Lassez Faire Lassez Passer

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Lassez Faire Lassez Passer
oleh Siska D. Zoebir
52628Lassez Faire Lassez PasserSiska D. Zoebir

LASSEZ FAIRE LASSEZ PASSER


Siska D. Zoebir

SMA N 1 Bukittinggi


"YA sudah, kalau nggak mau!" Aku membanting pintu kamarku sekeras mungkin dan langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Aku benar-benar kesal kepada ibuku dan ceramah panjangnya yang ngambang itu. Padahal, tidak ada salahnya menuruti permintaanku, yang sebenamya bukanlah merupakan hal sulit untuknya. Hanya minta kenaikan uang jajan dan itu pun tidak banyak. Tidak ada salahnya, kan, aku mendapatkan lebih? Sekarang aku sudah SMU dan kebutuhanku tentu akan lebih banyak.

"Untuk apa kamu minta lebih? Ini, kan, sudah cukup?"

"Tapi, sekarang, kan, aku sudah SMA, nggak mungkin masih sama dengan SMP dulu."

"Memangnya, apa bedanya? Lagi pula, ini, kan, sudah lebih dari cukup? Sangat lebih, mungkin bagi sebagian orang ini bisa mereka pakai untuk dua bulan, sedangkan kamu..." Ceramah panjang yang membosankan itu tidak akan ada hentinya sampai suara Mama serak karena sudah bicara terlalu lama.

Aku Dan semua itu berakhir dengan aku sebagai pemenang akan mendapatkan apa yang aku inginkan.

Ini bulan pertamaku di SMA. Pada awalnya aku sama sekali tidak bisa menerima kenyataan kalau aku bersekolah di tempat yang tidak sama dengan sekolah kakakku. Tiga kakakku terdahulu bersekolah di yayasan yang sama selama tiga belas tahun pendidikan mereka, sedangkan aku? Aku tiba- tiba didaftarkan ke sekolah yang selama ini, bahkan tidak kuketahui keberadaannya.

Akhirnya, aku bisa menerima juga, sih, karena aku merasa ini saatnya aku ganti suasana, berganti pemandangan. Selama kurang lebih sembilan tahun aku bersekolah di gedung yang nyaris berdekatan dalam satu komunitas yang sama, dengan teman-teman yang sama juga. Dan sekarang aku mendapat teman baru dan dunia baru.

Pelajaran berakhir ketika bel berbunyi dan tanpa penutup apa-apa semua anak di kelasku langsung berhamburan keluar. Aku sudah mulai terbiasa dengan hal ini.

Tadi, aku sudah berencana untuk pergi jalan-jalan dengan Dian, teman sebangkuku sepulang sekolah.

"Wah..., ini lucu sekali," kataku menunjuk sebuah mainan kunci yang tergantung di sebuah toko. Aku mengambil gantungan kunci yang berupa boneka itu.

"Harganya berapa?" tanyaku kepada pelayan toko.

"Itu..., sepuluh ribu," katanya.

"Tolong dibungkus, ya," aku memberikan sebuah lembaran lima puluh ribu kepadanya.

"Nggak ditawar dulu?" Dian menyikutku. "Itu kan kemahalan?"

"Tawar?" kataku sambil memandang Dian

"Cari kerja aja."

"Lagian, memangnya kamu perlu?"

Aku hanya angkat bahu dan menarik Dian pergi secepatnya dari tempat itu dan melihat-lihat lagi.

"Kamu nggak mau beli apa-apa, Yan?" tanyaku kepada Dian saat kami sedang berada di toko aksesoris. "Nggak. Aku nggak mau beli apa-apa."

"Nggak ada? Barang-barang sebagus ini mana mungkin nggak ada yang kamu sukai?" tanyaku menatap Dian heran. "Suka nggak suka, kalau nggak perlu, buat apa dibeli," jawabnya. "Buat apa, sih, kamu membeli ikat rambut sebanyak itu? Rambut kamu, kan, pendek?"

"Ini namanya koleksi, Dian."

"Ya, dan itu artinya buang-buang uang."

Aku sangat lelah dan rasanya ingin tidur sepanjang sore, sampai besok ayam berkokok lagi. Hari ini sebenarnya aku les, tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk pergi, aku terlalu lelah dan malas. Lagi pula di tempat les aku juga tidak melakukan apa-apa. Hanya mendengarkan guruku yang bersuara lantang dengan dialek asli Minang itu berkicau, itu pun hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

"Tika, buat apa kamu les, kalau di sini kamu cuma main-main?" tanya Dian.

"Karena disuruh Mama," jawabku tanpa berpaling dari game di ponsel yang sedang kumainkan.

"Itu sama saja dengan buang-buang uang," katanya sambil memandangku dengan gemas.

Selalu saja kata-kata itu yang dikatakannya. Aku rasa dia kekurangan kosakata.

"Aku sama sekali tidak merasa seperti itu. Di bagian mananya aku terlihat seperti 'membuang' uang?"

"Kamu tahu, kan, berapa uang les kita sebulan?"

"Kalau nggak salah, seratus lima puluh ribu, kan?"

"Itu kamu tahu, pertemuan kita di tempat les ini, dua kali seminggu, itu artinya sekali pertemuan, kita membayar lima belas ribu."

"Oh, ya? Kalkulasi kamu sempurna sekali." Sekarang sudah lewat satu semester, seperti biasa aku masih ada di peringkat teratas, tidak ada perubahan sama sekali. Dian ada tepat di bawahku dengan selisih nilai satu angka. Aku hanya heran, mengapa karena hal itu Dian bisa menangis, terharu. Bukankah itu terlalu biasa untuk ditangisi, dikagumi, atau semacamnya?

