara kelompok tertutup jang tertentu dan bangsa? diluarnja dalam rangka keagamaan mendjadi perbedaan antara kaum mukmin dan kaum kapir. Be-ribu2 tahun lamanja antara kedua kelompok ini tiada titik-pertemuan sama sekali. Tiada tjita atau lembaga jang berlaku dipihak jang satu bisa berlaku dipihak jang lain. Malahan orang menganggap setiap lembaga jang ada pada agama jang satu adalah lawan daripada lembaga jang ada pada agama lainnja, meskipun pada hakikatnja tiada banjak perbedaan antara kedua agama tersebut. Dipihak jang satu terdapatlah Kebenaran Ilahi dan mukmin sedjati, Wahju serta Tuhan sendiri, dipihak lainnja kesemuanja adalah kesesatan jang fana, chajal, ahli-neraka dan sjaitan. Mustahil bisa ada asas bersama antara lembaga dari kelompok2 jang bertentangan itu,

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN


dan itulah sebabnja maka tak mungkin untuk mempeladjari agama sebagai gedjala kemanusiaan jang penting setjara objḗktif.

Kita merasa, bahwa perasaan unggul jang kita miliki itu bisa dimaafkan, setelah membatja uraian mengenai sikap keagamaan pada umumnja jang dianggap sjah. Se-tidak²nja kita telah membuang kebodohan jang chusus ini dan telah menjelidiki dan memperbandingkan agama². Akan tetapi kalau kita mengingat adanja sikap sematjam itu pula jang kini meluas dalam peradaban kita, jaitu prasangka djenisbangsa, maka kita agak ragu² apakah otjéktivitét kita dalam hal² keagamaan itu disebabkan karena kita memang sudah mengatasi sifat keanak²an, ataukah barangkali se-mata² karena agama tak lagi merupakan lapangan tempat terdjadinja médan pertempuran utama dalam kehidupan modérén kita ini. Dalam menghadapi masalah² dalam peradaban kita jang sungguh² penting, maka se-olah² kita sama sekali belum sampai pada pendirian jang objéktif, sebagaimana jang telah kita miliki dilapangan agama.

Dalam pada itu masih ada pula faktor lain, jang menjebabkan mengapa penjelidikan adatkebiasaan sedemikian lama dialpakan. Faktor ini lebih sukar lagi diatasi daripada jang baru kita uraikan diatas. Adatkebiasaan tak menarik perhatian para téoritikus dilapangan sosial karena adatkebiasaan ini ikut menentukan tjorak alam-pikirannja; adatkebiasaan merupakan lénsa ,dan tanpa ini para penjelidik sama sekali tak akan bisa melihat. Djusteru karena begitu penting, maka meréka tak melihatnja. Kebutaan ini sama sekali tak bersifat mystik. Apabila seorang penjelidik telah mengumpulkan banjak bahan², jang diperlukan untuk menjelidiki krédit² internasional atau menjelidiki mekanisme dalam beladjar atau narcisisme sebagai faktor psychoneurosis, maka ahli ékonomi, ahli psykologi atau psykiatér mengerdjakan kumpulan bahan² ini. Ia tak menghiraukan adanja kenjataan bahwa ada djenis organisasi² sosial lainnja, jang bisa membuat faktor² ini mempunjai arti jang lain sama sekali, jakni, bahwa ia tak menghiraukan adanja sjarat² dan sebab² kebudajaan. Ia berpendapat bahwa gedjala² jang diselidikinja berupa bentuk² jang ia kenal dan tak bisa lain daripada demikian itu adanja, dan ia menganggap gedjala² itu sebagai hal² mutlak karena semuanja merupakan bahan² jang harus dipikirkannja. Ia menganggap gedjala² tahun 1930 adalah Sifat Manusia pada umumnja, dan uraian mengenai gedjala² itu dianggapnja Ekonomi dan Psykilogi sebagai ilmupengetahuan² jang bersifat mutlak.

