Parlemen atau Soviet?/Bab2
Pasal 1.Tumbuh dan hidupnya Parlemen Inggris semenjak dari masa merdekanya.
[sunting]Dalam tiga pasal pada bab I tadi sudahlah rasanya cukup keterangan-keterangan dan contoh-contoh yang mensahkan, bahwa datang dan tumbuhnya Parlemen itu tiadalah dengan damai saja. Dalam contoh-contoh seperti di tanah Jerman dan di tanah Inggris sudah kelihatan, bahwa tiada selalu Parlemen itu yang beroleh kemenangan. Barangkali kekalahan tadi sementara, entahlah, tetapi sudah terang bagi kita, bahwa Parlemen tanah Inggris sudah lebih dari 250 tahun yang lalu, sudah menghindarkan musuh dari badan dirinya. Sesudahnya itu barulah dia bernafas lapang, dan barulah dia boleh bebas tumbuh sampai menjadi lembaga negara yang sempurna.
Sebelum kita menetapkan apa keadaan Parlemen yang dinamai sempurna, terpaksalah kita lebih dahulu memeriksa tumbuh dan hidupnya Parlemen dari mula ia dapat kemenangan dari raja, sampai ia dewasa. Inilah kewajiban fasal ini akan melukiskan dengan ringkas hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah Inggris itu.
Seperti dahulu telah diwartakan, bahwa perkelahian Parlemen dan raja, di Tanah Inggris, disudahi dengan pengakuan dari pihak raja atau “Declaration of Right”. Apabila seorang raja naik tahta kerajaan, haruslah ia lebih dahulu bersumpah mengakui sah undang-undang negeri; artinya tiadalah ia kelak akan melanggar hak dan milik rakyat yang ditentukan dalamnya, dan bersumpah mengakui sah kuasanya rakyat (Volkssouvereinitieit).
Semacam dalam suatu perkelahian, apabila yang seorang mengalahkan lawannya, dan yang kalah tiada berdiam diri saja, melainkan berusaha mencoba supaya belenggunya terlepas, ya, mencoba supaya kekalahannya tadi boleh dibalikkannya, supaya menjadi kemenangan. Demikianlah juga keturunan raja-raja tanah Inggris pada permulaan abad yang sudah, mencoba berjuang lagi. Perjuangan itu akan kita lukiskan pula. Bukan karena hebatnya, melainkan sebab dalam perjuangan itu ada banyak kejadian yang menambah pengetahuan dan penguatan paham kita. Tentang hidup dan tumbuhnya Parlemen tanah Inggris samapi pada masa dewasanya.
Pada permulaan abad yang tersebut, terbitlah tiga persoalan yang penting, disebabkan oleh berdirinya lembaga negara yang masing-masing mempunyai kekuasan besar.
Pertama. “siapa yang mesti memerintah, raja atau parlemen, artinya bolehkah raja mengangkat pemerintah (kabinet sidang menteri) kalau kabinet itu tiada disukai Parlemen”?
Kedua. Kuasakah Majelis Tinggi membatalkan kedaulatan Parlemen?
Ketiga. Bolehkah raja bersama dengan Majelis Tinggi membatalkan kedaulatan Parlemen? (yang dinamai kedaulatan Parlemen, yaitu kedaulatan orang, atau suara yang terbanyak).
Segala pertanyaan ini adalah jawabnya dalam sejarah bangsa Inggris pada permulaan abad yang disebut tadi.
