Narsisisme dan Romantisisme Dalam Novel Negara Kelima Karya Es Ito/Bab 1

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra tidak lahir dengan sendirinya, tidak begitu saja adanya. Karya tersebut tentu memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat dan berurat berakar pada lingkungan pengarang yang melahirkan karya tersebut. Seorang pengarang karya sastra diilhami oleh kenyataan hidup yang dialaminya. Ia mencermati, menghayati, mengolah, dan memberi muatan imaji pada kenyataan dan menuangkannya kembali dalam bentuk karya sastra

Selain itu, karya sastra dapat dikatakan mengemban fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat, khususnya fungsi sosialnya. Berbagai persoalan yang terdapat di dalam masyarakat dapat disampaikan melalui karya sastra. Melalui karya sastra, seseorang atau suatu kelompok dapat menyampaikan cita-cita, pikiran, dan perasaannya. Karya sastra bahkan dapat menjadi sarana untuk menyampaikan tanggapan terhadap berbagai hal berkenaan dengan masalah yang dirasakan, dipikirkan, atau diinginkan seseorang atau masyarakat dalam kehidupan.

Karya sastra memiliki tema yang sangat beragam. Mulai dari persoalan sosial, budaya, sejarah, psikologi, bahkan persoalan politik diangkat penulis ke dalam karya sastra. Begitu kaya dan beragamnya tema karya sastra sehingga banyak hal yang dapat kita petik dari membaca sebuah karya sastra. Pemahaman yang mendalam tentang sebuah karya sastra akan mengantarkan seorang pembaca pada pemahaman akan hidup di dalam kehidupan ini.

Dari proses pemahaman karya sastra tersebut, kita akan memperoleh gambaran pengalaman mengenai suatu bangsa dan masyarakatnya. Kita dapat menyelami secara lebih mendalam apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan oleh masyarakat tersebut dalam menjalani kehidupannya. Dengan demikian, pemahaman dan penghayatan kita terhadap karya sastra akan memberi gambaran dan pengertian tentang norma dan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Selanjutnya, akan dapat menambah dan membawa kearifan terhadap manusia dalam menyikapi dilema kehidupan dan pemahaman terhadap diri dan manusia lainnya, serta nilai kemanusiaan yang memungkinkan manusia untuk tidak mementingkan diri sendiri sehingga lebih bijaksana dalam menyikapi hidup dan kehidupannya di tengah masyarakat.

Sastra terbuka untuk berbagai penafsiran. Persoalan yang diangkat pengarang di dalam karyanya memberikan peluang kepada pembaca untuk memaknainya. Novel merupakan salah satu genre sastra yang cukup kompleks dalam menghadirkan persoalan kehidupan manusia. Sebagai salah satu produk sastra, novel memiliki peranan yang sangat penting. Gambaran kehidupan manusia yang terlukis dalam novel tersebut memberikan dorongan dan motivasi bagi manusia dalam menyikapi kehidupannya.

Novel, secara nyata, memberikan alternatif kepada manusia untuk menyikapi kehidupannya secara lebih mendalam. Hal itu dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan di dalam novel merupakan persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Selain itu, permasalahan manusia dengan segala pernak-perniknya, kondisi yang tercipta dalam kehidupannya, serta nilai yang ada dan tumbuh di tengah masyarakat merupakan hal yang ingin disajikan pengarang di dalam karyanya. Persoalan yang ingin disampaikan oleh pengarang dituangkan melalui tema dan tokoh yang dipilih dan dihadirkan dalam karyanya.

Kultur Minangkabau merupakan salah satu dari sekian banyak kultur lainnya di Indonesia yang sering dijadikan latar cerita novel. Keunikan masyarakat Minangkabau, seperti sistem kekerabatan dan nilai sosiokultural yang ada di tengah masyarakatnya, sangat menarik untuk dijadikan latar cerita oleh pengarang di dalam karyanya. Begitu banyak pengarang, baik yang berasal dari kelompok etnik Minangkabau sendiri maupun yang berasal dari etnik lain, mencoba mangangkat problematika dan romantika kehidupan masyarakat Minangkabau, dengan segala keunikannya, ke dalam karya mereka.

