Pohon Pinang
POHON PINANG
Arif Efendi
SMAN 1 Lubuk Alung
Pagi sekali kami sudah tiba di bawah pohon pinang, bersaing dengan pencari pinang lain untuk datang lebih awal dan mengumpulkan lebih banyak buah pinang. Bahkan kami pernah dihardik dan dicaci-maki oleh pemilik pinang.
“Hei, orang miskin, kalau mau kaya jangan mencuri terus, usaha dong,” hardik Pak Malin pada kami di suatu pagi.
Aku hanya diam saja, wajah ibu terlihat sedih. Mulutnya menggumam sesuatu seolah-olah ada yang ingin diucapkannya, tapi ditelannya saja bersama air ludahnya.
“Pen, kita pindah saja cari pinangnya. Di ladangnya si Munik banyak pohon pinang, oh iya, duriannya sedang berbuah Pen. Nanti kita pesta durian di sana Nak," ajak ibu padaku.
"Ah, Ibu. Kalau ada pemiliknya yang menunggu gimana? Aku takut cari masalah Bu," aku menolak ajakan ibu.
"Kamu ini gimana sih? Kalau jadi orang miskin kita harus bertelinga tebal Nak. Biarkan orang-orang itu menggonggong, yang penting kita bisa mencari uang untuk makan."
"Tetapi aku belum terbiasa Bu, ibu saja yang pergi ke sana."
Aku mengemasi pinang-pinang yang sudah kami cari, dan seperti biasanya akulah yang akan mengurus pinang-pinang itu, membelah, menjemur sampai menjualnya ke toke pinang.
Sejujurnya aku merasa malu jika ada teman-teman sekolahku yang mengetahui hal ini. Pernah pada suatu ketika, Kemal menanyaiku tentang pinang-pinang yang teronggok di sudut rumahku.
"Pen, ini pinang dari mana datangnya?" Tanya Kemal padaku.
"Dicari Mal," jawabku.
"Cari di mana?" Tanyanya lagi.
"Di ladang orang!"
"Apa Kau tidak malu mencuri di ladang orang?"
"Kenapa mesti malu? Kita kan nggak bertelanjang di hadapan orang banyak," jawabku sekenanya.
"Tapi kamu mencuri, Pen. Kau dan ibu kau pencuri, pencuri pinang orang."
"Banyak orang yang hidup dengan mencuri. Bahkan maling uang rakyat miliaran. Sementara aku hanya pencuri pinang."
"Kalau ada usaha lain yang halal, kenapa harus berbuat haram?" “Sok suci Kau, Mal. Jangan suka mencari kesalahan orang lain. Ibu Kau sendiri gimana, hah?” Aku mulai emosi dengan ceramahnya, terlintas di pikiranku gaya bicaranya Bu Yen, kepala sekolah yang telah menyelewengkan beasiswaku dulu.
“Ah, itu kan ibuku. Lagian aku tidak ikut mencuri seperti Kau,” ejeknya lagi.
“Sekali lagi Kau bilang mencuri, kupukul Kau!”
“Aku kan hanya memperingatkanmu kawan...”
“Cukup, aku muak mendengar ceramahmu, ibu kau saja tak bisa kau nasihati, sementara orang lain Kau urusi. Pulang saja kau sekarang, sebelum akbenar-benar berubah pikiran,” ancamku sambil mengacung-acungkan kayu yang tersandar di samping rumahku.
Kemal hanya terdiam, lalu pergi.
“Otak udang, setan alas, balataun. Uang buat kitab suci saja dikorup, ah, benar-benar keterlaluan tikus-tikus parlemen itu!” ucap Pak Bidin di lepau Mak Uning.
Aku hanya diam saja mendengar sumpah serapah Pak Bidin. Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang diberitakan di televisi, tidak begitu aneh di telingaku berita penggelapan kitab suci. Karena dalam keseharian hidupku mencuri, meskipun masih kelas bawah, pencuri pinang.
“Pen, Kau kelas berapa sekarang?” Tanya Pak Bidin mengejutkanku. “Kelas dua belas, semester lima,” jawabku. “Kau masih SMA kan?” “Iya, Pak”
“Nanti kalau Kau jadi pemimpin bangsa ini, Kau potong saja tangan pencuri-pencuri itu. Dan yang paling penting itu, Kau hidupkan lagi tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta dulu.” “Mana bisa, Pak. Kita tidak bisa memaksakan kehendak pada orang lain, itu pelanggaran HAM.”
