Lompat ke isi

Memutuskan Pertalian/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

III. PERGI MERANTAU

Tinggal kampung, tinggal terata,
anak isteri demikian lagi.
Gerak dan gerik hati berdetak,
rasakan tidak bertemu lagi.


Embun pada daun sudah menguap kena sinar matahari yang agak panas. Kabut yang tebal telah lama diterbangkan cahaya siang. Angin pun tenang tak berembus, sehelai daun tidak bergoyang. Hari cerah terang cuaca, tidak remang sedikit jua. Langit tidak berawan, terhampar tinggi atas angkasa. Matahari memancarkan cahayanya yang cemerlang ke muka 'alam jagat yang amat luas ini. Gunung dan bukit barisan keliling kota Bukit Tinggi hijau biru tampak rupanya.

Hari hampir pukul delapan pagi. Di halaman sekolah Agam kelihatan murid-murid berlari-larian, melompat ke sana, berlari ke sin1 dan berkejar-kejaran. Ada yang main galah, berkuda-kudaan, ada pula yang tangkap-menangkap dengan kawan-kawannya. Di rusuk dan di belakang sekolah, tampak pula murid-murid main kelereng, mengadu cekatan, mencahari kemenangan. Riuh rendah sorak mereka yang menang, dan keluh yang kalah pun tiada kurang kedengaran. Di beranda sekolah murid-murid perempuan bersimbang, bermain kucing buta dan lain-lain sebagainya. Sekalian permainan itu dilakukan mereka dengan riang dan tepuk tangan yang serempak, akan menggembirakan hati si pemain.

Dalam sekolah di kelas lima, sekalian guru-guru berkumpul, asyik bercakap-cakap. Gelak dan tertawa disertai pula dengan gerak tangan akan menjelaskan apa yang dikatakannya. Di antara guru-guru itu, seorang kelihatan muram saja rupanya. Sungguhpun guru itu sekali-sekali ada juga tertawa, tetapi tampak tertawanya itu sebagai di buat-buat. Guru yang demikian, ialah Kasim, yang sehari dua lagi akan berlayar ke Pontianak. "Ah, mengapa engku termenung?" ujar Sutan Diatas, guru kepala di sekolah itu kepada guru Kasim. "Sepatutnya engku bergirang hati, karena sudah naik pangkat. Akan tetapi saya lihat muka engku muram saja. Apakah yang engku pikirkan? "

Guru Kasim terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sedang melihat sebuah gambar, tetapi pikirannya melayang jauh. Sambil berpaling ia pun berkata dengan tersenyum simpul, katanya. "Tidak, ..... engku!" Ia berhenti menghilangkan buah pikirannya, kemudian berkata pula sambil menunjuk, "Gambar itu, yaitu perbuatan tanganku sendiri, entahkan tak kulihat lagi. Hanya itulah buah tanganku di sekolah ini untuk rnenjadi kenang-kenangan."

"Tak kulihat lagi, bagaimana?" jawab Sutan Diatas. "Selama-lamanya engku di Pontianak itu dua atau tiga tahun, lalu dipindahkan pula ke Minangkabau ini."

"Mudah-mudahan demikianlah hendaknya, engku! Selamat pergi dan selamat pula pulang kembali."

"Riiiiiiing!" beker di kelas satu berbunyi. Murid berlarian masuk ke dalam kelasnya masing-masing, duduk di bangku terengah-engah karena payah bermain. Sekalian murid i tu sibuk membersihkan batu tulis, mengambil anak batu dan sebagainya. Setelah guru datang ke kelasnya masing-masing, barulah sekaliannya itu diam. Di kelas lima murid-murid telah duduk beraturan, tenang dan diam, seorang pun tak ada yang berkata-kata. Guru Kasim berdiri di muka kelas, memandang sekalian muridnya dengan sayu. Setelah menarik napas panjang, ia pun berkata dengan lemah lembut, katanya, "Murid-muridku sekalian! Rupanya hari inilah penghabisan kita berbaur, karena saya dipindahkan menjadi guru kepala di sekolah Gubernemen Pontianak." Guru Kasim berhenti berkata, demi dilihatnya murid-muridnya beriba hati mendengar kepindahannya itu. la memang seorang guru yang pandai mengajar, pengasih penyayang dan ramah tamah kepada muridnya. Sekalian muridnya pun amat cinta dan kasih pula kepada gurunya itu.

