Lompat ke isi

Majalah Horison/1961/Volume 1/Esei Tentang Esei

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Esei Tentang Esei
Soe Hok Djin

ESEI TENTANG ESEI


Soe Hok Djin

― 1 ―

DALAM ENSIKLOPEDI BRITANICA, diberikan perumusan esei sebagai berikut: "Esei adalah karangan jang sedang pandjangnja, biasanja dalam bentuk prosa, jang mempersoalkan suatu persoalan setjara mudah dan sepintas lalu ― tepatnja mempersoalkan suatu persoalan sedjauh persoalan tersebut merangsang hati penulisnia."

Tampaknja, dalam perumusan ini esei bukanlah studi ilmiah jang kaku, penuh dengan kehatihatian dan tanggungdjawab ilmiah jang menekan. Esei, seperti djuga studi' ilmiah, mempersoalkan persoalan, tapi hanja sampai "sedjauh dia merangsang hati penulisnja."

Apakah sebenarnja esei?

― 2 ―

Pada suatu sei, jang utama bukanlah pokok persoalannja, tapi tjara pengarang mengemukakan persoalan. Dengan lain perkataan, apa jang utama pada sebuah esei ialah bajangan kepribadian dari pengarang - jang simpatik dan menarik. Hal ini dikemukakan oleh Arthur Christopher Benson dalam se- buah esei-nja jang berdjudul "The Art of the Essayist". Dikatakannja, dalam menulis sebuah esel, tak perlu ada motivasi filosofis atau intelektuil atau religius atau humoristis. Seorang esei-is menulis sesuai dengan apa jang hidup dalam dirinja - perasaan dan pikirannja.

Maka seorang esei-is adalah orang jang terpikat ― orang jang djatuh tjinta pada sebuah persoalan/gedjala. Pertjintaan itu adalah pertjintaan jang ber sifat pribadi Menulis sebuah esei seakan adalah bertjeritera kepada dan untuk diri sendiri ― se-akan² merenungkan keindahan pertjintaannja. Esei adalah tulisan jang bersifat priba di sekali.

― 3 ―

DALAM PUISI, seorang mengalami setjara intens suatu pengalaman. Dia se-akan² luluh dalam pengalaman tersebut. Dan pengalaman tersebut dilukis kan setjara intens pula dalam penuangaanja mendjadi karja seni. Pengalaman tersebut setjara djenuh/didjenuhkan mendjelma mendjadi karja seni. Maka disini ada aspek pathos dalam penghajatan puisi ― penghajatan fang dialami setjara intens.

Kalau disini disebut puisi, maka ini tidak berarti sebagai lawan dari prosa, jakni sandjak-sandjak. Jang dimaksud dengan puisi disini ialah seperti kata Jacques Maritain: "pertemuan antara dunia dalam individu dengan dunia dalam dari alam" ― djadi suatu penghajatan personal terhadap alam. Puisi disini adalah menurut pengertian Coleridge, ketika dia berkata: "Lawan dari puisi bukanlah prosa, tapi adalah ilmu; lawan dari prosa bukanlah puisi, tapi sandjak." Itulah pengertian puisi disini.

Inti dari karja seni adalah penghajatan puisinja ― tampak terutama dalam kesenian non-verbal: musik, senilukis, tari dan sebagainja. Dalam kesusasteraan, karja seni bergerak dalam skala antara pengalaman puisi dan sikap ilmiah. Kritik misalnja ― terletak dalam skala jang lebih dekat pada kutub ilmiah. Kutub jang paling ekstrim dari skala ini pada kutub ilmiahnja mendjelma dalam tulisan ilmiah jang sangat teknis, dimana objektivitas dan abstraksi mentjapai titik maksimalnja. Reaksi para pembatjapun (ditjoba) distandadisir ― artinja diusahkan supaja seragam. Unsur subjektip dari pemulisnja tidak/hampir tidak berperan samasekali. Ini tampak misalnja pada simbol² matematika.