Novel Negara Kelima karya Ito merupakan novel yang menghadirkan persoalan etnisitas orang Minang dalam rangkaian ceritanya. Persoalan yang akan diketengahkan dalam penelitian ini, yang menurut penulis menarik untuk diamali lebih jauh, adalah persoalan narsisisme dan romantisisme yang tercermin dalam novel tersebut. Kedua unsur tersebut memiliki perbedaan pandangan, sekaligus persamaan. Secara sederhana, narsisisme merupakan sikap mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan, sementara romantisisme merupakan sentimen idealisme atau kebanggaan terhadap masa lalu. Menarik sekali untuk mengamati dua unsur yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan tersebut dalam novel Negara Kelima.

Novel Negara Kelima, yang lahir dari tangan seorang pengarang muda berbakat, menghadirkan nuansa etnisitas Minangkabau dalam balutan misteri yang bermuatan unsur sejarah yang sangat tinggi. Novel tersebut juga menghadirkan mitos yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Mitos yang ada tidak membuat novel itu hadir sebagai sebuah cerita mistis, tetapi lebih menekankan pada unsur kriminalitas dan radikalisme yang dilatarbelakangi oleh interpretasi baru terhadap sejarah nusantara. Novel itu juga sangat berbau 'Minang sentris". Tokoh yang dihadirkan dan data yang dikupas untuk memecahkan misteri hampir semuanya berkaitan dengan orang Minang. Hal itulah yang mendorong penulis untuk mengangkat isu narsisisme dan romantisisme dalam novel tersebut.

Penelitian yang mengangkat wacana narsisisme dan romantisisme yang tercermin di dalam novel Negara Kelima karya Ito sejauh pengamatan dan pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Kenyataan tersebut mendorong peneliti untuk mengungkapkan persoalan tersebut ke dalam sebuah penelitian. Hal itu dilakukan dengan harapan nantinya penelitian ini akan membuahkan hasil yang bermanfaat bagi pembaca dan membuka peluang baru bagi penelitian selanjutnya. Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya ada beberapa masalah yang timbul berkenaan dengan penelitian "Narsisme dan Romantisisme dalam Novel Negara Kelima karya Ito". Beberapa masalah tersebut berkaitan dengan persoalan narsisisme dan romantisisme yang tercermin dalam novel tersebut. Masalah itu, antara lain mencakup seperti apakah wacana atau isu narsisisme yang terlihat dalam novel Negara Kelima? dan seperti apakah wacana atau isu romantisisme yang tergambar dalam novel Negara Kelima?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan gambaran wacana atau isu narsisisme yang terlihat dalam novel Negara Kelima serta gambaran wacana atau isu romantisisme yang tergambar dalam novel Negara Kelima.

Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang dilakukan terhadap novel Negara Kelima karya Ito. Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis-interpretatif. Setiap unsur narsisisme dan romantisisme yang ditemukan dalam novel tersebut dideskripsikan, kemudian dicoba untuk dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan teori yang telah diuraikan. Sementara itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalan studi pustaka.

Novel Negara Kelima karya Ito menjadi sumber data penelitian ini. Data akan diambil dari rangkaian peristiwa yang terjalin di dalam novel tersebut.

1.2 Narsisisme

Narsisisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:774) adalah 'hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan'. Akan tetapi, Menurut Thienz (2006), mengemukakan bahwa kata narsis berasal dari mitologi Yunani, yaitu tentang seorang pemuda tampan yang bernama Narsisus. Ia lebih tampan dari pria mana pun di dunia ini sehingga banyak gadis memujanya. Bahkan dia sendiri mencintai bayangan wajahnya. Tak urung dewi-dewi pun menyukainya, termasuk salah seorang peri yang jatuh cinta kepadanya, yaitu Echos.

Sayangnya, ia mengabaikan cinta Echos karena ia lebih mengagumi ketampanannya dengan berkaca pada sebuah sungai. Dewi Nemesis pun menghukum Narsisus atas sakit hati Echos. Narsisus jatuh cinta pada bayangannya sendiri hingga akhirnya tenggelam. Berdasarkan mitos tersebut, kata narsis digunakan untuk menggambarkan orang yang mencintai dirinya sendiri.

