Majalah Horison/1968/Volume 5/Rumah penuh bunga

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Rumah Penuh Bunga
oleh Truman Capote
54063Rumah Penuh BungaPramoedya Ananta ToerTruman Capote

RUMAH
PENUH
BUNGA

TRUMAN CAPOTE

SESUNGGUHNJA, Otilie dapat menjebut dirinja wanita jang paling berbahagia di Port-au-Prince. Seperti kata Baby, kawannja: lihatlah pada kelebihan-kelebihan jang kaumiliki. Apa sadja, tanja Otilie, karena ia memang genit dan lebih suka pada pudji-pudjian daripada sepotong daging panggang atau minjak wangi. Ketjantikanmu, kata Baby, bukankah kulitmu tjoklat muda, hampir kuning langsat, dan matamu agak biru, sedang wadjahmu selalu tampak muda dan segar — di antara kawan-kawan kita senasib rasanja tak ada jang terbanjak langganannja seperti kau, langganan jang selalu siap untuk membelikan bir dibar dibawah, berapa liter sekehendakmu, Otilie menganggu dan berfikir bahwa hal-hal ini memang betul adanja, dan iapun mulai menghitung harta milik jang telah diperolehnja selama ini sambil tersenjum: aku punja lima helai gaun sutera dan sepadang sepatu satin hidjau, aku punja tiga buah gigi emas jang berharga lebih dari tigapuluh ribu franc, dan mungkin tak lama lagi Mr. Jamison, atau siapa sadja, akan membelikan daku gelang. Namun Baby, keluh Otilie, entahlah, aku tak dapat mengatakan apa jang tersisip dihatiku.

Baby memang kawannja jang terakrab, disamping Rosita, kawannja jang seorang lagi Baby memiliki tjorak tubuh seperti bola, bulat dan berputar-putar tjintjin-tjintjin jang bermatakan batu tiruan membuat garis-garis didjari-djarinja jang berlemak, giginja hitam bagai dahan pohon jang dibuat arang, dan bila ia tertawa maka suara tertawanja itu terdengar sampai ditepi pantai. Setidak-tidaknja para kelasi itu menjatakan demikian. Sedangkan Rosita adalah tinggi semampai, lebih tinggi dari laki-laki biasa, dan lebih bertenaga pula: dimalam hari, ketika para tamu datang, Rosita melangkah dengan gemulai dan memiliki suara jang serak basah. Tetapi disiang hari ia berdjalan dengan langkahnja jang lebar dan tjepat, dan suaranja menggelegar matjam komando baris. Kedua orang kawan Otilie itu berasal dari Republik Dominika, dan hal ini membuat mereka merasa bahwa tingkat sosial kehidupan mereka adalah setingkat lebih tinggi daripada wanita-wanita lain jang dilahirkan di Port-au-Prince ini. Namun mereka tidak menganggap Otilie sebagai keturunan orang darah sini. Kau mempunjai otak jang tjerdas, kata Baby selalu pada Otilie. Dan sering-sering Otilie chawatir bahwa kedua orang kawannja itu akan mengetahui bahwa ia tak tahu membatja atau menulis.

Rumah tempat mereka tinggal dan beroperasi adalah sebuah gedung tua berbentuk seperti nenek-nenek kurus, dan mempunjai teras jang ditumbuhi bunga bouganville. Walaupun tak ada papan jang tergantung dimukanja penduduk setempat selalu menjebutnja Champs Elysées, Pemiliknja, seorang nenek invalid, mengurus dan memimpin rumah itu dari kamar tidurnja ditingkat paling atas, sambil duduk dikursi gojang dan menghabiskan sepuluh sampai duapuluh botol Coca Cola setiap hari. Bila dihitung dirumah itu terdapat delapan orang wanita jang bekerdja untuknja. Semuanja, ketjuali Otilie, berumur tiga puluh tahun keatas. Di sendja hari, bila wanita-wanita ini sedang duduk berdjadjar diserambi muka sambil mengipas diri mereka dengan kipas daripada kertas, maka nampaknja Otilie seperti seorang anak jang sedang dimabuk impian, dikerumuni oleh kakak-kakaknja jang lebih djelek wadjahnja.

Ibu Otilie, sudah meninggal, sedang ajahnja pulang ketanah airnja, Perantjis, sedang ia dirawat oleh suatu keluarga petani dibukit, jang mempunjai beberapa orang anak laki-laki, jang kesemuanja telah pernah memperkosa Otilie ketika mereka masih muda, ditempat-tempat jang teduh dan tersembunji dikebun mereka. Tiga tahun jang lalu, ketika Otilie berumur 14 tahun, ia tiba di Port-au-Prince untuk pertama kalinja. Perdjalanan dari kampungnja itu memakan waktu dua hari semalam, dan ia membawa sekarung beras gandum seberat sepuluh pon, untuk didjual. Tetapi karena ia merasa keberatan. Otilie dalam perdjalannja membuang gandum itu sedikit demi sedikit untuk didjual. Otilie duduk dan menangis karena merasa ngeri memikirkan kemarahan keluarga petani itu bila ia datang tanpa uang pendjualan gandum. Tetapi tangisnja segera hilang karena seorang laki-laki datang dan menghiburnja. Orang laki-laki itu membelikan Otilie kelapa muda, dan membawanja ke Champs Elysées, dimana pemiliknja adalah kerabat orang laki-laki itu. Otilie hampir-hampir tak pertjaja akan kebahagiannja sekarang, segala piringan hitam, sepatu daripada satin dan orang-orang jang mengadjaknja bertjanda itu semua aneh dan hebat baginja. Sama hebatnja dengan bola lampu jang tergantung dibiliknja, jang ia tak pernah merasa djemumenjalakan dan memadamkannja lagi.

