Perahu Tulis

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

PERAHU TULIS

Williya Meta
IAIN Imam Bonjol, Padang



“Ke mana Saogo, Ina1? Mengapa sejak tadi tak tampak batang hidungnya?” Tanya Sababalat pada ibunya.

“Aih, tak tahukah Kau perangai baru anak Kau itu? Jam segini tak usah pula Kau tanya padaku keberadaannya. Kau naiklah ke teras atas. Di sana Kau akan menemuinya," jawab Ina Bani santai.

Sababalat terheran mendengar jawaban ibunya. “Memangnya apa yang dilakukannya di sana?” Tanya Sababalat penasaran. Ia menghentikan kunyahan nasi dan gerakan teratur tangannya dari piring ke mulut.

____________
¹ Ibu, bahasa Mentawai "Kalau siang begini, dia belajar dengan Pitoha, anak Pak Lurah itu. Kalau malam, saat Kau melaut, dia belajar sendiri mengulang pelajaran baru yang didapatnya dari Pitoha," jelas wanita tua itu.

Persoalan yang tadi gelap kini sudah mulai agak terang di benak Sababalat. Ia ingin menyimpulkan, namun tak berani. Tak berani mendahului kesimpulan ibunya, juga tak berani menghadapi kenyataan jika apa yang ia simpulkan itu ternyata benar.

"Sepertinya anakmu itu sangat ingin bersekolah seperti teman-temannya yang lain." Akhirnya Ina Bani memberi kesimpulan serta titik terang dari praduganya tadi.

Sababalat menghela nafas panjang. Ia melanjutkan gerakan teratur tangannya dari piring ke mulut, lalu mengunyahnya dengan gigi gemerutuk. Gulai kacang panjang buatan Ina Bani yang tadinya menaikkan selera makan, seketika berubah jadi pahit tak terkira, sehabis mendengar kesimpulan ibunya. Setelah menyuap nasi, diteguknya air untuk mendorong nasi itu hingga cepat masuk ke perutnya.

Apa yang disimpulkan oleh otaknya sesaat sebelum ibunya memberitahu hal itu, ternyata benar. Ya, anaknya ingin mengenyam bangku pendidikan seperti teman-temannya yang mungkin sekarang telah tiga atau empat tahun duduk manis dengan seragam bersih.

Tapi, apa mau dikata? Ia tak punya cukup uang untuk membayar semua tetek bengek yang diwajibkan oleh satu-satunya sekolah yang ada di kampungnya. Gayanya saja di televisi biaya sekolah gratis. Uang sekolah memang gratis, tapi harga buku tambah melangit. Harga ini-itunya menjepit. Ujung-ujungnya sama saja dengan membayar uang sekolah, bahkan tambah parah!

Hati Sababalat perih tak terkira. Ia benar-benar merasa telah gagal menjadi seorang ayah. Ia merasa tak berguna dan tak pandai menjalankan amanat mendiang istrinya untuk menjaga Saogo sepeninggalnya.

"Kenapa Kau jadi diam begitu? Adakah Kau dengar aku bicara?" Tanya Ina Bani. Lamunan dan perasaan tak menentu Sababalat pecah. Ia tergagap.

"I... i... iya, Ina! Aku dengar," jawabnya sambil memasukkan sesuap nasi terakhir ke mulutnya, lalu segera mencuci tangan di piring itu. "Aku janji, Na, aku akan lebih giat lagi bekerja, biar tahun depan aku dapat menyekolahkan Saogo."

"Nah, itu yang ingin kudengar keluar dari mulutmu sejak tadi. Kasihan betul aku melihat anakmu itu. Keinginannya untuk sekolah sangat tinggi. Kemarin dia katakan padaku bahwa kalau sudah besar nanti dia mau jadi pengarang hebat. Anak Kau itu punya otak pintar. Sayang sekali kalau harus patah karena tidak punya biaya sekolah. Mmm, Kau pasti juga belum tahu kalau anak Kau sekarang sudah lancar membaca dan menulis sejak berguru pada Pitoha. Dia rajin membaca, apa saja! Koran bekas bungkus kacang rebus tuntas dibacanya sekali duduk. Itu lihat dinding belakang, sudah penuh dengan tulisannya pakai arang."

