Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/ANALISIS PROSES IMPEACHMENT MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (SETELAH PERUBAHAN)/Proses Impeachment di DPR

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
BAB IV ANALISIS PROSES IMPEACHMENT MENURUT UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (SETELAH PERUBAHAN)

C. Proses Impeachment di DPR

UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan [1]. Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan

“Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak menyatakan pendapat ini diatur dalam pasal 182 sampai dengan pasal 188 Peraturan Tata Tertib DPR (Keputusan DPR nomor 15/DPR RI/I/2004-2005).

Pertama-tama, minimal harus ada 17 (tujuh belas) orang anggota DPR yang mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden [2]. Usul menyatakan pendapat beserta penjelasannya tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya. Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya usul menyatakan pendapat pada Rapat Paripurna, kemudian usul tersebut dibagikan kepada seluruh Anggota.

Setelah pemberitahuan Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna, Usulan tersebut dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah untuk menentukan waktu dan agenda Rapat Paripurna berikutnya. Dalam Rapat Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna tentang usul menyatakan pendapat tersebut, kepada pengusul diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang usulnya secara ringkas.

Dalam Rapat Paripurna yang telah ditentukan agendanya pada Rapat Badan Musyawarah, anggota yang mengusulkan pendapat atas tuntutan impeachment kepada Presiden dan/atau wakil Presiden diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas usulnya. Fraksi-Fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya atas usulan tersebut. Kemudian, kepada anggota yang mengusulkan pendapat tuntutan impeachment diberikan hak untuk menjawab pandangan fraksi itu.

Selanjutnya, Rapat Paripurna memutuskan apakah usulan hak menyatakan pendapat tersebut secara prinsip dapat diterima atau tidak. Bilamana Rapat Paripurna memutuskan untuk menolak usulan hak menyatakan pendapat maka usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada Masa Sidang itu. Namun bila Rapat Paripurna menyetujui usulan hak menyatakan pendapat, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus.

Tugas Panitia Khusus adalah melakukan pembahasan dengan Presiden dan atau Wakil Presiden. Dalam melakukan pembahasan atas tuduhan impeachment kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diwakili. Hal ini berkaitan dengan hak subpoena

yang dimiliki oleh Panitia Khusus dalam rangka hak angket atau hak menyatakan pendapat. Hak subpoena adalah memanggil secara paksa seseorang yang dirasakan perlu didengar keterangannya pada penyelidikan yang dilakukan panitia khusus. Bilamana yang bersangkutan tidak hadir dalam pemanggilan yang dilakukan oleh Panitia Khusus maka ada ancaman sandera selama 15 (lima belas) hari. Pengaturan ini adalah aturan lebih lanjut dari ketentuan pasal 30 UU nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Meskipun pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden namun proses penyelidikan yang dilakukan oleh DPR adalah dalam konteks fungsi pengawasan dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Sehingga proses penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah dalam arti sedang menyelidiki perkara pidana sebagaimana yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum. Proses penyelidikan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR harus sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan tata tertibnya. Selain itu Panitia Khusus dalam melakukan pembahasan juga dapat mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan/atau Rapat Dengar Pendapat Umum dengan pihak yang dipandang perlu, termasuk dengan pengusul. Pembahasan yang dilakukan oleh Panitia Khusus menjadi bahan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut.

Pengambilan keputusan dalam hal tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden pada Rapat Paripurna harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh Anggota. Keputusan untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat, harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2/ 3 (dua pertiga) dari Anggota yang hadir dalam rapat tersebut.

Bila Keputusan Rapat Paripurna menyetujui usulan tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR [3]

  1. Pasal 20A ayat (1), UUD 1945
  2. Pasal 182 ayat (1) huruf c, Peraturan Tata Tertib DPR
  3. Pasal 7B ayat (5), UUD 1945