Perempuan dengan Senyum Waktu
PEREMPUAN DENGAN SENYUM WAKTU
Deddy Arsya
IAIN Imam Bonjol Padang
WALAU sudah begitu letih, Sanama tak juga bisa memejamkan mata. Selangkangnya masih menyisakan perih. Pandangannya mengawang-awang jauh menusuk-nusuk langit-langit kelambu, seperti ingin terbang. Sayatan biola melinturkan ruang di hatinya yang beku, yang tiba-tiba beku..., sendi-sendinya pun terasa remuk redam.
Ia pun kemudian terbang meninggalkan raganya yang telanjang: pikirannya melayang-layang tak jelas tujuan, seperti tak lagi mengenal waktu, tak lagi mengenal pijakan. Tapi anehnya, dengan pikiran yang tak tentu seperti ilu, ia berhasil mengerti alur cerita yang dibawakan si tukang kaba di luar sana. Suasana hati telah menggiringnya masuk ke dalam cerita.
Ia lalu berdiri dan melangkah menuju jendela. Ia mengintip keluar lewat lubang-lubang gorden. Belasan orang masih setia menemani si tukang kaba yang menggulirkan ceritanya. Ada yang setengah terkantuk, tetapi terus mencoba untuk tetap setia, ada yang masih bertahan bermata nyalang menikmati gesekan biola yang semakin malam semakin melintuhkan hati itu.
Gelas-gelas kopi terlihat bertebaran di dekat mereka, di atas meja-meja yang telah disediakan tuan rumah. Sanama kemudian mengalihkan pandangan ke lelaki bertubuh besar di dekatnya, di atas ranjang yang telanjang. Lelaki itu tampak pulas. Mungkin letih. Dengkurnya menguap pelan. Ah, ia tak kuasa menatap wajah itu terlalu lama.
Ayam jantan berkokok lagi. Suaranya mengalun-berayun di udara. Sesekali ditimpal salak anjing yang jadi aneh, seakan-akan mengandung hantu-hantu di tiap-tiap renggangannya. Bulan semakin condong ke barat. Lingkaran cahaya yang mengelilinginya seperti perpusaran air seakan-akan menyeret bunyi gendang dan gesekan biola yang mendayu-dayu itu, yang tengah mencipta purnama lain dalam dada orang-orang.
Menerangi sesudut hati mereka yang menjadi batu, raga-raga yang letih dihadang kerja, pergi menakik getah ke rimba, bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, ada yang memilih berladang coklat, atau sawah hingga senja. Begitulah kehidupan orang-orang di kampung itu.
Sementara itu, hari pun telah hampir mencapai subuh, tetapi cerita belum juga menampakkan akan diakhiri. Orang-orang telah banyak yang memilih pulang. Tetapi, kaba harus tetap dilanjutkan walau tak seorang pun penonton yang masih tersisa. Sampai suara lain pun menggantikannya, suara yang lebih menyayat dari gesekan biola, lebih menyayat dari suara apa pun juga.
Gendang pun ditabuh. Suasana menjadi hidup. Memecah ritme waktu yang berjalan lamban. Raun sabalik pun dimulai. Meja, yang dijadikan sebagai panggung tempat si tukang dan pemain gendang, yang bergoyang menjadi olok-olokan para penonton. Olok-olokan itu diiringi gelak tawa yang bertimpal-timpal, membubung ke udara, seakan mengiringi suara gendang.
Si tukang kaba paham benar akan keadaan seperti itu. Ia menceburkan dirinya lebih jauh lagi, melagukan pantun-pantun kasmaran tentang muda-mudi yang salingjatuh cinta. Tak jarang, ia juga membawakan pantun tentang ironi percintaan antara anak bangsawan dan orang biasa, yang membuat penonton tertawa sinis dan mengumpat.
sio-sio kanduang pandang
aie angek
ondeh adiek
nan bakaruhi
sio-sio awak anak dagang
urang bapunyo
ondeh adiek
nan tasayangi
Di lain pantun, si Tukang Kaba membawakan nasibnya sendiri.
anak urang dari kapalo banda
mambali lauk tigo ikua
bagulai sajo nan jo balango
kok jadi beko mangarang kaba
kalau takantuak bulieh tidua
bialah tukang nak mangango...
