Mutiara Bunda

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Mutiara Bunda
oleh Abdul Manaf
52497Mutiara BundaAbdul Manaf

MUTIARA BUNDA

Abdul Manaf
MAN Koto Baru, Padang Panjang



Hari ini nggak punya pacar? Apa kata dunia...

Indah melempar handphonenya ke atas ranjang kasur. Tulisan kecil yang mengisi ruang kecil di kotak masuknya itu tidak terkeluarkan olehnya.

“Pacar! Pacar! Aku benci mendengar kata itu, tidak menyisakan makna sedikitpun bagiku. Apa pentingnya sih pacar itu, bisanya cuma membuat hidup susah, terikat, dan tidak memikirkan lagi masa depan, huh! Aku benci pacar!” Indah mengutuk-ngutuk sms singkat dari Linda, teman sekelasnya itu. Indah tahu Linda adalah cewek yang tidak pernah berhenti yang namanya pacaran, seringkali gonta-ganti pacar, sekali putus tapi nyambung lagi dengan yang lain, begitu seterusnya.

Ting... tong... ting... tong...

Bel rumahnya berbunyi, ia segera membukakan pintu. Ternyata Linda dan Rina, mereka mengenakan pakaian yang obrak-abrik mengumbarkan aurat tanpa mengenakan jilbab.

"Hai Indah. Apa kabar?" Sapa Rina.

"Kabar baik, tumben kalian ke sini, ada apa ya?" Tanya Indah.

"Biasa, In. Kami cuma mau ngajak kamu nanti malam ke rumah Dika, nanti malam Dika mau mengadakan pesta, kamu ikut ya, in. Nantikan malam minggu." dengan bujuk rayuan yang halus Linda mengajak Indah untuk ikut dengan mereka.

"Memangnya Dika mau mengadakan pesta apaan sih, Lin?"

"Biasalah In, pesta anak muda, kamu kayak nggak tahu aja. Nanti malam kita jemput ya, jangan lupa kasih kabar sama gebetan barunya, hehehe," muka Indah merah padam mendengarnya, jantungnya berdebar-debar. Sementara Linda dan Rina tertawa cekikikan dengan tawa khas mereka.

"Gebetan? Enak aja, aku nggak punya gebetan!"

"Ah, nggak usah ditutup-tutupi deh, In. Nanti Indra marah lho," ledek Linda sambil cekikikan, seraya mereka meninggalkan Indah dan kembali menaiki mobil merah yang berada di depan rumah Indah.

"Uh, apa-apaan sih!" mendengar itu tensi indah melonjak.

"Kami tunggu nanti malam ya In. Bosan lho malam minggu di rumah, mending gabung sama kita," lalu mereka berdua berlalu dari rumah Indah.

Indah mendesah, lalu kembali mengunci pintu rumahnya. Namun jantungnya masih berdegup kencang mengingat ucapan Linda tadi mengenai Indra. Entah kenapa ia memikirkan Indra, anak kepala sekolah itu. Tetapi sekali-sekali terselip juga senyuman di bibirnya, apakah itu bertanda cinta atau bukan? Seperti kata orang, kalau cinta itu akan selalu bersemi di hati sepanjang waktu, selalu teringat di manapun berada dan bisa meluluhkan hati.

"Ah, masa bodoh aku berpikir demikian, lebih baik aku merapikan kamarku yang sudah seminggu tidak aku bersihkan," katanya. Lalu ia mengambil sapu dan membersihkan kamarnya, mulai dari lantai, jendela, hingga lotengnya.

Tapi di tengah-tengah membersihkan kamarnya itu, masih juga terpikir-pikir olehnya ajakan Linda dan Rina tadi, ia bingung untuk memutuskan antara pergi atau tidak. Indah tidak biasa mengikuti acara-acara yang demikian, ingin sekali ia untuk bergabung dengan mereka untuk acara nanti malam.

"Aku ikut atau tidak ya?" Pikirnya dalam hati.

