Lompat ke isi

Memutuskan Pertalian/Bab 2

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

II. KARENA MENTUA

Suami isteri berkasih-kasihan,
rukun dan damai hidup sekutu.
Dari mentua datang bantahan,
berpisah anak dengan menantu


Sang Surya sudah menyembunyikan dirinya di balik Bukit Kepanasan sebelah barat kota Bukit Tinggi. Hari yang rembang petang itu makin berangsur-angsur; suram cahayanya. Teja berwarna merah kuning membangun sebagai gunung, terbentang tinggi di atas mega. Matahari turun lalu masuk ke dalam tirai peraduannya; siang berjawat dengan senja. Gunung dan bukit barisan keliling kota sudah membalam kelihatannya. Guru Kasim dan isterinya duduk di beranda muka rumahnya. Pintu gapura dibukakan, lampu dipasang dan mereka sebentar-sebentar melihat ke jalan. besar, seakan-akan ada orang yang dinantikan.

"Hari sudah senjakala, tetapi ibu dan anak belum juga tampak, Jamilah ?" ujar guru Kasim kepada isterinya."Bukankah tadi pagi tadi beliau mengatakan, akan mengantarkan Syahrul kembali ?"

"Ya, bapak pun jika tidak pulang ke Birugo, akan beliau bawa bersama-sama ke mari,"jawab Jamilah. "Bertanak pun sudah saya lebihi , karena beliau di sini makan malam."

"Lama benar beliau datang, hari sudah hampir pukul tujuh ! "kata guru Kasim pula sambil melihat arlojinya.

Baru saja habis perkataan guru Kasim, kelihatanlah di jalan besar sosok tubuh menuju rumahnya.

"Itu, ibu sudah datang !" ujar guru Kasim tiba-tiba kepada isterinya. "lbu dan Syahrul saja rupanya ke mari Bapak tentu tidak di rumah. Ya, barangkali beliau pulang ke Birugo atau ke Tarok agaknya, boleh jadi juga ke Puhun."

"Bapaknya pulang ke Birugo, karena sekarang giliran ke sana," sahut Jamilah."Beliau pulang ke rumah isteri beliau bergilir dua malam seorang."

Kedua suami isteri itu turun ke halaman menyongsong anaknya. Setelah diciumnya berganti-ganti, maka guru Kasim berkata, "Lama benar maka ibu datang ! Dari tadi kami nanti-nantikan dan sebentar-sebentar kami lihat ke jalan besar, tetapi ibu tidak juga tampak. Ke mana ibu?"

"Ke mana lagi ?" jawab Tiaman, mentua guru Kasim. "Sehari-harian ini saya tidak ke mana-mana, melainkan di rumah saja. Saya terlambat datang, karena banyak kerja jua. Menyiangi parak di belakang rumah, memasukkan ayam ke kandang, mengambil jawi ke gurun, menutup pintu rumah dan lain-lain

"Bapak tidak di rumah, ibu ?"

"Bapak Sutan pulang ke Birugo !" ujar orang tua itu dengan muram mukanya. "Hari Selasa di muka ini barulah dia pulang ke Banto Darano."

"Sayang beliau tak datang, karena ada kabar yang perlu saya katakan kepada beliau."

"Kabar apa ?" jawab Tiaman dengan agak cemas.

"Nanti akan ibu ketahui juga !" sahut guru Kasim dengan tersenyum. "Tidak kabar apa-apa, melainkan kabar baik saja. Duduklah ibu dahulu ! Mamak Datuk Besar tidak adakah di rumah tadi ?"

"Mamak Sutan jika tak dipanggil takkan datang. Ia berperan saja di rumahnya,di Jangkak. Jarang benar ia datang melihat ibu ke kampung. Sungguh, entah diapakan bininya mamak Sutan. Lupa akan sanak, lupa kepada kemanakan; jika ibu mati, barangkali takkan diketahuinya, jika tidak dikabarkan kepadanya."