Disebabkan oleh peperangan yang lama dan hebat antara tanah Inggris dan Kaisar Napoleon, maka Rakyat sangatlah menanggung sengsara. Kemiskinan rakyat tiadalah berhingga. Semasa perang tiadalah barang-barang Inggris boleh dimasukkan dan dijual di benua Eropa, sehingga barang-barang pabrik bertimbun-timbun tinggal di gudang-gudang. Setelah perdamaian sudah dilangsungkan, maka barang-barang masih tinggal bertimbun-timbun di tempatnya, karena tiada ada orang yang bernafsu dan mampu membelinya sebelah ke darat tanah Eropa. Sebab itulah tuan-tuan pabrik terpaksa menutup pabriknya; seterusnya banyaklah kuli terpaksa disuruh pulang, karena tiada ada pekerjaan dalam pabrik lagi. Juga disebabkan pendapatan (uitvinding) mesin-mesin yang baru, kuat, sempurna dan lebih banyak bisa menghasilkan barang-barang daripada mesin yang lama, banyaklah pula tangan yang terpisah, yang tiada perlu dipakai lagi, sehingga pendapatan itu semata-mata mendatangkan celaka saja pada si kuli.
Dan lagi serdadu yang pulang dari medang peperangan, yang sudah lama tiada menjalankan pekerjaan biasanya, menambah pula banyaknya orang yang mondar-mandir, disebabkan tidak dapat mencari penghidupan.
Demikianlah tidak ada bandingannya kemiskinan dan kelaparan orang kecil, yang tiada termanai banyaknya itu. Tidaklah kita dapat murka atau jadi heran, kalau kita baca dalam sejarah tanah Inggris pada masa itu, bagaimana orang kecil keputusan asa, dan bagaimana ia membalaskan dendam dengan jalan merusakkan mesin-mesin, yang menjadi musuh pada jalannya mencari sesuap nasi dan sehelai kain itu.
Siapakah akan membela nasibnya, si miskin dan si kecil itu? Siapakah akan menaikkan keperluannya di dalam Parlemen, yang hanyalah diduduki oleh Bangsawan, Hartawan, yang tiada merasa sengsara kelaparan, dan tiada memperdulikan nasibnya orang kecil?
Sedangkan belum lama lagi di belakang, Parlemen mendirikan undang-undang, yang melarang kuli-kuli membuat vergadering-vergadering (organisasi - Ed.) dan vereeniging (perhimpunan); artinya melarang kaum buruh memperbaiki nasibnya dengan jalan minta tambahan gaji, minta bantuan dan lain-lain. Barang siapa yang tiada dapat pekerjaan, boleh diterima dalam satu perusahaan yang memberi pertolongan, perusahaan yang mana berkuasa menyuruh kerja, umpamanya dalam pabrik. Itulah namanya pertolongan itu, yaitu dengan upah sedikit, dipaksa orang kelaparan kerja keras sehingga yang ditolong namanya itu menjadi saingannya pula pada kaumnya sendiri, yang terpaksa pada mengambil upah sedikit, kalau dia tiada mau mati kelaparan. Pun anak-anak atau perempuan bolehlah menjalankan mesin-mesin, sehingga mahluk yang lemah-lemah itu dengan upah yang kecil bersaing pula, seperti kaumnya yang diberi pertolongan oleh perusahaan tadi. Kita mengerti, betapa sengsaranya kaum buruh dan anak bininya. Tertib dan kebudayaan merekapun tiadalah perdulikan lagi. Kemiskinan dan kelaparan selalu menghilangkan kemanusiaan. Siapakah di antara orang kecil sekarang, yang tiada curiga dan paham bagi penghidupan dan kemerdekaannya sendiri?
Oleh karena kedatangan mesin-mesin, maka pabrik kecil-kecil dan kuno tiada bisa bersaing dengan pabrik yang model baru itu, sehingga kebanyakan pabrik kecil itu punah (jatuh) atau dihisap (dibeli) oleh yang besar. Demikianlah segala mata-mata pencaharian jatuh ke tangan dua tiga orang kaya saja. Saingan satu parbik dengan yang lain hilanglah, sebab tuan-tuannya berkongsi-kongsi pula, sehingga mereka boleh seenak hati menaikkan harga barang-barang. Barang makanan juga boleh ditetapkan harganya oleh sedikit orang tuan-tuan tanah, karena dari tanah luar tidak ada saingannya lagi, disebabkan oleh undang-undang Parlemen, yang memungut cukai bagi barang-barang tanah luar yang masuk. Dengan lukisan di atas ini kita insyaf, betapa kelemahan kaum buruh diperbandingkan dengan kaum uang.
