Lompat ke isi

Majalah Horison/1966/Volume 4/Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
oleh Umar Kayam

UMAR KAYAM
SERIBU
KUNANG-KUNANG
DI MANHATTAN

MEREKA DUDUK bermalas-malasan di-sofa. Marno dengan segelas Scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama- sama memandang keluar djendela.

― Bulan itu ungu, Marno.

― Kau tetap hendak memaksaku untuk pertjaja itu?

― Ja, tentu sadja, kekasihku.
Ajolah akuilah. Itu ungu bukan?

― Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnja itu ?

― Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-n-g-u! U-n-g-u!
Ajolah b[il]anglah, ungu!

― Kuning ke-emasan !

― Setan
Besok aku bawa kau ke dokter mata,

Marno berdiri pergi kedapur untuk menambah air serta es kedalam gelasnja. Lalu dia duduk kembali di-sofa disamping Jane. Kepalanja sudah terasa tidak berapa enak.

― Marno, sajang.

― Ja, Jane.

― Bagaimana Alaska sekarang?

― Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah kesana.

― Maksudku hawanja pada saat ini.

― Oh, kira tidak sedingin seperti bia Bukankah disana ada summer djuga seperti disini ?

― Mungkin djuga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu-bumi.
Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang jang amat l-u-a-a-s dengan saldju, saldju dan saldju. Lalu disana-sini rumah- rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti ice-cream panili.

― Aku kira sebaiknja kau djadi penjair, Jane.
Baru sekarang aku mendengar perumpamaan jang begitu puitis. Rumah Eskimo seperti ice-cream panili . . .

― Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kau tahu . . .

― Eh, maukah kau membikinkan aku segelas . . . ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung martini itu tjampuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon?
Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini... Uuuuuuup...

Dengan susah pajah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berdjalan kedapur. Suara gelas dan botol beradu terdengar berden- tang-dentang. Dari dapur Jane mentjoba berbitjara lagi.

― Tommy, suamiku, bekas suamiku, kau tahu... Marno darling.

― Jaaa, ada apa dengan dia ?

― Aku merasa dia ada di Alaska seka rang.

Pelan-pelan Jane berdjalan kembali ke-sofa, kali ini duduknja mepet Marno.

― Di Alaska. Tjoba gambarkan di Alaska.

― Tapi minggu jang lalu kau bilang dia ada di Texas atau di Kansas begitu. Atau mungkin di Arkansas.

― Aku hilang, aku me-r-a-s-a Tommy ada di Alaska.

― Oh.

― Mungkin dia djuga tidak dimana-mana.

Marno berdiri, berdjalan menudju keradio lalu memutar knopnja. Diputar-putarnja beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan tjampuran suara-suara jang aneh. Potongan-potongan lagu jang tidak tentu serta suara orang jang tertjekik-tjekik. Kemudian dimatikannja lagi radio dan dia duduk kembali di-sofa.

― Marno, manisku.

― Ja, Jane.

― Bukankah di Alaska ja, ada adat menjugukan isterinja kepada Tamunja?

― Ja, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punja adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru anthropologi sadja.

― Aku harap itu betul.
Sungguh, darling, aku serius. Aku harap itu betul.

― Kenapa?

― Sebab, s-e-b-b-a-b aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak m-a-u-u. ― Tetapi bukankah belum tentu Tommy ada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.

Jane memegang kepala Marno dan dihadapkanaja muka Marno kemukanja. Mata Jane memandang Marno tadjam-tadjam.

― Tetapi aku tidak mau Tommy kesepan dan kedinginan!
Maukah kau, Marno kekasihku, maukah, maukah kan?

Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknja tangan Jane.

― Tentu tidak, Jane. Sudah tentu tidak.

― Kau anak jang manis, Marno,

Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri didekat djendela. Langit bersih malam itu, ketjuali disekitar bulan. Beberapa awan menggerombol disekeliling bulan, hingga tjahaja bulan djadi suram karenanja. Dilongokkanja kepalanja kebawah dan satu belantara pentjakar langit tertidur dibawahnja. Sinar bulan jang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senjap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke-dalam tubuhnja.

― Marno.

― Ja, Jane.

― Aku ingat Tommy, pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian jang tjantik dari Oklahoma City beberapa tahun jang lalu. Sudahkah aku tjeriterakan hal ini kepada-mu?

― Aku kira sudah, Jane, Sudah beberapa kali.