Thienz (2006) juga mengungkapkan bahwa saat ini konsep narsis kerap disalahartikan. Narsisus sebenarnya bukan mencintai dirinya sendiri, tetapi bayangannya. Ada perbedaan besar antara diri yang sebenarnya dengan diri yang terlihat dari sebuah pantulan. Mencintai diri sendiri adalah hal yang normal dan sehat. Akan tetapi, yang terjadi pada seorang yang narsis adalah ia menicntai citra diri yang ditangkap oleh orang lain.

Orang yang jatuh cinta pada bayangan tidak mampu mencintai sesamanya, juga dirinya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa mengaitkan kata 'narsis' dengan rasa percata diri yang tinggi. Akan tetapi, biasanya di balik sikap arogan orang narsis, ia justru mengalami krisis percaya diri. Untuk terus eksis, seorang narsis bergantung pada yang disebut sebagai narcissistic supply, yaitu pandangan orang di sekitarnya yang menampilkan ilusi bahwa ia seorang yang penting, unik, dan istimewa.

Menurut Thienz, dalam kadar berbeda, kebanggaan terhadap diri sendiri dimiliki hampir semua orang. Akan tetapi, jika berlebihan, terutama kebanggaan terhadap fisik (body narcis), ia sudah menjadi penyakit. Narsis tersebut masuk dalam kategori psikologi abnormal. Jumlah pengidap narsis merata di kalangan lelaki dan perempuan. Mereka umumnya sensitif dengan komentar negatif orang lain tentang dirinya.

Penyakit narsis akan lebih parah jika melanda orang- orang impulsif. Pengidap narsis biasanya merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal orang lain karena kelebihannya. Mereka sangat yakin dengan keistimewaan dan keunikan dirinya sendiri. Mereka juga selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Karena yang dipikirkan hanya diri sendiri, pengidap penyakit ini kurang sensitif terhadap orang lain. Mereka pada dasarnya percaya kalau pikiran orang lain sama dengan dirinya.

Perasaan seperti itu harus dibedakan dengan rasa percaya diri. Orang yang memiliki percaya diri, mengetahui kualitas diri sendiri, tetapi tidak bergantung pada pujian orang lain untuk merasa nyaman, serta lebih terbuka terhadap kritik dan saran. Narsis sebaliknya, mereka butuh dukungan dan perhatian serta pengakuan dari orang lain untuk menjaga rasa percaya dirinya (self-esteem). Inilah rahasia terbesar orang narsis, Jauh dalam hati mereka tersimpan sebuah jiwa yang sangat rapuh dan mereka menutupinya dengan menekankan betapa hebatnya mereka, yang terbukti dari banyaknya pujian dari orang lain. Seperti tokoh ibu tiri Putri Salju, yang selalu bertanya pada kaca ajaibnya, "Mirror... mirror on the wall. Who's the fairest of them all?" (Thienz, 2006).

Menurut Rathus dan Nevia dalam Sugito (2005), orang narsis terbiasa memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Setiap orang wajar jika menyukai salah satu kelebihan dirinya. Akan tetapi, yang khas narsis adalah rasa suka terhadap kelebihan dan semua elemen (fisik dan nonfisik) yang melekat pada dirinya itu muncul secara over (berlebihan), konsisten, dan berlanjut. Tanpa pandang waktu dan tempat. Bagi orang-orang narsis, sepucuk pujian dari orang lain adalah tiket yang bisa membawanya terbang ke langit ketujuh. Menurut Sugito (2005), yang khas dari fenomena narsisme sekarang adalah ia sering memiliki objek referensialnya. Lewat media yang secara luar biasa berhasil menghablur massa, narsisisme pada orang yang diselimuti ilusi parasosial dan mistik imaginary audience bisa muncul dengan mengacu pada obyek referensialnya. Pola narsisisme modern ataupun lama, memiliki efek yang nyaris sama. Mereka biasanya selalu mengharapkan perhatian dan perlakuan khusus dari orang lain dan (ini yang penting) mereka biasanya sukar membagi dan mencurahkan kasih sayang terhadap orang lain. Pendek kata, mereka minus dalam berempati.

