Nyanyian Kemerdekaan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Nyanyian Kemerdekaan
oleh Sonya Florensi
52631Nyanyian KemerdekaanSonya Florensi

NYANYIAN KEMERDEKAAN


Sonya Florensi

SMA N 2 Kota Bukittinggi


tujuh belas Agustus tahun empat li... ma

itulah hari kemerdekaan kita... hari merde...ka

nusa.... dan bang...sa

hari lahirnya

bangsa Indonesia mer..de..ka...!

MUNGKIN sudah puluhan kali nyanyian kemerdekaan itu keluar dari mulut kakek. Suaranya yang mulai parau dan menggigil, sepertinya tidak menyurutkan semangatnya untuk bernyanyi. Aku sudah bosan dan muak mendengar nyanyian itu. Mungkin kakek saat ini teringat semasa ia berjuang membela tanah air dulu. Kakekku dulunya seorang pejuang. Tapi, ia hanyalah seorang pejuang yang tidak dikenal. Jangankan namanya dimasukkan ke dalam buku pelajaran sejarah, satu tanda jasa pun tidak pernah dimilikinya. Hanya kertas bekas undangan upacara peringatan tujuh belasan yang datang ke rumah kami tiap tahunnya yang disimpan.

"Yo, dulu sewaktu kakek seumur kamu, kakek sudah memanggul senjata, dan huk...huk...kakek ikut berperang melawan penjajah. Kakek..., huk...huk...tidak pernah merasakan kehidupan seperti kamu sekarang. Harusnya kamu bersyukur karena hidup di negara yang... sudah...mer...deka," Kakek menghentikan nyanyiannya dan mulai mencera- mahiku. Aku tengah memperbaiki sepeda pura-pura tidak mendengar ocehannya.

"Kakek dengar kamu sering bergaul sama anak-anak preman kompleks sebelah. Itu tidak baik. Carilah teman yang membawa kita pada hal yang lebih baik. Nanti mereka mengajarkan kamu hal yang merusak hidup sendiri.”

"Kek, sudahlah. Tiap hari kakek menceramahi Aryo seperti ini. Aryo sudah besar, Kek, dan saya tahu mana yang benar dan yang tidak benar!" aku yang dari tadi diam, kali ini mencoba menjawab.

"Benar, Kakek tahu kamu itu sudah besar. Tapi, kamu belum dewasa. Kamu juga anak laki satu-satunya. Ayahmu, kan, sudah tiada. Jadi, kamu jangan sampai membuat ibumu bersedih lagi. Ingat kata-kata Kakek, isilah kemerdekaan bangsamu dengan kemerdekaan dirimu sendiri dari penjajah hatimu."

"Sudah, Kakek! Sudah! Telinga Aryo sudah bosan mendengar itu. Saya tahu apa yang saya lakukan. Kakek tidak usah ikut campur. Kakek juga tidak perlu membangga-banggakan kehebatan Kakek dengan cerita-cerita zaman perjuangan itu lagi. Toh, Kakek tidak dianggap. Satu penghargaan pun tidak pernah Kakek terima. Apa yang Kakek banggakan? Apa kertas-kertas bekas undangan peringatan tujuh belasan itu yang akan Kakek banggakan kepada orang-orang? Satu lagi, Bapak saya meninggal karena Kakek. Kakek penyebabnya!"

"Aryo! Jaga bicaramu! Kamu sudah sangat keterlaluan terhadap kakekmu sendiri! Aryo kembali kemari!" ibu yang rupanya mendengar kata-kataku terhadap kakek langsung marah. Aku tidak peduli. Aku terus lari ke kamar. Napasku sesak dan jantungku berdebar kencang. Aku benar-benar benci kepada kakek. Dialah yang menyebabkan Bapak kecelakaan dan meninggal dunia.

"Pak, maafkan, Aryo. Dia masih belum dapat menerima kepergian Bapaknya," dari kamar kudengar Ibu berbicara dengan Kakek. Ibu sangat mengerti perasaanku. Aku belum bisa menerima kematian Bapak. Selain itu, aku merasa kasihan kepada Ibu. Karena dialah kini yang harus memban- ting tulang menghidupi kami. Kalau saja Bapak tidak meninggal dunia dalam kecelakaan itu, mungkin Ibu bisa lebih tenang dan kami tidak perlu didatangi para rentenir untuk menagih utang tiap minggu.