Sudah disebutkan lebih dahulu, bahwa tiadalah berapa besar pengharapan kaum buruh akan mendapat pertolongan dari parlemen, karena anggotanya hampir semua asalnya dari kaum atas. Hak memilih (kiesrecht) menanggung pula, supaya anggota-anggota itu jangan dicampuri wakil kaum buruh. Yang Majelis Tinggi cuma diduduki oleh Lord (kanjeng-kanjeng) saja. Mereka itu diangkat selama hidup dan digantikan oleh anaknya (erfelijk). Anggotanya Majelis Rendah keluaran dari golongan atas juga, bangsawan kecil dan hartawan. Memilihnya dengan umum pula, sehingga tuan-tuan tanah boleh memaksa kulinya menyuruh memilih dia sendiri, atau konco-konconya. Berapapun besar kota, berapapun luas daerah (graafschap) tetapi banyak kandidat buat wakil tidak boleh ditetapkan lebih dari yang akan diangkat sehingga selalu kandidat-kandidat wakil yang biasanya kanjeng-kanjeng saja itu semuanya dipilih. Demikianlah dengan segala tipu dan muslihat, kaum atas menjaga supaya semua wakil-wakil asalnya dari kaum sendiri juga.
Hasil dan wujudnya “Hak Memilih” itu, menyebabkan ada kira-kira 2/3 dari anggota Parlemen yang diangkat atau ditolong oleh pemerintah (kaum atas juga). Banyaknya anggota-anggota Parlemen yang mewakili orang kecil, tiada sekali-kali bertanding dengan wakil-wakil atas, sehingga Parlemen masa itu, hanyalah semata-mata sidang “hantu-hantu Uang” yang tiada mengetahui hal ihwal orang banyak.
Tetapi kaum buruh yang mendesak di kota yang besar-besar itu, tiadalah berserah dan berpangku tangan saja. Ia mengerti, betapa besar kodratnya sendiri, asal ia sepakat. Dalam hal itupun, dari hari ke hari, tumbuhlah kesetiaannya satu sama lain, bertambahlah sepakat dan keberaniannya, sehingga kanjeng-kanjeng gemeletar tulangnya dalam istana-istana mendengar teriaknya kaum buruh meminta haknya sebagai manusia, dan sebagai rakyat tanah Inggris.
Mereka itu berusaha, supaya anggota-anggota di Parlemen ditambah dengan wakilnya yang sejati. Sebab itu dia membatalkan undang-undang Parlemen, yang melarang dia membuat perkumpulan. Ia percaya bahwa kalau ada Algemeen Kiesrecht (hak memilih bagi tiap-tiap orang), dia bisa mengadakan wakil yang sampai kuat akan membela kepentingannya dalam Parlemen, kodratnya kaum buruh sesungguhnya sanggup membuka pintu Parlemen untuk wakilnya sejati.
Demikianlah keadaan tanah Inggris, ketika raja Willem IV; memerintah (tahun 1830-1837). Dua kaum yang berlawanan kapitalis dan si buruh. Yang pertama kuat, yang kedua sedang mengumpulkan kodratnya. Adalah beberapa di antara kaum bangsawan, yang setelah ia melihat keras desaknya kaum buruh, mengertilah, bahwa kaum bangsawan dan hartawan tiada akan sanggup melawan musuh yang begitu besar. Sebab itu mereka tiada berani menahan dan menghalangi lagi kemajuan itu, melainkan berusaha, supaya itu jangan mendatangkan perselisihan yang boleh menjadikan celaka besar pada negeri. Kaum yang menolong kaum buruh itu dalam beberapa hal, dinamai Liberal. Kaum ini serta juga menaikkan permintaan pada pemerintah, supaya tiap-tiap orang boleh dapat Hak Memilih.