Dalam praktéknja hal ini mémang tak begitu menguatirkan. Anak² kita harus dididik dalam tradisi pedagogi kita dan olḗh karena itu analisa tentang prosés beladjar sungguh penting di-sekolah² kita. Maka itupun kita bisa memaafkan sikap atjuh tak atjuh jang sering diper

POLA-POLA KEBUDAJAAN

lihatkan dalam menghadapi pembitjaraan mengenai sistim² ékonomi jang lain daripada sistim ekonomi jang resmi. Apa boléh buat, kita harus hidup dalam raugka ,,kepunjaanku dau kepunjaanmu", jang ternjata telah diangkat mendjadi hukum dalam kebudajaan kita.

Sikap atjuh tak atjuh kita malahan meugandung arti jang tertentu pula karena terbukti, bahwa berbagai bentuk kebudajaan bisa diselidiki sebaik²nja menurut letak keilmubumiannja. Akan tetapi jang menghalangi kita untuk mengambil tjontoh² dari bentuk² kebudajaan jang ber-turut² ada disépandjang masa, ialah se-mata² kurangnja bahan sedjarah, Mengenai terdjadinja ber-turut² dalam waktu, kita tak bisa mengabaikannja, sekalipun kita menghendaki misalnja ; marilah kita menoléh sadja satu generasi kebelakang, maka kita akan mengerti betapa banjak perobahan² jang terdjadi, kadang² malahan sampai pada kelakuan² kita jang kita sembunjikan. Selama perobahan² ini terdjadi tanpa disadari, maka faktor² apa jang menjebabkan perobahan² itu, hanja bisa kita tentukan kemudian. Ketjuali djika kita enggan menghadapi perobahan² kebudajaan dalam kehidupan kita jang mesra ketjuali kalau terpaksa, maka kita sudah barang tentu akan mengambil sikap jang lebih tepat dan lebih sadar terhadap soal² ini. Keengganan ini sebagian besar disebabkan oléh pengertian² kita jang salah mengenai tradisi² kebudajaan dan karena ketjenderungan kita sendiri untuk djusteru me-mudja² adatkebiasaan jang sudah lazim dalam masjarakat dan zaman kita. Apabila kita sedikit sadja mengenal tradisi² lainnja dan chususnja mengenal berbagai matjam bentuknja, maka pengetahuan kita ini pasti banjak faédahnja untuk penjiapkan satu tatatertib sosial jang lajak dan rasionil.

Penjelidikan berbagai bentuk kebudajaan ada pula faédahnja jang lain bagi alam pikiran dan kelakuan² kita sekarang. Kehidupan modérén telah menjebabkan banjak kebudajaan² saling kenal mengenal, akan tetapi untuk sementara hasilnja ialah réaksi² berupa nasionalisme dan ketjongkakan-djenisbangsa. Déwasa ini masjarakat sangat memerlukan adanja orang² jang benar² sadar-kebudajaan dan jang oléh karena itu dengan tiada takut² dan sunji dari kritik jang merusak setjara objéktif memandang bentuk² kelakuan bangsa² lain jang ditentukan oleh sebab² sosial.

Memandang rendah kepada orang asing bukanlah satu²nja tjara memetjahkan masalah² jang terdjadi karena hubungan erat antara djenisbangsa² dan bangsa². Bahkan pemetjahan masalah setjara ini sifatnja bukan ilmiah sekali, Sikap tak-tolerant bangsa Anglo-Sakson jang sudah terkenal itu adalah satu sifat, jang djuga ditentukan oléh tempat dan pengaruh² kebudajaan jang sifatnja sementara seperti segala sifat² lain jang manapun djuga. Bahkan bangsa², jang mempunjai

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN

23


talian-darah dan kebudajaan jang erat dengan bangsa Anglo-Sakson misainja bangsa Spanjol, tak mempunjai sifat² ini dan di-negeri² jang didjadjah oleh Spanjol, prasangka djenisbangsa mempunjai bentuk² lain daripada di-negeri² jang didjadjah oleh Inggeris dan Amerika-Serikat Di Amgrika-Serikat ternjata prasangka jang ada disana bukavlah prasangka terhadap pertjampuran darah antara djenisbangsa”, jang biologis berdjauhan, sebab seringkali kebentjian berkobar sama sengitnja, baik terhadap si Katholik dari Irlandia di Boston, atau si Italia dalam kota² tekstil di New-England, maupun si Orang Timur di California. Jang lagi² terdjadi disini ialah perasaan berbeda jang klassik antara mereka jang termasuk ,,gotongan sini” dan mereka jang termasuk golongan sana”, apabila dalam hal ini kita begitu patuh kepada tradisi² primitif maka kita tak perlu mendapat maaf lebih besar dibandingkan dengan suku² jang masih biadab. Kita banjak mengadakan perdjalanan², kita bangga akan objektivitet kita. Akan tetapi kita gagal memahami sifat nisbi adatkebiasaan sosial, dan dengan demikian tak banjak bisa menarik untung dan kesenangan dari hubungan² jang kita adakan dengan bangsa² jang memiliki ukuran² tain, dan kita mendjadi tidak djudjur djika bergaul dengan mereka.

