Mendung di Rumah Gadang

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Mendung di Rumah Gadang
oleh Ria Febrina
52635Mendung di Rumah GadangRia Febrina

MENDUNG DI RUMAH GADANG

Ria Febrina

SMA N 1 Padang

“MASALAH ini sebenarnya kecil, Tuk. Hitungan menit saja mungkin bisa diselesaikan. Hanya saja yang ingin saya tegaskan, di mana rasa bersalah dan tanggung jawab dia sebagai kakak?” suara napas itu terdengar memburu, marah.

“Yang saya tahu, adat Minang sangat menjunjung tinggi harga diri. Kalau benar dipatagak, kalau salah diperbaiki. Semua kita tahu, kan, kakak sangat salah menilai istri saya. Terlalu mengada-ada cara pandangnya. Seharusnya dia malu berkata seperti itu, apalagi kepada iparnya,” ujar Mak Idai, mamakku, mengomentari masalah yang terjadi, tetap sambil melengah mengalih pandang dari tatapan Ibu.

Ia kelihatan sangat marah. Terlihat dari sikap duduknya di depan bilik tengah rumah gadang, ongkang kaki, menyiratkan ketidaksopanan. "H..h..h.., tak bisa begini, Datuk. Seharusnya ia sadar dan bisa menilai, mengapa orang lain bisa berpikiran seperti itu kepada istrinya. Lalu mencoba melihat sisi kebenarannya, kan? Tapi dia? Selalu begitu, dialah yang benar, orang lain tak pernah dianggap olehnya," suara Ibu terisak.

"Hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja, Datuk. Masalah ini sudah semakin besar dan harus segera diselesaikan. Dua tahun bukan waktu yang sing...kat, Daa..tuk. Kami sudah tak sanggup menahan egonya yang terlalu tinggi," ujar Ibu dengan senggukannya. Sementara itu, Mak Idai merasa sudah muak dan acuh saja dengan komentar Ibu.

"Sudahlah, Tuk. Perempuan selalu saja begitu. Dengan isak tangis juga ia mengiba. Jikalau begini terus, biarlah masalah semakin mengambang. Saya selaku mamak dari kemanakannya di rumah gadang nan tuo, kini lepas tangan. Coba saja diperturutkan kata kakak, tu. Saya lepas segala masalah di sini, di rumah gadang nan batuah, rumah gadang urang Piliang. Saya turun dari rumah, assalamualaikum." Mak Idai berdiri dan berjalan ke tengah ruangan lalu turun ke jenjang dan berlalu dari hadapan kami.

Semua yang berada di rumah gadang saat itu geleng- geleng kepala melihat tindak Mak Idai saat turun dari rumah, kelihatan sangat kanak-kanak. Ibu apalagi, ia semakin terluka dengan kata-kata Mak Idai yang sangat menyinggung, seakan- akan hanya Mak Idai yang benar, begitulah pendapatkn saat itu walaupun belum tahu apa permasalahan yang sebenarnya. Tapi, aku yang duduk di sebelah ibu, di depan bilik tepi rumah gadang, hanya terpaku pada air teh dalam teku yang disajikan etek Ina, yang rumah gadangnya dipakai saat ini untuk menyelesaikan masalah. Aku tak mampu menyanggah karena masih dianggap kecil, masih ketek, itulah ungkapan mereka.

Suara tangis ibu semakin meninggi. Ibu menepuk-nepuk dadanya dan menghentakkan kaki ke lantai kayu rumah gadang. Tak lepas juga, etek-etek, saudara ibu yang tak senenek ikut menjatuhkan air mata karenanya. Ayah, sebagai sumando di rumah gadang ibu, hanya terpaku mendengar. la mencoba menenangkan ibu yang semakin keras tangisannya.

"Sudahlah, Siti, tak perlu kau tangiskan lagi. Yang ada ya begitu," ujar Ayah kepada Ibu.  “Biarlah, Sutan, si Siti melepaskan hatinya yang semakin iba, maklumlah perempuan. Dengan cara begini kami mampu melepaskan,” ujar Tek Ina lagi.

 Datuk di rumah gadang itu pun mulai mengambil alih permasalahan. Sambil menyulut rokok sebatang, ia mulai menengahi.