"Kamu jangan khawatir, Bapak mengerti. Dia masih muda dan labil," kali ini kudengar jawaban Kakek. Mustahil dia tidak menyimpan sedikit pun perasaaan marah.

"Aryo, boleh Ibu masuk dan bicara sebentar dengan kamu?" tiba-tiba Ibu sudah berdiri di depan pintu kamarku.

"Apa Ibu marah sama Aryo?" tanyaku merasa bersalah.

"Ya, ibu marah sekali kepadamu. Ibu harap kamu tidak mengulangi kejadian itu lagi. Kalau orang lain dengar bagaimana? Ibu bisa dikatakan tidak mendidik anak dengan baik," kata Ibu dengan nada tinggi.

"Tapi, Bu, kalau saja malam itu kakek tidak mendesak Bapak untuk mengantarkannya ke rumah Pak Sofyan, mungkin saat ini Bapak masih bersama kita. Bapak tidak akan mati secepat itu." Tanpa terasa air mataku menetes. Kulihat Ibu diam dan memandangi fotoku dengan ayah yang kupajang di meja belajar. Lama Ibu memandangi foto itu.

"Yo, Ibu mengerti perasaan kamu. Ingat, kita ini orang muslim. Kamu pasti tahu, setiap manusia itu akan dipanggil oleh pemiliknya tanpa ada seorang pun yang tahu. Jadi, kepergian Bapak itu bukan salah siapa-siapa. Bukan salah kakek, bukan salah pengendara mabuk itu, bukan juga salah bapak sendiri. Semua itu kehendak Allah. Kita harus ikhlas. Dan Ibu minta sama kamu, jangan menyalahkan kakek lagi," jelas ibu sambil keluar dari kamarku.

Malam harinya aku tidak dapat tidur. Pikiranku selalu terbayang wajah bapak. Dan setiap kali itu pula, aku tambah membenci kakek. Aku benci kakek! Dia hanyalah mantan pejuang yang menyusahkan!

Pagi aku terlambat bangun. Aku langsung mandi dan salat Subuh. Aroma nasi goreng menusuk hidungku. Aku baru ingat tadi malam aku belum makan. Selesai berbenah aku langsung menuju meja makan. Dengan sigap kuisi piring dengan beberapa sendok nasi goreng dan kulahap dengan cepat. Dari dalam rumah kudengar lagi-lagi kakek menyanyi.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima,

Itulah hari kemerdekaan kita...

Hari merde...ka huk...huk....

nusa...dan bang huk...huk...sa

Hari lahirnya huk...huk...

"Pak, minum dulu obatnya. Nyanyiannya dihentikan dulu."

"Kamu ini, persis almarhum ibumu. Selalu huk... huk...huk selalu mengganggu kesenangan Bapak kalau lagi menyan Kulihat dari dalam ibu mengobrol sama kakek. Entah apa yang mereka perbincangkan, sepertinya ibu tampak gembira. Mungkin mereka teringat kenangan lama. Arin, adikku yang di SMP, sudah berangkat sekolah. Sebelum ke sekolah Arin terlebih dahulu mengantarkan kue bikinan ibu ke warung-warung. Sebenarnya itu tugasku, tapi sejak dua bulan terakhir ini digantikan Arin. Kata ibu, aku harus lebih konsentrasi menghadapi ujian akhir bulan depan.

Ketika hendak melangkah keluar, kakiku seperti menginjak sebuah amplop berwama merah putih. Kuambil dan kubaca pada amplop itu. Kepada Yth. Bapak Ahmad Riansyah.

"Kek, ini undangan tujuh belasan," kataku seraya menyodorkan undangan itu.

"Alhamdulillah... sudah 55 tahun kita merdeka. Ternyata kakek masih diberi kesempatan untuk merasakan hari kemerdekaan ke-55 ini. Bangga sekali rasanya kalau kita mengikuti upacara bendera merah putih."

"Kenapa harus bangga, di sana, kan tidak dikasih hadiah atau penghargaan? Paling-paling nanti pulangnya dikasih uang dua puluh ribu untuk biaya transpor," cibirku sambil memasang tali sepatu dan berlalu pergi.