Peradaban Barat sekarang sangat membutuhkan adanja pengakuan asasi kebudajaan daripada prasangka djenisbangsa,. Kita telah sampai disuatu titik, dimana prasangka djenisbangsa meluas sampai pada bangsa² jang masih sekeluarga dengan kita, seperti bangsa Irlandia, dan dimana bangsa² Swedia dan Norwegia saling menganggap musuh, se-olah² mereka itu bukan dari bangsa² seketurunan. Apa jang dinamakan garis-djenisbangsa dalam perang dunia pertama, dimana Perantjis dan Djerman saling hadap-penghadapi, dimaksudkan untuk memisahkan penduduk Baden dan penduduk Elzas, meskipun keduanja ditindjau dari sifat² badaninja termasuk rumpunbangsa Alpima. Dalam zaman orang tak lagi berdjalan kaki untuk berpindah dari satu kelain tempat, dan perkawinan² tjampuran terdjadi antara nenekmojang golongan² terhormat dalam masjarakat kita, namun kita masih sadja tak malunja menjebarkan adjaran kemurnian djenisbangsa.

Mengenai ini, anthropologi mempunjai dua djawaban. Jang pertama bertalian dengan sifat kebudajaan dan jang kedua bertalian dengan masalah turun-temurun kebudajaan. Mengenai sifat kebudajaan, kita harus kembali ke-bentuk² masjarakat pra-manusia. Jakni masjarakat² dimana Alam mempertahankan dan memelihara adatkebiasaan dan kelakuan sampai dibagian jang se-ketjil²nja melalui mekanisme² biologis. Akan tetapi itu bukan masjarakat² manusia, melainkan masjarakat² serangga sosial. Ratu lebah jang diletakkan dalam sarang lebah jang kosong akan mempertahankan tingkahlaku

24

POLA-POLA KEBUDAJAAN


seksuilnja dan akan me-rekonstruksi setiap bagian sarang itu. Seranggasosial mewakili Alam dengan tjara jang sama sekali bebas dari risiko. Organisasi struktur sosial diatur seluruhnja oleh kelakuan² naluri lebah. Tak akan bisa terdjadi bahwa dengan menghasilkan lebah diluar kelompokrja, golongan sosial lebah atau organisasi pertaniannja akan lenjap, seperti pula tak mungkin lebah mendjadi tak mampu mewariskan bentuk sungutnja atau bentuk perutnja kepada keturunannja.

Akan tetapi, bagaimanapun djuga, lain halnja tentang manusia Selkelamin manusia tak menghitamputihkan organisasi sosial suku, tak pula menentukan bahasa atau agama setempat, Di Eropah zaman dahulu, kadang² ditemukan anak², jang telah ditinggalkan di-hutan² mendjadi besar tanpa ada hubungan sedikitpun dengan manusia² lainnja. Anak² sedemikian begitu mirip satu sama lain, sehingga Linnaeus menggolongkannja dalam djenis jang chusus, jakni Homo ferus, dan menganggap bahwa mereka itu suatu djenis orang-kerdil jang djarang ada. Linnaeus tak pernah memikirkan, bahwa mahluk² liar jang setengah idiot ini ditahirkan sebagai manusia, karena memang mahluk² ini tak mempunjai perhatian kepada apapun djuga, mereka membiarkan dirinja di-ajun² seperti binatang dalam kebun binatang, dan jang mulut dan kupingnja tak bisa dilatih berbitjara dan mendengar seperti manusia, mahluk² jang meskipun hanja tertutupi selaput kain, tahan hawa sedingin es, dan dengan enaknja mengambil kentang dari dalam air mendidih. Tentu sadja tak usah diragukan sedikitpun, bahwa mereka ini adalah anak² manusia jang ketika masih anak² sekali dibuang disesuatu tempat dan bahwa satu²nja hal jang tak ada padanja ialah hubungan dengan manusia lainnja, dan ternjata bahwa hanja hubungan inilah jang bisa memperkembangkan bakat² manusia.