"Ajam !" seru guru Kasim memanggil iparnya, karena dilihatnya muka mentuanya muram saja, "jemputlah mamak Datuk Besar ke Jangkak. Jika beliau tidak berhalangan, katakan saja minta datang sebentar."

Si Ajam adik Jamilah, dengan tidak berkata sepatah jua, lalu pergi menjemput mamaknya, Guru Kasim duduk di tengah rumah bersama mentuanya. Jamilah sambil memeluk anaknya, duduk dekat suaminya. Sementara menanti Datuk Besar datang, maka guru Kasim berkata, "Tahun datang cucu ibu sudah boleh masuk sekolah."

"Tidakkah masih kecil benar, Sutan ?" jawab Tiaman.

"Kalau saya tidak salah umurnya baru 4 atau 5 kali menyabit sampai kini."

"Tidak, ibu ! Setahun lagi umur Syahrul sudah 6 tahun. Hari lahirnya ada saya tuliskan dan saya simpan baik-baik."

"Jika demikian, ibu malah yang salah kira. Maklumlah Sutan, bagi ibu hanya dengan agak-agak saja."

"Ya, itulah yang saya susahkah. Karena Syahrul laki-laki, saya hendak memasukkan ke sekolah H I S. Akan tetapi masuk ke sekolah itu susah benar."

"Apa pula susahnya, Sutan ?"

"Anak-anak yang boleh masuk ke sekolah itu dipilih benarbenar. Jika anak orang biasa saja, susah maka dapat diterima."

"Sutan bukantah tidak orang biasa saja ? Berpangkat dan jadi guru di negeri ini. Tentu saja tidak sukar memasukkan anak ke sekolah."

"Sungguhpun demikian susah juga, ibu ! Sebab tahun yang sudah saya lihat yang diterima jadi murid, anak-anak orang yang berpangkat tinggi saja. Jika masih ada juga tempat, baru diterima anak orang yang agak rendah pangkatnya. Itu pun diselidiki benar siapa bapanya, apa pangkat dan berapa gajinya. Pendeknya dalam dipilih, dipilih lagi."

"Kalau begitu susah benar memasukkan anak ke sekolah itu. Akan tetapi ada suatu jalan yang mudah. Jika sesuai dengan pikiran Sutan, baik benar dikerjakan."

"Jalan apa, ibu ?" ujar guru Kasim dengan heran.

"Mamak Sutan yang jadi menteri polisi di Paya Kumbuh sekarang ini, ketika akan masuk sekolah dahulu, datuk Sutan membawa buah tangan kepada gurunya. Ketika itu ibu masih anak-anak; ibu sendiri yang membawa buah tangan itu bersama datuk Sutan. Nah, apa salahnya jika kita membawa buah tangan pula kepada guru sekolah itu."

Mendengar perkataan mentuanya itu, guru Kasim tersenyum. Kemudian ia berkata, katanya, "Hal yang demikian itu hanya dahulu biasa dilakukan orang.

Akan tetapi sekarang boleh dikatakan tak ada lagi. Kebanyakan orang kini tidak suka lagi makan suap. Perbuatan itu dipandangnya hina dan dibencinya amat sangat. Demikian pulalah halnya dengan guru H.I.S, itu. Jika katanya anak kita tak dapat diterima, lebih baik pulang saja. Kendatipun dibawakan buah tangan ini dan itu, percuma, takkan berpaedah. Malahan malu yang akan dapat, karena guru itu sekali-kali tak suka menerima buah tangan siapa jua pun."

Tiba-tiba kedengaran orang batuk di halaman. Datuk Besar datang, lalu naik ke rumah. Setelah bersalam dengan guru Kasim, ia pun duduk di kepala rumah. Tiaman dan Jamilah pergi ke belakang. Tidak lama antaranya, hidangan diangkat si Ajam. Maka mereka pun makanlah bersama-sama. Sudah makan, si Ajam yang cepat kaki ringan tangan itu segera pula mengangkat piring cangkir ke belakang. Setelah selesai semuanya dan rokok telah habis sebatang seorang, maka guru Kasim mulai berkata, 'Maka mamak saya minta datang, ialah akan mengabarkan bahwa saya dipindahkan jadi guru kepala ke Pontianak."