Suara penonton pun meledak. “Ambieklah malang nan di tukang!”
Setiap olok-olokan semacam itu dari salah seorang penonton membuat penonton lainnya terpingkal-pingkal. Sampai gigi palsu orang-orang tua itu tanggal dan jatuh ke tanah. Sementara itu, air liur mereka menyembur keluar.
Kadang si tukang kaba menggoda lawan mainnya, perempuan pemegang gendang.
ramilah kampuang nak rang solok
rami dek anak koto pauh
ka pauh sadang sanyo rayo
tapi kok nyampang upiek takalok
kok nyampang beko ambo kicuah
jaanlah upiek berang pula... Si perempuan hanya tersenyum, sadar kalau pantun itu ditujukan kepadanya. Ia pun kemudian mengambil alih, balas menyindir.
lapeh nan dari aie aji
ka balai anak pasa lamo
kok lai sayang kamanjadi
usah ditahan lamo-lamo
nan parapat jo danau toba
pulau simosir nan di tangahnyo
bialah bansaik asa ba-uda
ka sanang juo makan jo samba lado
jiko Indak uda di tangan urang
baralah kasanang di dalam hati
siang jo malam uda tabayang
lai kabuliah kasiah manjadi
Penonton pun terpingkal lagi. Lalu melontarkan komentar-komentar sesuka hati, sekehendak apa yang terasa di otak mereka.
“Gungguang tabang, Tukang!”
Tubuh mereka berdua bergoyang. Meja pun ikut bergoyang. Tuan rumah mulai cemas kalau-kalau “panggung” itu akan ambruk. Mereka lalu bersibuk diri mencari sesuatu untuk menopangnya.
Raun sabalik pertama ini biasanya cukup lama, bahkan sampai berjam-jam. Tergantung kalau banyak penonton yang protes dan mulai bosan. Atau perempuan pemegang gendang telah penat, keringat dingin telah membasahi tubuhnya. “Sudah cukup, Tukang. Kini berceritalah!”
Si tukang kaba pun mengalah. Tali rabab dijentik mengiut panjang. Kemudian digesek lagi, menghasilkan irama yang berbeda dari sebelumnya (yang terdengar lebih riang, berganti menyayat melinturkan kalbu). Beberapa judul kaba diuraikannya. Tentu saja setelah terlebih dahulu bertanya pada tuan rumah. Tali rabab dijentik lagi, ditekan dalam-dalam. Olok-olokan penonton bergema lagi.
“Diapakan itu, Tukang?”
“Agieh sampai putuih!” yang lain menimpali. Kaba bergulir sesuai zamannya. Tak banyak lagi yang memilih kaba Malin Deman, lelaki yang menikahi putri yang turun dari langit itu. Atau memilih cerita Sutan Palembang,lelaki yang keramat hidup-hidup yang berhasil mengalahkan garuda kepala sembilan.
Orang lebih memilih cerita masa kini, seperti judul Pembenci kepada Minantu, Aisyah, Asril Anak Padang Panjang, Salendang Dunia dan judul lainnya walau masih berputar-putar tentang mereka yang meninggalkan kampung halaman menuju rantau jauh. Kesedihan demi kesedihan yang menimpa tokoh utama yang digambarkan selalu sabar dan baik hati: orang miskin yang menjadi kaya raya karena kesabarannya.
Dan juga, kepandaian seorang tukang kaba tidak saja ditentukan oleh kelihaiannya menggesek talinan empat itu, tetapi juga ditentukan oleh kelihaiannya menyelipkan pantun-pantun pada tempat dan waktu yang tepat dalam cerita. Pantun seakan menjadi pengatur alur, seperti irama pada setiap gesekan, mengalihkan babak demi babak yang bergulir. Tarikan napas si tukang kaba dan hembusan asap rokok para penonton, seperti bersatu dalam dingin malam itu.
