Paralisis
Betapapun miripnya ini dengan adegan Bima yang ganas di Kurusetra, sepasang kepala yang terpasak itu tetap lebih mengganggu perasaan. Ada kebencian yang bisa berulang di sana, ada kekejaman yang bisa datang setiap waktu.
Berapa banyak orang tewas terbunuh di Indonesia di setiap pekan? Statistik menjelaskan satu hal, dan ketika angka-angka menaik, ia menjelaskan hal lain: tak semua pembunuhan berawal dari benci.
Benci punya fokus dan sasaran yang jelas: menjelang babak terakhir Mahabharata, di medan pertempuran Kurusetra, Bima dengan bengis memenggal kepala Dursasana dan mereguk darah dari merihnya—karena sebuah kebencian yang tersimpan lebih dari 12 tahun. Kita mungkin gentar, atau mual, atau asyik, mendengar kisah seperti ini. Tapi setidaknya ada yang spesifik dan tak akan terulang dalam kekejaman itu: Dursasana tak akan, dan tak bisa, digantikan oleh korban yang berbeda. Benci, dalam hal ini, berkecamuk dalam sebuah wilayah yang tertutup. Juga kebrutalan Bima: ia hadir pada momen itu, dan tak akan hadir di momen lain.
Tapi kita tahu bahwa terkadang benci (dan sebagai akibatnya: kekejaman) mengambil wilayah yang lebih terbuka, betapapun tetap fokusnya. Di tahun 1965, misalnya, orang Indonesia yang memegang bedil ataupun yang memegang parang membantai ribuan orang lain karena mereka ingin menghancurkan “orang komunis”. Namun mereka tak memerlukan benar nama si korban, atau daftar kesalahannya, atau riwayatnya. “Orang komunis” sudah menjadi sebuah nama generik. Ia bisa dikenakan kepada siapa saja yang kira-kira cocok, bahkan yang tak begitu cocok sekalipun. Demikian halnya dengan yang terjadi di Kamboja di bawah Khmer Merah, ketika “orang borjuis” harus dihabisi. Si Badu, dalam gerak pengganyangan ini, bisa saja digantikan oleh si Polan, asal si Polan menunjukkan atau dianggap bahwa ia berasal dari “paham” atau “kelas” yang sama.
Permusuhan “ideologis” adalah kebencian di wilayah yang terbuka. Meskipun dengan korban yang tertentu atau ditentukan: sebuah gerak rasa benci dan sifat bengis yang menjadi impersonal. Hal ini juga yang agaknya terjadi pada permusuhan antarkelompok agama dan rasialisme.
Di situ, ada yang sedikit lebih abstrak. Dengan mudah, rasa benci dan sifat bengis itu menjadi sesuatu yang melembaga, bahkan mempunyai organisasi, meskipun dalam taraf yang paling dasar. Orang Dayak dan Madura yang saling membinasakan di Kalimantan Barat, orang Hutu yang membantai orang Tutsi, orang Nazi Jerman yang membantai orang Yahudi, orang Serbia yang membantai orang muslim di Bosnia—semua itu dalam derajat yang berbeda-beda adalah kejahatan, atau kebrutalan, yang melembaga. Ia bisa saja berulang, diulang, di suatu masa lain, di sebuah tempat lain. Kita ingat sebuah adegan yang memualkan di Kalimantan Barat: dua kepala sepasang suami-istri separuh baya yang dipancung dan dipasang di atas pasak, dengan luka parang yang baru, dengan mulut yang dengan cemooh disisipi sebatang rokok. Betapapun miripnya ini dengan adegan Bima yang ganas di Kurusetra, sepasang kepala yang terpasak itu tetap lebih mengganggu perasaan. Ada kebencian yang bisa berulang di sana, ada kekejaman yang bisa datang setiap waktu.
Tapi dalam hal kekejaman, ada yang bisa lebih dari itu. Mari kita bayangkan kemungkinan yang nyaris terjadi ini di Indonesia ini: tiga buah granat yang meledak di atas rel, dan sederet gerbong yang terbelah, dan ratusan orang—termasuk bayi dan anak sebelum remaja—yang akan terbantai dengan tubuh hancur….
Siapa yang melakukan ini berangkat bukan karena rasa benci kepada satu kelompok yang spesifik: sebuah tindakan yang sebenarnya tanpa fokus. Bahkan mungkin sekali tanpa benci—sebab saya tak bisa membayangkan ada orang, atau sekelompok orang, yang begitu sakit hati kepada setiap orang yang naik kereta api sehingga memasang granat di atas rel.
Di sinilah wilayah yang terbuka untuk kekejaman itu praktis menjadi absolut. Ia tak terbatasi lagi. Juga alasannya. Jika di sini tak tampak ada rasa benci, meskipun mungkin ada rasa marah, apa gerangan tujuan orang dengan granat-granat itu? Untuk membuat kehidupan politik jadi guncang? Untuk membuat kereta api tak menarik sebagai alat transpor? Atau untuk menikmati pemandangan ini: ketika beberapa ledakan terdengar, seperti mercon besar, ketika daging manusia terbakar dan tercabik, ketika orang panik dan anak-anak memekik?
Teror, terutama sebagai aksi politik, ingin memutlakkan tak adanya batas. Ketakutan menjadi ketakutan kepada ketidak-jelasan. Akhirnya, sebuah paralisis ganda: lumpuh karena tak bisa menangkal ancaman dan lumpuh karena tak bisa memahami ancaman. Ketika polisi tidak berdaya, ketika negara seperti tak bisa hadir untuk menolong, paralisis akan menantikan sebuah keajaiban, mungkin satu kekuatan Juru Selamat.
Tapi barangkali yang mungkin datang menyelamatkan bukanlah keajaiban, melainkan sebuah keganjilan: sikap yang hampir acuh tak acuh kepada kematian. Di Indonesia, orang tetap saja akan berjejal-jejal naik sepur, sampai ke atap, setelah berkali-kali kecelakaan terjadi, tetap saja akan berdesak-desak di atas dek, melebihi kapasitas kapal, setelah berkali-kali feri dan perahu tenggelam, bahkan tetap saja akan beramai-ramai bermain mercon, menikmati ledakan besar atau kecil, hanya beberapa hari setelah bom membunuh sejumlah orang di sekitar gereja….
Tentu, bukan karena mereka luar biasa pemberani. Tapi karena apa yang tampak dalam statistik itu: kematian semakin akrab.