"Sekali-sekali tidak masalah kayaknya untuk ikut dengan mereka, lagi pula suntuk juga aku sendirian di rumah. Hmm, tapi apakah aku nanti juga sama seperti mereka yang tidak memakai jilbab, lalu bajunya tidak senonoh dengan baju pendek dan rok mini, lalu rambutnya dibiarkan saja terurai, lagi memakai lipstik yang merona seperti air. Uh, itukan tidak islami banget," Indah semakin bingung, perasaan berkecimuk di hatinya. Pekerjaanpun tidak serius dilakukannya.

Trililit...trililit...

Indah tiba-tiba mendengar handphone-nya berbunyi, ia segera mengambil handphone-nya yang tadi ia lemparkan ke atas kasur. Ternyata sms dari Indra.

'Indah, nanti malam kamu ke rumah Dika ya, aku tunggu!"

Membaca sms itu, kembang bunga bersemi di hati Indah. Semangat kembali hadir dalam langkahnya, di wajahnya tercipta kembali binar-binar kebahagiaan. Pikirannya melayang entah ke mana-mana mengingat isi sms Indra itu.

Sore hari, Indah di suruh bundanya untuk membeli bumbu masakan di toko sebelah rumahnya.

"Indah, tolong belikan Bunda bumbu-bumbu ini di toko sebelah ya," kata Bundanya sambil menyodorkan secarik kertas yang telah dibubuhi nama-nama bumbu yang akan dibeli Indah.

"Ya, Bunda."

Indah segera ke toko sebelah rumahnya membawa secarik kertas yang diberikan bundanya tadi. Sesampainya di toko, Indah langsung mencari bumbu yang dipesan bundanya. Tidak sengaja Indah bertemu dengan Siti, teman satu tempat pengajiannya.

"Eh, Siti. Tumben sore-sore kemari, mau beli apa?"

Siti yang tengah bingung memilih makanan ringan yang diletakkan berjejeran di dinding kanan toko terperanjat seketika.

"Indah? Aku pikir tadi siapa. Aku cuma mau beli susu bubuk In, buat anak tanteku yang baru datang tadi. Kamu sendiri mau ngapain?" Siti balik bertanya.

"Aku disuruh Bunda membeli bumbu-bumbu masakan ini, Ti. Ya sudah, aku mau mencarinya dulu di jejeran sana," seraya Indah berjalan menuju jejeran bumbu-bumbu masakan.

"Tunggu In," dengan sigap Siti memanggilnya.

Indah menghentikan langkahya dan menoleh ke belakang.

"Ada apa, Siti?"

"Nanti malam ke Masjid ya! Ada pengajian dari Ustad Ahmad tentang perilaku menyimpang remaja. Rugi lho kalau tidak hadir. Setelah magrib aku jemput ke rumah kamu ya," jelas Siti dengan muka berbinar.

Indah sedikit bingung untuk memberikan jawaban kepada Siti. Baru saja tadi sore ia diajak Linda dan Rina untuk ikut pesta, sekarang diajak Siti pergi ke Masjid. Malahan waktunya bersamaan.

"Duh, bagaimana ya. Aku lihat keadaan dulu Ti," jawabnya.

Indah kembali melangkah ke tempat tujuannya. Setelah menemukan semua bumbu-bumbu yang disuruh Bundanya, Indah langsung membawanya ke kasir, dan dengan cepat pulang ke rumah.

Bunda sedang memotong kentang di dapur. Melihat itu, Indah mendekatinya dan ikut membantunya mencuci kentang yang telah di potong Bunda.

"Sini Bunda, biar Indah bantu," katanya seraya meletakkan plastik hitam kecil yang berisi bumbu-bumbu masakan, lalu ia mengambil air bersih dengan ember dan memasukkan kentang-kentang itu ke dalamnya.

"Sudah kamu beli semua bumbu-bumbunya?" Tanya Bunda.

"Sudah Bunda."

Saat itu, Indah masih terpikir-pikir akan hal tadi, apakah ia akan ikut Linda dan Rina untuk berpesta ataukah pergi ke Masjid mendengarkan pengajian dari Ustad Ahmad? Ilusi itu terus berkecamuk di benaknya. Saat itulah ia mencurahkan isi hatinya tersebut kepada Bundanya.

"Bunda, aku sedang bingung memikirkan sesuatu," Indah menyempatkan pembicaraan di tengah mencuci bersih kentang-kentang.