"Ke Pontianak ?" ujar Datuk Besar dengan agak terkejut. "Jauh benar Sutan dipindahkan. Bila Sutan terima beslitnya ?"

"Baru tadi petang, mamak !"

Tiaman terperanjat mendengar kabar itu. Ia duduk termenung, sebentar-sebentar menarik napas. Mukanua pucat, lalu berkata dengan gugup, katanya, "Ke Pontianak ...... Bukankah Jaliah orang Pulai sudah dibawa suaminya ke negeri itu, Sutan?"

"Ya, tetapi Sutan Pangeran ke Sintang, jauh di hulu, berpuluh-puluh pal dari Pontianak."

"Ya Allah ..... kalau begitu di negeri Dayak ?" ujar Tiaman dengan ketakutan amat sangat. "Jaliah menceritakan kepadaku, bahwa orang negeri itu suka mengayau kepala orang. Hiiih .................., tegak bulu romaku mengenangkannya. Jangan Sutan, jangan mau dipindahkan ke sana. Konon akan mencari mati, apa gunanya bekerja."

Muka Tiaman semakin bertambah pucat jua. Ia gemetar, karena tampak-tampak olehnya bahaya yang akan menimpa menantunya di negeri itu. Dalam hatinya sekali-kali tak izin menantunya pergi ke Pontianak. Dalam pada itu guru Kasim berkata, akan menyabarkan hati orang tua yang dalam ketakutan itu, katanya, "Tidak apa, ibu ! Benar orang negeri itu masih banyak yang biadab suka mengayau kepala orang, tetapi di dalam hutan rimba raya, jauh di tengah-tengah pulau itu. Sedangkan Sutan Pengeran suami Jaliah di Sintang, jauh di hulu Pontianak selamat saja, apalagi saya di kota ramai, di negeri yang sama juga keadaannya dengan di sini. Ibu jangan khawatir, ceritera Jaliah kepada ibu itu berlebih-lebihan. Sekarang boleh dikatakan tak ada lagi kejadian orang mengayau kepala orang di sana. Ada juga sekali-kali, tetapi yang melakukannya orang gunung, beratus-ratus pal jauhnya dari kota Pontianak."

"Sungguhpun demikian, hatiku tak senang." jawab Tiaman dengan gelisah. "Biarlah Sutan di sini saja selama-lamanya. Lagi pula sangat jauh; kata Jaliah, berhari-hari dalam kapal maka sampai ke negeri itu. Di sini kita senang, dilingkung kaum keluarga. Jika Sutan di sana sakit ngelu pening, apakah daya badan jauh di seberang lautan."

"Perkara sakit senang, hidup dan mati itu, di sini dan di sana sama saja, ibu. Jika dengan kehendak Tuhan di sana tanah meminta, tak dapat kita makhluk ini mengalanginya."

"Perkataan Sutan itu benar ! Akan tetapi jika kita tahu, bahwa di negeri itu ada bahaya, bukankah lebih baik dihindarkan ?"

"'Tidak,, berbahaya memang tidak, ibu !" kata guru Kasim dengan sungguh-sungguh. "Percayalah ibu kepadaku, negeri itu tidak berbahaya sedikit jua. Jika di kota itu ada perkara kayau-mengayau, tentu tersebut dalam surat kabar. Agaknya lebih aman dari negeri kita ini. Di sini hampir setiap malam kejadian maling curi, siar bakar."

"Biarpun demikian, hujan batu di negeri kita, hujan emas di negeri orang, baik juga di negeri kita, bukan ?" jawab Tiaman dengan pendek, karena ia agak tersesak oleh menantunya.

"Saya heran, apa sebabnya Sutan agak keras pergi ke sana. Tidak senangkah Sutan di sini di lingkung sanak saudara, kaum pamili sekalian ?" kata Tiaman pula agak merajuk.