Raja Willem IV pun tiadalah benci pada paham Liberal itu, sehingga Baginda mengangkat Lord Grey jadi Premier (Menteri Pertama).
Kebetulan pada masa itu di Perancis rakyat merebut hak lagi (tahun 1830). Sebab itu di tanah Inggris orang hendak mendapat hak pula. Berhubung dengan itu Lord Grey menaikkan pertimbangan yang mau menambah hak rakyat tentang pilih-memilih. Majelis Rendah mengabulkan, tetapi Majelis Tinggi membatalkan. Rakyat berbangkit. Istana-istana orang bangsawan atau pendeta dirampok atau dibakar. Dimana-mana orang banyak membuat Meeting (mengeluarkan suara) mengambil Mosi, tanda ia suka akan pertimbangan Lord Grey.
Majelis Tinggi harus mundur. Lebih-lebih bagi kaum tengah besarlah faedahnya pergerakan itu. Sungguhpun kaum buruh tidak puas akan kemenangan itu, tetapi teranglah bagi kita, bahwa kuasanya Majelis Tinggi sudah mulai dipotong. Sesudah perjuangan tahun 1911 kekuasaannya (Majelis Tinggi – Ed.) tentang membatalkan begrooting sama sekali dihapuskan dan tentang pertimbangan lain-lain sangat dikurangi.
Dalam sejarah ini kita bisa pelajari, bahwa kalau Premier ditolong oleh Majelis Rendah, ditunjang oleh Rakyat, maka kedaulatan Majelis Tinggi menjadi nol. Bagaimanakah kedaulatan raja? Dalam hal tadi kebetulan ia mengangkat Premier, seorang yang disukai Rakyat dan Majelis Rendah. Bagaimanakah kejadiannya kelak, kalau Premier kebetulan tidak disukai Majelis Rendah?
Willem IV sudah mencoba mengangkat Premier dari kaum konservatif (kuno) sedangkan meerderheid (suara terbanyak) di Majelis Rendah menyukai seorang dari kaum Liberal. Sebab ingkarnya (tidak mau) Majelis Rendah mensahkan Premier yang diangkat Baginda itu, maka Parlemen dibubarkan dan dipilih anggotanya yang baru. Tetapi suara terbanyak tinggal “Liberal”. Sampai empat kali Majelis Rendah membatalkan pertimbangan dari Premier konservatif tadi. Sebab itu wajiblah Premier itu meletakkan jabatannya. Pembesar Peel memutuskan, bahwa kabinet (sidang menteri) tidak dapat (bisa) memerintah, kalau suara terbanyak tidak setuju, meskipun kabinet itu dipercayai dan diangkat raja dan dibantu Majelis Tinggi.
Dari semenjak tahun 1835 putusan itu tinggal kekal. Raja dan Majelis Tinggi mesti menurut suara yang terbanyak. Suara itu keluarnya dari Majelis Rendah. Sebab itulah Majelis Rendah yang berkuasa, yang memerintah, yaitu atas suara dan kedaulatannya yang terbanyak. Itulah yang Parlemen.
Supaya arti suara yang terbanyak itu lebih terang bagi kita, haruslah diambil sedikit sejarah tanah Inggris pada kesudahan abad ke 19. Pada masa 2 pembesar Inggris berganti-ganti menaiki pangkat Premier, yaitu Cladstone kepala dari kaum Liberal dan Disraeli kepala dari kaum Konservatif itu, janganlah kita menyangka, bahwa kaum konservatif selalu menahan kemajuan. Kebetulan banyak undang-undang yang berwujud kemajuan datangnya dari kaum konservatif. Itulah kemasyuran Parlemen Inggris, karena beda nama, kedua kaum itu bukan karena bermusuhan golongan selama-lamanya, melainkan sebab bertukar paham dan pendapatan, pada suatu ketika, dan tentang suatu hal. Apabila satu kaum yang membela, baik Liberal, baik konservatif kelihatan kesalahannya atau sesatnya, maka suara terbanyak tadi pada kaum itu sendiri menjadi kurang, dan kaum yang lainlah mendapat suara terbanyak, dan boleh membela negeri (naik kabinet sampai kelihatan pula kesesatannya). Demikianlah dua kaum itu sama-sama awas mengawasi, menjaga kewajibannya hemat-hemat, supaya ia tinggal tetap dipercayai orang banyak. Saingan yang suci itu sangat menaikkan tanah Inggris.