Dalam waktu singkat Otilie mendjadi sangat populer dikalangan kaum hidung belang, pemiliknja dapat menuntut harga jang tertinggi, dua kali lipat, untuk Otilie, dan Otilie mendjadi genit dan senang duduk berdjam-djam dimuka tjermin untuk menghias mukanja. Ia djarang sekali terkenang akan kampung dibukit tanah asalnja, namun setelah tiga tahun hidup dikota, masih banjak sekali sifat dan naluri pegunungan jang dimilikinja: angin sedjuk pegunungan seperti masih meniup disekitarnja, suaranja jang bervolume tinggi tidak berubah dan telapak kakinja, jang keras seperti kulit biawak, tak pernah mendjadi lunak karena hidup barunja ini.

Bila kawan-kawannja mempertjakapkan tjinta, dan laki-laki jang mereka tjintai, Otilie mendjadi gelisah. Bagaimana kau tahu bahwa kau mentjintai seorang laki-laki, tanjanja. Oh, djawab Rosita sambil matanja membasah hangat, kau akan merasa seperti hatimu dibumbui meritja, dan ikan-ikan ketjil berenang dipembuluh darah tubuhmu. Otilie menggeleng, kalau betul apa jang dikatakan Rosita maka tak pernahlah ia djatuh tjinia selama ini, karena sekalipun ia tak pernah mengalami rasa jang serupa itu terhadap laki-laki jang dilajaninja

Tetapi fikiran ini tetap mengganggunja hingga kemudian ia pergi menemui „houngan” atau dukun adjaib, jang tinggal dibukit diluar kota. Otilie, tidak seperti kawan-kawannja jang lain, tidak suka menggantungkan gambar-gambar keagamaan dibilikaja la tidak pertjaja pada Tuhan jang maha Esa, melainkan pada Tuhan jang bermatiam-matjam. Ada Tuhan untuk hudjan, untuk angin, untuk rezeki, dan sebagainja. Dukun hougan itu dapat berbira langsung kepada Tuhan-Tuhan ini, dapat menjampaikan rahasia-rahasia orang diatas medja pedupaaanja, dan orang dapat mendengar suara Tuhan lewat dukun itu. Dukun itu mendengarkan suara Tuhan lewat angin, air bah, dan sebagainja. Ketika Otilie habis mengutarakan maksudnja pala dukun itu, maka dukun itu mendengarkan suara Tuhan, dan lewat mulutnja Tuhan berkata bahwa Otilie harus menangkap seekor lebah, dan menggenggamnja. Bila lebah itu tidak menjengatnja, berarti jintanja segera tiba. Tjintanja sedjati

Dalam perdjalanan pulang Otilie mengenang Mr. Jamison, seorang Amerika jang berumur limapuluh tahun lebih, kaja dengan objek bahan bangunannja. Gelang-gelang jang bergemerintjing dilengan Otilie itupun pemberian Mr. Jamison djuga, dan ketika Otilie melewati rumpun bunga jang lebat dan dihinggapi beberapa ekor lebah ia bertanja-tanja pada dirinja sendiri apakah ia tjinta pada Mr. Jamison Dengan tjepat ditangkapnja seekor lebah dan digenggamnja, tetapi mendadak sengat lebah itu membuat ia terpekik dan duduk menangis meraung-raung, hingga setelah agak lama tidak djelas lagi apakah tangannja dan matanja jang disengat lebah tadi.

Kemudian datanglah bulan Maret, dan segenap penduduk kota mempersiapkan diri untuk pesta karnaval. Di Champs Elysées pa penghuni sibuk mendjahit pakaian pesta mereka, namun Otilie tetap menganggur karena ia telah memutus kan untuk tidak mengenakan pakaian samaran nanti. Ketika bulan telah naik dan rombongan pemuda pemudi berharis degan tambur sambil menari-nari Otilie tidak turut bergembira, dan hanja memandang dari jendela biliknja. Baby berkata, orang jang tak tahu akan mengira umurmu telah seribu rahun. Dan kata Rosita, hei, mengapa kau tidak turut kami sadja, melihat sabungan ajam?

Sabungan ajam karnaval bukanlah sabangan ajam biasa. Dari segenap pendjuru pulau itu para pemilik ajam djantan berbondong-bondong membandjiri arena dikota untuk menjabung ajam mereka. Otilie berfikir bahwa baik ia turut sadja, dan segera memasing anting-anting mutiaranja. Ketika mereka bertiga tiba ditanah lapang sabungan telah lama berlangsung, dan diluar tanda tempat sabungan itu ratusan orang berteriak untuk memberi semangat kepada ajam sabungan mereka. Sedang didekat pintu masuk berdesak-desak pulalah mereka jang tak dapat masuk karena penuhnja. Tetapi bagi njonja-njonja dari Champs Elysées tak ada kesulitan dan orang memberi termuka dari arena itu. Para penonton dibarisan itu, jang sebagian besar terdiri dari petani dari dusun, merasa tjanggung dan segan duduk didekat njonja-njonja ini. Dengan sembunji-sembunji mereka mengagumi kuku Baby jang dipulas merah, sisir penju jang terselip dirambut Rosita, dan giwang mutiara Otilie. Namun karena sabungan terus berlangsung maka perhatian mereka kembali pula kepada ajam mereka, dan njonja-njonja itupun terlupalah. Baby merasa dihinakan karena ini, dan matanja dilajangkan kesana kemari mentjari pandangan mata laki-laki jang menuju kearahnja. Tiba-tiba ia mentjubit Otilie, lihat, kau mendapat seorang pemudja. Lihat pemuda dusun itu, jang memandang kau ini sebagai segelas minuman dingin jang dapat direguk dengan puas. mereka tempat dibaris

