Peraturan Tata-Tertib Komite Nasional Pusat

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Tata-Tertib Komite Nasional Pusat

PERATURAN TATA-TERTIB KOMITE NASIONAL
(Disahkan dalam rapat
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
tanggal 1 Desember 1949).

BAB I.
TENTANG KETUA DAN WAKIL KETUA

Pasal 1.

Kewajiban Ketua yang terutama, ialah:
a. Merancangkan daftar pekerjaan;
b. mengatur dan memimpin pekerjaan Komite Nasional Pusat;
c. Menjagaketertiban dalam rapat;
d. Memperhatikan dan menjaga, supaya Peraturan Tata-tertib ini diturut dengan seksama;
e. Memberi ijin untuk berbicara;
f. Menyimpulkan persoalan yang diputuskan oleh Komite Nasional Pusat;
g. Memberi kesempatan kepada pembicara untuk mengucapkan pidatonya dengan tidak terganggu;
h. Memberitahukan hasil pemungutan suara;
i. Menjalankan putusan yang diambil oleh rapat.

Pasal 2.

(1) Pada waktu diadakan perundingan, Ketua hanya boleh berbicara untuk menunjukkan di mana pada hakekatnya letaknya perselisihan atau jika pembicaraan menyimpang, ia membawa pembicaraan kembali kepada pokoknya.

(2) Jika Ketua sendiri hendak berbicara tentang soal yang sedang dirundingkan, ia harus meninggalkan kursi Ketua dan baru boleh menduduki kursi ini kembali, bilamana perundingan tentang soal itu telah selesai.

Pasal 3.

(1) Dalam hal, seperti yang dimaksudkan pada pasal 2 ayat (2) demikian juga, jika Ketua berhalangan, maka pekerjaan Ketua dilakukan oleh Wakil Ketua Badan Pekerja.

(2) Jika Wakil Ketua Badan Pekerja berhalangan, maka Ketua diwakili oleh anggota yang berusia paling tinggi.

BAB II.
TENTANG SEKRETARIS.
Pasal 4.

(1) Sekretaris wajib menyelenggarakan pemberitaan stenografis dari tiap-tiap rapat.

(2) Pemberitaan itu memuat juga nama-nama anggota, yang menaruh tanda-tangan dalam daftar yang dimaksudkan pada pasal 9 ayat (1) dan juga nama-nama mereka yang menyatakan setuju atau tidak ketika diadakan pemungutan suara, suatu catatan pendek tentang isi surat-surat masuk, pemberitaan-pemberitaan, usul-usul dan semua keputusan yang diambil oleh rapat.

BAB III.
TENTANG PANITIA
Pasal 5.

(1) Jika dirasa perlu, setelah berembuk dengan Wakil Ketua, Ketua mengangkat anggota, Ketua dan Wakil Ketua dari sesuatu Panitia. Pengangkatan itu dimintakan persetujuan kepada rapat.

(2) Jika dirasa perlu, Ketua setelah berembuk dengan Wakil Ketua berhak menambah anggota sesuatu Panitia. Penambahan ini diberitahukan kepada rapat Komite Nasional Pusat.

(3) Ketua tiap-tiap Panitia menyelenggarakan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Tata-tertib ini.

(4) Atas permintaan Ketua Komite Nasional Pusat, Ketua tiap-tiap Panitia haus memberi laporan kepada Komite Nasional Pusat tentang pekerjaan panitianya.

(5) Ketua Komite Nasional Pusat dapat menghadiri rapat-rapat Panitia, sekalipun ia bukan anggotanya. Ia hanya boleh memberi nasehat.

(6) Perundingan dalam semua panitia dianggap sebagai rahasia.

BAB IV
TENTANG RAPAT
Pasal 6.

Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri dan Menteri-Menteri mempunyai tempat duduk yang tertentu dalam rapat.

Pasal 7.

Selain rapat terbuka yang pertama, rapat menetapkan hari dan jam berapa rapat terbuka yang akan datang diadakan.

Pasal 8.
(1) Acara rapat Komite Nasional Pusat dirancang oleh Badan Pekerja.

(2) Rapat Komite Nasional Pusat mensjahkan acara tersebut.

(3) Usul untuk mengubah acara itu harus dimajukan dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 29 ayat (1).

Pasal 9.
(1) Jika datang dalam rapat, tiap-tiap anggota harus menaruh tandatangannya dalam daftar-hadir.

(2) Seorang anggota yang menanda tangani daftar-hadir dan selama waktu dilakukan perundingan meninggalkan rapat dan tidak akan datang kembali lagi, harus memberitahukan maksudnya kepada Ketua.