"Bingung kenapa?" Jawab Bunda cuek seraya mengambil wortel untuk dipotong selanjutnya. Lalu Indah mulai bercerita.

"Begini Bunda. Tadi siang Linda dan Rina mengajakku untuk ikut pesta di rumah Dika. Tapi barusan Siti juga mengajakku ke Masjid mendengarkan pengajian dari Ustad Ahmad. Kalau menurut Bunda mana yang lebih baik aku ikut pesta atau pengajian?" jelasnya cukup rinci.

"Memangnya Dika mau mengadakan pesta apa, Indah?" Bunda balik bertanya. "Kata mereka pesta anak muda, Bunda."

"Wah, kalau begitu lebih baik kamu ikut pengajian saja, kan lebih jelas tujuannya. Apalagi dengan Ustad Ahmad, pasti banyak selorohnya yang terbaru, iya kan?" Ujar Bunda dengan sedikit senyum.

"Apalagi tempatnya cukup jauh, nanti pulangnya kelewatan malam. Bunda tidak suka anak perempuan Bunda keluyuran malam," tambahnya lagi.

Meskipun demikian, kebingungan masih menghantui Indah. Jikalau pergi ke Masjid apa alasan yang tepat untuk disampaikannya kepada Linda dan Rina. Tapi kalau pergi ke acara pesta, rugi rasanya meninggalkan selorohnya yang mendidik itu. Setelah mencuci kentang-kentang itu Indah pergi ke kamarnya. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh tepat. Segera ia berwudhuk dan mendirikan salat magrib.

Trililit...trililit....

Belum sempat Indah melakukan takbir, handphone-nya kembali berdering. Indah tidak menghiraukannya, ia melanjutkan salatnya dengat sangat khusyuk, bahkan gaduh sedikit pun tidak menggoyahkan keseriusannya.

Selesai salat magrib, Indah mengambil handphone yang berada di kasurnya. Rupanya sms dari Linda.

'Indah, sebentar lagi kami ke rumah kamu ya. Kita langsung berangkat, oke!'

Indah bingung bukan kepalang. Terbesit di pikirannya untuk segera mengenakan gaun yang bagus.

"Sekali-sekali tidak ada salahnya aku ikut pesta yang demikian," batinnya.

Segera ia membongkar isi lemari pakaiannya dan mencari gaun yang paling cocok dikenakannya. Kemudian setelah mengganti pakaian, tidak lupa ia memakai jilbab hijau muda dengan sebuah bros bermotif bunga di samping kiri jilbabnya. Merasa dirinya sudah sangat elok, Indah menemui Bunda yang masih sibuk mengurus dapur yang masih kotor berlepotan minyak, kulit kentang dan wortel.

"Bunda! Aku ikut pestanya Dika saja ya, sesekali kan tidak apa-apa."

Bunda melirik pakaian yang dikenakan Indah, anggun bak bidadari yang baru saja turun kala gerimis berhenti. Apalagi kepalanya dikerudungi dengan jilbab berwarna hijau putih, warna kesukaan Bunda. Tapi Bunda hanya tersenyum saja menatapnya tanpa ada komentar sedikit pun jua.

"Ya sudah. Tapi menurut Bunda lebih baik kamu ikut Siti ke Masjid. Kalau memang itu keinginan kamu bunda juga tidak memaksa. Asalkan kamu tidak melewati batas-batas agama kita saja. Terus kamu tidak boleh terlalu larut malam ya!" Nasehat bunda kepadanya.

"Baik Bunda. Indah akan ingat selalu nasehat Bunda."

Ting...tong...ting...tong......

Bersamaan dengan itu, bel rumahnya kembali berbunyi. Indah berlari menuju pintu dan membukanya. Ternyata Linda, Rina dan Siti berada pada waktu yang bersamaan. Linda dan Rina kembali memamer senyuman khas mereka. Tapi Indah malah terkejut melihat penampilan mereka saat itu, Baju yang dikenakannya melebihi ukuran perempuan remaja seperti mereka. Apalagi Rina, sepatu hitam mengkilat seperti artis kondangan ia lenggokkan ke sana ke mari. Sementara Siti hanya mengenakan Jilbab putih yang diselendanginya, dan memegang Alquran di tangan kanannya, tambah lagi sajadah dan kain salatnya diselempangkan di bahunya.