Tujuh belas Agustus tahun empat li...ma

Itulah hari kemerdekaan kita....

Hari merde...ka

Nusa dan bangsa...

Hari lahirnya bangsa Indonesia

Mer... de... ka...

 Dari kejauhan masih kudengar kakek bernyanyi. Kali ini dia bernyanyi dengan semangat, tanpa diiringi batuk. Suaranya sangat jelas dan malah berdiri tegak sambil hormat, persis ketika upacara bendera, Senin pagi.

 Dalam perjalanan ke sekolah, aku masih memikirkan kakek. Aku heran, mengapa sebagai seorang mantan pejuang bangsa Indonesia, kakek tidak pernah diberi penghargaan. Padahal, teman kakek sesama pejuang banyak mendapatkan penghargaan. Dulu aku pernah diajak kakek ke rumah Opa Martius, seorang mantan pejuang asli Maluku. Di rumahnya aku melihat berjejer penghargaan. Apa benar kakekku seorang pejuang bangsa Indonesia? Aku agak meragukan hal itu. Mungkin saja kakek hanya kebetulan hidup pada masa perjuangan bangsa.

 "Aryo! Tunggu................!" sebuah suara memanggilku dari arah kejauhan.

 Tampak Lingga teman sekolahku melambai-lambaikan tangannya padaku.

 "Ada apa?"

 "Pulang sekolah nanti, kamu temani aku ke toko buku. Kelompok kita memerlukan beberapa bahan untuk babak final nanti."

 "Aku tidak bisa. Soalnya, aku harus pulang cepat."

 "Pokoknya, kamu harus bisa! Kalau tidak, nama kamu tidak akan tercantum dalam kelompok."

 "Tapi, nanti kamu bayarin aku makan siang. Kamu kan tahu, kalau uang jajanku pas-pasan."

 "Baik...baik tuan besar."

 Pelajaran demi pelajaran hampir berakhir. Kini hanya menunggu bel tanda pulang berbunyi. Perut sudah keroncongan, mata juga mengantuk. Rasanya pelajaran yang diterangkan pada jam terakhir ini tidak tinggal dalam benakku. Akhirnya, alunan bel tanda pulang berbunyi juga. Kami bergegas pulang. Setelah makan siang di kantin, aku dan Lingga langsung ke toko buku.

 "Yo, habis ini, temani ke rumah kakekku dulu ya?"

 "Katanya, tadi cuma ke toko buku."

 "Cuma sebentar, rumahnya juga dekat sini."

 "Cuma sebentar, kan?"

 "Yaiya, kamu harus kenal sama kakekku. Dulu dia berjuang membela bangsa kita ini dari penjajahan bangsa lain. Dia adalah pahlawan kemerdekaan bangsa. Kakekku sangat gagah berani. Dia mampu mengusir penjajah hanya dengan sekali dor."

 "Tung...

tunggu dulu. Kakekku juga dulu pejuang. Dia ikut dalam agresi militer I dan II. Dia bertempur di beberapa daerah di Jawa. Kakekku tidak pakai senjata api, cuma pakai bambu runcing," tiba-tiba saja dari mulutku keluar sedikit rasa bangga pada kakek.

 "Tapi, senjata yang digunakan kakekku hasil rakitannya sendiri, yang dia pelajari dari Belanda. Kakekku memang Sangat hebat."

 "Setelah Indonesia merdeka, kakekku pernah diajak Pak Hatta ke Paris.

 Tapi, kakek menolak."

 "Kali ini, kakekmu pasti kalah dibanding kakekku. Rumah kakekku dipenuhi penghargaan tanda jasa dari pemerintah. Ada piala, piagam, medali, dan foto-foto dengan para pejabat tinggi negara. Dan, rumah yang sekarang ditempati kakek merupakan hadiah dari pemerintah atas jasanya pada Agara," kata Lingga lagi. Aku terdiam. Semua yang dikatakannya benar. Kakekku memang tidak mendapatkan satu penghargaan pan. Paling paling hanya kertas undangan bekas yang dibangga-banggakan kakek sebagai bekas pejuang Aku sangat malu. Kalau saja saat ini Kakek ada di sini, dia Pasti akan kumaki Aku benar benar malu. Kebanggaanku yang tadi mulai terbit, kini tenggelam lagi.