 “Siti, kami juga merasakan betapa sedihnya hati kau diperlakukan begitu oleh adik kandung sendiri, mamak bagi anak-anak kau. Tapi sudahlah, api tak perlu ditambah minyak, semakin terbakar pula ia di dada. Kau selaku kakak, hendaknya mengalah kini. Jikalau kau teruskan adu bicara, bagai mencari jarum di tumpukan jerami nantinya. Kalau kau mau mendengar, kita putuskan kata sepakat malam ini. Kita lepas adik nan satu itu, biar terasa pula olehnya, di mana kesalahannya memilih dan memilah yang benar. Percayalah Kau, Siti, suatu saat kebenaran itu akan datang,” ujar Datuk, orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah di adat Minangkabau itu, menengahi.

 “Betul, Siti. Kini benar-benar kita lepas ia ke tengah. Biar mancubo pula ia, nan asam garam kehidupan itu. Percayalah, kalau adat minang yang ditentang, ndak kan ado tiang untuak bagantuang,Tek Ida kembali menegaskan kata Datuk.

 “Iya, Siti. Ambo kan masih hiduik, Kakak dari orang tua kau. Kita lihat bersama, sukses ndak ia mengambil keputusan,” Nek Ana, kakak nenek, yang duduk di balairung rumah gadang, menambahi.

 Semua yang mendengar pun mengangguk-anggukkan kepala, pertanda setuju dengan keputusan Datuk malam itu.

***

 “Ratih, ada apa gerangan adik bermenung?” Kak Ari, kakakku, datang menghampiri dari dalam rumah.

 Aku yang sedang duduk di beranda lantai dua, rumah yang menghadap ke arah pantai Padang, terbata-bata menjawab.

 “E..., nnggak... Kak. Nggak ada apa-apa, kok,” ujarku beralih.

 “Janganlah berbohong, Dik. Kakak tahu gundah yang kau simpan. Terus teranglah, siapa tahu Kakak bisa membantu," ujar Kak Ari sembari duduk di samping kananku, melihat semburat senja yang hampir tenggelam.

“Tidak tahulah, Kak. Tadi malam Ratih bermimipi. Mak Idai serasa datang ke rumah kita, tapi hanya Ratih yang menyambutnya. Dia menanyakan Ibu dan Ayah, wajahnya sendu, seakan habis menangis. Lalu, Ratih menjawab, Ibu sedang ke pasar. Mak Idai menepuk-nepuk pundak Ratih, Kak. Ia tersenyum, kemudian kembali berkata, jaga ibu, ya, Tih. Jangan buat dia banyak berpikir. Jangan seperti mamak, terlalu egois, tak mau mendengar kata yang benar,” aku memaku pada lantai.

“Kemudian, ia pergi setelah membelai rambut Ratih, Kak. Sekarang Ratih jadi memikirkan Mak Idai. Ada apa ya, Kak?" aku menjelaskan maksud hati yang risau.

“Tidak tahulah, Dik. Barangkali dia teringat dengan kita, terlebih Ibu, kakaknya. Taragakjo rumah gadang, kata orang tua,” jawab Kak Ari.

“Mungkin juga, Kak. Ratih jadi teringat peristiwa 3 tahun lalu di rumah gadang Tek Ina. Sudah Jama ya, Kak, Ibu dan Mak Idai bertengkar. Padahal, hanya karena perbedaan adat antara kita dan Tante Umi, istrinya Mak Idai. Yaa, kita kan sama-sama tahu, Tante Umi urang sanang, sudah kaya sedari dulunya. Mungkin itu yang membuatnya seperti itu,” aku berhenti sejenak sambil menarik napas.

“Hampir lima kali pula hari raya datang ke rumah, mereka tetap bersikukuh,” kataku semakin melemah, agak iba melihat keadaan keluarga yang seperti ini.

“Kak, Ratih kangen sama suasana bahagia di rumah gadang kita. Kakak masih ingat, kan? Tiap minggu di bulan puasa, Mak Idai selalu datang ke rumah kita dengan Tante Umi. Sehabis pulang salat Id, kita yang selalu berkunjung ke rumahnya untuk silaturahmi. Esoknya, kita bareng-bareng pulang ke kampung, ziarah ke kuburan Nek Tina. Iya, kan, Kak?” kataku mulai menitikkan air mata.

“Ratih rindu dengan keadaan itu, Kak," ucapku lagi, Kurasakan kehangatan pelukan Kak Ari, ia merangkulku.

“Kakak tahu, Tih. Tapi apa boleh buat, mendung tak kunjung beralih dari gonjong rumah gadang kita. Bersabarlah.

143

mudah-mudahan tahun ini masalah Ibu bisa selesai dengan Mak Idai,”kKak Ari mencoba menenangkanku.

