Mengapresiasi Kembali Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Mengapresiasi Kembali Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan
oleh Rahima


Mengapresiasi Kembali Kedudukan
dan Peran Ulama Perempuan


“Ambillah setengah urusan agama kalian dari Humairah“
(Hadis At Tirmidzi)

Pada zamannya, Aisyah ra. yang memiliki julukan Humairah dikenal sebagai perempuan yang sangat cerdas. Begitu cerdasnya, hingga Rasulullah sendiri memberikan kepercayaannya kepadanya untuk memberikan jawaban atas sebagian dari masalah umat. Sejarah mencatat ada 1.210 hadis Rasulullah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Dan sekitar 300 diantaranya bahkan telah diriwayatkan kembali secara bersama oleh ahli hadis Al Bukhari dan Muslim.(Lihat Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Aisyah Mengkoreksi Para Sahabat, halaman 50).

Sayangnya, beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Alih-alih stabil secara sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. “Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.

Martin Van Bruinessen memiliki cerita menarik (namun ironik) dari kisah ketidakpercayaan itu. Di Banjarmasin, ada sebuah kitab kuning bernama Perukunan Jamaluddin. Kitab tersebut membahas beberapa hal yang berhubungan dengan perempuan, seperti masalah haid dan tata cara bersuci bagi seorang perempuan setelah masa haid atau nifasnya selesai. Tapi uniknya, orang Banjarmasin tahu kitab ini bukan ditulis oleh Jamaluddin putra Arsyad al-Banjari melainkan oleh seorang cucu perempuan dari Syeikh Arsyad al-Banjari yang bernama Fatimah. Karena ketidaklaziman akan kemampuan seorang perempuan, masyarakat Banjarmasin sebagian besar tidak bisa menerima Fatimah sebagai penulis kitab fiqh perempuan yang telah memiliki perspektif perempuan itu.

Kisah seperti Fatimah di atas, masih banyak kita jumpai dalam keseharian kita. Betapa sering kita saksikan bahwa ulama perempuan dengan kapasitas keilmuan dan tingkat penyampaian yang sama, tetap memiliki perbedaan pengakuan di mata ummat. Penamaan ulama laki-laki sebagai Kyai, Tuan Guru, Tengku; sementara perempuan sebatas Bu Nyai atau Ustadzah memberi konsekuensi berbeda. Seorang ulama laki-laki dapat memimpin pesantren, memangku jabatan sebagai ketua ormas keagamaan Islam atau Majelis Ulama dan memimpin tabligh akbar, istighosah maupun majelis dzikir yang dihadiri ribuan jama’ah; sementara perempuan sebatas menjadi pendamping Pak Kyai yang notabene urusan domestik pesantren ataupun paling banter memimpin majelis ta’lim tingkat kampung, dan ada juga Nyai yang memimpin Pesantren putri. Hal ini tentu saja berimplikasi pada pengakuan publik, legitimasi politik, atau yang terkadang sungkan untuk disebut implikasi sosial-ekonomi akibat peran ini.

Situasi seperti di atas, tentunya tidak harus terus terjadi. Sebab minimnya peran maupun ketidaksiapan masyarakat untuk memberikan pengakuan (baca : ulama) perempuan dalam upaya menafsirkan teks-teks dalam Islam akan berimbas kepada makin terpuruknya posisi perempuan Islam dalam dominasi patriarkhi. Karena itu, memunculkan ulama-ulama dari kalangan perempuan adalah sebuah urgensitas yang memiliki tujuan mulia dan harus dilestarikan. Perempuan pernah memiliki peran dalam sejarah perkembangan Islam, jadi apa salahnya jika kita menagihnya kembali?

Ulama Sebagai Tonggak Agama
Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi” (Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’). Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian ahlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.

Istilah ulama sendiri merupakan bentuk jamak dari kata benda (fa’il) bahasa Arab ’alim’, berasal dari kata kerja ’alima’ yang berarti “mengetahui” atau “berpengetahuan tentang”. Sedangkan ’alim’ adalah seseorang yang memiliki atribut ’ilm sebagai suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya ulama adalah para pemilik ’ilm.

Begitu “agungnya” kedudukan ulama, sehingga tidak semua orang bercita-cita ingin menjadi ulama. Dalam pemikiran mayoritas mayarakat kita, ketika mendengar kata ulama yang ada dalam bayangan mereka adalah; orang suci, ahli agama, dan sudah pasti berjenis kelamin laki-laki. Padahal jauh saat masa Nabi, sejarah membuktikan bahwa perempuan pun ternyata bisa berkiprah menjadi seorang ulama.