Otilie semula menjangka bahwa pemudjanja itu tentu orang jang telah mengenalnja, karena ia datang dari kampung. Tetapi tak mungkin, karena rasanja Otilie tak pernah melihat wadjah laki-laki setampan itu, dengan kakinja jang kuat dan telinga jang ketjil. Topi laki-laki itu dan badju nja jang kumal membuktikan bahwa dugaan Otilie benar: ia berasal dari pegunungan. Warna kulitnja seperti warna djahe, dan berkilat seperti kulit djeruk, dan kepalanja digelengkan kesana kemari sesuai dengan gelengan kepala ajam sabungannja, jang didukungnja. Otilie jang biasa tersenjum lebar kepada setiap laki-laki, kali ini sangat hemat dengan senjumnja.

Diwaktu istirahat arena, dibawah tenda itu dibersihkan dan orang-orang mulai berdansa ditengahnja diiringi bunji orkes jang memainkan lagu-lagu karnaval. Pada waktu itulah anak muda itu mendekati Osilie. dan dengan tak disengadja Otilie tergelak melihat ajam jang bertengger dibalu anak muda itu. Baby mendjadi gusar. pergi kau, anak dusun, mau menga djak dansa ? Dan Rosita berdiri diantara anak muda itu dan Otilie menghalangi. Tetapi anak muda itu tersenjum sadja, katanja: ma'af njonja, saja ingin berdansa dengan anak njonja. Dan Otilie merasa tubuhnja terangkat keatas kemudian pinggul dan pahanja melekat pada tubuh anak muda itu ketika mereka mulai berdansa. Dan ia tak gusar sama sekali ketika anak jang berdansa. Rosita bersungut-sungut, muda itu menariknja ketengah orang-orang kaudengar Baby? Disangkanja kita ini ibu Otilie? Ah biarlah, budjuk Baby. Kautahu mereka itu keduanja orang kampung, me mang begitulah sifat mereka. Bila Otilie kembali kita tak mau lagi menerimanja, habis perkara.

Kenjataannja Otilie tidak lagi kembali kepada kawan-kawannja. Royal, demikianlah nama anak muda itu, Royal Bonaparte, berkata bahwa sesungguhnja ia bukannja ingin berdansa. Kita harus mentjari tempat jang sunji dan gelap, kita akan bermemperkosamu. Otilie menganggap usul djalan berpegangan tangan dan aku akan ini anch, tetapi kemudian ia dapat mengerti, karena naluri pegunungannja belum lenjap sama sekali, sedang Royal memiliki karakter pegunungan itu sepenuhnja, meluap-luap. Begitulah sambil berpegangan tangan, dan ajam itu bertengger dibahu Royal, mereka berdjalan perlahan disepandjang lorong jang sunji, dimana kitjauan menjinari tjelah-tjelah dahan pohon-pohon burung dan sinar matahari bersatu lembut tjemara.

Aku sedang sedih, kata Royal, walau wadjahnja tidak nampak sedih. Dikampungku Juno, ajamku ini, adalah djuara, sedang disini semua ajam sabungan itu lebih kuat dan lebih tua dari Juno, dan bila Juno kusabung djuga achirnja aku tjuma dapat bangkainja kembali. Lebih baik kubawa pulang sadja ia, hidup-hidup, dan kukatakan pada orang-orang bahwa ia menang. Otilie, maukah kau mentjium obat bersin ?

Otilie bersin keras sekali. Obat bersin mengingatkan dia akan masa kanak-kanaknja dan walaupun ia selalu menderita dimasa itu, kenangannja kini mendjelma dengan indah. Royal, berhenti sebentar. aku akan melepas sepatuku.

Royal sendiri tak pernah bersepatu. Kedua kakinja tampak kuat dan berbentuk indah, sedang tapak kakinja lembut seperti djedjak kaki binatang buas. Ia berbisik: mengapa kau kutemukan disini, tidak ditempat-tempat lain, disini, dimana tak ada kebaikan satupun terdapat, dimana rum tak dapat diminum karena buruknja dan dimana penduduknja semua mendjadi pentjuri? Mengapa kau berada disini, Otilie?

Karena aku harus mentjari nafkah, seperti kau djuga. Dan disini ada tempat untukku, dimana aku bekerdja, ditempat ...... ah ja, sematjam hotel.

Aku punja rumahku sendiri, bisik Royal. Disana dipuntjak bukit ketjil jang mendjulang dibatas desaku, disana berdiri rumahku, jang sedjuk dan tenang. Otilie, mau kah kau masuk kesitu dan mendiaminja?

Gila kau, kata Otilie, lalu berlari kentjang-kentjang diantara pohon-pohon kaju. Royal mengedjarnja, dan kedua belah tangannja mengembang seperti sedang memegang sebuah djala. Juno, ajam itu, menggelepar, berkokok dan terbang ketanah. Daun-daun jang gugur dan lumut mengge- litik telapak kaki Otilie ketika ia lari dibawah bajangan batang dan daun; tiba-tiba ia terdjatuh dilubang jang tertutup lumut asparagus, karena kakinja kena duri. Otilie mengaduh ketika Royal mentjabut duri itu, lalu Royal mentjium bekas duri itu. Tjiumannja terus naik ketangan Otilie, seluruh lengannja, lehernja, mukanja, dan Otilie merasa seperti ditimbuni daun-daun gugur dari langit. Ia mentjium bau peluh. Royal, bau pegunungan, bau tanah dihutan, bau pohon pohon jang baru bertunas.

