Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 08/PMK/2006

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 08/PMK/2006  (2006) 

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 08/PMK/2006

TENTANG

PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA

KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

b. bahwa ketentuan hukum acara untuk perkara sengketa kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi belum cukup lengkap; c. bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c di atas, perlu diterbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara;



Mengingat :

1. Pasal 24C ayat (1) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);



Memperhatikan :

Hasil Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi;



MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA.


BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Mahkamah ialah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

3. Hakim adalah Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi.

4. Panitera adalah Panitera Mahkamah Konstitusi.

5. Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

6. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.

7. Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.

8. BRPK adalah Buku Registrasi Perkara Konstitusi.



BAB II

PEMOHON DAN TERMOHON


Pasal 2


(1) Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.



(2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

(3) Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).


Pasal 3


(1) Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. (2) Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. (3) Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.


Pasal 4


(1) Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. (2) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. (3) Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat keterangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.


BAB III

PERMOHONAN DAN TATA CARA PENGAJUAN


Pasal 5


(1) Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:

a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;

b. nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;

c. uraian yang jelas tentang:

1. kewenangan yang dipersengketakan;

2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;

3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.


(2) Permohonan dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.

(3) Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat pula dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya.

(4) Permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa dibebani biaya perkara.


Pasal 6


(1) Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai alat-alat bukti pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen pendukung.

(3) Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.

(4) Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon harus menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan yang berisi identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan.

(5) Dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemohon masih dapat mengajukan ahli dan/atau saksi selama dalam pemeriksaan persidangan.


BAB IV

PEMERIKSAAN ADMINISTRASI DAN REGISTRASI

Pasal 7


(1) Petugas kepaniteraan memeriksa kelengkapan administrasi permohonan beserta lampirannya. ( 2) Apabila permohonan belum lengkap, pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima oleh pemohon.

(3) Apabila pemohon tidak melengkapi permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasi dan mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon.


Pasal 8

(1) Panitera mencatat permohonan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 5 dan Pasal 6, dalam BRPK disertai penomoran perkara.

(2) Panitera memberikan Akta Registrasi Perkara kepada pemohon.

(3) Mahkamah menyampaikan permohonan yang sudah diregistrasi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.

(4) Penyampaian permohonan kepada termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara.

(5) Dalam hal pemohon menarik kembali permohonan yang telah diregistrasi sebelum diterbitkannya ketetapan tentang Panel Hakim, Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi yang harus diberitahukan kepada termohon.

(6) Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam BRPK dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.


BAB V

PENJADWALAN DAN PANGGILAN SIDANG


Pasal 9

(1) Panitera menyampaikan berkas permohonan yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah untuk ditetapkan susunan Panel Hakim.

(2) Panitera menetapkan Panitera Pengganti untuk membantu Hakim dalam proses penyelesaian perkara.

(3) Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja sejak permohonan diregistrasi.

(4) Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan kepada pemohon dan termohon, serta diumumkan kepada masyarakat.

(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui papan pengumuman Mahkamah yang khusus dibuat untuk itu dan situs Mahkamah (www.mahkamahkonstitusi.go.id), serta media lainnya.


Pasal 10


(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) merupakan panggilan sidang yang harus sudah diterima oleh pemohon dan termohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari persidangan.

(2) Panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara resmi oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara panggilan serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail).

(3) Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara di daerah.


BAB VI

PEMERIKSAAN

Bagian Pertama

Pemeriksaan Pendahuluan


Pasal 11


(1) Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim.

(2) Pemeriksaan Pendahuluan dihadiri oleh pemohon dan/atau kuasanya, kecuali dalam hal adanya permohonan putusan sela, dihadiri pula oleh termohon dan/atau kuasanya.

(3) Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim:

a. memeriksa kelengkapan permohonan;

b. meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang mencakup kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan pokok permohonan;

c. wajib memberi nasihat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan administrasi, materi permohonan, maupun pelaksanaan tertib persidangan;

d. wajib mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan;

e. memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan oleh pemohon.

(4) Dalam hal permohonan belum lengkap dan/atau belum jelas, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

(5) Dalam hal permohonan telah lengkap dan jelas, hasil Pemeriksaan Pendahuluan dilaporkan kepada Rapat Permusyawaratan Hakim.


Bagian Kedua

Putusan Sela

Pasal 12

(1) Setelah Pemeriksaan Pendahuluan, Mahkamah dapat mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah.

(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berupa tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.

Pasal 13


(1) Putusan sela dapat ditetapkan atas permintaan pemohon.

(2) Permohonan putusan sela yang diajukan oleh pemohon harus disertai alasan-alasan yang jelas.

(3) Jika dipandang perlu, Majelis Hakim dapat menetapkan putusan sela demi kepentingan hukum.

(4) Putusan sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

(5) Putusan sela yang menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan dapat dijatuhkan apabila:

a. Terdapat kepentingan hukum yang mendesak yang, apabila pokok permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serius;

b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.


Bagian Ketiga

Pemeriksaan Persidangan

Pasal 14

(1) Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim.

(2) Pemeriksaan Persidangan, berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim, dapat dilakukan oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim.