Ulama Perempuan di Zaman Nabi Muhammad saw.
Perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap kaum perempuan pada masa awal Islam sungguh-sungguh berbeda dengan perlakuan masyarakat Arab pra Islam. Semula perempuan dianggap mahluk Tuhan yang hina, bahkan dalam strata sosial, derajat perempuan menempati urutan paling bawah. Sehingga wajar bila saat itu pendidikan kaum hawa sangat tidak diperhatikan. Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami mobilitas vertikal. Gerak perempuan dan kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang keulamaan atau keilmuan terbuka luas. Sumbangan perempuan bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter.

Pada saat itu, perempuan memiliki peran dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, termasuk yang berkaitan dengan urusan publik. Itu terjadi disebabkan ajaran Islam dijalankan secara konsekuen. Soal pendidikan misalnya, Nabi Muhammad tidak pernah membuat garis perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Seperti yang pernah diucapkannya dalam sebuah hadis: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim (lelaki maupun perempuan)” (Riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi dan ibn Abd al-Barr).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Aisyah pernah memuji semangat para perempuan Anshar dalam menuntut ilmu. “Perempuan terbaik adalah mereka dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama,” katanya. (Lihat dalam Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’I). Pendidikan membuat perempuan di masa Nabi menjadi bagian dari sebuah masyarakat yang kritis. Sebagai ilustrasi, ummul mu’minin Ummu Salamah pernah mempertanyakan posisi kaumnya dalam Alquran, “Kami telah menyatakan beriman kepada Islam, dan melakukan hal-hal sebagaimana engkau lakukan. Jadi mengapa hanya kalian lelaki saja yang disebut dalam Alquran, sementara perempuan tidak?” Maka sejak itu sebutan untuk kaum muslimin secara umum dalam Alquran berubah menjadi ‘muslimin wa ‘l-muslimat.

Aisyah ra. (wafat pada 678 M) bisa disebut sebagai representasi ulama perempuan di masa Nabi. Dia dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis, fiqh, sejarah, tafsir, dan ilmu astronomi. Aisyah ra. yang diberi gelar Ummu al-Mu’minin (ibu orang-orang beriman) adalah seorang perempuan yang memiliki pemikiran cerdas sejak muda. Banyak ilmu dari Nabi yang diserap langsung oleh Aisyah. Tidak aneh jika kemudian dia menjadi tempat bertanya bagi banyak sahabat dan menjadi guru para tabiin.

Ulama Perempuan Pasca Nabi Muhammad saw.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., zaman bergeser. Marginalisasi kembali dialami kaum perempuan. Menurut Fatimah Mernisi, Umar ibn Khattab adalah salah seorang khalifah yang harus bertanggungjawab terhadap proses ini. Umar sepertinya “kurang senang” kaum perempuan bergerak ke ranah publik. “Di masanya, peraturan yang keras dan menindas berlaku terhadap kaum perempuan,” tulis Fatimah.

Akibat kebijakan sejenis produk Umar yang - meminjam istilah Martin Van Bruinessen - lebih macho, peran ulama perempuan lambat laun tersisihkan. Jika pada zaman Nabi, rata-rata kaum perempuan didorong untuk mendapat pendidikan yang layak, tidak demikian sepeninggalnya. Akibatnya sangat jelas, jumlah perempuan yang menjadi ulama pun mengalami penurunan yang signifikan. Terutama saat bentuk kekhalifahan yang demokratis tumbang dan digantikan oleh sistem monarkhi.

Kalaupun ulama perempuan masih ada, dia tak memiliki peran yang luas seperti pada zaman Nabi. Wilayahnya hanya terbatas kepada aspek-aspek khusus yang hanya berhubungan dengan dunia mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, mereka justru tak jarang menjadi legitimator para penguasa untuk menarik kembali kaum perempuan dari wilayah publik. Kendati demikian, tak urung muncul juga satu dua ulama perempuan yang menentang mainstream saat itu. Tokoh-tokoh seperti Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd Al-Rahman (w.718 Masehi), Hafshah binti Sirin (w.718 Masehi), Zainab binti Al Syar’i dan Sayyida Nafisa adalah para ulama perempuan yang memiliki pandangan kritis dan sering menyalahi pandangan ulama laki-laki di zamannya.