Tjukup sekarang, keluhnja, tjukup. Na- mun ia tak merasa tjukup sesungguhnja, ia hanja merasa hatinja akan meledak setelah dipeluk oleh Royal selama satu djam lebih. Royal kini sudah tenang, ke- palanja jang berambut tebal terletak de- ngan damai diatas djantung Otilie, dan Otiliepun menghalau barisan semut jang se- dang menudju tempat Royal berbaring, dan iapun menghalau Juno jang berputar-putar disitu sambil berkokok kepada langit.

Sambil berbaring disana, Otilie melihat musuhnja jang dulu, lebah-lebah. Lebah- lebah ini beriring-iring diatas batang kaju lapuk jang tegak tak djauh dari tempat Otilie berbaring. Dengan pelahan ia mele- paskan diri dari pelukan Royal dan mem- bersihkan tanah didekatnja untuk meletak- kan kepala Royal. Dengan gemetar ia mengulurkan tangannja untuk menghalangi iringan lebah itu diatas batang kaju. Le- bah jang terdepan menubruk tangan Otilie, dan Olilie menggenggamnja. Ketika lebah itu berusaha untuk menjengat Otilie meng- hitung sampai sepuluh, untuk memastikan hatinja. Ketika genggamannja dibuka, le- bah itu dengan riang melontjat dan terbang berputar-putar diangkasa.

Pemilik Champs Elysées itu memberi nasehat kepada Baby dan Rosita: biarkan- lah Otilie sendiri, biarkanlah ia pergi, pa- ling lama dua minggu dan ia pasti kembali lagi kemari. Tetapi utjapannja ini dika- takan setelah ia sendiri tidak sanggup me- nahan Otilie, walaupun telah ditawarkan kamar terbaik pada Otilie, sebuah gigi emas, sebuah Kodak, sebuah kipas angin. Otilie tidak berubah pendapatnja. Ia tetap meneruskan pekerdjaannja mengemasi ba- rang-barangnja dalam sebuah kopor ka leng. Baby mentjoba membantu, tetapi ia menangis terus menerus hingga Otilie menghentikan segala usahanja: bukankah itu alamat tak baik, airmata diatas pakaian tjalon pengantin ? Dan pada Rosita Otilie berkata: Rosy, sesungguhnja kau harus bergembira atas kepergianku ini, dan bu- kannja tegak-tegak sadja disana sambil memeras tanganmu,

Dua hari sehabis sabungan ajam itu Royal datang dan memikul kopor kaleng Otilie, lalu pergilah mereka berdua menu- dju djalan dusun berdebu, menudju kepe- gunungan. Ketika tersiar kabar bahwa Otilie tidak lagi ada di Champs Elyscés, para langganan banjak jang memindahkan operasinja; lainnja lagi, walau tetap datang berkundjung tak ada seorangpun jang mau membelikan njonja-njonja itu segelas bir. Lama kelamaan mereka merasa djuga bahwa mungkin Otilie tak akan kembali lagi. Setelah enam bulan pemilik jang tua itu berkata: tak ada kemungkinan lain, Otilie, pasti sudah mati.

  • * *

Rumah Royal tegak bagaikan diselimuti seluruhnja oleh bunga-bunga: bunga- bunga jang merambat diatas atap, jang menutupi djendela, dan jang tumbuh dise- kitar pintu. Dari djendela kita dapat me- lihat djauh kepermukaan laut, karena le- tak rumah itu memang tinggi dipuntjak bukit: ciluar sinar matahari memantjar terik nan un didalam rumah itu sendiri dingin sekali rasanja. Dan dindingnja di- hiasi kertas koran jang ditempel, merah muda dar hidjau. Hanja ada satu bilik di situ,, jan; berisi sebuah kompor, sebuah tjermin diatas medja jang gojah, dan se- buah tempat tidur mewah dan besar, tju- kup untuk tiga orang jang gemuk badan- nja.

Tetapi Otilie bukannja tidur diatas tempat tidur raksasa ini. Ia bahkan tidak diperbolehkan duduk diatasnja, karena tempat tidur ini adalah milik nenek Royal Bonaparte Tua. Walaupun nenek itu sudah tua, kurus kering, bongkok dan berkaki bengkok, namun Bonaparte Tua didaerah itu ditakuti karena ia tahu meramal nasib orang. Banjak orang jang ketakutan untuk mengindjak bajangannja sadja, bahkan Royalpun takut akan dia, dan Royal gugup ketika mentjeriterakan kedatangan pengan- tinnja, Otilie dirumah itu. Nenek Bonaparte menjuruh Otilie mendekat, lalu ditjubitnja tubuh Otilie dibeberapa tempat, lalu ia memberitahukan tjutjunja bahwa isterinja terlalu kurus, ia akan mati setelah mela- hirkan anaknja jang pertama kelak.

Setiap malam sepasang mempelai itu harus menunggu dulu sampai dikiranja nenek itu tertidur, barulah mereka mulai bertjumbuan. Kadang-kadang, sambil ber- baring diatas tikar tempat mereka tidur, Otilie merasa bahwa dalam kegelapan itu nenek Bonaparte tidak tidur, dan terus mengawasi mereka. Mengeluh kepada Royal tak ada gunanja, karena Royal hanja tertawa gelak-gelak; apa salahnja ne- nek tua jang sudah banjak pengalaman itu kalau ingin melihat pengalaman se- kali lagi?