― Oh.

Jane menghirup martini-nja empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas jang keberapa martini jang dipegangnja itu. Lagi pula tidak seorangpun jang memperdulikan.

― Ара ?

― Empire State Building sudah didjual.

― Ja, aku membatja tentang itu di New York Times.

― Bisakah kau membajangkan punja gedung jang tertinggi didunia ?

― Tidak. Bisakah kau ?

― Bisa, bisa.

― Bagaimana?

― Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran jang tjabul dan lutju. Tapi sekarang tahulah...

Lampu-lampu jang pada berkelip di-belantara pentjakar langit, jang kelihatan dari djendela, mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang jang suka bertabur malam-malam disawah embahnja didesa

― Oh, kalau sadja . . .

― Kalau sadja apa, kekasihku?

― Kalau sadja ada suara tjengkerik mengerik dan beberapa katak menjanji dari luar sana.

― Lantas ?

― Tidak apa-apa. Itu akan membuat aku lebih senang sedikit.

― Kau anak desa jang sentimentil!

― Biar!

Marno terkedjut karena kata „biar!” itu terdengar keras sekali keluarnja.

― Maaf, Jane. Aku kira scotch jang membuat itu.

― Tidak, sajang. Kau merasa tersinggung. Maaf.

Marno mengangkat bahunja karena dia tidak tahu apa lagi jang mesti diperbuat dengan maaf jang berbalas maaf itu.

Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat diatas bangunan apartment Jane.

― Jet keparat!

Jane mengutuk sambil berdjalan terhujung kedapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnja Jane kembali, mukanja basah, ditangannja segelas air-es.

― Aku merasa segar sedikit.

Jane merebahkan badannja di-sofa, matanja dipedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja keatas. Lirih-lirih dia mulai menjanji ―― deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea...

― Pernahkah kau punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali didasar laut jang teduh itu, tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?

― He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu jang pandjang itu.
Bagaimana lagi, Jane ?

― Oh, lupakan sadja. Aku tjuma ngomong sadja,

Deep blue sea, baby, deep blue sea, baby, deep blue sea...

― Marno.

― Ja.

― Kita belum pernah djalan-djalan ke Central Park Zoo ja?

― Belum, tapi kita sudah sering djalan-djalan ke-parknja.

― Dalam perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo, Ha, aku ingat kami berdebat dimuka kandang kera. Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tapi aku tetap menjangkalnja, karena gorilla jang ada dimuka kami mengingatkan aku pada pendjaga lift kantor Tommy. Pernahkan aku tjeritakan hal ini kepadamu ?

― Oh, aku kira sudah Jane. beberapa kali

― Oh, Marno, semua tjeritaku sudah kaudengar semua.
Aku membosankan ja, Marno? M-e-m-b-o-s-a-n-k-a-n.

Marno tidak mendjawab, karena tiba- tiba sadja dia merasa seakan-akan isterinja jang ada didekat-dekat dia di Manhattan malam itu.

Adakah pendjelasannja bagaimana satu bajangan jang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muntjul begitu sadja dalam waktu jang begitu pendek?

― Ajolah Marno. Kalau kau djudjur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Tjerita jang itu-itu sadja jang kaudengar tiap kita ketemu. Membosankan ja ? M-e-m-b-o-s-a-n-k-a-n!

― Tapi tidak semua tjeritamu, pernah aku dengar. Memang beberapa tjeritamu sudah be berapa kali aku dengar

― Bukan beberapa, sajang. Sebagian terbesar.

― Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.

― Aku membosankan djadinja.

Marno diam tidak mentjoba meneruskan. Disedotnja rokoknja dalam-dalam, lalu dihembuskannja lagi asapnja lewat mulut dan hidungnja.

― Tapi Marno bukankah aku harus berhenti bitjara?
Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku jang punja.
Apalah djadinja kalau salah seorang pe- milik pulau ini tjapek berbitjara? Kalau dua orang terdampar disatu pulau, me- reka akan terus berbitjara sampai kapal tiba bukan?

Jane memedjamkan matanja dengan dada-nja lurus-lurus terlentang di-sofa. Sebuah bantal terletak didadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar lalu duduk kembali di-sofa.

― Marno, kemarilah duduk.

― Kenapa? Bukankah sudah sedjak sore aku duduk terus disitu?

― Kemarilah duduk.

― Aku sedang enak didjendela sini, Jane.
Ada beribu kunang-kunang disana.