 "Mengapa kamu diam? Kamu sudah kalah? Benar, kan, kakekku lebih hebat dari kakekmu. Kamu pasti senang dan bangga kalau temanmu ini punya kakek yang sangat bebat," Lingga nampak tersenyum. Entah itu senyum sombong atau senyum kehanggaan. Aku tidak tahu, yang pasti aku sangat malu.

Kami memasuki sebuah rumah bercat putih. Halamannya yang tuas ditumbuhi rumput jarum dan bunga-bungaan. Terasnya dipajangi beberapa patung ukir keramik. Sepasang safa empuk lengkap dengan mejanya menambah kesan mewahnya. Lantainya diberi keramik warna gelap. Sangat jauh berbeda dengan ramahku yang berdempetan dengan rumah lainnya. Maklum, rumah perumnas tipe 15.

"Nepek..., Lingga sudah datang," Seorang nenek duduk di kursi roda dan didorong seorang perawat menghampiri kari. Lingga mencium dan memeluk neneknya. Tak keluar sepatah kata pun dari nenek itu. Hanya ekspresi wajahnya yang tampak senang.

“Nenek pernah kena stroke. Akibatnya, dia lumpuh dan tidak bisa bicara lagi," bisik Lingga kepadaku.

Kami berjalan beriringan memasuki rumah. Ruang tamunya sangat besar. Hampir menyamai luas rumahku. Di ruang kedua tampak televisi besar, lengkap dengan sound system. Di tepi sebelah kanan, terdapat sebuah lemari ukir besar. Beberapa Jangkah ke depan tampak dipajang beberapa penghargaan dan foto-foto. Terlihat foto-foto zaman dulu. Ada juga toto Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta. Kakek Lingga mernang hebat. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada sebuah foto yang dipajang sebuah meja ukir. Sepertinya, foto itu sangat istimewa dibandingkan dengan foto yang lain. Tampak dua orang bapak seling berangkulan memakai pakaran yang sama. Mereka sama-sama berkaca mata. Mereka berfoto di depan patung Liberty, Amerika Serikat. Bukan itu yang mengherankanku, Salah seorang dari bapak yang di foto itu sanyat mirip dengan kakekku. Orang itu sangat mirip dengan kakek, tetapi lebih muda beberapa tahun di dalam foto. Kalaupun diperkirakan, pasti orang itu juga setua kakekku?

"Yo, di lemari ini dipajang penghargaan lainnya,” Lingga mengejutkanku.

Dia menunjuk temari ukir besar. Dapat terlihat kalau di dalamnya banyak medali dan penghargaan Jain. “Lingga, sudah lama sampai?” seorang bapak-bapak betongkat menyapa Lingga.

“Kakek..., apa kabar?”

“Sehat.” Ooo... , jadi, orang ini kakek Lingga. Aku yang berada di belakang hanya memperhatikan mereka. Lingga mencium dan memeluk kakeknya. Dibanding neneknya, kakek Lingga lebih sehat. Badannya gemuk dan kulitnya putih bersih. Kalau aku bandingkan dengan kakekku, jelas jauh berbeda. Kakekku bandannya kurus dan kulitnya pun gelap.

“Oh..., ya, Kek, ini teman Lingga, namanya Aryo,” Lingga memperkenalkan aku. Kuulurkan tangan menunggu balasan uluran tangan dari kakek ini. Tapi, dia hanya memperhatikanku dari atas hingga ke bawah dan langsung membalikkan badan berjalan ke dalam. Aku hanya diam dan menelan ludah, Mungkin dia tidak biasa bersalaman dengan anak miskin sepertiku. Lingga di sebelahku tampak merasa bersalah dan mengajakku keluar.

“Maafkan kakekku, ya, Yo, mungkin dia sedang sakit. Biarpun kelihatannya sehat, tapi kakek punya penyakit jantung. Sekali kakek berobat, bisa-bisa mencapai biaya jutaan rupiah,” aku mengangguk. Tampaknya Lingga berusaha menutupi kesombongan kakeknya. Dalam hati aku bersyukur karena kakekku tidak menderita penyakit parah yang harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk membeli obat. Paling-paling, kakek hanya batuk dan sesak napas yang cukup berobat dengan obat generik.