"Bukan begitu, itu !" ujar guru Kasim dengan tenang dan sabar, karena dilihatnya mentuanya kurang bersenang hati. "Sebenarnya memang saya suka di sini selama-lamanya jadi guru. Di sini kami senang, tak ada berkekurangan. Beras tak membeli dan makanan segala murah. Tak ada yang kami susahkan, hidup cukup setiap hari. Kami anak beranak pun selalu dalam sehat-sehat saja. Kendati pun sekali-kali ada juga kekurangan, ada tempat meminta, banyak sanak saudara akan menolong. Di negeri orang tentu segalanya tertumbuk pada badan sendiri, susah senang tanggungkan seorang. Akan tetapi orang makan gaji tak dapat berbuat sekehendak hati. Ke mana kata orang di atas harus diturut, dan kalau tidak mau boleh menjadikan yang tak baik. Boleh jadi juga diperhentikan, karena dipandang engkar, tidak menurut perintah."

"Bagi saya, Sutan jadi guru atau tidak, sama saja. Jika Sutan berhenti sekali pun, belumlah kita akan makan tanah. Hasil sawah ladang kita saja takkan habis kita makan dari tahun ke tahun. Belum lagi binatang ternak dan hasil parak. Oleh sebab itu pohonkanlah, supaya Sutan tetap di sini. Kalau tak dapat biarlah berhenti saja."

"Kurang baik, ibu ! Saya ke Pontianak itu tidak dipindahkan saja, melainkan naik pangkat. Hal itu menunjukkan, bahwa saya ada terpakai dalam pekerjaan. Jadi baik dibalas dengan baik. Sekarang angkatan itu saya tolak, tak suka dipindahkan. Bahkan kata ibu, kalau tak dapat, minta berhenti saja. Pada pendapat saya kurang patut, kita kurang menerima kasih namanya."

"Benar, kata Sutan itu !" ujar Datuk Besar tiba tiba."Menurut pikiran saya pun lebih baik Sutan turut perintah itu. Nanti jika hati Sutan kurang senang di sana, bukankah boleh minta pindah kembali ke negeri awak ?"

" Apa salahnya, tak ada alangan,"–jawab guru Kasim dengan suka, karena ia dapat bantuan dalam percakapan itu. "Asal cukup alasan, tentu permintaan saya dikabulkan. Misalnya karena hawa negeri tidak sesuai, selalu dalam sakit-sakit saja. Dan kalau saya senang saja di sana, selama-lamanya hanya 2 tahun. Setelah itu dipindahkan pula kembali ke negeri ini."

Tiaman berdiam diri. Ia merasa tak kan mungkin menahan menantunya juga. Dalam pada itu Datuk Besar berkata pula, "Jadi bila Sutan berangkat ke Pontianak ?"

"Jika disampaikan Tuhan dalam pekan ini juga. Saya harus sampai di sana sebelum habis bulan. Oleh sebab itu saya mesti berangkat dalam dua tiba hari ini."

Kemudian guru Kasim berpaling kepada menantunya, lalu berkata pula, "Tidak mengapa ibu! Izinkanlah kami barang setahun dua ke negeri itu. Bercerai setahun itu takkan lama, asal tidak ibu kenang-kenangkan. Ibu doakanlah, mudah-mudahan kami sehat-sehat saja di Pontianak dan selamat bertemu kembali."

Sebagai disambar petir Tiaman mendengar perkataan menantunya menyebut "kami" itu. Mukanya pucat bagai kain putih, matanya terbeliak sebesar-besarnya, bibirnya bergerak-gerak seakan-akan ada yang hendak dikatakannya. Ia duduk terpaku di atas tikar di hadapan menantunya. Dadanya turun naik, tak tentu apa yang akan diperbuatnya. Setelah beberapa lamanya dengan hal demikian itu, maka ia pun berkata sendirinya, "Kami, maksudnya lain tidak anakku, Jamilah . . . . . ! Aduhai, aku akan bercerai dengan anak dan cucuku ..... berpisah sejauh itu ? Tak mungkin ? Anakku hanya Jamilah seorang perempuan. Cucuku pun tak ada yang lain dari pada Syahrul. Tidak sanggup aku bercerai dengan dia. Takkan kuizinkan dia berjalan sejauh itu, mati aku ditinggalkannnya." Maka dengan gugup Tiaman berkata, katanya, "Kami, maksud Sutan itu hendak berangkat bersama-sama dengan Jamilahkah ?"