Pasal 10.

Setelah rapat dibuka, Ketua memberitahukan surat-surat yang masuk yang dianggapnya penting jika isi surat-surat itu meminta keputusan, ia memajukan hal itu kepada rapat.

Pasal 11.

(1) Rapat sah, jika dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota Komite Nasional Pusat seluruhnya.

(2) Jika menurut daftar hadir, pada jam pembukaan yang sudah ditetapkan, jumlah yang dimaksudkan pada ayat (1) dalam pasal ini tidak tercapai, Ketua dengan anggota-anggota yang hadir menetapkan waktu rapat yang akan datang.

Pasal 12.

(1) Rapat dapat memutuskan mengadakan rapat tertutup atas usul Pemerintah, Ketua atau usul sekurang-kurangnya 10 orang anggota.

(2) Jika bermusyawarah secara tertutup, rapat dapat memutuskan bahwa tentang hal yang dirundingkan dirahasiakan.

(3) Hal merahasiakan itu harus diperhatikan oleh semua anggota, dan juga oleh mereka yang turut mengetahui tentang yang dirundingkan itu.

Mencabut hal merahasiakan itu hanya boleh dilakukan oleh rapat yang bermusyawarah secara tertutup juga.

(4) Selanjutnya, jika dalam rapat tidak hadir seorang stenografis, maka Sekretaris membuat catatan singkat tentang perundingan.

Pasal 13.

(1) Untuk dapat berbicara dalam sesuatu giliran, lebih dulu anggota menuliskan namanya dalam daftar pembicara.

(2) Jika Ketua merasa perlu, ia berunding dengan anggota-anggota yang namanya tersebut dalam daftar itu tentang membatasi jumlah anggota yang berbicara dan lamanya tiap-tiap anggota berbicara.

(3) Urutan giliran bicara adalah menurut urutan dalam daftar pembicara, kecuali dalam hal yang istimewa menurut pendapat Ketua

Pasal 14.

(1) Anggota berbicara, sesudah mendapat ijin dari Ketua.

(2) Pembicara tidak boleh diganggu waktu mengucapkan pidatonya.

(3) Anggota berbicara berdiri di tempatnya atau di tempat yang disediakan untuk keperluan itu.

Pasal 15.

(1) Jikalau seseorang yang hadir dalam rapat mengucapkan perkataan yang menghina atau menyinggung perasaan atau ia berlaku mengganggu ketertiban, maka ia diperingatkan akan ketertiban oleh Ketua.

(2) Jika seseorang pembicara menyimpang dari soal yang dirundingkan, maka Ketua memperingatkan hal itu kepadanya, dan meminta, supaya kembali kepada soal yang dirundingkan.

(3) Jika seseorang pembicara yang telah diperingatkan masih terus mengeluarkan kata-kata yang menghina atau menyinggung perasaan, berlaku mengganggu ketertiban, atau menyimpang dari soal perundingan, maka Ketua dapat melarang ia berbicara selama ada rapat tentang soal yang dibicarakan.

(4) Atas usul Ketua, maka selama waktu yang tertentu, rapat dapat melarang seseorang anggota menghadiri rapat selanjutnya, bilamana ia dengan tingkah-lakunya mengganggu rapat untuk menyelesaikan hal-hal dengan tertib. Terhadap usul itu tidak diadakan perundingan.

Jika usul itu diterima, maka anggota itu wajib dengan segera meninggalkan ruangan rapat.

Pasal 16.

(1) Jika perlu, untuk menjaga ketertiban, Ketua menghentikan rapat atau mengundurkannya pada hari yang lain.

(2) Lamanya penghentian itu tidak lebih dari satu jam; pengunduran pada hari lain itu tidak boleh lama dari pada hari berikutnya.

(3) Kalau perlu, Ketua meminta pertolongan pihak-kekuasaan yang berwajib, untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam rapat.

Pasal 17.

(1) Kecuali yang memajukan usul tentang soal yang dibicarakan, seorang anggota tidak boleh berbicara lebih dari dua kali tentang soal pembicaraan itu, kecuali jika rapat mengijikannya.

(2) Anggota yang tidak mencatatkan namanya pada giliran pertama, tidak diperkenankan berbicara pada giliran kedua.

(3) Pada permulaan atau selama perundingan, Ketua dapat menentukan berapa lamanya anggota-anggota dapat berbicara tentang sesuatu soal pembicaraan, kecuali kalau rapat berpendapat lain.