Sababalat hanya diam mendengar perkataan Ina Bani. Ibunya benar! Paling tidak tamat Sekolah Dasar macam dirinya dulu pun sudah jadi. Bagaimanapun caranya, Saogo harus bisa mengenyam bangku pendidikan. Bagaimanapun caranya! Harus!

Sababalat melangkah ke luar rumah. Dilihatnya tangga bambu berdiri vertikal, bersandar ke teras atas. Didakinya anak tangga itu. Jangan berpikir rumah Sababalat berlantai dua, Sobat! Bukan! Rumahnya bahkan lebih buruk dari rumah pelaut lainnya yang ada di kampung itu. Sababalat tak punya banyak uang untuk membeli atap seng untuk seluruh rumahnya. Jadilah, ia beri rumahnya atap dua pertiga saja dari belakang ke tengah. Sementara bagian depannya yang tak diberi atap seng dibuat seperti beranda rumah. Di sanalah sekarang Saogo belajar dengan Pitoha, menghadap ke jalan tepi pantai.

Kakinya memang belum menginjak teras atas, namun matanya sudah bisa menangkap sosok kurus putranya yang menangkup seperti patung Malin Kundang, meski keningnya tak sampai beradu lantai. Ia paham, anaknya sedang menulis. Sementara gadis cilik di samping Saogo menunjuk-nunjuk pada kertas yang Saogo tulis sambil menggumamkan sesuatu, entah apa!

Sababalat tak melanjutkan langkahnya untuk mendekati Saogo. Ia segera menuruni anak tangga. Matanya mengerjap-ngerjap.

‘Kau harus bisa sekolah, Nak!' Teriak batin Sababalat.

* * *

“Saogo, turunlah sebentar!” Teriak Sababalat dari halaman rumah di suatu sore, sebelum berangkat melaut.

Saogo melongohkan tubuhnya, melihat ke bawah. Dilihatnya sang ayah melambaikan tangan.

“Ada apa, Ukui[1]? Aku sedang belajar!” Tolaknya. Ia tidak ingin kehilangan sedetik pun waktunya untuk menuntut ilmu dari Pitoha. Karena Pitoha hanya bisa mengajarnya sepulang sekolah sekitar jam dua siang sampai jam enam petang. Kalau malam menjelang, Pitoha harus segera pulang, sebelum Pak Lurah sendiri yang menjemput putrinya dengan tampang garang.

“Hanya sebentar! Ukui punya sesuatu untukmu. Turunlah sebentar!” Jawab ayahnya lagi dengan senyum mengambang.

“Aku sedang belajar pada Pitoha, Ukui. Titip sama sinanalep[2] saja!” Teriaknya lagi.

“Turunlah sebentar,” ujar Pitoha.

“Tidak! Aku mau belajar. Kalau aku turun, nanti kau malah pulang. Dengan siapa lagi aku bisa belajar?”

“Oh, tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu. Percayalah!”

“Janji?” Pinta Saogo sambil menegakkan kelingking kecilnya.

“Janji?” senyum Pitoha mengambang sambil mengait kelingking Saogo dengan kelingkingnya.

“Tapi aku masih takut Kau tinggalkan. Maukah Kau ikut denganku turun ke bawah?” Pinta Saogo.

“Baiklah!” Pitoha tersenyum padanya.

Setibanya di dalam rumah, “Ada apa, Ukui?” Tanya Saogo.

“Ukui punya hadiah untukmu,” jawab Sababalat sambil melangkah masuk ke kamar, lalu kembali dengan sesuatu berbentuk persegi panjang, dibungkus dengan kertas koran.

“Mengapa Ukui tiba-tiba memberiku hadiah? Apakah aku berulang tahun sekarang?” Saogo menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dahinya mengernyit seperti memikirkan sesuatu.

Ayahnya menggeleng, lalu berkata, “Kau memang tak berulang tahun sekarang. Tapi sekarang ini peringatan 'Hari Anak'. Jadi setiap orang tua memberikan hadiah untuk anaknya,” jawab Sababalat mengada-ada. Teringat olehnya ketika zaman sekolah dulu banyak macam hari libur karena memperingati hari ini dan itu.