Karena tjintanja kepada Royal, Otilie mengesampingkan ketakutannja dan men- tjoba untuk tidak menampakkan kebentji- annja terhadap Nenek itu. Ia sesungguhnja merasa bahagia sekarang, dan tak pernah ia merindukan kawan-kawannja di Port-au- Prince. Namun ia tetap menjimpan benda- benda jang didapatnja dahulu, sebagai ke- nang-kenangan. Baby memberinja sebuah kerandjang djahitan sebagai tanda mata perkawinannja, dan dengan ini Otilie men- djahit badju dan kaus kakinja daripada sutera, jang tak pernah dipakai selama ini, karena tak ada tempat maupun kesempatan untuk memakainja dikampung itu. Jang dapat berkumpul dan bertamu dicafee hanjalah kaum laki-laki. Bilamana kaum wanita ingin berdjumpa satu sama lain, mereka datang ditempat mentjutji umum, ditepi sungai. Tetapi Otilie terlalu sibuk untuk merasa kesepian. Dipagi hari ia mengumpulkan dahan batang tjemara un- tuk memasak air; lalu ajam-ajam harus diberi makan. Dan kambing harus diperah susunja, lalu Nenek itu jang selalu me- rengek minta perhatian chusus dari pada- nja. Dua atau tiga kali sehari Otilie pergi keladang tebu tempat Royal bekerdja di- bawah bukit, sambil membawa air minum.

Pada kundjungan begini Otilie tidak per- duli kalau Royal bersikap kasar terhadap- nja, karena ia sadar bahwa suaminja hanja akan menjombongkan diri sadja dihadapan kawan-kawannja, jang setiap kali melihat Otilie selalu tertawa lebar matjam semang- ka jang dibelah melintang. Tetapi dimalam harinja Otilie lalu menarik telinga Royal dan bersungut-sungut karena suaminja itu telah memperlakukannja seperti andjing, hingga nanti, dikegelapan malam itu, Royal memeluknja dan membisikkan kata-kata jang dapat membuat Otilie tersenjum lagi.

Setelah lima bulan kawin Royal mulai mengerdjakan kembali hal-hal jang biasa dilakukannja sebelum ia kawin dulu. Laki- laki lain pergi kekafe tiap malam, dan di- hari Minggu sepandjang hari melihat sa- bungan ajam, ia tak mengerti mengapa Otilie harus gusar karenanja. Namun Otilie bersikeras dan mengatakan bahwa kalau Royal tjinta padanja maka ia tak akan sampai hati meninggalkan isterinja sepan- djang hari, hanja ditemani perempuan tua kedjam itu .Aku tjinta padamu, kata Royal, tapi kaki-laki kan harus mempunjai kese- nangannja djuga. Sering dimalam hari ia tidak dirumah, dan Otilie tak pernah tahu pukul berapa ia akan pulang. Bulan su- dah naik ketengah puntjak langit, dan Otilie tetap berbaring seorang diri diatas tikar, dan berkata bahwa tanpa pelukan Royal ia tak akan dapat tidur lelap. Namun sesungguhnja tjobaan jang terberat adalah Nenek Bonaparte. Nenek itu sudah memutuskan untuk membuat Otilie gila atau pergi melarikan diri. Bila Otilie sedang memasak, nenek itu akan datang dan mengganggu, ditjobanja makanan itu dan bila ia tak senang, dimuntahkannja semua itu kembali diatas lantai jang baru disapu. Ja selalu mengotorkan ruangan itu, tempat tiduraja djuga, dan kambing itu disuruhnja tinggal didalam rumah, lalu apa sadja jang dipegangnja segera akan petjah atau patah. Dan pada Royal ia me- ngeluh bahwa seorang isteri jang tak tahu mengatur keberesan rumahnja sesungguh- nja tak ada gunanja. Nenek itu selalu ber- djalan-djalan kian kemari sepandjang hari dan matanja jang merah berair itu tak per- nar dipedjamkan. Namun jang membuat Otilie betul-betul marah, hingga mengan- tjam nenek itu, jalah kebiasanja untuk mentjubit Otilie keras-keras hingga bekas kukunja nampak dikulit. Dan Otilie ber- teriak, lakukan itu sekali lagi, nenek ke- parat, kalau kau berani, dan akan ku- ambil pisau itn untuk mengorek hatimu dari perutmu jang busuk itu. Nenek itu ketakutan, tetapi segera ia menemukan tja- ra-tjara baru untuk menjakiti hati Otilie; misalnja ia biasa berdjalan-djalan dikebun, diatas tanah jang ia tahu betul bahwa Otilie baru sadja menanaminja dengan bi- dji bunga-bungaan.

Pada suatu hari terdjadi dua hal jang penting dalam kehidupan Otilie. Jang per- tama jalah datangnja seorang anak dari kampung membawakan surat untuk Otilie; memang di Champus Elysées ia sering me- nerima kartupos bergambar dari kelasi- kelasi jang telah menikmati lajanannja di- kamarnja, namun ini adadah surat per- tama jang chusus dialamatkan ke- padanja. Karena ia tak tahu mem- batja pertama-tama ia ingin merobek sadja surat itu. Lalu difikirnja bahwa mungkin pada suatu saat kelak ia akan dapat beladjar membatja, lalu disimpannja surat itu dalam kerandjang djahitannja.