― Kunang-kunang ?

― Ja.

― Bagaimana rupa kunang-kunang itu ? Aku belum pernah lihat.

― Mereka adalah lampu hidjau ketjil-ketjil sebesar noktah.

― Begitu ketjil?

― Ja. Tetapi kalau ada seribu kunang-kunang hinggap dipohon pinggir djalan itu bagaimana?

― Pohon itu akan djadi pohon-hari-natal.

― Ja, pohon-hari-natal.

Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanja terus menghadap keluar djendela lagi, menatap kesatu arah jang djauh entah kemana.


Apalagi jang bisa kukerdjakan kalau aku

― Marno, waktu kau masih ketjil . . .
Marno kau mendengarkan aku 'kan?

― Ja.

― Waktu kau masih ketjil pernahkah kau punja mainan kekasih?

― Mainan kekasih?

― Mainan jang begitu kaukasihi hingga kemanapun kau pergi selalu harus ikut?

― Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si-Djilamprang.

― Itu bukan mainan, itu piaraan.

― Piaraan bukankah untuk mainan djuga?

― Tidak selalu.
Mainan jang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.

― Siapa dia?

― Dia boneka hitam jang djelek sekali rupanji. Tetapi aku tidak akan per- nah bisa tidur Uncle Tom tidak ada di-sampingku.

― Oh, itu hal jang normal sadja, aku kira.
Anakku djuga begitu. Punja anakku andjing-andjingan bernama Fifi.

― Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom ada didekat-dekatku lagi sekarang.

Diraihnja bantal jang ada disampingnja, kemudian digosok-gosokkannja pipinja pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannja lagi bantal itu kesofa dan dia memandang pada Marno jang masih bersandar didjendela.

― Marno, sajang.

― Ja.

― Aku kira tjerita itu belum pernah kaudengar bukan?

― Belum, Jane.

― Bukankah itu adjaib ? Bagaimana aku sampai lupa mentjeritakan itu sebelumnja?

Marno tersenjum.

― Aku tidak tahu, Jane.

― Tahukah kau? Sedjak sore tadi baru sekarang kau tersenjum.
Mengapa?

Marno tersenjum.

― Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.

Sekarang Jane ikut tersenjum,

― Oh, ja, Marno manisku.
Kau harus berterima kasih kepadaku Aku telah menepati djandjiku.

― Apakah itu, Jane? ― Pijama. Aku telah belikan kan pijama tadi.
Ukuranmu medium-large 'kan? Tunggu ja . . .

Dan Jane seperti seekor kidjang jang mendapatkan kembali kekuatannja sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk kedalam kamarnja. Beberapa menit kemudian dengan wadjah berseri dia ke-luar kembali dengan sebuah bungkusan ditangan.

― Aku harap kau suka pilihanku. Dibukanja bungkusan itu dan dibebernja pijama itu didadanja,

― Kau suka dengan pilihanku ini?

― Ini pijama jang tjantik, Jane,

― Akan kau pakai sadja malam ini.
Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti dengan pijama.

Marno memandang pijama jang ada di-tangannja dengan keraguan.

― Jane.

― Ja, sajang.

― Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur disini malam ini.

― Oh? Kau banjak kerdja ?

― Eh. tidak seberapa sesungguhnja Tjuma...
Tak tahulah.

― Kau merasa tidak enak badan ?

― Aku baik-baik sadja.
Aku... eh, tak tahulah. Jane.

― Aku harap aku mengerti, sajang.
Aku tidak akan bertanja lagi.

― Terima kasih, Jane.

― Aku bungkus sadja pijamamu ?

― Terserahlah. Tjuma aku kira aku tidak akan membawanja pulang.

― Oh.

Pelan-pelan dibungkusnja kembali pijama itu lalu dibawanja masuk kedalam kamar-nja. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnja.

― Aku kira, aku pergi sadja sekarang, Jane.

― Kau akan menelpon aku hari-hari ini 'kan?

― Tentu, Jane.

― Kapan aku bisa mengharapkan itu ?

― Eh, aku belum tahu lagi, Jane.
Segera aku kira.

― Kau tahu nomor-ku 'kan?
Eldorado...

― Aku tahu, Jane.

Kemudian pelan-pelan ditjiumnja dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno dibalik pintu, langkahnja terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga. Dikamarnja, ditempat tidur, sesudah minum beberapa butir obat-tidur Jane merasa bantalnja basah.