"Kamu sekalian jangan beriba hati mendengar kepindahan saya itu! Saya dipindahkan ke negeri itu bukan dengan kemauan saya sendiri, melainkan kehendak orang di atas. Saya tentu mesti menurut perintah, apalagi saya ke sana itu naik pangkat pula. Hanya saya harap kepadamu semuanya, hendaklah kamu rajin-rajin belajar dengan guru yang akan menggantikan saya. Siapa guru yang akan mengganti di kelas ini, belumlah saya ketahui.

Nah! di mana negeri Pontianak dan berapa jauhnya dari sini kamu sekalian sudah maklum. Bukanlah sudah kamu pelajari dalam ilmu bumi? Sebab itu, karena nyawa dalam tangan Allah - siapa tahu perceraian ini boleh jadi untuk selamalamanya, - harus bagi kita bermaaf-maafan. Kamu beri maaflah akan saya, dan kamu sekalian dengan suci hati saya beri maaf pula." Guru Kasim mengulurkan tangan, bersalam kepada murid-muridnya akan memberi selamat tinggal. Sekalian murid menyambut salam gurunya dengan air mata berlinang-linang, sebagai tak sanggup mereka bercerai dengan guru yang sangat dicintainya itu.

"Bila engku berangkat, engku?" kede ngaran suara seorang murid yang agak besar di belakang kelas. "Kami hendak pergi bersama-sama mengantarkan engku ke setasiun!"

"O, ya!" kata guru Kasim, "saya berangkat ke Padang besok pagi, kereta pukul 9 dari sini."

"Syukur!" kata murid itu pula dengan sukacita. '"Kawan-kawan, mari kita pergi ke setasiun mengantarkan engku guru!" Esok paginya itu hari Ahad.

"Baik!" jawab kawan-kawannya serentak akan membenarkan ajakan itu.

Setelah sudah bersalam-salaman dengan murid-muridnya, guru Kasim pergi ke kelas lain memberi selamat tinggal kepada murid dan guru di kelas itu. Kemudian ia pergi ke kantor tuan Asisten Residen, akan mengabarkan hari berangkatnya. Hampir pukul sebelas barulah selesai segala urusan yang bersangkut dengan kepindahannya itu. Ia tidak balik lagi ke sekolah, melainkan terus saja pulang ke rumahnya. Didapatinya orang di rumahnya sudah banyak. Sungguhpun guru Kasim tunggal, tidak bersanak, yatim piatu pula, akan tetapi karena seorang yang berbudi dan pandai membawakan diri, banyak juga keluarganya biarpun jauh datang membawa bekal akan pelepasnya berlayar. Bermacam-macam pembawaannya masing-masing. Ada yang membawa kue-kue, sagun-sagun, emping, rubik, wajik dan lain-lain. Bahkan ada pula yang membawa rendang, sambal lada, goreng ayam, pengat ikan dan sebagainya. Di dapur perempuan-perempuan sibuk bekerja memasak ini dan itu. Sehari-harian itu guru Kasim bekerja keras, ikat-mengikat, bungkus-membungkus, mana yang perlu dibawanya.

Setelah petanglah hari, maka selesailah semuanya: satu pun tak ada lagi yang ketinggalan. Sudah mandi dan menukar pakaian, guru Kasim duduk ke beranda muka berhentikan lelah bekerja sehari itu. Baru ia duduk di atas kursi dan melayangkan pemandangannya ke gunung Merapi yang sedang diliputi awan itu, tiba-tiba Jamilah datang, lalu duduk di sisinya.

"Apakah sebabnya matamu merah dan bengkak, Jamilah?" ujar guru Kasim, ketika ia melihat muka isterinya pucat itu.

Mendengar pertanyaan suaminya, Jamilah tak dapat lagi menahan hati, air matanya sudah tergenang. Melihat isterinya demikian itu, guru Kasim berkata pula, katanya, "Jawablah, apayang engkau susahkan ?"

"Tuan .......... !" kata Jamilah sambil menyapu air matanya dengan saputangan, "bagaimana saya ini akan baiknya, tuan? Tak tentu apa yang akan saya buat. Hilang akalku karena ibu berkeras saja menahan saya supaya jangan pergi. Jika saya tak mau dilarang, beliau akan menghamburi ngarai. Biarlah saya berputih tulang, daripada berputih mata, kata beliau."

"Jadi katamu semalam engkau sampaikan jugakah kepada ibu?"