Ketika membuka kerandjang itulah ia mengalami kedjadian penting jang kedua. la menemukan sebuah kepala kutjing. jang rupanja telah dibunuh nenek tua itu dan dipotong kepalanja. Hem, rupanja nenek keparat itu punja akal baru lagi. fikir Otilie. Baik, akan kubalas dia, akan ku-buat dia tobat sampai mati. Dengan hati hati Otilie mengangkat kepala kutjing itu, lalu dimasukkannja kedalam sup jang se- dang dimasak dikuali. Disiang hari sehabis makan nenek Bonaparte mendjilat-djilat bibirja dan berkata bahwa sup jang di masak Otilie hari itu luar biasa enaknja.

Keesokan harinja Otilie membuka ke- randjang djahitannia akan menemukan se- ekor ular hidjan ketjil jang masih hidup. Dengan segera dipotongnja ular itu halus halus lalu dimasukkannja kedalam masak- an selada jang dalam kuali Selandjutnja tiap-tiap hari kepandaiannja diudji: ada labah-labah untuk digoreng, ada kadal untuk dipanggang, ada kaki musang un- tuk disajur, Nenek Bonaparte selalu ma- kan semua itu dengan rakusnja. Dengan matanja jang djuling ia mengikuti gerak- gerik Otilie untuk mengetahui apakah djeratnja sudah berhasil. Kau kelihatannja tidak begitu sehat, Otilie, katanja dengan suara asam. Kau makan sedikit sekali. Ini, Ambillah sup jang enak ini semangkuk. Mengapa kau tak mau ?

Karena, djawab Otilie, aku tak dojan kaki musang, atau laba2, atau panggang kadal, atau sajur kepala kutjing. Dan ne- nenek Bonaparte baru memahami semua- nja, dengan muka putjat dan lidah kelu, dan urat-urat darahnja menggelembung. ia bangkit dengan gemetar, lalu djatuh pingsan diatas medja. Sebelum hari malam ia meninggal.

Royal memanggil orang-orang jang akan berdukatjita. Mereka datang berombongan dari kampung-kampung sekitarnja, dan sambil meraung-raung seperti andjing dibulan terang mereka memenuhi rumah Royal. Nenek-nenek tua menumbukkan kepala mereka kedinding, orang-orang tua lainnja turut menangis. Tetapi semua itu hanjalah tjara menjatakan kesedihan mereka jang dibuat-buat, dan siapa jang paling pandai menirukan mimik orang berkabung sang it laku didaerah itu bila ada kematian. Sehabis upatjara penguburan pergilah orang-orang itu, dengan puas karena merasa telah menjelesaikan -tugas mereka dengan baik.

Kini rumah itu keseluruhannja mendjadi milik Otilie. Tanpa hadirnja nenek Bona- parte jang mengikutinja kesana kemari, jang membuat kotoran dimana-mana, dia djadi mempunjai waktu luang jang berle- bih-lebih. Otilie sering berguling-guling di- tempat tidur besar itu, atau duduk dimuka katja menghias diri. Kehidupan kosong ini membuatnja malas dan iapun lalu bernjanji-njanji, lagu jang sering didengar- nja dipiringan hitam di Champs Elysées. Bila ia dipetang hari menunggu kedatang- an Royal maka ia mengenangkan bahwa di Port-au-Prince kawan-kawannja pada saat ini sedang duduk-duduk diserambi muka; menanti kedatangan mobil salah seorang langganan. Tetapi segera setelah ia melihat Royal datang dari djauh, sam- bil menjandang sabitnja jang melengkung. hilanglah semua kerisauan hati Otilie dan berlarilah ia mendjemput suaminja dengan hati jang penuh kebahagiaan.

Pada suatu malam ketika mereka belum tidur Otilie merasa seperti ada seseorang lain dalam rumahnja. Kemudian dikaki tempat tidur itu dilihatnja, seperti dulu, sepasang mata jang melotot. Lalu tahulah ia bahwa nenek Bonaparte sudah mati namun belum pergi dari rumh itu. Dima- lam lain, ketika ia seorang diri dirumah, Otilie mendengar suara tertawa nenek itu. Kemudian diluar ia melihat kambingnja memandang sesuatu, jang tak tampak. La- lu kambing itu mengibas-ibaskan tanduk- nja, seperti dulu waktu nenek Bonaparte biasa membelainja,

Djangan bergerak-gerak djuga, geram Royal. Otilie, sambil berbisik bertanja apa- kah Royal tidak melihat mata itu? Ketika Royal mengatakan bahwa ia bermimpi Otilie segera menerkam mata itu dan memekik ka- rena tak ada apa-apa disitu, hanja udara hampa. Royal bangkit dan menjalakan lam- pu, dipeluknja Otilie sambil ia mendengar- kan Otilie mentjeritetakan semua jang di- lakukannja dengan binatang-binatang jang dimasukkan dalam kerandjang djahitnja. Bersalahkah aku, tanja Otílie. Royal ber- kata bahwa ia tak tahu, bukan dia jang harus menentukan itu. Namun ia berfikir bahwa Otilie wadjib dihukum karena itu. Karena nenek itu pasti tak puas kalau Otilie belum dihukum, dan akan terus mengikutinja kemana Otilie pergi. Begitu kebiasaan hantu disitu.

Dipagi harinja Royal mengambil seutas tali jang kuat dan pandjang dan berkata bahwa Otilie akan diikatnja pada pohon besar dimuka rumah sepandjang hari tanpa makan dan minum, dan setiap orang jang melihat akan tahu bahwa Otilie sedang me- lakukan hukuman jang hina sekali.