Biasanya Gladstone pintar membela politik dalam negeri dan Disraeli kuat membesarkan tanah Inggris dengan jajahan di luar Eropa. Satu dari perkara yang merintangi pembesar-pembesar pada masa itu, ialah nasib dan haknya kaum buruh. Itulah yang menjadi buah percaturan dalam politik negeri. Seperti sudah juga dikabarkan lebih dulu, kaum itu berusaha supaya wakilnya dalam Parlemen ditambah sampai cukup kuat akan merebut hak-haknya. Sebab itu haruslah “Hak Memilih” diubah. Gladstone yang setuju dengan kehendak itu menaikkan pertimbangan akan mengubah hak pilih memilih itu. Tiadalah dikabulkan oleh Majelis Rendah.
Sepanjang adat Parlemen haruslah kabinet Galdstone meletakkan jabatannya.
Demikianlah datang Disraeli mengambil urusan negeri. Mendengar kabar itu bubarlah kaum buruh pada segenap pihak (tiada mufakat). Disebabkan topan yang besar itu, maka Disraeli menjatuhkan perubahan besar, yang betul mendatangkan kebajikan bagi buruh. Sekarang orang yang berhak memilih berlipat dua banyaknya, dan lantaran itu, maka banyak wakil bertambah pula.
Tidak beberapa lama antaranya, maka oleh karena pilihan baru seperti terjadi tempo-tempo kaum Liberal mendapat suara yang terbanyak. Tentulah pertimbangan yang keluar dari kabinet yang konservatif (Disraeli) akan kalah oleh kaum Liberal dalam pengambilan suara. Sebab itulah akan percuma saja Disraeli jadi kepala kabinet. Dia diganti oleh Gladstone.
Buah percaturan politik pada masa itu ialah satu perkumpulan kaum buruh bernama “Trade Union“, yang sampai masa itu dilihat semacam partai yang membujuk mogok saja dan mendatangkan celaka bagi negeri. Sesudah disahkan kebaikannya pada satu pemeriksaan, maka pemerintah mengakui kaum itu. Supaya kaum buruh merdeka betul, haruslah juga dihapuskan hukuman bagi kuli-kuli yang membujuk kuli-kuli lain, supaya jangan mengganggu pemogokan; artinya supaya tempatnya sementara mogok, jangan digantikan orang lain (=oleh si pengecut). Tetapi Gladstone tiada mau mensahkan hak kuli-kuli itu dan tiada mau menghapuskan hukuman atas kuli dalam hal yang tersebut. Sebab Disraeli dari dulu sudah berjanji akan menghapuskan, maka dialah naik kembali menggantikan Gladstone.
Disraeli sekarang perang dengan Afganistan dan Transvaal, supaya dengan jalan itu ia meluaskan dan dapat menambah kemasyhuran kerajaan Inggris. Rakyat asyik dan sayang padanya, sebab jasa yang besar itu, tetapi ketika mereka sadar, berapa banyak uang yang habis, Disraeli ditewaskan kembali oleh saingannya (Gladstone).
Pasal 2. Sifat Dan Keadaan Parlemen Yang Sejati
[sunting]Berangsur-angsur kita berjalan dari anggota yang dinamai Dewan, sampai kepada anggota pemerintah di tanah Inggris yang bernama Parlemen, yang kita ikuti dan amati dari masa lahir dan kecilnya sampai menjadi dewasa dan bersifat yang teguh-teguh, serta cukup untuk menyempurnai diri dan keadaannya.