"Ya, tuan! Sepeninggal tuan ke sekolah tadi bapak datang. Saya minta kepada beliau dengan sangat, supaya saya diizinkan berangkat bersama-sama tuan. Bagi bapak tak ada alangan, dengan suci hati beliau izinkan. Akan tetapi ibu bersitegang urat leher saja. Ibu tak hendak mengizinkan saya ke Pontianak sekarang. Meskipun bermacam-macam nasihat bapak, satu pun tidak beliau dengar. Karena tak dapat dinasihati dengan lunak, bapak amarah, beliau kerasi ibu supaya mengizinkan saya. Ibu membantah, akhirnya bapak merajuk lalu berjalan. Ketika akan turun tangga, ibu berkata, "Jika Jamilah pergi juga, takkan bertemu lagi dengan daku. Kuhamburi ngarai yang dalam itu, supaya senang hatinya."

Mendengar kata isterinya demikian itu, guru Kasim termenung. Dalam hatinya amat sedih memikirkan perceraian dengan isteri dan anak biji matanya yang seorang itu. Makin sakit lagi hatinya mengenangkan haknya menjadi semenda orang. Dalam pada itu Jamilah menyambung perkataannya, katanya, "Saya tak dapat bercerai dengan tuan, walaupun sehari. Tetapi apa dayaku, berilah saya pikiran, tuan! Ke sini tak baik, ke situ tak baik, serba salah saya ini."

"Ya, saya tahu akan perasaanmu itu, Jamilah!" ujar guru Kasim. "Akan tetapi apa yang akan kuperbuat. Jika saya kerasi pula sebagai bapak, tentu kita, ......... takkan bertemu lagi selama-lamanya. Sebab itu baik kita sama-sama sabar saja. Biarlah kita turut sebagai kata mamak Datuk Besar tadi malam. Mudah-mudahan dapat beliau membujuk ibu, engkau beliau antarkan ke sana atau saya jemput ke mari. Bukankah puasa hanya tiga bulan lagi? Dalam pada itu boleh saya bersedia menanti kedatanganmu."

Jamilah berdiam diri; perkataan suaminya termasuk pada akalnya. Maka katanya, "Jika begitu yang akan baik, saya menurut! Akan tetapi saya berharap dengan sangat, bulan puasa ini kami dua beranak tuan jemput ke mari. Dan kalau sebelum puasa hati tuan tidak senang di rantau orang, segera saya tuan kirimi surat. Dengan selekas-lekasnya saya berangkat ke sana bersama mamak Datuk Besar."

"Kalau tidak diizinkan ibu, apa dayamu?" tanya guru Kasim pula akan mengajuk hati isterinya.

"Lebih dahulu akan saya ikhtiarkan sedapat-dapatnya, supaya saya berangkat itu seizin ibu jua hendaknya. Jika sudah habis usahaku membujuk beliau, tetapi beliau tidak mengizinkan saya juga, tentu saya minta dengan keras. Kehendak beliau sudah saya perlakukan, kehendak saya mesti dikabulkan pula. lzin atau tidak diizinkan, lamun saya mesti pergi. Akan saya kerasi beliau sekarang, saya takut kalau-kalau terjadi sengketa kelak. Sebolah-bolehnya tuan berangkat jangan hendaknya terjadi apa-apa, selamat yang pergi, sejahtera yang tinggal. Biarlah tuan berangkat dahulu, sepeninggal tuan dapatlah apa yang harus saya kerjakan."

"Tidak kasihankah engkau, jika sepeninggalmu ibu menghamburi ngarai?" ujar guru Kasim sambil menentang muka Jamilah, seolah-olah hendak mengetahui sampai di mana kekerasan hati isterinya.

"Perkara itu saya rasa hanya gertak beliau saja. Mengatakan memang mudah, tetapi mengerjakannya amat sukar. Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa hal itu takkan terjadi atas diri ibu. Bukankah saya sejak kecil beliau besarkan, saya maklum sudah akan hati beliau. Boleh jadi juga ibu amarah, itu pun tidak akan selama-lamanya. Kita sudah sama maklum, bagaimana kasih seorang ibu kepada anaknya."

"Jika demikian, sukur alhamdulillah!" kata guru Kasim membenarkan kata isterinya. Ia memandang ke gunung Singgalang yang sedang ditimpa cahaya petang itu, kemudian berpaling dan berkata pula, "Malam ini kita akan mengadakan sedekah sedikit, bukan? Agaknya kawan-kawanku banyak datang ke mari. Sudahkah sedia semuanya untuk menanti jamu?" "Sudah, tuan! Sehari-harian ini, sejak dari pagi orang bekerja di dapur."