“Cuih, mual perutku mendengar kata-kata itu, HAM itu hanyalah alat untuk berbuat kesewenangan, dan HAM itu jauh di bawah hak Tuhan. Tuhan lebih berkuasa pada kita. Tetapi kebanyakan manusia tidak mau mengakui adanya hak Tuhan untuk mengatur kehidupan kita,” jelas Pak Bidin padaku. Meskipun ia hanyalah tamatan SMA, pengalamannya cukup banyak dibanding kebanyakan orang.
Aku kagum pada pada pota pikir Pak Bidin, ia selalu memandang sesuatu dari sisi yang berbeda. Tapi aku sedikit waspada juga, karena banyak orang-orang yang memandang Pak Bidin sebagai pemikir ekstrem.
“Setiap Senin Kau upacara bendera, Pen?” Tanya pak Bidin padaku.
“Iya, Pak.”
“Buat apa Kau upacara, hormat bendera dan ritual-ritual lainnya?”
“Memupuk rasa nasionalisme kita, Pak. Dan juga memperingati jasa-jasa pahlawan-pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.”
“Taukah Kau, apa yang diinginkan para pahlawan kita?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan sederhana itu, takut salah dan malas rasanya. Apalagi Pak Bidin dianggap berpaham ekstrem oleh orang-orang kampung. Seandainya saja Pak Bidin tinggal di kota, mungkin sudah ditembak Densus 88 atau ditangkap polisi dengan tuduhan teroris.
“Yang pahlawan kita inginkan adalah tegaknya din Islam, bukan hormat bendera, itu syirik.” Pak Bidin menjawab pertanyaannya sendiri.
“Kita kan hanya memperingati saja, Pak. Jika kita memang benar-benar mencintai negara.”
“Mencintai negara? Betapa banyak orang-orang berdasi itu yang mengaku kalau mereka mencintai Indonesia, tetapi apakah mereka betul-betul cinta negara? Tidak Pen, mereka tidak mencintai negara, tapi mencintai uang rakyat, tikus parlemen itu tidak pernah puas, sekalipun bumi Indonesia untuk mereka," Pak Bidin menggebu-gebu dalam pidatonya.
Aku hanya diam.
"Sudahlah, Pak. Jangan Kau tanamkan ajaran Kau pada anak orang, nanti kalau ia ditanya gurunya kenapa ia tak hormat bendera, Kau juga yang disalahkan." Mak Uning menyelingi pembicaraan kami.
Sebenarnya aku tidak betah berlama-lama duduk di lepau, tapi aku merasa segan juga pada Pak Bidin, kupertahankan saja pantatku di kursi kayu Mak Uning.
"Kalau kamu jadi pemimpin, ubahlah semua sistem di negara kita yang sudah terlalu bobrok. Ganti dengan Syariat, maka negara ini akan adil, makmur, dan sejahtera. Dan mulailah mengubah hal-hal tidak baik, misalnya dari dirimu sendiri, keluarga, atau teman-teman terdekatmu.
Terbayang di pikiranku wajah ibu yang kerjanya setiap pagi mencari pinang di ladang orang, hal yang harus kuubah semestinya. Ah, Pak Bidin ini mungkin tahu kerja ibuku setiap hari, tapi ia tidak langsung menuju inti permasalahan. Ia malah berceloteh tentang politik yang sama sekali tidak menarik perhatianku.
"O ya, kalau kau ada waktu, datang ke rumah Bapak ya, kita diskusi-diskusi."
"Hmm, oke Pak, kapan saya boleh datang?" aku langsung saja menerima ajakan Pak Bidin.
Pak Bidin suka nongkrong di lepau, tapi pengetahuannya sangat banyak, terutama dalam masalah agama.
"Bu, bagaimana kalau kita menanam singkong di ladang kita," usulku pada ibu.
"Bagus sekali itu Nak, nanti sore kita ambil tampangnya di ladang si Munik, di sana banyak batang singkong yang sudah tua," ucap ibu.
Niat hatiku ingin mengalihkan kebiasaan ibu mengambil barang orang, malah menjadi pembuka peluang bagi ibu untuk mengambil punya orang.
Akhirnya aku menuruti saja perintah ibu, karena itu usul dariku. Aku mulai mengelola ladang baruku. Celakanya, ibu belum mau berganti profesi sebagai pencari pinang.
Ibu terpaksa melakukan hal apa saja untuk bisa mendapatkan uang. Semenjak kepergian sang ayah di keluarga kami, ibu berperan ganda, selain sebagai ibu, ibu juga merangkap sebagai ayah. Aku kadang-kadang membantunya sepulang sekolah.
"Kemal? Ngapain di sini?" tanyaku heran ketika melihat Kemal di rumah Pak Bidin.