“Non Lingga, disuruh segera ke ruang makan,” seorang wanita, yang mungkin pembantu mereka, memanggil Lingga.

“Yuk, Yo, kita makan dulu.”

“Kamu sajalah. Aku tunggu di sini.”

“Aku, kan, tidak enak meninggalkan kamu di sini, Sementara aku makan. Sudahlah, ayo cepat,” Lingga menarik tanganku.

Ruangan makan berdekatan dengan dapur. Meja makannya besar dan kursinya empuk. Di meja terhidangayam panggang, ikan goreng, rendang padang, dan beberapa kuah bersantan serta sayur mentah. Air Iurku hampir menetes, Jarang-jarang aku makan enak seperti ini. Paling, cuma pas lebaran. Nenek dan kakek Lingga duduk di sisi kanan dan kami di sisi kiri meja makan.

“Selesai makan, kami kembali ke ruang penghargaan dan foto-foto tadi. Rencananya, Lingga akan bertanya mengenai tugas sekolah pada kami. Lingga mulai bertanya macam-macam mengenai Indonesia di zaman kemerdekaan. Kakek Lingga tampak semangat menanggapi pertanyaan kami. Sepertinya, sikap angkuh tadi sudah agak menghilang. Dia menunjukkan penghargaannya kepadaku,

“Sepertinya, Kakek banyak kenal dengan pejabat negara zaman dulu, ya,” tanyaku,

“Benar, mereka semua teman-teman saya. Tapi kami berbeda nasib. Saya di bidang keamanan, mereka di bidang politik negara.”

“Saya lihat foto di atas sana tampaknya Kakek senang jalan-jalan ke luar negeri, dan sepertinya foto itu sangat berharga bagi Kakek,” kataku.

“Kamu benar, foto itu sangat berharga bagiku. Orang yang kurangkul itu adalah orang yang sangat berjasa bagiku. Sewaktu kami sama-sama berjuang, sudah tiga kali dia menyelamatkanku dari peluru penjajah hingga peluru terakhir mengenai dada kirinya...,” kakek Lingga terdiam. Dari matanya dapat kulihat ia sangat sedih. Aku merasa bersalah telah menanyakan foto itu.

“Maaf, Kek, saya tidak sopan mengungkit masa lalu. Apalagi teman kakek itu sudah..."

“Dia tidak mati. Dia berhasil selamat. Tahun tujuh puluh kami sebagai pejuang dihadiahi jalan-jalan ke Jia ngan. Sepulang dari sana, dia menjual seluruh penghargaan yang dimilikinya kepadaku. Semua itu dilakukan untuk biaya pengobatan putri satu-satunya. Sebagian dari penghargaan ini adalah miliknya. Aku merasa berdosa telah membeli penghargaan dari orang yang telah menyelamatkan nyawaku. Satu-satunya harapanku sebelum mati adalah mengembalikan semua penghargaan ini kepadanya, Tapi kini aku belum bisa.”

“Ke... kenapa Kakek belum bisa?” Aku mulai penasaran dengan cerita ini.

“Hampir dua puluh tahun lebih, sejak dia menjual penghargaan ini, kami tidak bertemu. Aku memang egois. Apa salahnya aku membantu biaya pengobatan putrinya itu tanpa imbalan. Tapi, saat itu aku terlalu egois. Letnan Kolonel Ahmadi Riansyah Juanda Suwitomo, aku sangat berdosa kepadanya.” Kakek Lingga tampak kian hanyut dalam ceritanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan suaranya serak. Hah... siapa? Siapa tadi nama yang disebutkannya? Samar-samar aku mendengar kakek Lingga menyebut Ahmadi Riansyah. Itu, kan, nama kakekku. Tidak mungkin, aku pasti salah dengar.

“Kamu boleh lihat semua penghargaan miliknya.”

“Aku mengambil sebuah piala kerucut emas. Piala itu sangat berat, mungkin seluruhnya terbuat dari emas. Tulisannya mulai buram dan tintanya mulai membaur. Aku berusaha mengeja nama pemilik piala itu. Tulisannya masih menggunakan ejaan lama. Diberi...diberikan di tahoen ...teruntuk...pah...pahlawan kemerdekaan Indonesia, jaitu, Let Letnan Kolonel Ah-madi Rian Riansyah Djuanda Soetomo eh Soewitomo. I..ni, kan, nama kakek. Nama kakekku, Ahmadi Riansyah Juanda dan... dan foto-foto itu juga kakek. Ya Tuhan, benarkah ini milik kakekku? Keringat dingin mulai membasahi tubuhku, jantungku berdegup kencang. Sekali lagi kueja nama pada piala dan kupandangi foto itu. Ya, dia memang kakekku.