Tetapi Otilie bersembunji dibawah tem- pat tidur dan tak mau keluar. Aku akan lari, Royal, kalau kau mengikat aku djuga aku akan lari. Aku tak peduli, kata Royal, aku harus menangkapmu. Dan dipegangnja tumit Otilie lalu diseretnja Otilie dari ba- wah tidur. Disepandjang djalan dari rumah kepohon itu Otilie berusaha memegang apa sadja jang dilaluinja untuk mempertahan- kan dirinja: pintu, tangkai pohon jang merambat, tanduk kambing, namun semua itu harus dilepaskannja lagi karena Royal tetap menjeretnja. Diikatnja Otilie dipo- hon besar itu, dilingkarinja dengan tali sampai tiga kali dan dibuhulnja tali itu erat-earat. Kemudian barangkatlah Royal keladang ambil mengisap itu djarinja jang berdarah karena digigit Otilie. Otilie memakinja dengan segala kata-kata kotor jang dikenalnja, hingga Royal lenjap dibalik bukit. Ajam djantan, si Juno, kam- bing dan anak-anak ajam lain datang dan memandangi Otilie dengan keheran-heranan.

Karena ia hampir tertidur, maka Otilie mengira bahwa dirinja sedang bermimpi ketika dari djauh dilihatnja dua orang kawannja, Baby dan Rosita, dengan diantarkan seorang anak kampung, berdjalan menudju kepadanja, dengan mengenakan sepatu bertumit tinggi dan pajung beraneka warna, sambil memanggil namanja keras-keras. Karena ia mimpi fikir Otilie, maka kawan-kawannja itupun tak akan heran melihat dirinja diikat sematjam ini.

Tuhanku, apa kau gila Otilie, seru Baby sambil berhenti sedjenak. Diperhatikannja Otilie dan ia merasa ngeri kalau-kalau be- nar Otilie telah gila. Otilie, berkatalah! Otilie tertawa sambil menggeleng-ge. kan kepalanja. Aku bahagia sekali, baha- gia, lain tidak. Tolong lepaskan ikatanku ini, dan aku akan memelukmu berdua se- puas hatiku.

Djadi inilah jang dilakukan sitolol bia- dab itu, seru Rosita sambil melepaskan bak perth bunga. Masuklah, didalam sa- ngat sejuk dan udaranja njaman. Rosita mengangkat hidungnja seperti sama sekali tak ada jang njaman didalam rumah itu, dan berkata, dengan suara baritonnja jang dalam: ja sebaiknja me- reka lekas-lekas menghindari sinar mata- hari, karena rupanja matahari disini sudah mempengaruhi keberesan otak Otilie.

Tepat sekali kedatangan kami kemari, kata Baby sambil mengambil sesuatu dari tasnja jang besar. Dan kau harus berterima kasih kepada Mr. Jamison untuk itu. Ma- dame bilang kau sudah mati, dan ketika surat kami tak kaubalas, kamipun me- njangka pasti kau betul-betul sudah mati. dahulu, Lama sekali rasanja Otilie-tidak melihat bibir jang ditjat ataupun mentium bau perfum. Ketika ia siap berdandan ber serulah Rosita, aduhai, siapa orangnja jang tak mau membelikan kau bir setong besar kalau melihat ketjantikanmu. Lalu untuk apa orang setjantik kau ini hidup sengsara djauh dari kawan-kawanmu jang mentjintaimu.

Tapi aku tak pernah menderita, hanja sekali-kali, djawab Otilie.

Hush, sudahlah, diam, kata Baby. Se- mua itu kini sudah lampau. Ini, segelas rum lagi, mari kita minum untuk masa jang lalu, dan masa jang tjerah jang akan datang. Malam ini Mr. Jamison mendian- buhul tali pengikat Otilie. Tunggu sampai Namun Mr. Jamison, itulah laki-laki jang djikan champagne untuk setiap orang ta kutemui dia, jang berani memukuli kau dan mengikatmu seperti andjing.

O tidak, kata Otilie. Royal tak pernah memukuli aku, hanja hari ini aku harus mendjalani hukuman. Kau tak mau mendengarkan nasehat kami, sekarang lihatlah apa jang terdjadi dengan dirimu. Laik-laki keparat itu ha- rus bertanggung djawab atas semua ini, seru Baby sambil mengibaskan pajungnja kesana kemari. Otilie memeluk dan mentjium kawan- kawannja, Lihatlah rumahku, katanja sambil mengantar tamu-tamu itu, Tjantik bukan? Nampaknja seperti rumah itu di- buat daripada bunga semata-mata, segero- terbaik didunia ini, telah menjewa sebuah mobil untuk mengirim kami, kawan-ka- wanmu jang terakrab, untuk melihat apa jang terdjadi dengan kau sesungguhnja. Lihat Otilie, aku membawa sebotol rum, ambillah gelas agar kita dapat minum ber- sama-sama.

Lenggang-lenggok kota dan permata jang berkilauan itu telah mempengaruhi anak ketjil dari kampung tadi, jang de ngan matanja jang hitam mengintai dari djendela rumah. Otiliepun merasa terdjangkit penjakit genit, dan ketika Baby menuangkan rum dalam gelas untuk diminum iapun si buk mengeluarkan gaun suteranja dan an- ting-anting mutiara jang didapatnja dikota HORISON / 158 mu, Madame memberinja reduksi, sepa- ruh harga.

O ja, tanja Otilie. Ia merasa iri men dengar kata-kata itu. Dan apa kata orang- orang. adakah orang jang mentiari atau mengingat aku?

Otilie, kau tak tahu apa jang terdjadi. Laki-laki dari mana-mana jang selamanja belum pernah kesitu datang dan menanja- kan kau. Mereka mendengar tentang diri- mu di Miami atau Habana, atau entab dimana lagi. Sedang Mr. Jamison, ia me- lihatpun tak mau pada kami, ia hanja du- duk diserambi muka dan minum rum ber- botol-botol.

