Pengesahan RUU Pornografi Pertaruhkan Kewibawaan Hukum, Demokrasi Substantif dan Keutuhan Bangsa
Pernyataan Pers
Pengesahan RUU Pornografi Pertaruhkan
Kewibawaan Hukum, Demokrasi Substantif dan Keutuhan Bangsa
Jakarta, 29 September 2008
Komnas Perempuan menegaskan bahwa perempuan dan anak korban kekerasan dan eksploitasi seksual membutuhkan perlindungan hukum yang efektif dan yang tegas membedakan antara tindak kejahatan pidana dan hak serta kebebasan individual. Rancangan UU Pornografi bukanlah jawaban bagi kebutuhan ini karena naskah yang saat ini sedang dibahas di DPR RI mengandung beberapa permasalahan mendasar, khususnya terkait (1) definisi yang multitafsir dan memunculkan ketidakpastian hukum; (2) cakupan pengaturan yang memasuki wilayah kehidupan pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi; dan (3) risiko kriminalisasi orang tak bersalah, khususnya perempuan. UUD Negara RI 1945 menjamin hak setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaannya dan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa pengesahan RUU Pornografi mempertaruhkan kewibawaan hukum, demokrasi substantif dan keutuhan bangsa. Perundangan yang justru memunculkan ketidakpastian hukum akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan berpotensi menciptakan konflik baru di masyarakat. Aturan hukum yang multitafsir akan membuka ruang bagi kelompok-kelompok garis keras untuk melakukan tindakan sepihak atas nama undang-undang tersebut, dan akan membuat aparat negara rentan mengambil tindakan yang inkonstitusional. Sikap DPR RI yang bersikeras memutuskan pengesahan RUU ini atas dasar terpenuhinya seluruh prosedur pembuatan perundangan menunjukkan penekanan berlebih pada demokrasi prosedural sementara melemahkan demokrasi substantif yang mengutamakan penegakan keadilan dan HAM serta pemenuhan kesejahteraan rakyat tanpa diskriminasi. Penolakan terhadap pengesahan RUU Pornografi telah muncul juga dari berbagai daerah dan lembaga agama atas dasar pertimbangan bahwa RUU ini mengancam keberagaman bangsa. Pasal-pasal pengecualian terhadap seni, budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional dianggap sebagai sikap diskriminatif yang menempatkan sesuatu yang merupakan kekayaan bangsa sekedar menjadi sebuah pengecualian belaka.
Komnas Perempuan berpendapat bahwa rencana DPR RI untuk tetap mengesahkan RUU Pornografi di tengah kontroversi yang sangat tajam akan memunculkan keresahan masyarakat dan mengikis kepercayaan publik terhadap wakil-wakil rakyat di Parlemen dan para pemimpin Pemerintahan.
Mengingat urgensi atas penanganan yang efektif terhadap segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Komnas Perempuan menghimbau agar Pemerintah segera menciptakan perangkat pelaksanaan bagi kerangka peraturan-perundangan terkait pornografi yang sudah tersedia. Peraturan perundangan ini termasuk KUHP, UU Perlindungan Anak (2002), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (2007), UU Penyiaran (2002) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (2008). Komnas Perempuan menekankan pentingnya aparat penegak hukum diberikan sumber daya dan penguatan yang memadai untuk meningkatkan kinerjanya sesuai peraturan perundangan ini.