Dalam perjalanan tadi, kita melihat, betapa banyak dan berat sengsara ditanggungnya. Kita melihat betapa dia mengalahkan segala yang merintangi dan menghambat tumbuhnya. Tetapi kita saksikan juga kelemahannya, seperti di tanah Jerman, sehingga dia tiada bisa merebut kemerdekaannya sendiri, hanyalah tinggal jadi perkakasnya seorang manusia yang bermahkota (kaisar).
Kita harap perjalanan yang panjang itu tiada mendatangkan jemu dan bosan bagi pembaca. Berapa bagian di antara Bab atau pasal-pasal yang sudah lalu, barangkali ada melimpahi yang perlu, yaitu melampui wujud karangan kita hendak menguraikan apa yang dinamai Parlemen yang sempurna. Betul kalau bagi seorang bangsa Eropa yang berpengetahuan biasa saja, (karena selalu hari-hari melihat dan mendengar beberapa hal yang bersangkutan dengan aturan Parlemen) beberapa dari bagian itu barangkali tiada perlu diceritakan lagi, tetapi kita menyangka pengetahuan biasa di Eropa itu, tiada boleh kita harapkan pada bangsa Timur dipukul rata. Dengan menceritakan sejarah Parlemen itu seperti yang terjadi di tanah asalnya, yaitu tanah Inggris, dengan menunjukkan kemauannya sendiri dan kemauan musuhnya; kita menyangka boleh sampai pada maksud yaitu memperlihatkan tubuhnya Parlemen itu sama sekali dengan jelas dan terangnya.
Berangsur-angsur kita mempelajari dan mendengar hak dan kuasanya suatu Parlemen dan dengan ilmu yang kita peroleh itu, kita sanggup menetapkan, apa yang dimaksud pasal ini, ialah menentukan keadaan suatu Parlemen yang sempurna pada segenap pihaknya.
Seperti kita pelajari dalam sejarah tanah Inggris maka perselisihan dan peperangan yang berulang-ulang itu, disebabkan oleh kedaulatannya rakyat hendak memerintah dan mengatur keperluannya sendiri.
Haruslah kita perhatikan benar perkataan “mengatur” dan memerintah itu, yang maksudnya ialah supaya ia diperintahi dengan undang-undang yang terbitnya dari Parlemen rakyat, bukan dengan undang-undang yang disorong-sorongkan saja oleh raja (Sultan) atau siapapun.
Dahulu sudah diterangkan, bahwa satu anggota (wakil) boleh melakukan pertimbangan; apabila suara yang terbanyak dalam pengambilan suara mengabulkan, maka pertimbangan itu boleh dijadikan undang-undang. Tetapi jarang pertimbangan yang datangnya dari wakil boleh menjadi undang-undang. Biasanya pertimbangan yang akan berjalan (berbuah) datangnya dari pemerintah, yaitu “kabinet”. Maka biasanya dari satu menterilah terbit sesuatu pertimbangan yang dinaikkan dalam Parlemen. Apabila suara yang terbanyak dalam parlemen membenarkan, maka barulah pertimbangan tadi dijadikan undang-undang dan barulah boleh dijalankan oleh yang memerintah (kementrian, propinsi kota dan kampung).