Ja, kata Otilie sambil mengenang kembali keadaannja dahulu. Mr. Jamison memang selalu sajang kepadaku, selamanja. Kemudian matahari tjondong kebarat, hudjan jang hebat turun sebentar dan kini bekasaja tampak dari djendela seperti tirai halus berkabut. Dinding dalam rumah itu seperti dilapisi beludru merah nampakoja, dan bau tanah jang segar disiram hudjan memenuhi ruangan. Ketiga orang kawan lama itu terus berhandai-handai, semua hal telah ditjeritakan, dari hal-hal jang lutju dan menarik, sampai kehal-hal jang sedih. Pendeknja tak ada wbahnja seperti pertjakapan dimalam hari di Champs Elysées dulu, dan Otilie merasa senang dapat merasainja semua kembali

Lihat, hari sudah petang, kata Baby, dan kami berdjandji akan pulang sebelum tengah malam. Otilie, mari kubantu kau mengemasi barang-barangmu.

Walaupun Otilie tidak mengira bahwa kawan-kawannja itu datang untuk mendjemputnja, namun karena pengaruh rum tadi, ia lalu tersenjum dan berkata: ja, tedi aku telah mengatakan padanja bahwa aku akan lari. Tapi mungkinkah aku tenang dikota nanti? Tak lebih dari seminggu, kurasa, suamiku akan datang mendjemputku kembali.

Kau bodoh benar, kata kawan-kawannja. Kau ingin melihat wadjah suamimu itu, sesudah dikerubut oleh semua laki-laki langganan kami disana.

Aku tak mau ada orang jang melukai- oja, kata Otilie. Lagipula setiba dirumah pasti ia akan mendjadi lebih marah lagi.

Tapi Otilie, kau tak akan kembali keru- mah ini lagi bukan?

Sambil tertawa Otilie menengok sekeliling kamar itu, seperti ia melihat sesuatu jang tak dapat dilihat oleh kawan-kawannja. Tentu sadja, mengapa aku tidak kembali.

Sambil memutar-mutar bidji matanja dan memukulkan kipasnja Baby berkata: ini tak pernah kualami sebelumnja, orang segila ini tak pernah kudjumpai. Rosita, pernahkah kaudengar utjapan segila itu?

Tidak, budjuk Rosita. Itu hanja karena Otilie terlalu lama menderita disini. Berbaringlah kau, Otilie, kami akan membantu mengemasi barang-barangmu sekarang.

Otilie memandangi kawan-kawannja itu ketika mereka mulai berkemas, melipat semua pakaiannja, menggulung kaos kakinja. Dengan diam-diam Otilie melepaskan badjunja jang bagus, lalu mengenakan jang lama kembali. Lalu ia mulai bekerdja, seakan-akan membantu kawan-kawannja, tetapi sebetulnja ia hanja mengambil se- mua pakaian jang sudah dilipat itu, satu persatu, dan meletakkannja kembali kuda- lam lemari. Baby mengentakkan kakinja ketika melihat hal itu.

Dengar, kata Otilie. Kalau kau dan Ro- sita memang betul-betul sahabatku, ajo, ikatlah aku kembali dipohon besar itu. Dengan begitu nanti tak akan lebah jang akan menjengat aku.

Menjengat lebah mabuk, seru Baby. Te- tapi Rosita menjabarkannja, Kurasa, kelub Rosita, kurasa Otilie memang betul-betul tjinta pada Royal. Setiap waktu Royal da- tang dan memintanja, ia akan Jergi dan turut dia lagi. Kalau begini lebih baik kita pulang sadja melapor pada Madame, bahwa Otilie memang betul-betul sudah mati. Ja, kata Otilie, karena ia senang men- dengar berita sensasi itu. Katakan aku su- dah mati.

Djadi kembalilah mereka bertiga kepekarangan dibawah pohon. Baby, dengan dada jang turun naik dan mata terbeliak memutar-mutar seperti matahari dilangit, berkata bahwa ia sama sekali tak mau turut tjampur dengan pengikatan Otilie. Djadi terpaksalah Rosita bekerdja seorang diri. Ketika mereka berpisah Otilic me- nangis dengan keras, terkeras diantara mereka bertiga, walaupun ia senang meli- hat kawan-kawannja itu pergi. Otilie sa- dar bahwa bila mereka sudah pergi, pasti ia akan lupa sama sekali akan kenang- kenangan lalu itu. Sambil berdjalan me- nuruni bukit dengan sepatu tumit tinggi- nja, Baby dan Rosita berkali-kali menoleh dan melambai kepada Otilie. Tetapi Otilie tak dapat membalas melambai, dan dalam sekedjap sadja lupalah ia akan keha- diran mereka.

Sambil mengigit-gigit daun pandan, Otilie merasakan dinginnja udara sendja itu. Matahari sudah hampir terbenam dan nampak kuning keemasan, diatasnja burung-burung ketjil berterbangan mentjari sarangnja dipohon-pohon. Tiba-tiba didengarnja suara langkah Royal, dan dengan tjepat Otilie membentangkan kakinja, kepalanja dikulaikan kebawah, dan matanja ditariknja kedalam, dan ia menggerak-gerakkan tubuhnja sedikit menurut tiupan angin. Dari djauh nampaknja seperti jang diikat itu majat orang jang mati kehausan. Dan Otilie mendengar Royal mempertjepat langkahnja, dan ia berfikir dengan senang, ha, rasakan sekarang, kau akan mati terkedjut melihat akibat perbuatanmu. ***

(Alihbahasa: Drs. Ananta Pramoedya).