Dalam peradaban sekarang ini kita tak lagi mendjumpai anak² liar. Akan tetapi pokok soalnja tetap djelas apabila ada seorang anak dibesarkan dan dididik dalam lingkungan djenisbangsa atau kebudajaan asing. Seorang anak Timur jang dipungut oleh keluarga Barat, beladjar bahasa Inggeris dan sikaprja terhadap ibu-pungut dan ajah-pungutnja-adalah sama dengan sikap jang umum dan lazim ada pada anak² teman-bermainnja se-hari², merekapun kelak mendapat djenis pekerdjaan jang sama dengan anak² lainnja. Ia memiliki semua bal jang termasuk kebudajaan bangsa jang memungutnja, sedangkan adatkebiasaan orangtuanja sendiri sama sekali tak meninggalkan bekas pengaruh apa². Setjara besar²an proses ini terdjadi pula, apabila seluruh bangsa dalam satu generasi menanggalkan kebudajaan tradisionilnja dan menerima adatkebiasaan bangsa lain. Kebudajaan Negro-Amerika di kota² Amtrika-Serikat bagian Utara semangkin mendjadi sama dengan kebudajaan bangsa kulitputih di-kota² itu, bahkan sampai pada segi²
ILMU PENGETAHUAN ADATKEBIASAAN


jang seketjil2nja. Beberapa tahun jang lalu, ketika bagian kota New York jang bernama Harlem diadakan penjelidikan terhadap kebudajaan dan adatkebiasaan, maka ternjata bahwa bangsa Negro memiliki kebiasaan aneh untuk mengadakan taruhan disekitar tiga angka terachir dari djumlah efek2 jang diperdagangkan dalam bursa esok harinja. Memang dalam hal ini tak begitu besar djumlah uang jang dipertaruhkan dibandingkan dengan kesukaan bangsa kulitputih untuk mempertaruhkan djusteru efek2 itu sendiri. Namun risiko dalam rasa-gelisahnja sama.sadja. Ini suatu variasi daripada adatkebiasaan bangsa kulitputih. meskipun hampir2 tiada ubahnja. Kebanjakan dari adatkebiasaan penduduk Harlem bahkan lebih mirip lagi dengan bentuk2 jang lazim ada dikalangan bangsa kulitputih.

Diseluruh dunia, sedjak permulaan sedjarah ummat rnanusia, bisa ditundjukkan bahwa bangsa2 bisa memungut kebudajaan bangsa2 dari lain bangsa. Struktur biologis manusia tak mempersukar kemungkinan ini. Sifat2 tubuh biologis manusia tak mengharuskan dia untuk hanja memiliki suatu variasi kelakuanz jang chusus. Adanja berbagai matjam penjelesaian2 sosial jang dikerdjakan manusia dalarn ber-matjam2 bentuk2 kebudajaan bagi masalah2 persetubuhan atau perdagangan misalnja, dimungkinkan berdasar bakat wadjarnja jang semua sama. Kebudajaan bukanlah suatu kompleks gedjala2 jang bisa diwariskan setjara biologis.

Dimana tiada djaminan keselamatan sifat2 seperti halnja dalam Alam, dalam kehidupan manusia ada keuntungan jang terkandung dalam kemampuannja untuk ber-obah2. Manusia tak memerlukan beberapa generasi seperti halnja beruangkutub untuk memperkembangkan kulit-kutubnja, supaja bisa hidup di-daerah2 kutub. Sebaliknja, ia beladjar membuat pakaian dan rumah-saldju. Dari apa jang kita bisa ketahui dalam sedjarah perkembangan akal-budi, baik jang terdapat dimasjarakat pra-manusia atan masjarakat manusia, ternjata, bahwa plastisitet atau kemampuan berobah ini merupakan bumi subur tempat bertumbuhnja kemadjuan manusia sampai sekarang djuga. Dalam zaman mammouth, terdjadilah ber-turut2 berbagai djenis2 jang tak mempunjai plastisitet ini, dan dalam penjesuaian2nja bertindak terlalu djauh, sehingga djeniss ini tjures, djusteru karena sifat2 jang telah ditjiptakan setjara biologis untuk menguasai .lingkungannja. Bangsa binatang buas jang memakan-daging dan achirnja djenis2 kera, lambat laun mempergunakan tjara2 penjesuaian jang lain daripada berdasarkan biologis. Dengan berdasar plastisitet jang bertambah besar dan meliwati suatu proses jang lama dan per-lahan2, terdjadilah perkembangan akal-budi. Memang berangkali djusteru karena perkembangan akal-budi ini manusia akan menghantjurkan dirinja sendiri, seperti jang dinjatakan setengah