Apabila suatu undang-undang lahir (dibetulkan Parlemen), maka seperti tersebut di atas, undang-undang itu dipulangkan ke tangan menteri kembali, yang harus menurunkan undang-undang itu pada anggota-anggota pemerintah yang kecil-kecil. Demikianlah menteri itu satu pusat yang besar dari segala pemerintahan kota, kampung atau propinsi. Anggota kecil-kecil ini menjalankan dan menghiaskan pula undang-undang, yang turun dari pusat atau menteri tadi. Pusat itu bermacam-macam pula, ada menteri pendidikan, ada menteri dalam negeri, dan luar negeri dan lain-lain sebagainya. Segala menteri-menteri itu dikumpulkan menjadi pusat yang tersebar, yaitu kabinet, dari mana segala perintah yang bermacam-macam itu diturunkan. Seperti segala menteri berpusat di Kabinet, demikian pula segala menteri-menteri berpusat dan dikepalai oleh seorang Premier . Sungguhpun undang-undang, yang dikabulkan oleh Parlemen itu sudah dipulangkan kepada pemerintah (Kabinet), tetapi anggota-anggota Parlemen tiadalah tinggal berdiri berpangku tangan saja, dan percaya, bahwa pemerintah tadi tiada ada cacatnya (celanya). Parlemen berhak menjaga, supaya undang-undang itu dengan betul dan adil dijalankan. Kalau seorang wakil dalam Parlemen curiga atau kurang mengerti dalam sesuatu kelakukan pemerintah, maka haruslah ia bertanya dan meminta keterangan pada menteri. Dengan jelas dan terang haruslah menteri menjawab, sampai wakil-wakil pas hatinya, supaya wakilpun boleh memuaskan hati rakyat yang memilihnya. Inilah suatu senjata tajam bagi seorang wakil untuk menjaga keselamatan negeri. Menjaga supaya aniaya dan kelaliman terhindar. Bukan saja diberi hak bertanya kepada pemerintah, tetapi iapun boleh memeriksa dengan matanya sendiri. Kalau betul apa yang ditetapkan dalam pemeriksaan itu haruslah pemerintah membuang yang bersalah.
Satu hak wakil yang terutama ialah kemerdekaannya di dalam Parlemen. Apa saja yang terasa di hati atau terlihat di matanya bolehlah dikeluarkannya dan tiadalah akan dituntut atau dihukum oleh barang siapapun. Tentulah ia tiada akan mengeluarkan omong kosong saja. Hal ini akan memberi malu dirinya sendiri, dan akan menjauhkan orang yang mengirimnya ke Parlemen.
Bukankah kemerdekaan paham dan perkataan seorang wakil itu mestinya menjadi cermin (kaca) atas kekuasaannya rakyat yang diawasi hak dan keperluannya? Apakah guna wakil kalau wakil itu hanyalah boleh mengeluarkan suara yang nyaman didengar oleh pemerintah seperti saat zaman ketika masih bersultan atau beraja?
Terkuasanya rakyat itu sudah terbanyak lebih dahulu ketika mendirikan anggota-anggota Parlemen dengan jalan memilih. Seperti pada masa Disraeli dan Gladstone, kita ingat lagi beberapa perkara yang penting-penting yang digemari dan dipeluk oleh semua rakyat. Tiap-tiap paham sendiri tentang satu perkara umpamanya tentang “hak dan miliknya” kaum buruh. Dia sudah memutuskan sendiri dalam hatinya, bagaimana patutnya pemerintah meneruskan keperluannya. Apabila pada masa memilih (yaitu masa kabinet akan dibongkar dan diganti dengan yang baru) seorang wakil umpamanya dari kaum “liberal” membuat pidato, maka orang mendengar bolehlah memutuskan setuju atau tidaknya ia dengan paham wakil itu; kalau tidak pergilah ia mendengar pidato seorang dari kaum konservatif. Apabila datang waktu pemilu, maka dijatuhkannyalah suaranya pada wakil yang disukainya. Demikianlah, kalau pemilu itu dirahasiakan, boleh kita putuskan partai mana yang digemari oleh rakyat pada masa itu, Liberal atau Konservatif. Perbandingan banyaknya anggota dalam Parlemen itu, bolehlah dinamai ukuran bagi kegemaran dan kepercayaan orang banyak menghadap kepada kedua kaum yang terbesar itu. Partai yang kuat sekali itulah sangat disukai, itulah yang kita namai “kedaulatan orang banyak”. Bukankah perbandingan kekuatan kedua partai itu menjadi cermin bagi perbandingan kemauan rakyat yang terbagi atas dua kaum yang besar pula, Kuno dan Liberal?