"Wah...!" Linda kaget melihat pakaian yang dikenakan Indah, sungguh jauh berbeda dengannya.

"Indah! Kok penampilan kamu kayak gini, sih! Malu-maluin deh, kayak kita dong yang pakaiannya sedikit over biar lebih keren," tutur Rina sewot.

Tiba-tiba saja Indah merasa sakit perut. Ia segera meninggalkan mereka bertiga di luar rumah.

"Tunggu sebentar, aku mau ke toilet dulu." Sudah seperempat jam mereka menunggu. Linda dan Rina sudah mulai bosan, sedari tadi dia bolak-balik dari mobilnya ke pintu rumah Indah, begitu juga Rina. Sementara itu, Siti melanjutkan lagi perjalanannya menuju Masjid yang jaraknya cukup dekat dari sana, karena dia berpikiran Indah akan ikut Linda dan Rina.

"Uh, lama banget si Indah. Lebih baik kita tinggalin aja, biar dia tahu rasa. Yuk Rina, kita pergi duluan. Sudah telat seperempat jam nih. Nanti saja kita kabari dia." Mereka beranjak dari pintu rumah Indah kembali ke mobil merah yang sama dengan mobil merah waktu mereka datang siang tadi.

Setelah mobil merah itu berangkat, Indah membuka lagi pintu rumahnya. Ternyata dari tadi Indah menguping pembicaraan mereka dari sana.

'Hehehe, biarkan saja mereka pergi ke pesta itu. Benar juga kata Bunda lebih baik aku ikut pengajian Ustad Ahmad daripada ikut dengan mereka, tidak ada manfaatnya. Apalagi nanti bertemu Indra, wah...tambah kacau deh!' Kata batinnya.

Indah kembali menemui Bunda yang sekarang sudah duduk di ruang makan.

"Bunda! Mereka sudah pergi," ungkapnya senang.

"Nah, itu baru pikiran yang cemerlang. Sekarang cepat ke Masjid, Ustad Ahmad mungkin sudah mulai memberikan pengajian," suruh bunda.

Indah berlari menuju kamarnya dan mengambil Alquran serta sajadah dan mukena karena sekaligus melaksanakan salat isya di Masjid. Ia permisi kepada bunda untuk segera berangkat.

"Bunda, Indah pergi dulu ya," katanya seraya membawa tangan kanan bunda ke keningnya

"Iya, tapi kamu harus benar-benar mendengarkannya, jangan kebanyakan bicara dengan teman sebelah," bunda kembali menuturkan nasehat-nasehatnya. "Iya, Bunda."

Lalu Indah meninggalkan rumahnya sendirian menuju Masjid, rencananya pergi bersama Siti gagal karena sedikit gangguan. Ia sudah perkirakan kalau ia akan datang terlambat, tapi mau bagaimana lagi begitulah keadaannya.

Trililit...trililit....

Handphone Indah lagi-lagi berdering di sakunya, itu adalah sms dari Rina.

'Ternyata pesta itu adalah sukuran penyambutan kakak Dika yang baru saja pulang dari Kairo. Kami kecewa banget In. Udah capek-capek berpakaian seperti bintang film termahal, eh...kejadiannya malah kayak gini.'

Indah cekikikan sendiri membaca isi pesan singkat itu. Untung saja ia tidak jadi ikut dengan Linda dan Rina, kalau memang kejadiannya demikian tentu ia akan malu juga karena yang Dika sendiri tidak ada mengundangnya untuk ikut ke acara itu.

"Beruntung sekali aku tidak ikut mereka. Benar juga nasehat bunda tadi, lebih baik aku melakukan hal positif yang lebih berguna dari pada menghabiskan waktu tanpa menghasilkan apa-apa. Sungguh benar! Nasehat Bunda itu adalah mutiara yang harus aku kalungkan dalam menjalani hari agar terasa lebih indah dan bermakna.

Indah tidak memikirkan lagi keadaan Linda dan Rina. Tanpa pikir panjang, Indah kembali menuju Masjid mendengarkan pengajian dari Ustad Ahmad.