Kini giliran Pitoha yang mengernyitkan dahi. Matanya menerawang mencoba mengingat-ingat pelajaran di sekolah. “Bajak[3]..., setahuku tak pernah ada 'Hari Anak'. Yang ada 'Hari Ibu', 'Hari Sumpah Pemuda', 'Hari Kartini' dan ......"

“Hari Anak ini tidak banyak yang tahu. Hanya seorang ukui yang sayang pada anaknya yang merayakannya,”

terang Sababalat dengan mata berkaca-kaca sambil menatap Saogo.

Aliran kasih sayang seorang ayah itu agaknya mengalir deras ke sanubari sang anak. Saogo dapat merasakan energi cinta ayahnya. Air matanya tumpah ruah. Ia segera memeluk Sababalat. Sababalat pun mengusap ubun-ubun anak semata wayangnya, sambil berkata, “Selamat ‘Hari Anak’ Saogo.” Air matanya menitik.

Pitoha yang menyaksikan drama mengharukan itu ikut menitikkan air mata. Lama sekali ayah-anak itu berpelukan. Seperti tak ingin saling lepas.

Ina Bani masuk ke rumah. Menyaksikan adegan tangis-menangis itu ia bertanya, “Ada apa ini?"

Sababalat melepaskan pelukannya dari Saogo. “Tak ada apa-apa, Ina. Aku hanya ingin memberikan hadiah ini untuk Saogo,” jawabnya sambil memungut kembali bungkusan persegi panjang yang tadi ditetakkannya di lantai sebelum memeluk Saogo.

“Ini untukmu, Nak!” Sababalat menyerahkan bungkusan itu. Saogo menerimanya dengan suka-cita.

“Apa isinya ini, Ukui?” Tanya Saogo penasaran. Pitoha dan neneknya pun tampak demikian. Mereka saling merapat, Tak sabaran melihat apa isi bungkusan.

“Bukalah,” senyum ayahnya.

Saogo mengangguk. Dibukanya perlahan kertas koran tersebut dengan hati-hati. Agaknya Saogo tak ingin bungkusnya sekalipun rusak, mengingat ini kali pertama sang ayah memberinya hadiah. Hadiah pertama saat memperingati ‘Hari Anak’. Benar-benar tak pernah ada sebelumnya! Hari ulang tahun pun tidak.

Setelah kertas koran itu benar-benar terlepas, Saogo tercengang melihat hadiah dari ayahnya yang bukan hanya yang pertama, tapijuga yang teraneh! Hanya sepotong kayu!

“Untuk apa ini, Ukui?” Tanya Saogo penasaran.

Ayahnya tersenyum, Diambilnya sepotong kayu itu dari tangan Saogo lalu ia duduk bersila. Kayu itu diletakkannya di atas kedua pahanya, lalu berkata, “Seperti ini menggunakannya.” Sababalat berakting seperti orang menulis. Ia menjepitkan angin dengan jempol dan telunjuk lalu diliuk-liukkannya di atas papan.

“Wah, meja belajar!” seru Pitoha. Ia duduk bersita di samping Sababalat dan memindahkan kayu itu ke atas pahanya. Ia pun berakting seperti orang menulis. “Ini meja belajar terunik yang pernah saya lihat, Bajak! Di rumah saya juga punya meja belajar. Ada gambar mickey mouse di atasnya. Tapi memakainya tak senyaman meja ini,” terang Pitoha. Ia tersenyum-senyum. Lalu bertanya lagi, “Bajak beri apa papan ini sehingga nyaman sekali digunakan?”

Sebelum Sababalat menjawab pertanyaannya, Pitoha membalikkan ‘meja belajar’ itu. Sekarang dia paham. Selain kayu itu diraut dengan amat sangat halus, bagian bawahnya dilampisi benen, seperti karet benen yang disewakan orang-orang di tepi pantai pada pengujung yang tak pandai berenang. Karet itu yang membuat ‘meja belajar’ tetap konsisten di atas paha, tidak ikut bergerak jika sedang menulis di atasnya.

