Pemilu: Bukan Adu Program yang Baik

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Majalah Tempo, 16 April 1977.


SAMBIL mengunyah rujak cingur di restoran kecil itu seorang teman bercerita tentang pemilu. Ceritanya pasti khayal dia selalu begitu tapi yang hadir toh mendengarkan.

"Di lapangan Semprul," katanya memulai, "minggu lalu ada dua kampanye sekaligus. Yang sebelah sini kampanye PPP. Yang sebelah sana kampanye Golkar...".

"Bentrokan ... eh, percikan?", tanya salah satu pendengar.

"Nggak. Cuma kedua belah pihak balas membalas meneriakkan slogan. Juru kampanye PPP berteriak: Fisabilillah!, dan massanya pun menyahut: Fisabilillah!. Dan juru kampanye Golkar pun segera membalas teriak..."

"Fisabilillah juga?"

"Bukan. Feasibility! Feasibility!, teriak mereka".

Semua pendengar ketawa.

"Leluconmu ada mencerminkan fenomen politik kita kini", tiba-tiba seorang pendengar bersuara. Ia berkacamata. Mengingat ia tadi naik mobil yang di kaca belakangnya ditulis "University of Rawabelong", pasti dia sarjana. Karena itu barangkali hadirin yang lain kini menyimak apa yang mau dikatakannya.

"Begini," katanya sambil melemparkan tusuk gigi. "Dewasa ini, sedang diuji betulkah ideologi sudah mati di Indonesia. Sebenarnya kata 'ideologi' itu bisa meleset. Yang mungkin ada kini ialah serangkaian simbol-simbol, yang diterima bersama oleh sekelompok orang, yang karena sejarah hidup mereka, jadi bagian dari diri mereka. Ikatan dengan rangkaian simbol itu mungkin tetap kuat. Ketika para intelektual Orde Baru sepuluh tahun yang lalu merumuskan gagasan politik mereka, mungkin mereka keliru. Apa yang lazim disebut 'ideologi' itu belum mati karena susunan sosial belum berubah, karena sejarah tak bisa diingkari—juga karena ternyata rakyat banyak, biarpun di desa-desa, bukan sesuatu yang polos. Bukan sesuatu yang warnanya ditentukan oleh para politisi, yang datang dari kota, dari atas, melainkan sesuatu yang warnanya asli, ditentukan oleh lingkungan hidup mereka..."

"Jadi anda berpendapat kaum intelektual Orde Baru dulu itu salah?"

"Saya tidak tahu, saya tidak tahu," kata si kacamata sambil mengibas-ngibaskan serbet (dan butir-butir nasi berterbangan). "Saya hanya bicara dengan kata 'mungkin'. Saya 'kan sarjana. Kita masih harus melihat bagaimana hasilnya nanti."

"Lalu bagaimana penilaian anda tentang kampanye kini?".

"Yang pasti, pemilu sekarang bukan pemilu adu program yang terbaik. Tapi tak mengapa. Program yang baik perlu juga mengandung adanya kepercayaan bahwa ia bukan omong kosong. Maka pada mulanya adalah kepercayaan, bukan program itu sendiri. Dan kepercayaan—bisa timbul jika ada hubungan batin antara si pembawa program dengan si pemilih. Hasil pembangunan Yang sudah ada saja belum tentu menjamin kepercayaan itu. Hasil pembangunan, biarpun baik, bahkan sering menimbulkan problem baru, tuntutan baru..."

"Ah, saudara tidak suka Golkar, ya?".

"Lho, tidak begitu," si sarjana menangkis. "Saya bahkan menggaris-bawahi bahwa banyak hasil pembangunan dari pemerintah yang praktis sama dan sebangun dengan Golkar kini. Hasil itu memang belum merata, tapi toh nyata. Namun Golkar tidak dapat hanya membanggakan itu. Perlu didapatkan, simbol-simbol apa yang sama-sama mengikat pimpinan dengan hati massa rakyat. Tanpa simbol itu, tanpa ikatan hati, pertalian mungkin tak tahan lama...."