Pasal 15


Pemeriksaan Persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 bertujuan untuk:

a. memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon;

b. mendengarkan keterangan dan/atau tanggapan termohon;

c. memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun alat bukti lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh pihak terkait langsung;

d. mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait apabila ada dan/atau diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung maupun kepentingan yang tidak langsung;

e. mendengarkan keterangan ahli dan saksi, baik yang diajukan oleh pemohon maupun oleh termohon.

Bagian Keempat

Pembuktian

Pasal 16

(1) Beban pembuktian berada pada pihak pemohon.

(2) Dalam hal terdapat alasan yang cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak termohon.

(3) Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.


Pasal 17

(1) Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait langsung dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

(2) Alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum.

(3) Penentuan sah tidaknya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel.

(4) Apabila dipandang perlu Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat, dengan dihadiri oleh para pihak. (5) Biaya yang diperlukan oleh Majelis Hakim untuk pemeriksaan setempat dibebankan pada anggaran Mahkamah. (6) Biaya yang diperlukan oleh para pihak untuk menghadiri pemeriksaan setempat dibebankan pada masing-masing pihak.


Bagian Kelima

Penarikan Kembali Permohonan

Pasal 18

(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan penarikan kembali secara tertulis.

(2) Dalam hal pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dimulainya pemeriksaan persidangan, Mahkamah dapat mempertimbangkannya setelah mendengar keterangan termohon.

(3) Dalam hal Mahkamah mengabulkan permohonan penarikan kembali setelah dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah menerbitkan ketetapan dan memerintahkan kepada Panitera untuk mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan salinannya disampaikan kepada para pihak.

(4) Dalam hal Mahkamah menolak permohonan penarikan kembali setelah dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah menyatakan melanjutkan pemeriksaan.

Pasal 19

(1) Penarikan kembali permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh pemohon.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional;

b. tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan

c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.


BAB VII

RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM


Pasal 20


(1) Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup dan rahasia.

(2) RPH dipimpin oleh Ketua Mahkamah, atau apabila Ketua berhalangan RPH dipimpin oleh Wakil Ketua, atau apabila Ketua dan Wakil Ketua berhalangan, RPH dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh Hakim.

(3) RPH diselenggarakan untuk pengambilan keputusan atau untuk tujuan lainnya.


Pasal 21

(1) RPH untuk pengambilan keputusan antara lain meliputi pengambilan keputusan mengenai mekanisme pemeriksaan dan kelanjutan perkara, putusan sela, serta putusan akhir.

(2) RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.

(3) Pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat.

(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak, dan apabila pengambilan keputusan dengan suara terbanyak tidak tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH menentukan.

(5) Dalam hal RPH untuk pengambilan keputusan akhir tidak mencapai mufakat, pendapat yang berbeda (dissenting opinion) ataupun alasan yang berbeda (concurring opinion) dimuat dalam putusan.


Pasal 22

(1) Dalam RPH untuk pengambilan keputusan mengenai putusan akhir, setiap Hakim wajib menyampaikan pendapat hukum secara tertulis.

(2) Pendapat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari berkas asli yang bersifat rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan.


Pasal 23

(1) RPH untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (3) antara lain diskusi curah pendapat (brain storming) dan perancangan (drafting) putusan setelah musyawarah.

(2) RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan persyaratan kuorum.


BAB VIII

PUTUSAN


Pasal 24

(1) Putusan akhir diambil dalam RPH yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.

(2) Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.

(3) Putusan bersifat final dan mengikat.


Pasal 25

(1) Putusan diambil berdasarkan ketentuan UUD 1945 menurut keyakinan Hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

(2) Putusan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.


Pasal 26

Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :

a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. identitas pemohon dan termohon;

c. ringkasan permohonon;

d. ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon;

e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

g. amar putusan;

h. pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan

i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta panitera.



Pasal 27

(1) Amar putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf g dapat menyatakan:

a. permohonan tidak dapat diterima;

b. permohonan dikabulkan; atau

c. permohonan ditolak.

(2) Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 ayat (1) Peraturan ini.

(3) Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan.

(4) Permohonan ditolak dalam hal permohonan tidak beralasan.

(5) Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas bahwa pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Pasal 28

(1) Hakim yang turut serta dalam pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dicantumkan namanya di dalam putusan.

(2) Dalam hal terdapat pendapat berbeda dari Hakim yang dimuat di dalam putusan, sedangkan Hakim yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pleno pengucapan putusan, pendapat berbeda tersebut tidak dibacakan.

(3) Putusan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota yang hadir dalam sidang pleno pengucapan putusan serta panitera yang mendampingi.


Pasal 29


(1) Dalam hal isi amar putusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (3), termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima oleh termohon.

(2) Apabila putusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (3) tidak dilaksanakan oleh termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.



Pasal 30


(1) Mahkamah wajib mengirimkan salinan putusan kepada pemohon, termohon, dan pihak- pihak terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

(2) Putusan Mahkamah disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden, serta lembaga negara lain apabila dipandang perlu.


Pasal 31


Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.



BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32 

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini diputuskan dalam RPH.

(2) Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 18 Juli 2006
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Ketua,


PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.