“Aryo, kamu kenapa? Kamu sakit?” Lingga menanyaiku.

“Ti...tidak. Maaf, Lingga, aku harus pulang sekarang.” Aku berlari keluar. Sepatu kupasang asal dan aku terus berlari.

Kukejar bus di depan. Di dalam bus pikiranku kacau. Selama ini aku sangat bersalah kepada kakek. Aku tidak peduli dengan penghargaan itu. Aku harus pulang dan minta maaf kepada kakek. Tak berapa lama, aku turun dari bus dan menyusuri jalan setapak berdebu. Di bibirku tersunggng Senyuman. Dari kejauhan, kudengar sayup-sayup lagu kemerdekaan dinyanyikan. Itu pasti kakek. Tanpa sadar aku ikut bernyanyi.

Tujuh belas Agustus

Tahun empat lima Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka....Nusa dan bangsa....

Hari lahirnya bangsa Indonesia... Merdeka...

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Sampai di rumah, kutemukan rumah kosong. Tidak seorang pun kutemukan ada di rumah.

“Bang,” Arin, adikku, memanggilku dari kejauhan. Matanya merah, seperti habis menangis.

“Arin, ada apa? Apa yang terjadi?”

“Kakek...kakek kecelakaan, sekarang lagi di rumah sakit, keadaannya hu...hu...parah. Abang ... hu...hu harus segera ke sana.” Ya Allah, ada apa dengan kakekku? Tolong selamatkan Kakek, ya Allah. Badanku lemas, tanpa terasa air mata membasahi pipiku.

Dengan berlari aku mencari kamar tempat kakekku dirawat. Perawat mengatakan kalau kakek masih di ruang ICU. Sampai di sana ibu sedang melihat dari kaca pintu kamar ICU. Mata ibu tampak sembab, mungkin sudah terlalu lama ibu menangis.

“Aryo, kakekmu...sedang kritis. Kamu mau menemuinya, Nak sebentar?”

“Bu, Aryo akan menemui Kakek.” Setelah memasang pakaian steril aku melangkah masuk dengan hati-hati. Kulihat Kakek tidur dengan berbagai selang di tubuhnya. Keadaan seperti ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak dulu juga dirawat di ruang ini. Kudekati kakek dan kupegangi tangannya. Tangannya yang keriput begitu lemah. Kupandangi wajahnya yang pucat.

“Kek, ini Aryo. Aryo minta maaf sama Kakek. Selama ini Aryo sudah menjadi cucu yang durhaka. Maafkan Aryo, Kek.” Air mataku berlinang. Terbayang olehku saat-saat kami bertengkar. Aku menyesal.

“Aryo... Kakek ada di mana?” tiba-tiba kakek bergerak dan dia memanggilku lemah.

“Kek, Kakek sudah sadar? Kakek di rumah sakit.”

“Kakek bermimpi bertemu ayahmu.” Air mataku makin menjadi. Aku tidak kuat menghadapi hal seperti ini.

“Aryo, ingat pesan Kakek, isilah kemerdekaan bangsamu dengan kemerdekaan dirimu dari penjajah hatimu,” kata-kata itu sudah berulang kali diucapkan Kakek. Tapi, baru kali ini aku mengerti betul makna kata-kata itu.

“Kakek ingin bertemu sahabat lama, Kakek. Jenderal Ha...san Prawi...ranegara. Ka...kalau Kakek sudah ti...tidak sem...pat, tolong sampaikan ka...kalau Kakek... sudah...me...maafkannya,” kata Kakek satu-satu. Kulihat kakek kembali tertidur. Kali ini di bibirnya tampak seulas senyum. Tit...tit...tit layar monitor menunjukkan garis lurus. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Kupencet bel tanda panggilan. Beberapa perawat dan seorang dokter segera datang. Aku disuruh menunggu di luar. Aku dan ibu sama-sama membisu. Aku tahu apa yang dipikirkan Ibu, ia pasti ingat kejadian yang menimpa ayah dulu.