Saogo memeluk ayahnya. Meski ia sendiri belum mencoba ‘meja belajar’ itu, tapi ia percaya pada perkataan Pitoha bahwa meja itu nyaman. Sababalat menyambut pagutan Saogo. “Kemarin ukui melihatmu belajar di teras atas. Punggungmu pasti sakit saat menulis karena menangkup-nangkup. Makanya ukui ingin membelikanmu sebuah meja belajar.

Tapi akhir-akhir ini ikan tak banyak Ukui dapatkan. Jadi, Ukui tak punya uang banyak untuk membelikannya. Untunglah kemarin Bajak Sikarebeu yang punya sewa benen di tepi pantai itu, meminta ukui untuk membantunya membuat perahu. Padanya ukui minta sisa kayu itu pembuatan kapal itu. Ketika ia bertanya untuk apa, maka ukui jelaskan semua padanya. Dengan senang hati ia memberinya. Bahkan pemberian benen itu juga usulannya. Benen itu beliau juga yang memberinya.” Jelas Sababalat dengan mata berkaca-kaca. Saogo semakin mengencang pelukannya.

“Maafkan ukui, Nak. Mungkin sekarang Kau belum bisa sekolah seperti teman-temanmu. Tapi Ukui janji, tahun depan kau akan sekolah. Apapun akan ukui lakukan agar Kau bisa sekolah.”

Pitoha dan Ina Bani ikut menangis. Apalagi Saogo dan ayahnya. Namun suasana haru biru itu harus segera usai karena Sababalat harus segera melaut.

* * *

Beberapa saat setelah Sababalat meninggalkan Saogo pergi melaut, Pitoha pun pulang, sebelum malam menjelang. Sementara Saogo kembali menaiki anak tangga menuju teras atas. Di tangannya sebuah 'meja belajar' baru yang dibuat dengan cinta oleh ayahnya.

Semangat Saogo untuk belajar semakin menggebu. Diterangi dengan lampu jalan yang terletak tepat di halaman rumahnya, ia bersemangat meliuk-liukan pena berdawat buram pemberian gurunya, Pitoha. Setelah menulis beberapa paragraf di atas kertas, ia berhenti sejenak. Matanya menerawang, seperti menembus bulan. Kemudian ia tersenyum dengan anggukan kepala meyakinkan. Dengan cekatan, diraihnya kembali pena berdawat buram lalu dituliskannya kembali. Kali ini ditekannya lebih kuat pena itu. Bukan pada kertas, tapi pada 'meja tulis' baru hadiah dari sang ayah. Ditulisnya:

Meja ini kuperoleh dari ukui sebagai hadiah peringatan Hari Anak tanggal 25 Oktober 2010

Saogo tersenyum lagi. Dibacanya berulang-ulang kalimat yang baru saja diukirnya. Beberapa saat kemudian ia menjentikkan jari lalu mengukir kalimat kembali:

Aku sayang ukui, Sinanalep, dan Pitoha.

Ketika membaca kembali tulisan itu, Saogo menggeleng-geleng. Pena itu kembali ditekannya untuk mengukir tanda panah sesudah kata 'ukui', saat terkenang pada mendiang ibunya. Lalu dibubuhinya satu kata lagi,

Ina

Senyumnya kembali mengambang. Selanjutnya menerawang kembali. Agaknya ia tengah berpikir keras nama siapa lagi yang akan diukirnya dan mendapat predikat sebagai orang yang dicintainya.

Tiba-tiba tubuhnya didorong sesuatu hingga terpental tak jauh dari tempat duduknya semula. la berusaha untuk bangkit, namun kembali didorong. Ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang mendorongnya sekeras itu. Namun tak seorang pun di teras atas kecuali dia.

Tetangganya berhamburan ke luar rumah. Mereka berteriak," Gempa... gempa... gempa...."

Saogo berniat turun dari teras atas, namun lampu telah padam seketika. Dipeluknya erat-erat meja belajar dari ayahnya. Dalam kelam ia terus meraba-raba hingga sampai pada tempat pertama kali ia naik. Namun tangga bambu itu juga telah jatuh. Kini ia benar-benar tidak bisa turun lagi. Bocah kecil itu duduk tempat ia tadi menulis. Meja tulis itu didekapnya erat-erat sambil meraung-raung memanggil ayahnya. Namun raungannya kalah dengan ratusan anak yang serentak memekik-menangis di tempo yang sama.