Sanama, perempuan dengan senyum membiru, menghitam, menguning, memerah, memutih ..., seperti milik semua hari semua waktu. Senyumnya menjelma apa saja, waktu seperti mengiringinya menjelmai apa pun, ia telah mengikuti apa yang diinginkan mamaknya walau ia sendiri tak bahagia dengan itu. Dan kini, tiba-tiba ia berpikir untuk menjadi perempuan khianat dalam kaba yang tengah dimainkan, yang membunuh lelakinya di malam pertama. Kaba yang tak tersebut, tetapi ada. Benar-benar ada. Entah tukang mana yang bermula mengarangnya. Siapa yang tahu?
Tuan bertubuh besar itu mendekatinya, mendekapnya lembut dari belakang. Tangan kekar tuan itu melingkar sedikit di bawah susu Sanama. Ada kehangatan yang mengalir, Ada yang berdegup lebih cepat, entah di mana.
Seandainya lelaki itu paham dengan apa yang tengah diceritakan si tukang kaba di luar sana, tentu ia akan sedikit terkejut. Tentang perempuan yang membunuh lelakinya di malam pertama? Sanama tiba-tiba tak bisa lagi tersenyum. Waktu seperti tak punya daya untuk berkisar. Ia paksa dirinya untuk tersenyum, tetapi senyumnya berubah hitam. Lelaki bertubuh besar itu masih juga merangkulnya lebih erat. Sesekali lelaki itu menciumi rambutnya yang bau kemiri. Kedua tangan Sanama yang putih terentang memegang kedua sisi kusen jendela. Mata padang lamun lelaki itu menyala dalam gelap.
Sanama seperti tak tersentuh lagi hiruk-pikuk di luar sana. Ia tengah memikirkan hal lain. Jauh sekali. Lebih riuh dari bunyi gendang yang ditabuh. Malam beraroma lain, sesuatu yang entah apa menyelimutinya kini. Bercampur-baur dengan aroma kapur barus, kain baru yang bau pabrik, semuanya berputar-putar dalam kepalanya. Sesekali irama rabab yang mendayu-dayu mencoba masuk, tetapi cepat-cepat diusir oleh bayangan lain.
Lama orang berdua itu berpelukan seperti itu. Rambut Sanama bergeraian, menyebarkan aroma kemiri. Bajunya terseret ke belakang. Memperjelas lekuk buah dadanya yang runcing. Membuat tubuhnya kelihatan lebih tegap. Entah mengapa, semua yang dirasakannya seperti ingin menguap, menendang-nendang batok kepalanya, mencakar-cakar ingin keluar. Ia tiba-tiba membayangkan menjelma si perempuan khianat dalam kaba yang tengah dimainkan itu. Tetapi, ia dengan cepat pula membuang pikiran jahatnya itu.
“Sekali-kali tidak!”
“Tidak!”
Ia hampir saja berteriak. Cerita itu hanya ada dalam kaba yang dikarang sendiri oleh si tukang kaba, yang dipilih penonton karena terdengar ganjil dan aneh. Perempuan yang membunuh lelakinya di malam pertama?
“Kaba tetaplah kaba!” pikirnya lagi.
Ia teringat pada percakapan mamak dan amaknya suatu senja di ruang tamu. Ketika itu ia sedang berada di dalam kamarnya.
“Jika anakmu kawin dengan tuan itu, tentu cucumu akan pintar-pintar sepertinya, Rambutnya akan pirang pula. Dan, matanya akan seindah padang lamun di lautan. Bagaimana tidak, Sati'at yang dikawini tuan Philipe beranak gagah, cerdas pula seperti bapaknya.”
“Tapi, ditinggalkan? Menjadi bunyian orang di penjuru kampung?” suara Amak terdengar lembap.
“Memang seperti itulah perjanjiannya, Rosni! Kalau sudah terbangun rumah besar, sudah berjuta uang kita di bank, berbarang emas pula, jadi janda anakmu yang kau takutkan? Seperti perempuan, lelaki pun dapat dibeli sekehendak hati!”