"Ini rumahku, aku anaknya Pak Bidin. Eh, silakan masuk. ikau berdiri di luar," ajaknya.
Ingin rasanya aku balik ke belakang, lelaki yang ada di hadapanku sekarang ini pernah menghinaku, kata-katanya masih terngiang-ngiang di telingaku.
"Pen, ayo masuk. O ya, kamu masih marah padaku, Pen? Maafkan aku ya, kala itu aku baru belajar berdakwah, jadi aku belum tahu harus memulai dengan apa, lagian waktu itu Kau main emosi saja," ucapnya sambil meraih tanganku.
Aku sebenarnya kurang suka membahas masa lalu, semua yang berlalu biarlah berlalu, karena kehidupanku bagaikan air yang mengalir.
"Kamu anak kandungnya Pak Bidin?" Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Bukan, Pak Bidin itu sepupu ayah, jadi aku bukan anak kandungnya."
Aku hanya mengangguk saja.
"Itu buku apa Mal?" tanyaku sambil menunjuk buku yang sedang dipegang Kemal.
"Oh, ini buku keajaiban rezki, Pen. Mantap isinya. Kalau Kau pinjam, aku pinjamkan."
"Aku tidak suka membaca, Mal."
"Bagaimana kalau kubacakan saja isinya, kamu pasti tertarik," katanya.
"Oke, ceritakan semuanya, Mal," pintaku padanya.
"Baiklah, aku mulai dari mana ya?"
"Mana kutahu, tapi kau bilang sudah banyak membaca isinya."
"Begini, kamu tahu apa itu rezeki? Rezeki adalah hal yang bisa dimanfaatkan atau potensi yang bisa kita gunakan, termasuk di dalamnya rezki haram. Nah rezki haram inilah yang jadi sorotan utama dalam buku ini. Sebelumnya aku mau nanya sama kamu Pen, apakah yang menyebabkan doa kita ditolak?"
"Karena kita tidak meminta dengan khusyuk," jawabku.
"Benar juga, tapi ada faktor lain yang menyebabkan doa kita tertolak, semua ibadah kita tidak diterima, amal kita jadi sia-sia, akhirnya masuk neraka."
"Maksudmu apa, Mal?" Tanyaku penuh curiga.
"Harta haram," jawabnya pendek.
"Kau mau menyindirku lagi, Mal? Sudah cukup Kau menghinaku. Sekarang jangan Kau singgung lagi luka lama yang hampir sembuh ini."
"Pen, sebagai manusia kita harus selalu menasihati, kebanyakan manusia hobi menasihati orang, tapi jarang di antaranya yang mau dinasihati. "Masa bodoh, Mal," jawabku. Aku tidak mau seorangpun mencampuri urusanku.
"Itu urusanku, tidak usah Kau ikut campur, aku bisa menanganinya sendiri. Lagian aku hanyalah mengambil barang yang tidak berguna lagi." Gerutuku sambi memegangi telingaku yang mulai terasa panas. Aku pernah dinasihati ibu kalau mencuri barang tak berguna itu tidak apa-apa, setelah aku berusaha mengatakan hal yang yang disampaikan Pak Bidin sebelumnya.
"Tapi kau tetap saja mencuri namanya. Kawan, apa Kau mau jadi orang yang selalu rugi? Kau mesti buat perubahan, Pen. Kau tidak akan mampu merubah ekonomimu. Karena doamu tertolak."
Aku tercenung lama, terpikir olehku kenapa hidupku selalu miskin. Ah, tapi kenapa banyak juga orang yang maling tapi bergelimang dengan harta. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban.
"Tuhan sedang mengujimu, Pen. Seharusnya Kau bersabar dan berusaha mencari rezeki yang halal." Kemal menepuk pundakku. Amarah yang tadi menggelora, berangsur-angsur hilang.
Tergesa-gesa kupergi ke sumur mengambil wuduk, mungkin dengan berwuduk hatiku menjadi tenang. Lama kuberpikir, kubasahkan kepalaku, telinga panasku, namun pikiranku tambah tak menentu.
Dua ekor katak berpesta ria dalam sumur tanah Pak Bidin, mereka saling berciuman, mungkin mereka tidak tahu kalau aku sedang bersedih. Setelah kujatuhkan ember ke sumur lagi, katak yang sedang kasmaran tadi pun bubar.
