Nakoda Tenggang/Bab 5
5. LABUHAN PURI
ELANG SEGARA mengepak-ngepakkan layarnya yang turun satu demi satu . Ibarat burung yang hendak masuk ke dalam sarangnya. Segala anak kapal sibuk bekerja. Nakoda pun berdiri dalam anggunnya. Menujukan haluan kapal ke arah yang tepat dengan selamat. Jauh di sana kelihatan pesisir membentang dengan indahnya. Pohon kelapa meliuk-liuk , melambai-lambai. Seolah-olah mengucapkan selamat datang kepala Elang Segara . Kelihatan pula rumah-rumah memutih banyaknya. Sebuah kota pelabuhan yang amat ramai dan besar.
Kapal kapal pun sangat banyak berlabuh di pelabuhan. Meranting nampak puncak tiangnya. Berbagai bentuk dan besarnya. Di puncak tiang berkibar bendera negara yang punya kapal itu. Ada bendera Cina, Siam, Keling, Arab, Indonesia, saling lambai-melambai. Juga sebagai menyambut kedatangan kapal yang baru masuk. Kapal Elang Segara!
Tenggang berdiri di tepi pagar geladak. Ia termenung. Kagum memandang tamasa terbentang di depan matanya. Tetapi khayalan-nya jauh . Teringat teman-teman. Terkenang kedua orang tuanya. Terbayang si Bulan yang sudah menjadi istri Embeh Tembaga putra Batin Hitam. Aduh, meremukkan hati semuanya! Maka jatuh berderailah air mata pemuda yang kacak itu ....
Ia tersentak dari lamunannya. Seorang kawannya datang mendekatinya.
’’Mengapa bersedih hati, Tenggang?” tanya temannya. Si Tenggang tersenyum masam. Ia menyapu air matanya.
’’Lihatlah kawan-kawan bergembira karena kapal akan mendarat, tetapi kau ....” ’’Tentu saja kawan-kawan bergembira. Mereka akan berjumpa dengan anak istrinya yang sudah lama berpisah. Tetapi aku siapa akan kujumpai? Semuanya masih asing bagiku. Memang ada si Bulan dahulu milikku, tetapi sudah dirampas orang lain.”
Tenggang mengisahkan sedikit tentang hubungannya dengan si Bulan. Temannya tersenyum, ”Ah, engkau sedih kehilangan si Bulan? Tak usah risau Tenggang! Di Labuhan banyak bulan. Bahkan jauh lebih indah dan cemerlang dari Bulanmu yang hilang itu. Kau anak angkat Nakoda Jaya. Kau kesayangan kapitan yang berkuasa di kapal ini. Saudagar Biram punya sebutir bulan yang tak terperikan keelokannya. Kau pasti akan terpesona melihatnya, ....” Ditepuknya pundak si Tenggang dan berlalu dari temannya.
Tetapi bagi Tenggang semuanya hanya khayalan. Di cakrawala banyak bulan dan bintang bertaburan. Semuanya indah dan gemerlapan. Tetapi semuanya terlalu tinggi bagi si Tenggang. Ia hanya seorang pemuda Sakai yang miskin.
Dalam pada itu Elang Segara sudah merapat di dermaga. Banyak sekali orang menyambut kedatangannya. Juga kaum keluarga anak kapal. Semua mereka gembira. Gembira yang menanti, gembira pula yang datang. Bagi Tenggang lain pula soalnya. Tak seorang pun dikenalnya antara manusia sebanyak itu.
Tetapi Tenggang tak dapat melamun lama-lama. Seorang pesuruh datang memanggilnya untuk menghadap nakoda.
’’Nah, anakku Tenggang!” ujar nakoda itu. ’’Sekarang kita akan naik ke darat. Kau akan kupertemukan dengan istriku yaitu ibumu.”