Dimana letaknja essei?

― 4 ―

ESEI mempersoalkan persoalan — maka dia se-akan² ditarik kearah kutub jang ilmiah dari skala tersebut. Tapi esei mempersoalkan persoalan "sedjauh dia merangsang hati penulisnja." Disini esei ditarik kembali kekutub puisi.

Seorang esei-is adalah orang jang menghubungi dunianja setjara realistis. Dia terpesona oleh kemenarikan dan sifat dari benda² — dia djatuh tjinta. Dalam ilmu tak ada tjinta — jang perlu adalah objektivitas. Tapi tjintanja tersebut tidak disubjektivir, tidak diromantisir atau dibuat mendjadi pengalaman jang pathos — seorang esei-is mentjoba melukiskan tjintanja atau kepersona-annja itu dalam pelukisan jang djernih, ramah dan simpatik. Dia — dalam esei²nja — kadang² melukiskan persoalan setjara analis, kadang² menginterpretirnja. kadang² setjara deskriptip, kadang² setjara emosionil. Semua ini "sampai sedjauh dia merangsang penulisnja." Seorang esei-is djadinja adalah seorang jang sedang merekam kehidupan merekam kehidupan jang hidup dalam dirinja. Dan dia membiarkan dirinja hidup dan dihidupi oleh keindahan jang bermainmain didalam dirinja.

Kalau puisi adalah idealis, ilmu adalah objektip — maka esei adalah realis. Dia melukiskan gedjala jang hidup, karena itu dia menangkap kehidupan jang sebenarnja. jang menggedjala dalam diri seorang manusia riel sebagai mana adanja.


― 5 ―

DARI URAIAN diatas tampak seolah² esei hanja bersifat "mainmain" belaka — suatu improvisasi dari warna² kehidupan. Se-akan² tak ada idea dalem sebuah esei. Seperti kata A.C. Benson: "Seseorang tak boleh mengharapkan dari seorang esei-is keterangan jang diinginkan atau minta suatu pemetjahan jang djelas tentang suatu persoalan jang kompleks". Makin terasa se-akan² esei tak ada "isi"nja.

Ini adalah tanggapan jang salah. Esei memang tidak memetjahkan persoalan seperti ilmu memerjahkan persoalan — artinja memberi perundjuk²/solutions/djalan keluar bagaimana suatu hal harus dihadapi/diatasi. Esei tidak memetjahkan persoalan — dia melukiskan persoalan. Lebih tepat lagi: dia melukiskan kehidupan sebagai gedjala, kehidupan manusia dalam aspek intelektuiinja maupun aspek emosionilnja jang semuanja mendjelma mendjadi suatu keutuhan (Gestalt) kepribadan jang simpatik. Kata "persoalan" sebenarnja tak tepat, karena kata tersebut menjatakan setjara implist suatu sikap a priori untuk memetjahkannja, hingga bila "persoalan" tersebut tidak dipetjahkan, maka esei jang menjadjikan "persoalan" tersebut djadi bersifat kerdja jang setengahsetengah ― belum selesai. Esel tidak melukiskan persoalan — dia mendjelmakan kehidupan.

Seorang esel-is melukiskan gedjala kehidupan tanpa suatu sikap a priori atau pretensi apa apa — dia hanja djatuh tjinta dan menikmati tjintanja setjara ramah. Sebab itu sebuah esei adalah sebuah karja pribadi — jang se-akan² dituliskan kepada dan untuk dirinja sendiri. Tapi seperti djuga karja² seni jang lainnja, jang merupakan ekspressi nilai, maka bila dia telah ditjiptakan mendjadi sebuah realita jang njata jang memungkinkan komunikasi dan partisipasi individu lain maka sebuah esei meski adalah suatu dialog pribadi antara si-esei-is dan dunianja — dia memberikan nilai² keindahan jang ikut serta dalam dialog tersebut.