Hampir saja aku menceburkan diri ke sumur itu, untuk bercerita pada katak-katak sumur. Ingin kukatakan padanya, apakah Tuhan membenciku karena aku dan ibuku sering mengambil pinang orang, tapi aku kan hanya mengambil barang yang tak berguna lagi, pinang yang telah jatuh dan dibiarkan saja oleh pemiliknya. "Tapi kau tetap pencuri," bisik katak gemuk padaku.
"Benarkah?" Tanyaku lagi.
"Apa masih kurang jelas," sahutnya lagi.
Aku terpekur di dekat saringan air besar, semua orang mengatakan kalau aku pencuri. Ah aku baru mengakui kesalahanku sekarang, lebih baik aku mengatakan hal ini pada ibu lagi, agar perasaanku jadi tenang.
"Pen, bapak berharap padamu, kamu bisa mengarahkan ibumu sedikit-sedikit tentang agama, dan itu tidak terlalu sulit bagi Kau, karena akhir-akhir ini ibumu juga rajin pergi wirid ke surau. Bapak merasa agak aneh melihat ibumu setiap pagi pergi ke ladang orang mencari pinang."
"Iya Pak, saya akan berusaha," kataku.
"Pen, sebelumnya bapak minta maaf padamu, mungkin telah banyak yang menyinggung perasaanmu."
"Ah, bapak salah apa? Kurasa bapak tidak pernah menyinggungku."
"Yang menyuruh Kemal menasihatimu adalah bapak sendiri, sayangnya Kemal kurang mampu mengarahkanmu, mungkin ia terlalu keras dan kurang lihai berkata-kata."
"Iya Pak, saya sudah paham sekarang.'
"Sekali lagi bapak minta maaf Nak, karena bapak tidak bisa memberikan apa apa padamu," ucap Pak Bidin sambil menitikkan air matanya.
Melihat Pak Bidin menangis akupun berusaha juga untuk menangis, tapi air mataku tak mau keluar seakan-akan air itu sudah kering, namun perasaanku tetap haru. Aku juga merasa bersalah karena telah banyak berburuk sangka padanya, tapi kumerasa malu mengatakannya.
"Pen, bangun, sudah jam berapa ini, masih tidur juga Kau," teriak ibu padaku.
"Iya, iya. Hmphhh, ouah,” aku menganga lebar. Lalu kutarik lagi selimutku.
Sontak aku tersadar dari tidurku. Aku tahu kalau ibu begitu marah melihat orang yang tidur pagi hari. Kupaksakan tubuhku untuk duduk.
"Pen, Kau belah pinang-pinang yang di pojok itu, setelah itu Kau bawa pinang kering itu ke tempat Ajo Mamang."
"Siap, Bu."
Aku sedang berusaha mencari kesempatan untuk berbicara dengan ibu, tapi kutak tahu harus mulai dari mana.
"Pen, kenapa hidup kita tak pernah berubah ya? Dari tahun ke tahun itu-itu saja hidup kita, padahal ibu sering berdoa pada Tuhan.”
"Mungkin doa ibu tertolak," jawabku. Spontan saja kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku agak menyesali juga perkataanku barusan, takut kalau ibu merasa tersinggung. Seharusnya aku bilang kalau doa ibu belum. dikabulkan.
"Kau tahu, Pen. Apa yang menyebabkan doa kita ditolak?" Tanya ibu padaku.
"Misalnya, kita sering makan dari uang haram, harta haram. Mencuri juga, Bu. Termasuk mencari pinang ini, ini bukanlah hak milik kita kan?" Aku langsung saja mengutarakan pendapatku pada ibu, sengaja kubiarkan ibu berpikir sejenak untuk memahami kata-kataku tadi.
ibu mengernyitkan dahi, lalu berkata, "Kalau kita berhenti mencari pinang, lalu kita makan dengan uang dari mana? Uang sekolahmu juga dari pinang itu Nak," ucap ibu sedih.
"Kita harus cari jalan keluar, Bu. Ibu bisa menanyakan pada pemilik tanah-tanah terlantar di ujung jalan sana, aku akan berusaha mengolahnya untuk kita berladang."
Ibu terdiam, ia tak berkata-kata lagi.
"Pen, kemarin ibu sudah menyiapkan pinang-pinang kecil di belakang rumah, coba kau lihat nanti." Ibu tersenyum padaku.
Aku menangis dalam hati, bagaimanapun aku tidak mau menampakkan kesedihanku di hadapan ibu. Kecintaan ibu pada pohon pinang sudah begitu kuat tampaknya, berpuluh-puluh pinang kecil tersandar di belakang rumahku.
Catatan:
Teronggok= tertumpuk, tumpukan.
Tampang= bibit tanaman.
balataun = ungkapan kemarahan ala minang