orang. Akan tetapi tiada seseorangpun jang bisa mengadjarkan

26

POLA-POLA KEBUDAJAAN


kepada kita tjara² untuk kembali kepada mekanisme² biologis serangga sosial, sehingga bagi kita tak ada pilihan jang lain, Bagaimanapun djuga kebudajaan manusia tak bisa diwariskan setjara biologis.

Akibat daripada kenjataan ini bagi politik moderen ialah, bahwa tiada dasar sama sekali untuk membenarkan pendapat, bahwa kita bisa mempertjajakan nilai² kebudajaan dan nilai² rohani kita kepada sel² kelamin jang terpilih. Dalam kebudajaan Barat, pimpinan ber-turut² berpindah dari tangan bangsa² jang berbahasa Semit ketangan bangsa² jang berbahasa Hamit, kemudian ketangan golongan² bangsa² kulitputih Lautan Tengah, dan achirnja ketangan bangsa² Nordika, Kesenantiasaan kebudajaan tetap terpertahankan, tak memandang siapa jang pada waktu tertentu mendjadi pendukung kebudajaan itu. Kita harus menerima segala konsekwensi daripada warisan manusia ini dan salah satu jang terpenting ialah kenjataan, bahwa hanja ada sedikit sadja kelakuan² jang diwariskan setjara biofogis. Inilah jang menjebabkan proses kebudajaan mendjadi sangat penting artinja.

Antropologi masih mempunjai alasan kedua mengenai masalah jang dikemukakan oleh penjokong paham tentang kemurnian djenisbangsa, jakni mengenai sifat dan hakikat bakat-turunan (heredity). Penjokong paham kemurnian djenisbangsa mendjadi korban tjara berpikir mythologis. Sebab, apakah sesungguhnja ,,bakat-turunan djenisbangsa” itu² Kita sedikit-banjak mengetahui tentang bakat-turunan dari ajah kepada anak. Dalam hubungan suatu keluarga, bakat-turunan itu mahapenting. Akan tetapi djusteru bakat-turunan adalah soal garis-keluarga (family line). Kalau kita teruskan, sampailah kita dilapangan mythologi. Dalam masjarakat² ketjil dan jang tak banjak terdjadi perobahan², misalnja dalam sebuah dusun Eskimo jang terpentjil, bakat-turunan djenisbangsa dan bakat-turunan keluarga tiada bedanya, dan dalam hal² jang demikian itu istilah bakat-turunan djenisbangsa mempunjai arti jang konkrit. Akan tetapi djikalau kita membuat suatu pengertian, jang harus berlaku bagi daerah jang luas, seperti dalam hal nja djenisbangsa² Nordika, maka ini menurut alasan² ril tak bisa dibenarkan. Pertama, dalam semua bangsa² Nordika selalu ada garis” keluarga jang djuga ada dalam masjarakat² Alpina dan Lautan Tengah. Apabila kita menjelidiki sifat² badani penduduk Eropa, maka kita akan selalu mendjumpai gedjala tentang penjebaran sifat² badani. Misalnja di Swedia ada Orang? jang mata dan rambutnja ke-hitam²an, jang tergolong pada keturunan² keluarga jang lazim terdapat di Selatan. Kita baru bisa memahami sifat² badani orang² Swedia sematjam ini, setelah kita menjelidiki bangsa² di Selatan. Bakat-turunannja, selama jang bersifat badani, adalah soal garis-keluarganja, jang tak terbatas hanja di Swedia belaka. Kita tak mengetahui sampai dimana type²