1.3 Romantisisme

Kata romantisme atau romantisisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:961) merupakan 1) haluan kesusastraan akhir abad ke-18 yang mengutamakan perasaan, pikiran, dan tindakan spontanitas dan 2) aliran dalam seni yang mengutamakan imajinasi, emosi, dan sentimen idealisme.

Jonru (2005) menyatakan bahwa romantisisme pada awalnya merupakan sebuah gerakan di dunia seni yang berawal pada abad ke-19. Gerakan ini memfokuskan diri pada hal-hal yang berhubungan dengan emosi (perasaan) dan kebebasan berimajinasi. Intinya, romantisisme adalah sebuah aliran seni yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur yang paling dominan di Eropa. Gerakan ini dipelopori oleh sejumlah seniman, seperti William Blake, Lord Byron, Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Percy Bysshe Shelley, dan William Wordsworth. Intinya, romantisisme adalah sebuah aliran seni yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur yang paling dominan karena cinta merupakan bagian dari perasaan yang paling menarik, lambat laun istilah ini mengalami penyempitan makna.

Menurut Luxemburg (1991:163), kata romantik berhubungan dengan arti asli yang disandang oleh kata roman di abad pertengahan, yaitu sebuah cerita dalam bahasa rakyat, bahasa roman. Roman abad pertengahan, terutama berupa cerita kesatria, kebanyakan ditulis dalam bentuk sajak. Setelah beberapa waktu, ciri-ciri yang menandai cerita ini bergeser menjadi kejadian tegang dan sering tidak masuk akal serta perasaan luhur tentang kehormatan dan cerita kebangsawanan yang lansung dihubungkan dengan pengertian roman dan romantik.

Kata romantik berhubungan dengan arti asli yang disandang oleh kata roman di abad pertengahan, ialah suatu cerita dalam bahasa rakyat yaitu bahasa roman. Roman abad pertengahan, terutama berupa cerita kesatria, kebanyakan ditulis dalam bentuk sajak. Setelah beberapa waktu ciri-ciri yang menandai cerita ini bergeser menjadi kejadian-kejadian tegang dan sering tidak masuk akal serta perasaan luhur tentang kehormatan dan cerita kebangsawanan yang langsung dihubungkan dengan pengertian roman dan romantik.

Dalam kurun waktu sesudah abad pertengahan, penghargaan terhadap cerita sangat merosot dan lambat laun pengertian romantik mendapat warna negatif. Di zaman pencerahan yang sangat menghargai akal budi, romantik dihubungkan dengan berlebihan, absurd, dan tidak masuk akal. Walaupun demikian, pada masa itu, yang merupakan awal mula zaman romantik, kata romantik mulai lagi digunakan dalam makna positif. Misalnya pemandangan alam yang liar dan angker yang merangsang imajinasi dan menyentuh perasaan pengamatnya. Menjelang akhir abad, romantik dihubungkan dengan pengertian seperti perasaan, subjektivitas, dan keaslian (Luxemburg, 1991: 163-164).

Menurut Ratna (2005:48), secara historik, romantik dan romantisisme berasal dari kata 'roman', yaitu bahasa (dialek) rakyat Perancis pada abad pertengahan. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita khayalan yang aneh dan menarik, cerita yang penuh dengan petualangan, dan cerita yang mengandung percintaan. Sesudah abad pertengahan, makna romantisisme mengalami pasang surut sesuai dengan tanggapan masyarakatnya.

Pada Zaman Pencerahan, misalnya, ketika masyarakat sangat mengutamakan akal sehat, romantisisme diartikan sebagai paham yang absurd, berlebihan, bahkan dianggap tidak masuk akal, Perkembangan terakhir, khususnya akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, romantisisme diartikan sebagai karya seni yang memperjuangkan perasaan dan khayalan, karya seni yang didominasi oleh subjektivitas dan orisinalitas, 'aku' selalu merupakan pusat segala sesuatu.

