Lompat ke isi

Pengawal Tambang Emas/5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

5. ME MATA-MATAI TAMBANG EMAS.

S I B A R A N I sampai di Bukit Indo Jawo kira-kira waktu lohor. Disana ia berhenti dan memusatkan pikirannya. Kemudian ber kemas-kemas untuk memasuki daerah 'musuh'. Dari sana ke daerah Tambang ada kira-kira satu jam perjalanan lagi. Tetapi ia akan mengambil jalan memutar sehingga seolah-olah ia datang dari daerah Kampar Kiri (Riau). Hal itu dengan gampang dilakukannya sebab ia kenal betul dengan semua liku dan kelok jalan-jalan setapak dalam hutan itu. Barang-barang yang mencurigakan atau tak berguna disembunyikannya dekat Bukit itu. Kemudian baru ia mengambil jalan memutar dan kemudian memasuki daerah Tambang. Setelah menyeberangi sebuah anak air yang bernama Sungai Terok ia sudah sampai di daerah tambang emas itu. Ia menelusuri Air Sirah yaitu sungai kecil yang mengalir dari daerah tambang itu. Sungai Sirah itu mengalir dan masuk kedalam batang Subayang. Batang Subayang terus mengaliri daerah itu dan sampai ke daerah Kampar Kiri.

Makin lama ia semakin dekat ke daerah yang ditujunya. Dadanya gedebak gedebur. Bermacam-macam perasaan menyelinapi dirinya. Akhirnya ia melihat beberapa orang laki-laki sedang bekerja di daerah pertambangan itu. Entah apa kerjanya belum jelas oleh Sibarani. Diatas sebuah batu dibawah sebatang kayu duduklah ia dan berbuat seakan-akan sedang dalam perjalanan yang amat jauh dan melelahkan. Ia melihat juga kearah orang-orang yang sedang bekerja itu. Dalam hatinya: Tentulah itu orang-orang Mungo itu yang sedang bekerja keras menggali dan mengeluarkan harta kekayaan dan dibawanya ke desanya. Ah, benar-benar menyakitkan!

Tidak lama Sibarani berhenti disana sebab tahu-tahu sudah datang saja dua orang kesana. Dalam tangannya dipegangnya sebuah kuali. Yang seorang tidak membawa apa-apa. Hanya dipinggangnya terkuntal kantil sebuah parang. Keduanya mendekati Sibarani dan seorang mulai bertanya:

"Hai, sanak dari mana?"

Sibarani melihat wajah-wajah orang itu lalu menjawab:

"Saya datang dari Silukah, dan tempat ini dimana?" " Silukah??" Dimana itu?" tanya yang memegang kuali.

" Di Kempar Kiri dan saya sudah tersesat dalam hutan. Dimana tempat ini saudara?" tanya Sibarani dan berlaku sangat letih sekali.

" Kenapa sanak dapat tersesat sampai sejauh itu? Ini daerah Tambang dalam daerah kenegarian Balai Panjag, Lima puluh Kota....."

" Kami mulanya berjalan empat orang. Ditengah jalan ketiga teman saya menghilang sehingga saya tinggal sendirian. Saya tak tahu jalan lagi dan terseok-seok kemana saja dan sudah bebeapa hari saya dalam hutan. Dan barulah sekarang saya berjumpa dengan manusia, aduuuuh......"'

" Dan tujuan sanak kemana sebenarnya?"

" Tujuan kami semula ialah akan pergi ke Batu Belang untuk menemui seseorang yang bernama Mardana....."

"O, Batu Balang. Untuk sampai kesana, sanak harus lewat Taram." Ia menunjuk sebuah bukit berbentuk kerucut yang ditelungkupkan.

"Nah, itu bukit Taram dan desa Taram terletak dibawah bukit itu, Pergilah sanak kesana dan dari Taram sudah mudah meneruskan perjalanan ke Batu Balang......" .

" Terima kasih saudara,..." Jalu Sibarani seakan-akan bangkit dan akan melanjutkan perjalanannya. Orang itu tertawa dan berkata:

" Nampaknya desa itu sudah dekat sanak, tetapi sebenarnya masih jauh. Dan kami lihat sanak sudah sangat letih. Bermalam sajalah disini dahulu dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan......."

Pucuk dicinta ulam datang," memang itu benar tujuan Sibarani. Ia tak berkata apa-apa lagi dan menurutkan kedua orang itu yang berjalan menuju sebuah barak atau pondok-pondok yang erletak disebelah daerah itu. Setelah bertemu dengan kawan-kawannya diterangkannya bahwa ia menemui seseorang yang kesasar dan disuruhnya bermalam ditempat meeka untuk besok melanjutkan perjalanan menuju Taram terus ke Batu Balang.

Diluar barak itu atau pondok yang bentuknya memanjang Sibarani duduk diatas sebuah bangku-bangku dan berbuat seperti seorang tolol yang sedang keletihan benar. Ia mengipas-ngipas tubuhnya dengan sehelai destar tetapi matanya mulai memperhatikan ke daan tempat itu.

Beberapa orang sedang sibuk dalam perit dan dalam sebuah kolam kecil yang keruh airnya. Tangan mereka tak berhenti-hentinya bergerak.

Seorang yang agak tua dan kemungkin dia kepala rombongan itu datang menghampiri Sibarani dan duduk dekatnya.