“Tapi, siapa, Kak, orang yang akan membawa masalah ini ke permukaan? Umur Ratih hampir menginjak usia 17 tahun. Tahun depan Ratih akan merantau ke negeri orang, menuntut ilmu. Kakak, kan, tahu, Ratih bercita-cita masuk STAN". Kapan waktunya Ratih melihat senyum Ibu lagi, Kak?” Aku semakin tak kuasa meluapkan rasa yang mengganjal di hati.

Kak Ari masih membisu. Ja kelihatan sibuk dengan pikirannya sendiri, membayangkan ucapanku tadi. Aku masih terpaku pada pantai, yang sebentar lagi akan dihampiri senja.

***

Sudah hari ketiga Kak Ari kulihat pulang larut malam. Malahan, tadi malam Ibu juga ikut pergi dengan Kak Ari, tak tahu ke mana. Aku semakin bingung, ribuan tanya singgah di benakku.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ibu dan Kak Ari masih bercerita di luar, Ayah kudengar juga ikut serta. Aku tadi sempat tertidur beberapa jam. Namun, karena mendengar suara bisik di luar, aku jadi terbangun.

Kudengar Ibu menangis. Setelah kuteliti, ada nama Mak Idai yang disebut-sebut. Pikiranku semakin bertanya, ada apa dengan Mak Idai? Mengapa Ibu tiba-tiba membicarakan Mak Idai tengah malam begini? Apakah karena ucapanku kepada Kak Ari? Ah.., pikiranku semakin berkecamuk. Tak bisa aku menemukan jawabannya, kutarik saja selimut hingga ke dada. Aku kembali menidurkan mata, diiringi langit malam yang semakin lama turun ke bumi.

***

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Ibu dan Kak Ari tak jua kunjung datang. Persis, seperti kemarin, mereka akan pulang larut malam lagi. Mataku semakin berontak untuk ditidurkan. Tak kuasa aku menahan kantuk, aku pun tertidur di depan TV, di ruang tamu dengan luas 5 x 6 m itu.

“Tih..., Ratih...” samar-samar kudengar suara orang memanggil.

144

Dengan berat, kubuka mata. Kumelangkah dengan gontai ke arah pintu karena kutahu ibulah yang memanggilku.

Aku tak sabar jua ingin menyakan mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu pulang larut malam. Pintu kubuka, niatku, pertanyaan itu akan segera kusodorkan ke hadapan ibu, tapi terpaksa tersekat di ujung lidah. Mata ibu sembab. Kelihatannya ibu seperti menangis lama. Ada masalah berat yang terjadi, pikirku tak ingin menambah beban ibu.

Pintu kubuka lebar, ibu masuk dan langsung menuju dapur. Mereka tak ada yang berkomentar, baik ayah, ibu maupun kakak. Tubuhku jadi mematung di depan pintu,

“Tih...,” suara berat Ibu memanggil. “Iya...,” sahutku.

Aku beranjak ke dapur. Ibu minta tolong disiapkan makanan buat Ayah, “Jangan lupa secangkir teh,” Ibu berpesan sebelum berlalu dari hadapanku. Aku mengangguk dan langsung mengerjakan itu. Makanan Ayah kuhidangkan di meja makan di ruang makan. Tentu dengan secangkir teh hangat. Setelah kusajikan, aku pun beranjak ke lantai dua, tepatnya ke kamar, untuk menidurkan malam di mata yang mulai berat.

***

Mentari belum kulihat melongokkan sinarnya, tapi dering jam bekel berulang kali kudengar di samping tempat tidur, memaksaku untuk bangun. Aku heran siapa yang menyetelnya. Jarum kulihat ada di angka 5, masih pagi, pikirku.

Tapi hati kecilku berkata, ayo bangun, pasti ada sesuatu yang penting dibicarakan oleh kakak, ibu, atav ayah hingga mereka menyetel alarm untukku. Dengan langkah gontai, kubawa badan ke kamar mandi.

Aku sedang bercermin di depan kaca. Kak Ari kudengar mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Aku menyuruhnya masuk. Suara pintu kudengar berdecit di pagi ini. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, swasana masih remang-remang.

“Tih..., boleh bicara sebentar?" Kak Ari menyuruhku duduk di sampingnya, di atas tempat tidurku.

“Mmm....,” kataku sembari duduk.

145

“Kakak tahu kamu pasti ingin bertanya perihal kami yang sering pulang malam.”