Esej menjentuh realita jang sebenarnja. Disinilah letak kekajaan sebuah esei. Dia menjentuh realta jang hidup dalam diri seseorang setjara riel. Kalau pada ilmu penekanan diarahkan kepada dunia objektip, pada puisi penekanan diarahkan kepada nilai jang te mui manusia dalam dunia/kehidupan nja maka esei menekankan manusia dengan dunianja dalam hubungan ke terdjal mannja jang njata, jang meng. gedjala. Dis ni kita temui persamaan ilmu dan puis: keduanja berusaha mentransendenkan kenjataan jg meng gedjala, jang satu kearah objektivitas, jang lain kearah subjektivitas. Esei berusaha tetap tinggal dalam dunia dunia sebagai mana dia menggedjala. Ilmu dan seni berusaha mentjapai ke mutlakkan filosofis- jang satu kearah positivis, jang lain kearah idealis. Esei menudju pada kenjataan psychologis lebih tepat lagi menudju kekenjata an phenomenologis.

― 6 ―

BERSAMA PUISI orang diadjak menud ju pada kehidupan nilai subjek tip. Bersama ilmu orang diadjak kepa da hidup jang praktis. Bersama esei orang diadjak kepada kehidupan jang menggedjala setjara sederhana dalam diri seorang manusia riel.

Itulah esei. Dalam menilainja kita ha rus menempatkannja pada proporsi jg. sebenarnja sesuai dengan kodratnja. Dinilai dengan norma puisi, dia ada- Iah pu's: jang tanggung, puisi jang kurang dihajati setjara intens/pathos. Dinilai dengan norma limu, dia adalah ilmu jang setengahsetengah, suatu stu di pendahuluan jang masih kabur pe rumusan konsep nja, masih bertjampur baur dengan perasaan subjektip dari penulisnja jang dibiarkan hidup dan terasa mengganggu bagi seorang sar- djana.

Tapi ini tak berarti esei adalah anti- ilmu dan anti-pusi. Jang mau dinjata- kan ialah bahwa apa jang chas pada sebuah esei ialah kelonggarannja dan ke-tidak ekstrim-subjektip-annja. Esei seakan-akan melompat-lompat dari sub- jek-ke-objek dan dari objek ke-subjek. Bahwa dia tidak ekstrim Ilmiah ini bu- kan berarti dia tidak atau anti-objekti- vitas/kebenaran. Bahwa dia tidak eks- trian ilmiah, in berarti bahwa kebena- ran tersebut tidak dilukiskan setjara terang-djelas dengan bukti-bukti ek- sperimentil dan analisa jang ekstrim rasionil. Kadang suatu kebenaran di- hajati begitu intens tanpa kita bisa membuktikannja setjara ilmiah. Maka orang ini akan menulis sebuah esei un tuk hal tersebut. Esei tidak membukti- "kan setjara eksperimentil-rasion'l, tapi dia mejakinkan setjara simpatik ten- tang suatu kebenaran. Dia memakai aspek ratio dan emosi, tapi aspek ter sebut dipakainja setjara demokratis, se tjara simpatik. Pada puisi atau pada ilmu terdapat pretensi jang kuat untuk memaksakan orang lain mengakui apa jang ingin dinjatakannja. Inilah jang chas pada sebuah esei - dia bersifat demokratik dan simpatik. Dia adalah sebuah karja pribadi jang telah puas dalam dan dengan dirinja sendiri.

Esei haruslah dinilai dengan norma² esei — barulah dia akan tampil dengan segala kesegaran perhiasan² dirinja, bagai bunga jang bangga ketika mekar pagi hari.

― 7 ―

TULISAN ini tidak bermaksud untuk memberikan definisi jang tegas tentang apakah sebenarnja sebuah esei. Tulisan ini hanja berusaha menundjukkan nilai² dari esei setjara ramah. Tulisan ini henjalah sekadar sebuah esei, jang bermaksud untuk menarik simpati pembatjanja kepada sebuah esei.***