Sesaat hening menyergap.
“Orang-orang yang kau dengarkan? Hah, itu karena mereka tak bernasib sebaik kita, tak punya anak gadis rancak...“
Amaknya terisak. Pintu terdengar bergetar.
Segala percakapan itu masih ia ingat, seperti terpampang begitu rupa. Ia coba untuk tidak mengingat apa-apa, tidak mengenang siapa pun, tapi tak bisa. Ia menangis. Beberapa titik pecah diburai angin yang juga lembap. Butir-butirnya seperti lenyap. Pelukan lelaki itu terasa menyesakkan dadanya. Ia ingin meronta-ronta. Ia ingin lepas dari semua ini.
Ia tiba-tiba ingat Uda Kiman, yang sebelum pergi ke Jawa pernah berjanji akan mempersuntingnya. Ia mencintai lelaki itu walaupun tak bisa memberi apa-apa kepadanya. Ia pernah mengatakan pada Amak tentang Uda Kiman yang berniat hendak mempersuntingnya itu. Amak tak melarang dan tak pula mengiyakan.
“Kalau dibujuk, Amak pasti mau, Uda!” katanya pada Uda Kimannya itu suatu kali, sebelum pergi ke Jawa.
Tapi, mamaknya menginginkan lain. Ia memaksa Sanama kawin dengan tuan Michael, orang Jerman, yang bekerja sebagai tenaga ahli di perusahaan perkebunan kelapa sawit di kota kabupaten itu. Kalau Abak masih hidup, mamaknya tak akan berani memaksa-maksa serupa itu.
Tetapi, kini ia tak bisa apa-apa selain menurut saja pada kehendak mamaknya itu. Apalagi, sekolah kedua adiknya yang di Padang itu, mamaknya yang membiayai. Sejak Abak pergi setahun yang lalu, Amak mulai mengisyaratkan kedua adiknya itu untuk berhenti. Amak tak bisa lagi membiayai. Amak kini hanya mengupah ke sawah orang. Sawah yang dulu mereka garap bersama abaknya kini telah ditebus oleh yang punya. Uang tebusan itu telah pula digunakan untuk biaya .... untuk masuk perguruan tinggi di Padang, dan .... dengan Amak sepeninggal Abak.
Ingatan Jain pun menyesak di kepalanya. Ia tak tahu apa yang akan dikatakannya nanti kepada Uda Kiman. Ia sudah mengirim surat atas semua permasalahan ini. Suratnya itu tak pernah dibalas-balas. Kata seorang temannya yang baru kembali dari Jawa, yang kebetulan bertemu Kiman di sana, “Ia tak akan pulang-pulang. Kau telah mengecewakan hatinya. Ia bekerja di Jawa selama ini hanya karena supaya bisa menikahimu!”
Betapa tambah renyuh hatinya mendengar itu. Ia telah terlalu bersalah pada orang yang mencintainya...dan ia juga mencintai lelaki itu.
“Maafkan saya, Uda!” bisiknya dalam hati yang terasa mengecil dan lisut itu.Air matanya menetes lagi. Ia tak ingin mengenang siapa pun kini. Ia telah coba meyakinkan dirinya berulang kali, tapi tak bisa.
Sementara itu, tuan Michael masih memeluknya dari belakang. Tubuh mereka .... bergoyang pelan, seperti berdansa dengan iringan musik yang juga begitu pelan. Lelaki itu seakan-akan tengah bertarung dengan degup jantungnya sendiri, yang kian lama kian terburu. Keberadaan mereka di sana membuat bayangan hitam di dinding kamar yang putih susu. Sesekali bayangan itu bergoyang lebih kencang karena angin menggerai gorden, seperti bayangan hantu yang menyeramkan.
Sanama melenguh pelan. Ia mendesis. Ia pun berbalik menghadap lelaki itu. Air matanya lenyap dalam gelap. Lelaki itu makin merapat.
Sanama mencoba tersenyum.
Catatan: Pantun dikutip secara serampangan dari sebuah pertunjukan rabab