Aku mengangguk dengan pasti, menandakan bahwa itulah yang ingin kudengar.

“Sore itu Ratih sempat menanyakan perihal mimpi ke Kak Ari, kan?” Kak Ari memulai bercerita.

“Kak Ari jadi kepikiran karenanya. Esoknya, kakak datang ke ruko Mak Idai di jalan Rasuna Said. Kak Ari hanya mendapati Tante Umi di sana. Kak Ari belanja beberapa keperluan. Sewaktu hendak pulang, Tante Umi memanggil ke atas, ke rumahnya dilantai dua,” suara Kak Ari agak berat.

“Tante Umi bercerita, Mak Idai sangat merindukan kita, terlebih akhir-akhir ini, ia mulai sakit-sakitan. Tiap malam Mak Idai menyebut nama Ibu. Tapi, esoknya tetap Ibu yang disalahkan dalam masalah dulu. Sebenarnya Ibu benar, Tante Umi yang terlalu berlebihan mengatur Mak Idai. Yaa, tanpa disadari Mak Idai, tentunya. Tidak boleh bertemu dengan kemanakan terlalu sering, jangan bercakap-cakap di lepau, atau apalah yang membuat Mak Idai jadi jarang bertemu dengan kita. Tapi, mau bagaimana lagi, Tante Umi sangat cemburu dengan kasih sayang Mak Idai kepada kita.”

Kak Ari bercerita kepadaku. Sesekali ia mendesah, tanda masalah ini cukup rumit, tapi sedikit menggelikan jika kupikir. Dan aku semakin memasang telinga baik-baik dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan.

Aku jadi tahu, beberapa bulan setelah pertengkaran ibu dan Mak Idai di rumah gadang malam itu, ternyata Mak Idai tak habis pikir, mengapa ibu terlalu menyalahkan Tante Umi, yang terlalu picik, maambiak muko, pangecek di balakang, takut diminta duit oleh kemanakan, yaa, kira-kira begitulah pangkal permasalahan yang kudengar. Padahal, Tante Umi sangat menuruti setiap kata yang dilontarkan Mak Idai. Makanya, Mak Idai sangat marah dan tak mau mendengar perkataan siapa pun malam itu.

Setiap malam Mak Idai singgah ke lapau hingga tengah malam. Ia menghabiskan waktunya dengan minum minuman keras. Ya semakin terpuruk dengan kenyataan akan berpisah dengan kakak yang paling ia cintai. Tampek baiyo kala susah dan senang, semenjak nenek meninggal. Tante Umi tak sanggup melarangnya. Walaupun Mak Idai tidak berbuat kasar, kepedihan yang ia tahu diderita Mak Idai, membuat tante tak bisa berbuat apa-apa. Ia membiarkan Mak Idai melepas rasa sakit yang terlalu dalam hingga suatu hari keadaan Mak Idai sangat kritis dan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit. Mak Idai menderita bronkhitis. Ia sempat dirawat.

Ahh...., aku semakin terharu dengan keadaan Mak Idai. Terbayangkan olehku, Mak Idai yang kekar dan sangat pemberani, kini tubuhnya hanya terbungkus kulit. Kurus di makan masalah yang sampai sekarang belum jua selesai.

“Mak Idai..., Mak Idai..,” pikirku melayang, jauh menembus dinding, lebih jauh dari sinar mentari yang mulai merambat masuk.

“Tih...., Ratih,” Kak Ari mengejutkanku.

“Ratih sekarang sudah tahu permasalahannya. Kakak akhir ini sibuk menemui Mak Idai, juga Datuk, untuk meminta tolong agar masalah Ibu dan Mak Idai dapat diluruskan kembali. Dan masalah itu sudah hampir selesai. Mak Idai dan Ibu sudah mau mengakui kesalahan, yang menurut kita memang sedikit bodoh jika diperpanjang.”

“Rencananya, sore ini semua akan berkumpul di rumah. Ibu berniat ingin menyelesaikan masalah ini hingga tuntas. Sebagai tanda maaf agar masalah ini benar-benar kelar, Ibu mengundang Mak Idai dan keluarga datang ke rumah kita."

“Kakak ingin mengingatkan kamu agar cepat pulang sekolah. Tolong bantu-bantu Ibu memasak di dapur, yah. Kalau bisa kegiatan di luar jam pelajaran dihindari dulu. Kamu ingin bertemu Mak Idai, kan?”