Orang itu mulai bertanya dengan gaya menyelidik kepada Sibarani:

"Sebenarnya sanak asal dari mana?"

Sibaani memperbaiki duduknya dan menjawab dengan bahasa yang pada mulanya kurang dimengerti oleh orang itu:

"Sebenarnya pak saya bukan orang sini. Saya orang Semenanjung, aslinya benar dari Kolang. Jadi ada beberapa orang sini yang pulang kemari dan saya menumpang bersama mereka. Tujuan saya ialah akan mencari nenek moyang atau kaum kerabat saya. Sebab kata marhum ayah saya asal kami dari Lubuk Batingkap Tiga Batur Padang Berangan,- ah sebuah nama yang panjang dan agak sulit bagi saya menghafalnya. Tetapi lebih dahulu saya harus menemui seseorang yang bernama Mardana di Batu Balang, dimana kampung-kampung itu saya sendiri belum tahu."

Orang tadi tertawa.

"Batu Balang sesudah lewat Taram dan Lubuk Batingkap sesudah lewat Batu Balang. Ya, benar seperti kata si Nuran tadi malamlah sanak disini dan besok baru melanjutkan perjalanan ke Taram. Jadi kawan-kawan sanak itu kemana?"

"Tak tahu, saya ditinggalkannya disebuah kedai nasi masih tidur dan mereka lalu menghilang bahkan uang saya dan beberapa pembawaan saya dibawa kabur oleh mereka....." kata Sibarani seakan-akan sangat sedih. Padahal ia sedang memainkan rol sebuah sandiwara yang nampaknya akan berhasil baik.

"Tetapi kalau boleh saya bertanya, mengapa kerja kawan-kawan bapak itu?” sambil menunjuk kepada orang-orang yang sedang sibuk dalam air ada yang dalam parit dan ada yang dalam kolam berupa kubangan dengan airnya yang keruh.

" Kami sedang mencari emas, sedang mendulang emas," jawab orang itu. Sibarani mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai seekor balam mau.

"Mari, sanak boleh menyaksikannya!" Lalu diajaknya Sibarani mendekati seorang yang sedang mendulang.

Mula-mula diambilnya tanah bercampur pasir, kerekal, batu-batuan dari sebuah lubang. Kelihatan lubang itu bekas digali dan semakin lama semakin besar dan dalam.

Ditempat itu ada sebuah sungai kecil yang sumber airnya entah dari mana. Air itu disalurkan dalam sebuah parit yang terpelihara baik. Melintangi parit itu ada pula sebuah jalan yang dibina sangat apik dengan diberi bata-bata yang teratur rapi. Tetapi kelihatannya parit dan jalan itu bukan orang-orang itu yang mengerjakannya tetapi sudah lama dibuat orang. Memang rupanya tambang emas itu sudah lama juga dibuat orang.

Tanah bercampur pasir, kerekal dan batu-batuan itu diayak dalam air sampai habis dan akhirnya tinggal sedikit saja dalam kuali pendulang itu. Makin lama makin diperhatikan, bila terlihat sinar berkilat dalam sisa ayakan itu, itulah: emas. Itulah emas yang dicari-cari. Kadang-kadang kosong saja payah saja yang dapat. Kalau beruntung ditemukanlah emas dalam sisa ayakan itu ada yang sebesar ujung beras, sebesar beras atau kalau nasib lagi mujur ditemukan emas yang sebesar biji jagung.

Emas itu dimasukkan kedalam sebuah botol kecil berisi air yang ditutup dengan kuat dan rapi. Dalam botol kecil itulah emas yang dapat dikumpulkan. Memang sedikit lalu sedikit tetapi dapat dibayangkan yang dicari ialah zat yang mahal harganya. Menurut kata salah seorang mereka emas yang ditemukan di tambang itu termasuk mas murni yang berkualitas tinggi yaitu emas: 24 karaat.

Dan malam itu Sibarani menjadi 'tamu agung' di barak pendulang emas itu. Andaikata mereka tahu siapa tamu yang ditumpangkannya itu barangkali jalan cerita ini akan lain. Tetapi Sibarani memang seorang anak sandiwara yang lihay sekali. Malahan ia dapat menyadap isi pembicaraan mereka. Sudah berapa emas yang dapat oleh mereka. Dan kapan mereka akan pulang kedesanya dengan membawa hasil emas dulangan mereka itu. Hasil emas itu sudah disimpan dalam perian-perian beluh 'paring' yang bersusun dalam pondok mereka itu. Dua hari lagi mereka akan kembali ke desanya. Jadi masih ada waktu nanti bagi Sibarani dan teman-temannya.

Pagi besoknya Sibarani mohon diri dan pamitan kepada pendulang emas itu. Ketua rombongan yang kemarin memberi Sibarani dua butir mas yang beratnya kira-kira satu mas dengan ucapan:

"Anggap saja ini zakat kami dan di Payakumbuh emas ini boleh sanak jadikan uang. Dan mudah-mudahan sanak dapat berjumpa dengan keluarga yang dicari itu."

Sibarani berangkat dengan menempuh jalan arah ke Taram itu. Tetapi sekira-kira tidak akan tampak lagi oleh orang-orang itu dia membelok kekanan dan menuju jalan ke Marayu dan akhirnya tiba kembali di Bukit Indo Jawo tempat ia menyembunyikan barang-barangnya. Lalu mulailah ia berjalan menuju ke desanya.

.///.