Dalam beberapa penelitian sejarah, para ulama perempuan bahkan sering dilaporkan menjadi guru dari ulama laki-laki yang terkenal, misalnya, Sayyidah Nafisah yang menjadi guru bagi ulama terkenal al-Shafi’i ketika mengikuti halaqoh di kota Fustat. Imam al Syafi’i dan banyak ulama lain hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk mengaji kepadanya. Dalam catatan riwayat hidup ulama laki-laki yang terkenal tidak jarang terdapat catatan tentang guru-guru perempuan mereka. “Tidak terdapat tanda-tanda bahwa mereka segan atau malu belajar kepada pakar-pakar perempuan tersebut,” tulis Tritton A.S dalam Materials on Muslim Education in the Middle Ages.

Perempuan juga tidak hanya menjadi muffasir atau muhaddist, tetapi juga menjadi pakar dan pengawal tasawwuf. Koleksi nama perempuan-perempuan sufi terkenal diberikan antara lain oleh Javad Nurbakhsh dalam Wanita-wanita Sufi. Prototip sufi perempuan tentu saja adalah Rabi’ah al Adawiyyah (w. sekitar 180 H). Banyak sumber meriwayatkan, bahwa keilmuan dan kesufian Rabi’ah melewati kolega laki-laki. Rabi’ah al Adawiyah, seorang ulama sufi yang tersohor itu menolak perkawinan karena kecintaannya terhadap Allah swt. tidak menyisakan ruang baginya untuk berfikir tentang laki-laki. Konon, Hasan Basri yang mashyur itu jatuh cinta pada Rabi’ah karena terpana akan sikap tawadhu’ dan kesaktiannya.

Tantangan Perempuan menjadi Ulama
Eksistensi ulama perempuan — baik dalam ilmu-ilmu hadis atau tafsir maupun tasawuf – seyogyanya memang tidak diragukan lagi. Tetapi, terlepas dari hal ini, satu hal yang sudah jelas : jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ulama laki-laki, dan bahkan popularitas mereka masih kalah jauh dibandingkan dengan laki-laki. Begitupun dalam produktivitas keilmuan, sangat jarang - untuk tidak mengatakan tak ada - ditemukan karya-karya monumental dalam bidang keagamaan yang dihasilkan “ulama perempuan”. Bisa jadi karena faktor itulah, Ibn Hajj —seorang ulama dan penulis kamus biografi asal Mesir— berpendapat, bahwa ulama-ulama perempuan pada umumnya mempunyai kualitas lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Tidak menutup kemungkinan pandangan seperti ini juga muncul karena perempuan harus mengalami tantangan yang bersifat ganda. Perempuan juga harus dapat memperjuangkan hak-haknya seperti kisah Hajjah Sua yang cerdas dan pintar dari Pesantren Cipasung Tasikmalaya yang menolak dimadu oleh seorang kyai besar di daerah tersebut, disamping harus menyelesaikan kitab untuk menjadi “ulama”. Selain itu, ulama perempuan juga mengalami banyak tantangan di ranah domestik. Banyak ibu Nyai yang masih diam dan gamang ketika menghadapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga. “Kekhasan” ulama perempuan ini juga sangat terkait dengan dan perjuangan mereka melawan “patriarki”. Barangkali kita masih bisa mengingat Sukaynah cicit Nabi yang pernah memperkarakan suaminya yang berpoligami.

Kesempatan bagi perempuan untuk mendalami pengetahuan keagamaan secara mendalam untuk kemudian dapat dikatakan sebagai seorang yang alim (orang yang berilmu) dihadang oleh berbagai persoalan. Misalnya budaya patriarki seringkali menganggap perempuan tidak layak mendapatkan pendidikan yang tinggi dengan alasan bahwa perempuan mesti kembali ke urusan domestik. Hal inilah yang menyebabkan perempuan hampir tidak mendapatkan prioritas dalam kesempatan pendidikan. Akibatnya perempuan dipinggirkan, perempuan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan dirinya. Terbatasnya akses perempuan akan pendidikan, terutama pengetahuan keagamaan tidak seluas laki-laki. Penafsiran agamapun ikut melegitimasi ketidakadilan yang dialami perempuan. Hal ini terlihat dalam pandangan Al-Nawawi, ulama terkemuka asal Banten, dalam kitabnya yang terkenal, Uqud Al-Lujjain, bahwa perempuan itu tempatnya di rumah, tugas mereka yang utama adalah melahirkan anak, mengurus rumah tangga, dan melayani suami.