Alangkah senangnya hati si Tenggang karena ia akan mendapat seorang ibu. Walaupun hanya ibu angkat. Nakoda pun turun dan menuju ke rumahnya. Bukan main gembira istri nakoda Jaya. Sebab suaminya sudah pulang. Kegembiraannya kian memuncak ketika suaminya berkata, ’’Ini si Tenggang! Ia sudah kuanggap anak sendiri. Dan bagimu anggap pulalah sebagai anak kandung, karena
kita tak mempunyai anak seorang pun.” Istri nakoda menatap wajah anak muda yang tampan itu. Tenggang segera berlutut menghormati ibu angkatnya.
”Berdirilah, Anakku,” katanya, ”kau kuanggap anakku dan kau anggaplah kami sebagai ayah dan ibu kandungmu pula.”
Tenggang berjanji dalam hatinya akan bersikap mematuhi kedua orang tua itu. Dipandangnya orang tua kandungnya. Memang si Tenggang pandai menenggang hati orang. Tak berapa lama istri nakoda sudah terpaut kepada anak muda yang sopan, rajin bekerja, dan giat menuntut berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu pelayaran. Kedua belah pihak merasa sama-sama terhibur. Tenggang mendapat orang tua dan nakoda suami istri mendapat seorang putra.
Dalam pada itu kapal Elang Segara memunggah muatannya. Semingggu lamanya kuli-kuli membongkar muatan kapal itu. Isinya: damar, gaharu, cendana, rempah-rempah, emas perak, dan barang-barang lainnya. Barang-barang itu dijual dengan harga yang layak. Berlipat ganda dari pokoknya semula. Bukan main banyaknya keuntungan yang didapat. Belum lagi dari pelayaran yang lain-lain.
Separo dari keuntungan itu untuk saudagar Biram yang punya kapal dan nakoda Jaya. Seperdua yang lain dibagi secara adil dan merata antara anak-anak kapal. Tenggang menerima pula bagiannya yang cukup lumayan banyaknya. Tetapi Tenggang tak mau menerimanya. Bagiannya diserahkannya kepada ayah angkatnya. Diserahkannya mempergunakan uang itu bagaimana baiknya. Nakoda membagi dua pula bagian si Tenggang. Separo dimasukkannya menjadi modal. Dan sebagian yang lain dibelikannya untuk keperluan Tenggang anak angkatnya. Membeli pakaian, alat-alat keperluannya yang lain. Sehingga sekarang Tenggang sudah menjadi seorang pemuda yang ganteng dan gagah.
Semakin bertambah sayanglah nakoda kepada si Tenggang. Tetapi dia tidak seperti anak-anak muda yang lain. Waktunya selama istirahat di Labuhan Puri dipergunakannya sebaik-baiknya. Untuk belajar dan memperhatikan segala sesuatunya. Otaknya memang cerdas. Elang Segara sudah diperbaiki. Bagian yang rusak-rusak di Banti. Catnya diperbarui. Pelayaran baru akan dimulai pula. Kapal dimuat pula dengan barang-barang aneka jenisnya yang akan di-bawa ke pelabuhan-pelabuhan yang jauh letaknya.
Anak kapal pun diganti. Yang berhenti diganti dengan yang baru. Yang patut dinaikkan pangkatnya dinaikkan darajatnya. Jabatan yang lowong diisi dengan tenaga yang lam. Kebetulan jabatan tandil sedang kosong. Atas usul seorang jabatan yang lowong itu supaya digantikan oleh Tenggang. Nakoda Jaya amat setuju.Memang ia pun sudah lama ingin hendak menaikkan pangkat si Tenggang. Merasa sombongkah si Tenggang karena dinaikkan pangkatnya itu? Oh, tidak, malahan ia semakin merendahkan diri. Jadi dan seorang kelasi Tenggang kini sudah menjadi tandil.
Namun ia tak pernah lupa dengan asal-usulnya. Yakni keturunan suku Sakai. Anak dari Pak Talang dan Pak Deruma yang amat miskin.