"Tentu saja, ibu! Dengan siapa lagi? Bukankah isteriku hanya Jamilah seorang? Jika tidak beralangan apa-apa, hari Minggu ini kami berangkat ke Padang."

"Ya Allah! benar kiranya!" kata Tiaman dalam hatinya. "Jika aku ditinggalkan anakku, niscaya aku akan kurus kering. Cucuku tentu akan dibawanya pula, . . . . . cucuku hanya seorang itu . . . . . Dialah obat jerih pelerai demam kepadaku. Mati sesat aku kalau ditinggalkannya!"

Pikiran Tiaman kelam kabut, hatinya remuk amat sangat. Terbayang dimatanya bagaimana sedihnya perceraian itu kelak. Karena pikirannya sangat berkacau, tiba-tiba keluar perkataan dari mulutnya, katanya, "Tak mungkin!"

"Apa yang tak mungkin, ibu?" ujar guru Kasim sambil melihat kepada mentuanya.

Tiaman terkejut, karena dengan tak sengaja ia mengeluarkan perkataan dernikian. Sebab sudah telanjur, terpaksa ia mengatakan perasaannya, katanya, "Ya, tak mungkin ! Aku tak dapat bercerai dengan anak dan cucuku."

"Kalau begitu, ibu ikut kami saja bersama-sama ke Pontianak."

"Itu pun tak pula mungkin. Dengan siapa rumah gedang ditinggalkan? Bagaimana sawah dan ladang? Siapa akan menguruskan ternak? Bukankah Sutan tahu, bahwa ibu tidak berkaum keluarga perempuan yang kandung?"

"Itu perkara mudah, ibu ! Sawah, ladang dan ternak boleh diperseduakan saja. Rumah, ibu pertaruhkan kepada keluarga yang terdekat."

"Tidak, tak mungkin, tidak mudah melakukannya, Sutan. Ibu tak dapat beranjak dari rumah itu. Jika ibu pergi, tak dapat tiada kucar-kacir sekaliannya."

"Masakan kucar-kacir! Misalnya, rumah disuruh huni oleh ibu Juriah. Temak dan sawah ladang diperseduakan. Mamak bukankah ada yang akan menguruskannya. Apa salahnya tak ada alangan, bukan?"

"Mengatakannya memang mudah!" kata Tiaman sebagai orang tak bersenang hati. "Akan tetapi melakukannya sukar. Lagipula ibu sudah tua, akan berlayar sejauh itu? ibu tak dapat pergi dan tak pula mungkin ditinggalkan Jamilah. Jika ibu sakit, siapa yang akan mencarikan obat, susah siapa yang akan membujuk. Tak dapat tiada aku akan mati kejang saja seorang diri di rumah gedang itu. Tidak, Sutan! Tak mungkin Jamilah Sutan bawa."

Ketika itu maklumlah guru Kasim, bahwa mentuanya takkan mengizinkan anaknya ke Pontianak. Jika ia berkeras hendak membawa, tentu mendatangkan yang tak baik kesudahannya. Amat susah hatinya memikirkan hal itu. Bercerai dengan anak yang hanya seorang itu, amat berat hatinya. Akan dibawa. . . . ya, serba susah. Dengan muka muram, ia berpaling kepada iste rinya, lalu berkata, "Engkau, bagaimana pula pikiranmu, Jamilah? Ikutkah engkau bersama dengan daku ke Pontianak, atau tinggal di rumah ?"

Jamilah yang sudah dari tadi tidak bersenang hati mendengar percakapan itu, terkejut mendengar kata suaminya. Ia bimbang, tak tentu apa akan jawabnya. Diturut ibu, kasihkan suami, turut suami, bagaimana ibu. Sebab itu ia berdiam diri saja sebagai orang kehilangan akal. Dalam pada itu guru Kasim berkata pula, "Bagaimana? Ikut saya atau tinggal?"