Tiadalah perlu diuraikan panjang lebar sekali lagi, betapa wajibnya memilih dan mengangkat kabinet (menteri-menteri) dari kaum yang terkuat dalam Parlemen itu. Menteri-menteri dipilih dari anggotanya Parlemen, dan tiadalah boleh dijuadahkan saja sebagai santapan, seperti pada zaman kuno, atau pada masa Kaisar Wilhem II masih memerintah oleh karena datangnya pertimbangan biasanya dari menteri tentulah pertimbangan itu tak pernah ada dikabulkan dalam Parlemen, kalau kabinet diangkat dari kaum yang terkurang. Wujudnya tentu tiadalah dapat membuat undang-undang sekarang oleh karena cocoknya kabinet dengan Parlemen (yaitu karena partai menteri-menteri itu yang terkuat dalam Parlemen dari mana kabinet berasal), maka hampir segala pertimbangan dan undang-undang dengan lekas dan mudah boleh dilangsungkan, sampai ………ya, sampai pemerintah khilaf atau salah. Dalam hal itu Parlemen ada menaruh senjata-senjata, untuk menurunkan Kabinet itu dan mengganti dengan yang disukai orang banyak.
Demikianlah Parlemen dan pemerintah itu tiada tergantung di atas kayangan (udara) saja, melainkan berurat dan berakar pada orang banyak dan kemauan pemerintah ialah kemauan Parlemen, dan kemauan Parlemen ialah kemauan anak rakyat. Sebab mata pencaharian (sekarang ada pabrik, dan mesin-mesin yang besar-besar, kereta api dan kastil semacam istana) dan alat memerintah negeri pada zaman sekarang begitu sukar dan sulit, dan lagi tiap-tiap orang tiada seperti zaman yang kuno sekali, boleh sambil memerintah, (pada zaman kuno itu tiap-tiap orang boleh menjahit baju sendiri, memerah dan mengembala lembu, bertanak nasi dan menumbuk; dalam pada itupun boleh ia menghadiri vergadering negeri.)
Sekarang orang terpaksa pergi pada tukang jahit, dan mewakilkan suaranya buat rapat negeri (parlemen) sebab dari pagi sampai malam ia mesti kerja saja, baik di pabrik atau dimana-manapun. Maka rakyat, sungguhpun terkuasa sekali, terpaksa memindahkan kuasanya itu atas orang yang dipercayainya, yaitu seorang wakil. Oleh sebab wakil begitu banyak dan paham masing-masing berlain-lainan, maka kedaulatan yang diterimanya dari rakyat tadi diletakkannya pada kabinet, dan sebab kabinet juga banyak beranggota dan banyak cabang pekerjaannya, maka kabinet tadi harus pula dikepalai oleh satu orang supaya tujuan menjadi satu. Kepala itu dinamai Premier. Jadi alat memerintah, yang begitu sulit, digenggam di tangan satu orang saja.
Bukankah aturan semacam itu bertingkah dengan wujud Demokrasi, yang beralasan pemerintah orang banyak?
“Tidak” kata orang, yang mengandung paham Parlementerisme (ilmu tentang parlemen) “tidak, kepala yang seorang itu tidak tinggal turun-temurun seperti raja, karena boleh dinaik dan diturunkan oleh rakyat sendiri”. Dengan muka yang yakin dan mata yang gilang-gemilang ia akan berkata terus, mengatakan, bahwa aturan dan partai (Liberal dan Konservatif) seperti di tanah inggris yang awas-mengawasi, yang selalu masing-masing siap akan ganti menggantikan dan lantaran terkuasanya Parlemen. Akan bisa ditanggung, supaya selalu kemauan orang banyak yang menjadi alasan, dan selalu yang terpandai akan menjadi kepala pemerintah.