Nuh
Pada hari Ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan
tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar.
Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan
tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit
terakhir, yakni teriak seorang anak.
“Ia jatuh,” kata laporan yang disampaikan kepada Nakhoda
“dari sebuah atap yang bongkah. Air bah menyeretnya
Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun
tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya, ibu-bapaknya,
saudara-saudaranya sekandung. Ia tenggelam, seraya memekik,
begitu juga seluruh kota.”
Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu
kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera.
Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun dan berjalan ke
buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah
selesai membunuh.
Memang: banjir itu tak lagi ganas, seakan-akan naga yang
kenyang bangkai.
Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung,
hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan sesuatu.
Ia lihat gagak dan burung-burung marabou, bertengger di atas
perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan
air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja seakan terbalik,
seperti pagi. Nuh pun berbisik, ”Kaum yang musyrik, yang tak
dikehendaki…”
Ia menghela napas, lalu kembali ke anjungan. Bau bacin
menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang doa, dan ia
merasa kota itu akan segera jadi payau. Maka tatkala langit
teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah
dataran tinggi yang masih utuh, di utara. Ia berkata, ”Keadilan,
perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.” Dan ia mendarat.
Lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya
syukur. Lalu segera disuruhnya persiapkan korban hewan di
kaki bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan
membuat surga berbahagia. “Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang
bisa keluar,” begitulah sembah yang diucapkannya, ketika hari jadi
terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang,
yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.