Masih menurut Ratna (2005: 48—49), ciri-ciri romantisisme seperti itu tampak dalam karya penyair Pujangga Baru, yaitu J. E. Tatengkeng, Amir Hamzah, dan Sanusi Pane. Meskipun demikian, menurut Teeuw (dalam Ratna, 2005), romantisisme tetap berpengaruh hingga Sutardji Calzoum Bachri, bahkan mungkin juga sesudahnya. Menariknya juga, romantisisme tidak hanya berpengaruh sebagai paham dalam karya sastra, tetapi juga dalam kritik. Pembicaraan mengenai seorang penyair, misalnya, dikaitkan dengan 'aku' sebagai penyair. Konsekuensi yang ditimbulkan kemudian adalah kritik. Dan, itu pun bersifat subjektif. Selain perasaan, obsesi romantisisme adalah menemukan dunia secara alamiah, dengan cara kembali ke alam sebagaimana disarankan oleh pelapornya Jean-Jacgues Rousseau.

Menurut Shipley (dalam Ratna, 2005:47), romantik merupakan aliran utama, baik dalam filsafat maupun sastra. Pada umumnya, aliran romantisisme dianggap sebagai memiliki sejarah perkembangan paling panjang, Hal itu sesuai dengan ciri khas sastra, bahkan manusia itu sendiri, yaitu dominasi unsur perasaan. Romantisisme lahir untuk mempertanyakan sekaligus menggoncangkan kepastian rasionalisme dalam filsafat, pada saat seni disamakan dengan mesin. Romantisisme mengajak manusia berpikir dari semata-mata rasional kenonrasional. Berbeda dari periode klasik, bahwa semua formalitas itu merupakan sebuah belenggu, bagi romantisisme, semua bentuk, aturan, konvensi, dan sikap dianggap sebagai kontruksi artifisial. Romantisisme memanfaatkan spontanitas, nafsu, perasaan, dan imajinasi yang dilawankan dengan akal. Romantisisme lahir melalui alam tanpa idealisme dan generalisasi. Inilah yang menuntun seniman secara bebas dan mendalam masuk ke dalam dunia ekspresi.

Menurut Budianta (2005:8), ciri-ciri romantisisme menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa romantisisme sebagai suatu paradigma yang muncul dari kondisi sosial politik tertentu, yakni awal transformasi terhadap sistem monarki menuju tatanan modern yang bertumpu pada individualitas dan kesetaraan. Kedua, bahwa romantisisme sebagai aliran sastra dengan orientasi estetik tertentu tidak terlepas dari asumsi ideologis tentang posisi individu, nasionalisme, dan pandangan tentang yang lain.

Ketiga, romantisisme mewujudkan diri secara berbeda- beda di tempat yang berbeda, sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan politik yang berbeda pula. Keempat, walaupun mengisi ruang waktu dan tempat yang sedemikian luas, dengan berbagai bentuk ekspresi yang sangat bervariasi, dan dengan batas-batas yang tidak serta merta lugas dan jelas, romantisisme dalam kesusastraan Eropa telah mengejawantah sebagai suatu mazhab. Artinya, ia telah mewarnai penciptaan karya seni sastra secara dominan pada suatu masa dan wilayah tertentu akibat pengaruh dan lalu lintas budaya.

Aliran romantik lebih bersifat idealisme. Ruang kesadarannya lebih dominan daripada ruang empiriknya. Ruang kesadaran itu lebih. didominasi oleh kesadaran rasionalitasnya. Justru aliran romantik melawan rasionalisme. Itulah sebabnya mengapa kaum romantik lebih suku memilih tema-tema sejarah, mitos, dan cerita rakyat(Sumarjo, 2005:60).

Selain itu, menurut Budianta (2005:7), kembali ke masa lampau yang jauh dari hingar-bingar, peradaban masa kini merupakan salah satu ciri romantisisme, seperti yang dipelopori oleh Sir Walter Scott dengan genre sastra sejarahnya. Kecenderungan yang sama juga mengarah pada eksotisme, suatu orientasi kepada yang asing dan yang jauh, yang digambarkan sebagai dunia yang memesona secara eksotik. Bersamaan dengan ekspansi Eropa ke dunia-dunia yang dilihat sebagai "perawan" alamnya dan sekaligus "primitif" kebudayaannya, eksotisisme mewarnai cara sastrawan romantik menggambarkan Asia dan dunia lain yang disebut Timur.