Pada malam itu guru Kasim mengadakan sedekah. Banyak kawan-kawannya, baik orang sekampung, baik pun guru-guru dan lain-lain datang ke rumahnya. Mereka semua menyatakan kesedihan hatinya akan bercerai, dan menyebut bagaimana hal mereka selama bergaul. Setelah sudah mendoa, jamu pun pulang ke rumahnya masing-masing. Akan tetapi sekalian kawan-kawan guru Kasim masih tinggal. Mereka itu bersuka-sukaan, karena semalam itulah lagi mereka akan berbaur dengan sahabat yang dicintainya itu. Berbagai-bagai olah masing-masing ada yang bermain ceki, main pakau, bercabut dan lain-lain. Sedang main mereka itu bersenda gurau jua, gelak dan tertawa tidak berkeputusan. Sungguhpun mereka main uang, tetapi pasangannya hanyalah satu sen saja. Sampai pagi mereka itu bersuka-sukaan, minuman dan penganan tak putus dihidangkan orang. Setelah ayam berkokok bersahut-sahutan, fajar menyingsing sebelah timur, barulah mereka itu berhenti main.

Pukul delapan pagi orang sudah banyak di setasiun. Matahari muram cahayanya, karena diliputi awan. Di sebelah barat kelihatan awan menghitam, tanda hari akan hujan. Angin berembus lunak lembut, amat dingin hari sepagi itu. Hari itulah hari penghabisan guru Kasim tinggal di negerinya. Setengah sembilan orang sudah penuh sesak di setasiun. Murid-murid guru Kasim, sahabat kenalannya dan orang sekampung tampak semuanya. Apalagi karena hari itu hari Ahad, seorang pun tak ada yang ketinggalan. Orang lain yang hanya kenal akan nama guru itu saja, ikut juga mengantarkan. Tidak lama kemudian guru Kasim pun datanglah bersama anak isteri dan pamilinya ke setasiun. Setelah sudah membeli karcis, ia pergi menemui kawan-kawannya, bercakap-cakap menanti kereta datang. Yang terus pergi ke Padang mengantarkan, ialah anak isteri, mentua dan beberapa orang pamili yang terdekat.

Kereta datang dari Paya Kumbuh, guru Kasim bersalam meminta maaf kepada sekalian orang yang mengantarkannya. Semua kawan-kawannya mengucapkan selamat jalan dan selamat sampai bertemu lagi. Kepada murid-murid ia bernasihat, supaya mereka rajin-rajin belajar. Berbagai-bagailah laku orang yang melepas guru itu, ada yang dengan hati gembira melepasnya, ada pula yang memegang tangannya teguh-teguh kemudian segera berjalan. Lonceng dua berbunyi, guru Kasim naik kereta. Setelah kedengaran lonceng yang ketiga kali, kereta mulai berangkat. Maka sekalian kawan-kawannya melambai-lambaikan saputangan, demikian pula sebaliknya. Tiba-tiba hujan lebat pun datang, seakan-akan menunjukkan dukacitanya melepas guru itu berjalan.

Hari Selasa pukul 12 tengah hari kapal berangkat dari Teluk Bayur ke Betawi. Pagi-pagi hari itu orang sudah banyak di pangkalan. Sungguhpun hari masih pukul 10 lewat, tetapi orang sudah penuh sesak, akan mengantarkan kaum keluarganya yang hendak berlayar. Kopor, kasur bantal dan barang-barang lain beronggok-onggok di pangkalan. Di sini setumpuk, di sana setumpuk menurut kepunyaan masing-masing. Karena sekalian mereka itu belum boleh naik kapal, maka terpaksalah berpanas sambil menunggui barang-barangnya. Hari panas amat terik, sebab itu mereka mandi peluh, bagaikan rengkah kepalanya ditimpa panas. Banyak juga yang berlindung di bawah cucuran atap gudang-gudang, tetapi badannya basah juga, sebab peluh mengalir seluruh tubuhnya.