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN


badani bisa berobah tanpa ada pertjampuran-darah. Kita mengetahui bahwa perkawinan diantara kerabat menimbulkan type setempat, Akan tetapi perkawinan-kerabat (incést) ini boleh dikata tak ada dalam peradaban kulitputih jang kosmopolitis, dan apabila ada jang mengatakan tentang bakat-keturunan djenisbangsa padahal jang dimaksudkan ialah sekelompok orang jang kira² mempunjai kedudukan ekonomi jang sama, jang keluaran djenis sekolah² jang sama dan pembatja madjalah² jang hampir sama matjamnja, maka kelompok demikian itu se-mata merupakan variasi baru dari golongan-dalam dan golongan-luar, dan tak ada sangkutpautnja dengan adanja golongan atau kelompok jang biologis dan sesifat.

 Jang sungguh² mempersatukan manusia ialah kebudajaannja — tjitanja dan ukurannja jang sama, jang dipunjainja ber-sama². Apabila suatu bangsa tidak memilih suatu tambang berupa misalnja pertalian-darah jang kemudian disandjungnja sebagai sembojan, akan tetapi mengarahkan perhatiannja kepada kebudajaan jang mempersatukan bangsa dan dalam pada itu mengetengahkan unsur²nja jang paling berharga dan pula mengakui nilai² lainnja jang mungkin bisa diperkembangkan oleh bentuk-kebudajaan lain, maka lambang jang berbahaja — dan sering menjesatkan — itu akan diganti dengan tjara berpikir jang realistis.

 Pengetahuan tentang bentuk²-kebudajaan sangat perlu bagi tjara berpikir sosial dan buku ini djusteru membahas masalah kebudajaan. Kita sudah mengetahui bahwa sifat² badani, atau sifat² djenisbangsa, adalah lepas dari kebudajaan dan kita, mengingat masalah jang sedang kita peladjari, bisa menjisihkan segi ini, ketjuali dalam hal? jang karena sebab² jang chusus djenisbangsa ini mendjadi penting. Sjarat terpenting jang bisa dikemukakan dalam menindjau masalah kebudajaan ialah : bahwasanja ini harus didasarkan kepada pemilihan jang luas diantara berbagai bentuk² kebudajaan. Hanja dengan fakta² demikianlah maka kita bisa mem-beda²kan antara kelakuan² jang terdapat di-mana², jang sepandjang pengetahuan kita adalah sifat² umum manusia jang hakiki. Adalah mustahil, djikalau kita hanja membatasi diri kepada satu bentuk masjarakat sadja, untuk menetapkan, baik dengan peng-amat²an maupun introspeksi, kelakuan² mana jang ,,menurut naluri”, jang di tentukan setjara organis, Untuk memasukkan suatu djenis kelakuan jang tertentu kedalam golongan kelakuan² naluri, diperlukan lebih banjak lagi daripada hanja suatu penetapan bahwa kelakuan itu sifatnja otomatis. Refleks-bersjarat berdasarkan kebudajaan hampir seotomatis seperti refleks tak-bersjarat berdasarkan biologis dan reaksi² jang ditentukan oleh kebudajaan merupakan bagian terbesar kelakuan² otomatis kita. Oléh karena itu bahan terpenting untuk menjelidiki bentuk² kebudajaan dan prosés² kebudajaan adalah bahan jang berasal dari masjarakat² jang sedikit sekali pertalian-sedjarahnja dengan masjarakat kita dan djuga dengan masjarakat² lain jang kita sedang selidiki. Djaringan hubungan-sedjarah jang meluas sekali, karena perluasan² peradaban besar, mendjadikan masjarakat² primitif itu sumber satu²nja jang bisa kita pergunakan. Masjarakat² ini merupakan suatu laboratorium, tempat dimana kita bisa menjelidiki dan mempeladjari ketjorakragaman lembaga² manusia. Karena sedikit-banjak terpentjil, banjak daérah² primitif memerlukan waktu ber-abad² untuk memperkembangkan bentuk kebudajaan chusus jang dimilikinja sekarang. Dengan demikian masjarakat² ini memberi kepada kita fakta² jang diperlukan tentang segala djenis variasi² kelakuan² manusia. Penjelidikan jang kritis tentang ini adalah sangat penting untuk memahami prosés kebudajaan se-djelas²nja. Masjarakat² inilah merupakan laboratorium bentuk² sosial satu²nja jang bisa kita pergunakan sekarang ataupun nanti.