(4) Kalau Ketua menganggap perlu, pembicaraan dilakukan dalam tiga giliran. Pada giliran ketiga, hanya boleh berbicara anggota yang sudah berbicara pada giliran pertama dan/atau kedua.

Pasal 18.

Jika waktu untuk berbicara telah lampau, maka Ketua meminta supaya pembicara berhenti. Pembicara itu haruslah segera mengabulkan permintaan itu.

BAB V

TENTANG PEMUNGUTAN SUARA

Pasal 19.

(1) Setelah perundingan tentang sesuatu soal selesai, maka rapat mulai memungut suara.

(2) Jika pemungutan suara dilakukan seorang demi seorang (hoofdelijk), maka lebih dahulu ditentukan dengan cara undian dari nomor mana pada daftar hadir akan dimulai pemungutan suara. Ketua memberi suara yang penghabisan.

(3) Jika dipanggil seorang demi seorang, maka tiap-tiap anggota wajib memberikan suaranya dengan kata-kata setuju atau tidak setuju, dengan tiada tambahan apa-apa.

(4) Suara blangko tidak diperkenankan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan, anggota yang dengan lisan atau dengan tulisan tidak dapat memberikan suara "setuju" atau "tidak setuju", harus meninggalkan rapat pada waktu pemungutan suara dilakukan.

Jika dalam surat-suara dituliskan juga perkataan "blangko" maka anggota yang menuliskan itu dianggap tidak hadir.

(5) Jika pemungutan suara tentang soal dilakukah tertulis, maka anggota menuliskan dalam surat-suara ita: 1. namanya, 2. partainya, 3. satu daripada kata-kata: setuju atau tidak setuju dan 4. tanda tangan-nya. Ketua membentuk satu panitia, yang terdiri sekurang-kurangnya dari tiga anggota utuk menetapkan hasil pemungutan suara.

Hasil itu diumumkan oleh penitia dalam rapat dengan menyebutkan nama-nama anggota yang setuju dan tidak setuju.

(6) Jika suara tidak dipungut seorang demi seorang, pemungutan suara dapat juga dilakukan dengan cara duduk atau berdiri.

Jika kurang terang hasilnya, atas permintaan Ketua atau seorang anggota dapat hasil itu ditentukan dengan pemungutan suara secara memanggil seorang demi seorang.

(7) Jika tidak diadakan pemungutan suara secara memanggil seorang demi seorang, maka tiap-tiap anggota berhak, dengan tidak memberi alasan meminta dicatat, bahwa ia tidak setuju.

(8) Pada waktu akan mengadakan pemungutan suara, Ketua lebih dulu memeriksa, apakah jumlah anggota yang hadir dalam rapat, masih sejumlah yang dimaksudkan pada pasal 11 ayat (1).

(9) Putusan baru sah, jika diambil dengan suara-terbanyak-mutlak.

(10) Jika dalam suatu rapat, terhadap sama banyak dengan suara tidak setuju, maka pembicaraan tentang usul itu diundurkan pada rapat berikut atau pada waktu lain yang ditentukan oleh rapat.

(11) Jika dalam rapat berikutnya ini suara setuju masih sama banyaknya dengan suara tidak setuju, maka putusan diambil dengan undian.

(12) Untuk keperluan undian itu, Ketua menuliskan dalam dua surat undian masing-masing kata-kata "setuju" dan "tidak setuju". Dengan disaksikan sekurang-kurangnya oleh tiga orang anggota, Ketua meminta kepada seorang anggota untuk mengambil salah satu surat undian. Putusan jatuh menurut perkataan yang tercantum dalam surat undian ini.

Pasal 20

Pada tiap-tiap pemungutan suara tentang orang, Ketua mengangkat 3 anggota pencatat suara. Setelah Ketua memberitahukan jumlah anggota yang hadir, nama pencatat suara yang pertama dan jumlah surat-suara, maka berturut-turut oleh pencatat suara yang pertama surat suara dibaca.

Kedua pencatat yang lain mencatat suara-suara.

Akhirnya pencatat suara yang pertama mengumumkan hasil pemungutan suara. Tambahan-tambahan pada surat-suara yang tidak mengenai maksud pemungutan suara tidak dibacakan, sedang suara-suara yang diisi dengan kata "blanko" dianggap tidak sah.

Pasal 21.

Untuk tiap-tiap calon diisi satu surat-suara, yang memuat nama calon dan keterangan yang diperlukan tentang calon itu, Jika ada keragu-raguan, maka rapat memutuskan.