“Maaf, kami sudah berusaha, tetapi Allah berkehendak lain,” seperti di film-film ketika keluar ruangan sang dokter mengatakan hal itu. Ibu berlari masuk ke dalam menemui kakek. Aku tetap di luar sambil menahan tangis.

Kakek dimakamkan dekat makam Bapak. Sebelumnya, Seorang bapak-bapak dari pemerintahan datang menawarkan agar Kakek dimakamkan di taman makam pahlawan. Tapi, ibu tidak setuju. Kata Ibu, Kakek pernah bilang, kalau nanti la meninggal ia tidak mau dianggap pahlawan. Biarlah ia menjadi pahlawan di hati keluarganya.

“Yo, waktu membersihkan kamar Kakek, Ibu menemukan amplop ini. Isinya sebuah surat dan surat ini buat kamu.” Ibu menyodorkan amplop putih kepadaku. Amplop bekas Undangan perayaan tujuh belasan. Kubuka amplop itu dan kubaca suratnya.

Teruntuk cucu laki-lakiku, Aryo

Ketika kamu membaca surat ini, Kakek sudah dipanggil oleh Yang Kuasa.

Kamu jangan sedih, itu artinya Allah percaya pada kamu Untuk menjaga ibu dan adikmu.

Aryo Juanda Riansyah. Sebagian nama kamu, diambil dari nama Kakek. Mungkin kamu tidak suka dengan nama itu, tapi itu pemberian orang tuamu. Kakek yakin kelak kamu akan bangga dengan itu.

Cucuku, maafkan Kakek selama ini telah maafkan Kakek selama ini telah menyusahkanmu. Kakek sadar, Kakek bukanlah seorang Kakek yang membang- gakan. Kakek hanyalah seorang tua yang hanya bisa mengomel. Salam Sayang untuk Cucuku Aryo Juanda Riansyah

NB: Jaga ibu dan adikmu. Buat mereka bahagia dan isilah kemerdekaan bangsamu dengan memerdekakan dirimu dari penjajah hatimu.

Tanpa terasa air mataku berlinang. Selama ini Kakek begitu menyayangiku. Aku sangat bersalah kepada Kakek. Kulipat surat itu dan kusimpan bajk-baik dalam lemari. Beberapa puluh surat undangan bekas tujuh belasan lengkap dengan amplopnya, juga kusimpan baik-baik dalam lemariku. Ini penghargaan paling berharga bagi Kakek. Aku tidak peduli lagi dengan penghargaan Kakek yang sudah dijual kepada Kakek Lingga. Biarlah itu menjadi saksi bisu mereka.

Tujuh belas Agustus

Tahun empat li...ma

Itulah hari kemerdekaan kita....

Hari merde....ka

Nusa....................... ke dan bangsa

Hari lahirnya......

Bangsa Indonesia

Mer...de..... ka !!

Sudah satu tahun Kakek wafat. Kehidupan kami sudah mulai membaik. Ibu sudah punya warung kecil. Arin sudak masuk SMA dan aku saat ini sedang mengikuti pelatihan di sebuah Akademi TNI. Aku akan menjadi anggota TNI. Aku ingin melanjutkan perjuangan Kakek membela tanah air.

Setelah kakek Lingga mengetahui bahwa sahabat yang dicarinya adalah kakekku, ia mendatangi keluargaku dan minta maaf, Aku sedikit merasa bersalah karena aku terlambat memberi tahu, Padahal aku sudah tahu.

“Aryo, maukah kamu menerima kembali penghargaan kakekmu dulu?” tanya kakek Lingga tiba-tiba.

“Terima kasih, Kek, saya sangat menghargai itu. Tapi, biarlah penghargaan itu tetap disimpan di sana. Saya yakin, kalau kakek saya akan merasa senang dan percaya kepada Kakek.”

114

 Aku sudah berjanji kepada Kakek, aku akan mendapatkan penghargaan itu dengan usahaku. Biarlah penghargaan itu tetap berada di sana.

Tujuh belas Agustus
Tahun empat li ma
Itulah hari kemerdekaan kita....
Hari merde ka
Nusa dan bang ...... sa
Hari lahirnya...... Bangsa Indonesia
Mer...de ka... !!