Aku mengangguk. Di pikiranku sudah berkelabat berbagai pikiran mengenai Mak Idai. Aku membayangkan, bagaimana situasi nanti ketika kami saling berpelukan untuk melepas segala kesalahpahaman ini. Aku jadi tersenyum karenanya.

“Ratih?” Kak Ari kembali mengagetkan aku.

Pikiranku buyar mengenai Mak Idai. Kak Ari bangkit dari tempat tidur dan berlalu meninggalkanku dengan senyum kepastian bahwa nanti akan muncul kebahagiaan di hadapanku dan ibu.

Mak Idai tepat berada di hadapanku. Aku semakin terenyuh dengan keadaannya. Wajah Mak Idai pucat, tak ada rona kebahagiaan tergores di sana. Namun, secercah senyum menapak di mukanya, menandakan ia siap meraih kebahagiaan itu lagi.

Tapi, senyum tak hanya cukup menyiratkan itu. Lingkar hitam di bawah matanya juga menyiratkan bekas kepedihan yang selama ini ia tahan. Tonjolan pipi juga memperjelas kepenatannya dalami merangkul masalah yang tak sanggup ia pikul sendiri.

Helaian putih ikut mencuat di sela-sela rambutnya, seakan ikut menyuarakan, betapa malangnya nasib Mak Idai yang masih muda dirasa.

Ahh...., Mak Idai, Kau begitu kelihatan sangat tua, padahal masih berusia 35 tahun, batinku berucap.

Aku menyalami Mak Idai, mencium punggung tangannya. Ia membelai kepalaku. Entah dorongan apa yang menghampiriku, aku langsung memeluk Mak Idai, mencurahkan perasaan dengan derai air mata di dadanya, yang masih nyaman kurasa. Aku pun merasakan tetesan hangat air matanya jatuh di pundakku.

Suasana menjadi semakin terharu karenaku. Ibu dan Tante Umi ikut meneteskan air mata. Aku sebenarnya takut melakukan ini karena ayah pernah berkata, “Jangan pernah bergantung kepada Mak Idai lagi.” Tapi, batinku berkata lain, aku merasa sangat membutuhkan Mak Idai karena aku sangat menyayanginya. Untunglah, ayah tak lagi menyiratkan kemarahannya.

".. Sudahlah Idai, hendaknya kaujejakkan dulu kaki di rumah kakakmu. Sudah terlalu lama kamu pergi dan sekarang lihatlah rumah kakakmu ini, sangat merindukan kehangatan darimu..,” Tek Ida berujar menenangkan suasana.

Aku melepaskan pelukan itu. Mak Idai menghapus air matanya, dan berjalan ke dalam rumah. Aku lalu beralih menyalami Tante Umi dan mencium Iva, anaknya Mak Idai.

Kami pun bersama-sama melepas kerinduan di hamparan tikar yang kubentangkan di ruang tamu. Mak Idai duduk bersebelahan dengan Kak Ari di sudut ruangan, membelakangi jendela. Ibu dan Tek Ida duduk di seberangnya, menghadap ke arah laut. Ayah dan Datuk duduk di sisi kanan Mak Idai. Aku dan Tante Umi, juga Iva, duduk berseberangan dengan ayah dan Datuk.

Kami melepas waktu dengan cerita masa lalu. Ahhh..., aku jadi teringat saat-saat seperti ini. Kapan, ya? Terlalu lama waktu itu pergi, hingga aku tak kuasa mengingatnya lagi.

“Tih..., Ratih..?” Kak Ari tiba-tiba mengejutkanku dari belakang. “Ah..., ya, Kak,” jawabku terbata-bata.

“Lho..., sore-sore, kok, melamun. Pamali, kata orang tua-tua.” Kak Ari mengambil posisi dan duduk di sampingku. Ikut menikmati senja yang semakin turun merangkak ke bumi.

“Ada apa, sih? Sampai-sampai waktu begitu lama kaunikmati dengan khayalan panjang?” Kak Ari menanyaiku.

Aku tersenyum pedih melihat Kak Ari, menengok kenyataan yang masih jauh dari khayalan yang baru kubayangkan. Aku tak tahu menceritakan ini atau tidak. Aku menatap setiap sudut mata Kak Ari, meminta jawaban agar mau mendengarkan kegundahanku, Burung camar menukik rendah terbang di udara. Ia setuju dengan pandanganku. Kini saatnya, mendung berbalut ego dilepas. Lepas dari kepedihan gonjong Rumah Gadang.