Karena disesakkan suami, semakin hilang akal Jamilah. Kerongkongannya rasa tersekang, dadanya sesak. Apa yang akan dikatakan, siapa yang akan dipilih di antara ibu dan suami. Jamilah menangis, air matanya berleleran di pipinya. Dengan sedih dan menangis tersedu-sedu, ia pun berkata. "Bagaimana kata ibu dan tuan sajalah, saya menurut."

Demi Datuk Besar melihat hal itu. ia maklum apa yang tercantum di hati kemanakannya. Ia tahu, bahwa sulit bagi Jamilah akan menjawab pertanyaan suaminya. Jika dibiarkan terus-menerus percakapan itu, tentu mendatangkan perselisihan kesudahannya. Sebelum terjadi yang tak baik, dicampurinya percakapan itu. Maka katanya, "Kalau begini, bagaimana, Sutan. Jika benar bawa lalu, jika tidak anjur surut. Rupanya mentua Sutan keras hendak menahan anak dan cucunya di rumah. Jika Sutan keras pula, tentu boleh mendatangkan yang tak baik. Menurut pikiran saya, lebih baik Sutan berangkat seorang diri saja dahulu. Dalam pada itu saya berikhtiar melakukan kebenaran kepada mentua Sutan. Sutan sudah tahu juga bagaimana hati mentua Sutan, keras hati tak berketentuan. Nanti, jika sudah sepakat, biarlah saya sendiri mengantarkan isteri Sutan ke Pontianak. Saya sudah biasa berlayar, Sutan tak usah khawatir. Jika Sutan hendak bersama juga dengan isteri Sutan, pun baik juga. Bulan puasa hanya tiga bulan lagi, Sutan tentu tempoh sebulan-bulan itu. Tunggulah kabar dari saya dan jemputlah isteri Sutan ke mari. Lagi pula kalau Sutan berangkat bersama-sama sekarang, saya rasa banyak susahnya. Sutan belum pernah ke Pontianak, kenalan belum ada. Rumah dan perkakasnya pun tak ada pula. Mana nanti yang akan Sutan urus? Pekerjaan belum tentu, tempat tinggal belum ada, ini dan itu belum sedia. Susah, bukan? Akan tetapi jika Sutan berangkat lebih dahulu, boleh Sutan bersedia. Sutan senang, kami datang segalanya sudah ada. Cobalah Sutan pikirkan benar tidaknya perkataan saya itu:"

Guru Kasim termenung mendengar kata Datuk Besar. Ia yakin, bahwa Jamilah takkan diizinkan ibunya berangkat ketika itu. Ia tahu pula bagaimana keras hati mentuanya. Jika dipaksanya juga, tak dapat tiada perceraian tentangannya. Perkataan Datuk Besar terbenar pula di hatinya. Susah.... memang susah Jamilah dibawa bersama-sama. Berlayar sekali itu, anak beranak pula . . . . . . bahkan seluk-beluk negeri itu belum diketahui, tentu boleh berbahaya kelak. Maka ia pun berkata, katanya, "Benar pula kata mamak itu ! Saya pun sesuai dengan pikiran mamak. Jika demikian yang akan baik, biarlah saya berangkat sendiri saja dahulu. Tentang menjemput atau mengantarkan Jamilah ke Pontianak, mamak. tunggulah khabar dari saya nanti."

Tiaman berseri mukanya mendengar perkataan menantunya demikian itu. Lapang dadanya, senang rasa hatinya. Ia berkata sendirinya ~ "Perkara nan ti, nanti pula dihitung. Asal terlepas sekarang, Jamilah tak jadi dibawanya, sudah cukup."

Demikianlah, kira-kira pukul 11 malam, barulah selesai percakapan itu. Datuk Besar pulang ke rumah isterinya di Jangkak, dan Tiaman pulang pula, di antarkan oleh guru Kasim dengan isterinya.