Masih ada keuntungan² lainnja jang bisa diperdapat dari laboratorium ini. Disana bentuk² masalahnja lebih sederhana daripada dalam peradaban² besar Barat. Setelah adanja penemuan² jang begitu memudahkan dan melantjarkan lalulintas: hubungan² telegrap dan telepon internasional, radio, bentuk² modérén seni-tjétak dan adanja standardisasi djenis² pekerdjaan, agama² dan kelas² setjara internasional, maka masjarakat modérén mendjadi terlalu kompléks untuk bisa dianalisa dengan tepat, ketjuali djika masjarakat ini dengan sengadja di-bagi² dalam bagian² ketjil supaja lebih mudah menjelidikinja. Akan tetapi analisa² jang bersifat se-bagian² itupun tak memuaskan, karena banjak sekali faktor² jang terabaikan. Pada kelompok atau golongan manapun jang dipilih untuk diselidiki, selalu kita mendjumpai orang² jang tergolong dalam kelompok² jang berlawanan dan jang tak sesifat, ukuran², tudjuan² sosial, hubungan² dalam keluarga dan tata-susila jang ber-béda² pula. Perhubungan antara kelompok atau golongan satu sama lain terlalu banjak ragamnja, sehingga tak bisa diusut sampai ke-bagian² jang seketjil²nja. Daiam suatu masjarakat primitif tradisi kebudajaannja tjukup bersahadja sehingga keseluruhannja bisa dimengerti oléh semua orang déwasa, dan adatkebiasaan maupun tatasusilanja merupakan keseluruhan jang terang batas²nja. Dalam lingkungan jang bersahadja itu kita bisa menentukan sifat perhubungan antara tjorak²nja jang ada, sedangkan jang demikian itu tak mungkin kita lakukan terhadap hubungan² jang ruwét dalam peradaban kita jang kompléks.

Penondjolan fakta² jang ada pada kebudajaan primitif ini tak ada sangkutpautnja dengan apa jang dahulu lazim dilakukan orang dengan

ILMUPENGETAHUAN ADATKEBIASAAN

29

fakta² ini. Dahulu chususnja orang ingin sekali mengetahui dan menetapkan bentuk-asal gedjala² sosial. Dahulu para ahli anthropologi berusaha menjusun sifat² berbagai bentuk kebudajaan dalam urutan² &volusiongr mulai dari bentuk²nja jang terdahulu sampai pada perkembangannja jang terachir dalam peradaban Barat. Padahal sesungguhnja tak ada alasan sama sekali untuk berpendapat bahwa penjelidikan agama suku² primitif Australia misaluja akan memberi gambaran jang lebih terang tentang agama „asal" lebih daripada apabila kita menjelidiki gedjala² dalam agama kita sendiri. Atau bahwa penjelidikan organisasi suku Irokez akan memberi penerangan kepada kita tentang adatkebiasaan² bersetubuh nenekmojang manusia jang terdahulu.