Beberapa saat kemudian, air menghantam perkampungannya, menghanyutkan orang kampungnya, meluluh-lantakkan semua. Tubuh kurus-masai Saogo pun terseret arus. Entah rencana apa yang ada dalam otak bocah itu untuk menyelamatkan dirinya. Tapi yang jelas, ia tak mau berpisah dengan meja pemberian ayahnya. Maka dipegang-eratnyalah meja itu. Meja itu terapung, Saogo pun ikut serta. Meja belajar yang terbuat dari cinta seketika berubah menjadi perahu yang menyelamatkan orang yang dicinta oleh pembuatnya. Meski perahu itu tentu tak seperti bahtera Nabi Nuh yang dapat menampung umatnya, tapi paling tidak perahu Saogo dapat membawa tubuh kurusnya ikut mengapung bersama kayu dan benen di bawahnya.

***

Tenda-tenda pengungsian digelar. Dari berbagai sudut berdiri rumah kain bertuliskan: POSKO BENCANA GEMPA & TSUNAMI MENTAWAI. Manusia berhati peka berdatangan untuk ikut merasakan-paling tidak-secuil duka yang dirasakan oleh korban dan gempa dan tsunami di Mentawai. Mahasiswa-mahasiswa juga tak kalah mulia hatinya. Mereka menggelar sekolah-sekolah darurat untuk anak-anak korban amukkan alam. Namanya saja sekolah darurat, tentu fasilitasnya usahlah Sobat tanyakan!

Satu di antara mereka yang berada di kelas itu adalah Saogo. Ia tampak antusias mengikuti pelajaran. Tangisan menyayat hati yang dua minggu pertama ia berada di pengungsiaan kini sudah tidak terdengar lagi. Entah karena ia sudah bosan menangis, entah sudah bisa menerima kenyataan kehilangan seluruh orang yang dicintanya, atau mungkin persedian air matanya yang telah terkuras habis hingga benar-benar telah kering! Entahlah! Yang jelas, ia sudah tak menangis lagi. Di kelas darurat, setiap saat ia menunjuk tangan entah itu untuk bertanya atau menjawab pertanyaan.

Ketika menulis pelajaran, semua menangkup seperti patung Malin Kundang, kecuali Saogo. Punggungnya tetap lurus karena menulis di atas meja belajar yang diberikan oleh sang ayah di saat peringatan 'Hari Anak'. Ia tersenyum bangga memiliki ayah yang sangat mencintainya, walau kini tidak tahu di mana muaranya.

Usai belajar, ketika semua murid berlarian kembali ke tenda pengungsian, Saogo masih duduk di tempat semula. Matanya menerawang, seolah menembus terpal hijau. tempat kelas daruratnya. Beberapa saat ia tersenyum, kemudian menuliskan sesuatu di mejanya:

Aku benci tsunami.
Karena hadirnya, aku tak pernah bertemu lagi dengan ukui, Sinanalep, dan Pitoha
Aku cinta tsunami.
Karena hadirnya, aku bisa sekolah dan duduk sejajar dengan mereka.

Dibacanya kembali semua tulisan yang ada di atas meja tulisnya berkali-kali. Ada tulisan yang sudah kabur karena terhempas amukan air laut saat meja itu menyelamatkannya bak perahu. Tulisan itu diperjelasnya:

Perahu ini kuperoleh dari ukui sebagai hadiah peringatan Hari Anak tanggal 25 Oktober 2010.

Karya ini dilepas di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional, yang memperbolehkan penggunaan bebas, distribusi, dan penciptaan turunan, selama lisensi tidak diubah dan ditulis secara jelas, dan pengarang asli diatribusikan—dan jika Anda mengubah, memodifikasi, atau membuat di atas karya ini, Anda boleh mendistribusikan hasil karya selama di bawah lisensi yang sama.

 
  1. Ayah, bahasa Mentawai
  2. Nenek
  3. Paman