Pukul 11 lewat guru Kasim datang bersama kaum keluarganya. Mereka itu terus saja naik kapal, karena penumpang kelas 2 diizinkan naik lebih dulu. Setelah selesai sekalian barang-barangnya naik kapal, maka dibawanyalah anak isteri dan sekalian keluarganya melihat-lihat keadaan di kapal itu. Kemudian mereka itu turun ke pangkalan, bercakap-cakap menyatakan pemandangan masing-masing, akan pelengah duka nestapa yang terkandung di hati kedua belah pihak. Sedang mereka itu asyik berkata-kata, maka kelihatan penumpang geladak berebut-rebutan naik. Mereka itu dahulu- mendahului, amat sibuk masa itu. Teriak kuli yang membawa barang, riuh rendah bunyinya.

Tatkala seruling kapal berbunyi yang pertama kali, menyatakan kepada orang-orang kapal atau pun penumpang supaya bersiap, pada waktu itu sangat berasa oleh Jamilah keberatan perceraian itu. Berdebar hatinya ketika diingatnya suami yang sangat dikasihinya itu akan luput dari pemandangannya. Mulanya ia akan menyangka perceraian itu, apalagi hanya tiga bulan, akan dapat dilipurnya. Akan tetapi semakin dikenangkannya, semakin sedih hati Jamilah.

Guru Kasim bersalam meminta maaf kepada mentua dan pamili yang mengantarkan dia. Ketika ia bersalam dengan Tuanku nan Sati, yaitu mentuanya yang laki-laki, orang tua itu berkata, "Selamat berangkat, Sutan! Mudah-mudahan Sutan dipelihara Tuhan dalam pelayaran, jangan kurang suatu apa. Di Pontianak pun Sutan dalam kandungan sehat-sehat saja hendaknya. Saya harap bulan puasa ini Sutan pulang juga, karena Jamilah rupanya tak sanggup bercerai lama-lama dengan Sutan."

"Baik, bapak!" jawab guru Kasim. "Bapak dan sekalian kaum pamili yang tinggal pun demikian pula hendaknya. Umur panjang, badan sehat walafiat, segala bencana dihindarkan Allah. Saya ucapkan: selamat tinggal dan selamat sampai bertemu lagi."

Maka guru Kasim pun pergilah mendapatkan isteri dan anaknya yang berdiri agak jauh sedikit, lalu memegang tangan Jamilah, katanya, "Jamilah, sesaat lagi kita akan bercerai. Sepeninggalku ingat-ingat engkau membela anak dan menjaga dirimu! Mudah-mudahan jangan engkau kurang suatu apa selama kutinggalkan. Sehat-sehat saja kita hendaknya sampai bertemu lagi."

Jamilah tak dapat menahan sedih, air matanya jatuh berlinang-linang. Perasaannya entah di mana, badannya berasa bayang-bayang, sepatah pun tak dapat ia mengeluarkan perkataan. Mulutnya bagai terkunci, serasa takkan bertemu lagi ia dengan suaminya, padahal bercerai hanya tiga bulan saja. Maka guru Kasim pun berkata pula, katanya, "Selamat tinggal, Jamilah, tidak lama kita bertemu lagi!"

Maka dilepaskannya tangan isterinya, sambil menarik napas panjang. Kemudian dicium dan dipeluknya Syahrul, buah hati pengarang jantungnya itu. Maka dengan segera ia berjalan cepat-cepat ke kapal. Jamilah berdiam diri saja memandang suaminya, ia tidak sadarkan diri lagi. Badannya kaku, ia berdiri sebagai patung di pangkalan kapal itu. Maka kedengaranlah bunyi seruling kapal yang ketiga kali dan tali temali pun dilepaskan orang. Tatkala sekerup kapal bergerak, guru Kasim melihat ke pangkalan. Demi dilihatnya Syahrul menangis memanggil-manggil ayah dalam dukungan mentuanya yang perempuan, dan memandang tangan isterinya dipegang Tuanku nan Sati, dengan segera ia masuk kembali, karena perasaannya amat sedih memandang hal yang demikian itu.

Setelah kapal keluar dari pelabuhan, barulah guru Kasim naik ke geladak kapal akan melihat tamasya lautan perintang-rintang hatinya. Teluk Bayur tidak kelihatan lagi, kapal sudah membelok menempuh lautan besar. Ketika ia melayangkan pemandangannya ke laut lepas yang bertepikan langit itu, timbullah suatu perasaan yang amat ganjil dalam hatinya. Sungguhpun dia bercerai dengan anak isterinya hanya untuk tiga bulan, tetapi pada perasaannya akan lebih lama daripada itu. Makin dipikirkannya makin jauh, kesudahannya ia dibuai diayunkan kenang-kenangannya.