Karena kita harus mengakui bahwa semua manusia tergolong pada gatu djenis, maka sudahlah pasti bahwa semua manusia di-mana² telah mengalami djalan-perkembangan jang sama pandjangnja. Memang boleh djadi, bahwa beberapa bangsa? primitif sifat² kelakuannja agak mendekati bentuk? asal, akan tetapi itupun hanja benar dalam artikata nisbi, dan terkaan? kita tentang itu bisa benar tapi djuga bisa salah. Maka itu, tak ada alasan sama sekali untuk menganggap ada-kebiasaan² primitif jang ada sekarang sewudjud atau identik dengan kelakuan² asal ummat manusia. Hanja ada satu tjara atau metode jang memungkinkan kita mengetahui sedikit-banjak tentang kelakuan² ini. Jakni dengan menjelidiki dan mempeladjari kelakuan², jang terdapat umum atau bampir-umum pada masjarakat² manusia dimana sadja. Banjak diantaranja jang sudah kita ketahui. Setiap orang setudju dengan pendapat bahwa animisme dan pembatasan² Exogam dalam perkawinan termasuk gedjala² itu. Soalnja mendjadi agak lebih sulit, apabila mengenai berbagai anggapan? tentang djiwa manusia dan kehidupan dialam baka, jang satu sama lain banjak bedanja. Mengenai kepertjajaan? jang umum itu, kita bolh menganggapnja sebagai penemuan? manusia jang tua sekali. Ini tak berarti bahwa hal² itu ditentukan setjara biologis, sebab mungkin sekali, bahwa hal ini adalah akibat daripada penjesuaian²-asal dan penemuan²-asal, sematjam sifat² „sedjak baji” jang kemudian mendjadi unsur hakiki alam pikiran manusia. Djikalau diselidiki lebih djauh achirnja ternjata bahwa sebab jang menimbulkan tjorak² inipun adalah sosial sifatnja, tiada bedanja dengan adatkebiasaan sosial jang manapun djuga. Akan tetapi jang sudah sedjak lama sekali telah mendjadi otomatis dalam perilaku manusia. Sudah sedjak dahulu kala dan sudah mendjadi sangat umum. Akan tetapi semuanja itu tak berarti bahwa bentuk² jang bisa dipeladjari sekarang ini adalah bentuk² asal jang timbul di zaman-asal (oertijd). Dan pula tiada tjara atau djalan untuk menetapkan gedjala² asali dari djenis² jang ada sekarang. Kita bisa mentjoba untuk

30

POLA-POLA KEBUDAJAAN

mengasingkan inti umum kepertjajaan dan memisahkan dari bentuk setempatnja, akan tetapi masih sadja ada kemungkinan, bahwa sifat ini berkembang dan terdjadi djusteru dari salah satu bentuk² setempat jang terkenal dan tidak dari sematjam djenis jang mewakili nilai rata² dari semua gedjala jang telah diselidiki.

Berdasarkan alasan² ini, maka adatkebiasaan² primitif merupakan bahan jang kurang berharga untuk me-rékonstruksi adatkebiaiaan² asali. Kita bisa sadja menjusun suatu alasan jang se-olah² membenarkan sesuatu bentuk-asali jang bagaimanapun djuga, jakni bentuk² ,,asali" jang saling berlawanan atau isi-mengisi. Tjara bekerdja sematjam ini termasuk tjara-kerdja ,,anthropologi" jang dikuasai oléh berpikir spékulatif, padahal sesungguhnja benar-tidaknja tak bisa dibuktikan.

Kitapun djangan nenganggap penjelidikan masjarakat primitif mesti ada hubungannja dengan ketjenderungan untuk kembali setjara romantis kedunia primitif. Kita sama sekali tak bermaksud setjara puitis me-mudja² bangsa² primitif. Mèmang sering terdjadi, bahwa dalam zaman kita, jang nilai² dan ukuran²nja bersimpangsiuir dan dalam keserba-mesinan jang ruwét, bentuk² kebudajaan tertentu dan sesuatu bangsa tampak sangat menarik hati. Akan tetapi kembali kepada tjita² jang dipelihara beberapa bangsa² primitif untuk kita, tentu tidak akan berarti menjembuhkan masjarakat kita dari penjakit²nja. Utopisme romantis jang mentjitakan kembali kesuasanaan dan dunia primitif, berapapun menarik hati nampaknja, sering merupakan halangan disamping dorongan bagi penjelidikan éthnologi.

Akan tetapi penjelidikan mendalam masjarakat² primitif sekarang ini sangat penting, karena seperti telah kita uraikan, disitu terdapat bahan² untuk menjelidiki bentuk² dan prosés² kebudajaan. Hal ini bisa membantu kita membéda²kan gedjala² sosial jang terbatas pada bentuk² kebudajaan dan gedjala² lainnja jang sifatnja umum bagi seluruh ummat manusia. Selain daripada itu, penjelidikan itupun menambah pengertian kita mengenai peranan penting daripada kelakuan² jang terdjadi karena pengaruh² sosial. Kebudajaan, fungsi²nja dan mekinisme²nja merupakan suatu atjara jang perlu kita pahami se-luas²nja dan se-dalam²nja, dan ini bisa dilakukan se-baik²nja dengan menjelidiki fakta² dalam masjarakat jang belum mengenal ketjakapan tulis-menulis.