Padahal dalam khasanah sejarah Islam kita mengenal beberapa ulama perempuan yang handal. Mereka adalah periwayat ribuan hadis shahih, yang senantiasa bersikap kritis dalam mencari kebenaran pada masa pewahyuan, tokoh yang cukup legendaris di dunia tasawuf. Bahkan beberapa diantara mereka juga pernah menjadi guru dari beberapa imam besar dari berbagai mazhab. Islam pun secara normatif memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, kemudian pada gilirannya nanti mereka dituntut untuk mengabdikan ilmu mereka ke masyarakat. Bukankah tidak ada yang paling mulia di sisi Allah swt, kecuali tingkat ilmu dan ketakwaannya?.

Melahirkan Kembali Ulama Perempuan
Di era abad 21 ini, secara umum dunia perempuan belum juga terbebas dari belenggu sistem patriarkhi. Hal tersebut termasuk meliputi pula beberapa negeri-negeri Islam. Situasi ini bisa jadi disebabkan minimnya jumlah ulama perempuan yang berpengaruh dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan teks-teks Alquran dan hadis dalam koridor perspektif perempuan. Kalaupun ada, mereka memiliki resiko “dimatikan” sebelum tumbuh berkembang.

Ulama perempuan memang tidak serta merta memiliki perspektif perempuan, dan bukan berarti tidak ada ulama laki-laki yang berperspektif perempuan. Namun, dengan minimnya perempuan mendapatkan kesempatan untuk menjadi ulama, akan membuat suara perempuan akan menjadi tak terdengar bahkan hilang. Dengan mendidik ulama perempuan untuk lebih mengasah kepekaan pada hak perempuan, akan membuat suara perempuan yang selama ini banyak termarginalkan dapat terangkat ke permukaan. Dengan perempuan bersuara dan berperan, diharapkan secara perlahan ulama perempuan yang memiliki perspektif perempuan semakin diakui otoritasnya.

Saat ini juga tengah terjadi ikhtiar di beberapa organisasi keagamaan Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk melibatkan kaum perempuan di ranah keulamaan. Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya, saat ini telah mengakomodir kehadiran beberapa ulama perempuan. Namun perjuangan untuk memperkuat kembali kehadiran para ulama perempuan ini bukanlah perkara yang mudah. Upaya untuk memasukkan nama-nama perempuan di jajaran Syuriah NU, misalnya juga masih memerlukan perjuangan yang panjang.

Keprihatinan ini juga telah menjadi pemikiran Rahima untuk menyelenggarakan program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP). Kehadiran ulama perempuan perlu ditumbuhkembangkan guna memperkaya produk keagamaan dengan perspektif perempuan. Dengan mengasah ketajaman analisis sosial mereka melalui perspektif perempuan; diharapkan mereka dapat beraktualisasi lebih besar di lembaga-lembaga keulamaan untuk menyuarakan kepentingan dan memberdayakan perempuan sebagai kelompok umat yang selama ini terpinggirkan.

Penutup
Sesungguhnya penegakan nilai-nilai Islam di muka bumi ini, sejak mulanya telah membawa semangat egaliter. Bahwa semua manusia mempunyai berbagai hak untuk menjadi manusia yang bermartabat, termasuk mendapat pendidikan dan pengakuan akan keahliannya. Jadi bukan sekedar “alasan duniawi” atau inspirasi dari ranah di luar Islam atau sekedar alasan emansipasi semata. Pengakuan terhadap keulamaan perempuan dan sekaligus upaya melakukan penyemaian adalah berangkat dari nilai kesetaraan dan keadilan, sebagai nilai fundamental Islam, agama yang kita percaya sebagai pembawa rahmatan bagi alam semesta. Dan hal ini telah ditunjukakan secara prima oleh Muhammad pada masa kenabiannya.

Untuk memperbanyak jumlah ulama perempuan dimasa depan, tidak ada pilihan lain kaum perempuan harus memperoleh dan menggunakan akses dan peluang dalam lembaga-lembaga keagamaan, terutama lembaga pendidikan seluas-luasnya. Disamping itu kaum perempuan sendiri harus meningkatkan kualitas diri dan kemampuan intelektualitasnya melalui jalur pendidikan. Ikhtiar untuk menumbuhkembangkan ulama perempuan tentu menjadi concern kita sehingga persoalan yang selama ini dihadapi oleh perempuan dapat terjawabkan. ]