Berdasarkan uraian tersebut, jika dikaitkan dengan penelitian ini, istilah romantisisme mengacu kepada perasaan bangga, cinta, dan sentimen idealisme serta perasaan lukur tentang kehormatan terhadap masa lalu. Kebanggaan dan cinta terhadap kejayaan di masa lalu itu tidak dapat dihilangkan dan menjadi bagian dari diri seseorang atau kelompok sehingga turut mempengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku mereka dalam kehidupan.

1.4 Sosiologi Sastra

Hubungan antara sastra dan masyarakat sangat erat. Dengan membaca karya sastra, kita akan menemukan sejumlah persoalan yang ada dalam masyarakat. Dari sinilah muncul anggapan bahwa sastra memantulkan apa yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan masyarakat serta persoalan yang mereka hadapi tersebut, penelitian ini juga akan menerapkan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.

Damono (1979:2) menyimpulkan bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini, teks sastra tidak dianggap utama. Ja hanya merupakan epifenomenon (gejala kedua).

Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial budaya yang terdapat di luar sastra. Di antara kedua pendekatan ini, pendekatan kedualah yang lebih sesuai dengan tujuan penelitian ini.

Mahayana (2005: 336) menyatakan bahwa sosiologi muncul dalam kritik sastra karena adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra tersebut dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat dan gambaran semangat zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai gambaran struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.

Wellek dan Warren (1995:122) menyatakan bahwa dalam sosiologi sastra, pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosiokultural dan sebagai potret kenyataan sosial. Dokumen sosial sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah. Penelitian ini kurang bermanfaat jika memukul rata bahwa sastra adalah cerminan kehidupan, sebuah reproduksi, atau sebuah dokumen sosial. Penelitian ini baru berarti kalau kita meneliti metode artistik yang digunakan novelis. Kita perlu menjawab secara kongkret bagaimana hubungan potret yang muncul dari karya sastra dengan kenyataan sosial. Apakah karya tersebut dimaksudkan sebagai gambaran yang realistis ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisasi romantik? Berangkat dari pendapat itu, penulis mencoba menguraikan persoalan narsisme dan romantisme orang Minang, Apakah betul kondisi tersebut merupakan kenyataan yang sebenarnya atau hanya ungkapan pikiran dan pendapat pengarang untuk melahirkan karya cipta seninya saja.

1.5 Psikologi Sastra

Pembicaraan mengenai narsisisme dan romantisisme sangat erat kaitannya dengan masalah psikologi. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan menerapkan pendekatan secara psikologi sastra. Menurut Mahayana (2005:355), psikologi sastra melakukan pendekatannya dengan melibatkan tiga unsur, yaitu pengarang sebagai pencipta, karya sastra, dan pembaca selaku penikmat. Sebagai tahap awal, karya sastra dianggap sebagai proyeksi pengarang. Aspek emosi yang terdapat dalam karya dianggap mewakili emosi pengarang.

Tahap dua adalah karya sastra itu mengandung data psikologis. Kritikus melacak dan mengungkapkan kebenaran teori psikologi yang diterapkan pengarang serta menunjukkan persamaan dan memisahkan hubungan antara pengarang dan karyanya. Ketiga, kritikus berusaha menyelidiki misi pengarang yang terkandung di dalam karyanya, dalam hal ini pembaca dianggap sebagai objek sasaran pengarang. Tahap dua merupakan aspek psikologi sastra yang cocok diterapkan dalam penelitian ini.

Ratna (2004:62) mengungkapkan bahwa proses kreatif merupakan salah satu model yang banyak dibicarakan dalam rangka pendekatan psikologis. Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering dikaitkan dengan gejala kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, sublimasi, bahkan sebagai neorosis. Oleh karena itu, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala kejiwaan.

Selanjutnya Ratna (2004:62) menguraikan bahwa teori yang paling banyak diacu dalam pendekatan psikologis adalah determinisme psikologi Sigmund Freud. Menurutnya, semua gejala yang mengacu kepada persoalan mental bersifat tidak sadar, yang tertutup oleh alam kesadaran. Dengan adanya ketakseimbangan, kesadaran menimbulkan dorongan, yang pada gilirannya memerlukan kenikmatan, yang disebut libido. Karena proses kreatif merupakan kenikmatan dan memerlukan pemuasan, proses tersebut dianggap sejajar dengan libido.