Pasal 22.

Untuk menetapkan suara terbanyak, maka surat-suara yang tidak diisi atau tidak diisi sebagaimana mestinya, tidak terhitung dalam jumlah suara yang sah.

Pasal 23.

(1) Suara terbanyak yang diperoleh, dinyatakan tidak sah, jika jumlah surat-suara yang masuk ternyata melebihi jumlah anggota yang telah mengeluarkan suara, dan jika kelebihan itu akan dapat mempengaruhi hasil pemungutan suara.

(2) Pemungutan suara tidak sah, jika jumlah surat-suara yang telah diisi rengan semestinya, ternyata kurang dari jumlah yang dimaksudkan pada pasal 11 ayat (1).

Pasal 24.

Jika tidak ada seorang pun yang mendapat suara terbanyak mutlak,pada pemungutan suara yang pertama, maka diadakan pemungutan suara yang kedua.

Pasal 25.

(1) Jika pada pemungutan suara yang kedua tidak ada juga yang mendapat suara-terbanyak-mutlak, maka pemungutan suara yang ketiga diadakan tentang empat orang yang memperoleh suara yang tcrbanyak.

(2) Jika pada pemungutan suara yang kedua itu tidak ada yang memperoleh suara terbanyak-mutlak dan pada pemungutan suara itu hanya diberikan suara kepada dua atau tiga orang, maka pemungutan suara yang ketiga hanya terbatas pada dua atau tiga orang ini.

Pasal 26.

Jika masih belum juga diperoleh suara terbanyak mutlak pada suara yang ketiga. maka diadakan lagi pemungutan suara keempat tentang dua orang, yang pada pemungutan suara ketiga itu beroleh suara yang terbanyak.

Pasal 27.

(1) Jika pada pemungutan suara yang kedua atau yang ketiga belum ada kepastian di antara siapa harus diadakan pemungutan suara lagi, atau pada pemungutan suara yang keempat jumlah suara sama banyaknya, maka undianlah yang menetapkan. Dalam hal yang pertama pemungutan suara diulangi di antara calon-calon yang namanya tersebut dalam dua surat-und ian, yang diambil rlari korak-undian, sedang dalam hal yang kedua, yang dinyatakan terpilih, ialah calon yang namanya tersebut dalam surat undian yang diambil pertama kali.

(2} Untuk melaksanakan putusan di atas ini, surat-surat undian dilipat dengan rapi, dimasukkan dalam kotak undian oleh salah seorang pencatat suara dan oleh pencatat suara yang lain satu-persatu diambil dan dibacakan.

BAB VI

TENTANG PENINJAU

Pasal 28.

(1) Segala tanda yang menyatakan persetujuan atau celaan dari pihak peninjau dilarang.

(2) Ketua menjaga, supaya larangan ini diperhatikan oleh peninjau dan supaya suasana selalu tenteram.

(3) Jika ada pelarangan, ia dapat meminta keluar orang yang mengganggu ketertiban atau peninjau semuanya.

(4) la berhak menyuruh mengeluarkan peninjau-peninjau yang tidak memperhatikan permintaannya, Jika perlu dengan meminta pertolongan kepada pihak kekuasaan yang berwajib.

BAB VII.

BAB TENTANG MEMAJUKAN USUL DAN LAIN-LAIN.

OLEH ANGGOTA

Pasal 29.

(1) Sekurang-kurangnya 10 orang anggota dapat meminta putusan kepada rapat tentang sesuatu soal, yang bersangkutan dengan apa yang sedang dibicarakan atau tentang sesuatu soal yang lain.

(2) Rancangan-putusan seperti yang dimaksudkan pada ayat (I),dengan disertai penjelasan, harus disampaikan kepada Sekretaris.

( 3) Usul itu selekas-lekasnya baru dapat dibicarakan dalam rapat berikut.

Pasal 30.

Sekurang-kurangnya 10 orang anggota dapat meminta persetujuan rapat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah tentang soal-soal yang tidak termasuk dalam acara pembicaraan.

Pasal 31.

Tiap-tiap usul untuk mengadakan pengusutan (anquete) oleh anggota-anggota Komite Nasional Pusat disampaikan kepada Ketua dengan surat yang ditanda-tangani oleh sekurang-kurangnya 10 orang anggota.

Pasal 32.

Tiap-tiap anggota, untuk memperoleh keterangan, berhak memajukan pertanyaan kepada Pemerintah dengan surat yang disampaikan kepada Pemerintah dengan perantaraan Ketua.