Hari ini ada pengarahan dari para alumni untuk mengarahkan kami dalam mengambil jurusan, IPA, IPS, atau


78

Bahasa. Tidak tahu apa gunanya. Yang jelas, itu berarti tidak ada jam pelajaran, yang aku harus duduk diam dan bersikap sebagai anak baik.

"Kamu mau ambil jurusan apa, Tika?" tanya Dian setelah acara itu usai.

"Entahlah, aku belum memikirkannya."

"Belum memikirkannya bagaimana? Seharusnya kamu sudah punya rencana atas hidup kamu, kan?"

"Haruskah, Dian, kenapa, sih, kamu selalu membesar-besarkan masalah?" tanyaku.

"Aku sama sekali tidak membesar-besarkan masalah, malah kamu yang terlalu menganggap enteng segalanya.”

"Aku bukannya menganggap enteng, hanya saja, aku memikirkan hal-hal yang harus kupikirkan saja."

Dian memandangku dengan geram.

"Pa, Tika mau beli HP baru," pintaku kepada Papa seusai makan malam.

"Memangnya yang lama, mengapa?"

"Nggak kenapa-napa, sih, Tika udah bosan aja sama yang ini."

"Kamu mau yang seperti apa?"

Aku memberikan sebuah majalah kepada Papa dan menunjuk sebuah gambar.

"Besok Papa lihat." Papa mengambil majalah itu dan melanjutkan acara nonton tvnya.

"Eh..., Tika, kamu ini, baru juga kelas satu SMA, sudah minta yang macam-macam. Rasanya sangat nggak berperikemanusiaan, deh, seorang anak kelas satu SMA membawa sebuah benda yang nilai nominalnya kurang lebih empat juta,"

protes kakak laki-lakiku yang saat ini sedang libur dari kuliahnya dan tinggal di rumah.

"Memangnya, kenapa? Kalau mau, minta aja,” kataku sambil tertawa. "Abang iri, tuh, dari dulu HP nya nggak pernah ganti-ganti."

"Karena aku punya otak. Aku membeli sesuatu karena butuh, bukan karena ingin. Bedakan!"

"Tapi, sebagai seorang calon sarjana ekonomi, Abang seharusnya tahu bahwa, naluri manusia untuk mendapatkan sesuatu melebihi kewajaran yang seharusnya. Dan, itu benar."

79

"Kamu mau nantangin Abang tentang ekonomi? Kamu udah jelas kalah, Tika. Kamu sama sekali nggak tahu apa-apa. Kamu cuma tahu teorinya saja, tapi tidak praktiknya. Kamu, bahkan nggak tahu pengkalkulasian yang benar dalam menghitung pengeluaran kamu."

"Ter-se-rah!" kataku sambil berjalan meninggalkannya masuk ke dalam kamar.

Aku heran dengan kakakku, semuanya sama saja. Mereka terlalu banyak perhitungan dan pertimbangan. Menurutku, kebiasaan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya, hanya memperpanjang proses.

Aku langsung mendapatkan HP itu keesokan harinya. Seperti biasa, aku memang tidak pernah menunggu lama. Tidak ada aksi protes lagi dari abangku, begitu juga kakakku yang lain.

"Baru?" tanya Dian kepadaku, saat dia melihat HP itu.

"Yap!"

"Aku sama sekali nggak bisa melihat faedah gonta-ganti HP, deh. Tujuan penggunaan HP itu, kan, alat komunikasi, apa pentingnya fitur-fitur lainnya, sama aja dengan...."

"Buang-buang uang?" kataku menyambung kalimat Dian.

Aku tahu, pasti itu yang akan dikatakannya.

"Tepat!"

Aku memasukkan kembali HP itu ke dalam saku rokku dan bersamaan dengan itu, lembaran uang dua puluh ribu keluar dan jatuh. Tiba-tiba, entah dari mana, datang angin yang menerbangkan uang itu ke sudut ruang kelas.

"Tika, uang kamu, tuh!" teriak Dian sambil menunjuk uang itu. "Ambil sana, sebelum diterbangkan angin lagi."

"Ah..., malas. Kamu aja, deh."

"Apa?" Dian berjalan menuju uang itu dan memberi-kannya padaku. "Tika, kamu tahu, kan, ini apa?" tanyanya.

"Ini kertas, berwama hijau menyala," jawabku sambil melipat-lipat uang itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantongku.

"Iya, ini kertas biasa kalau kamu menilai nilai instrin- siknya, tapi dari segi nominalnya..." nada suaranya meninggi. "Di sana ada angka 20.000," "Ya, itu artinya uang ini dihargai sebanyak dua puluh ribu."

"Kamu..., mungkin untuk kamu ini enteng, tapi buat orang lain? Apa kamu penah memikirkannya? Uang ini sangat berarti, Tika..."

Bagiku, lama kelamaan sahabatku ini terlihat makin materialistis. Selalu saja uang atau materi lain yang jadi perdebatan kami. Sepenting apa, sih, uang untuk dia? Dian, setahuku berasal dari keluarga berada. Dia sama sekali tidak kekurangan apa pun dan aku sama sekali tidak bisa menemukan sebuah alasan tepat, mengapa dia bisa jadi manusia materialis seperti ini.

Dian, kian hari kian dingin padaku. Dia hanya bicara jika perlu dan sudah lama sekali kami tidak bersama-sama. Entah kenapa, aku merasa dia berusaha untuk menjauhiku dan aku sama sekali tidak menyukai hal itu. Dengan berbagai cara aku mengajaknya berkelakar, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bicara kepadanya.

"Dian, kamu kenapa, sih?" tanyaku padanya.

"Apa kamu tidak merasa kalau aku berusaha untuk menjauhi kamu?" katanya.

Hebat sekali! Tanpa basa-basi apa pun dia langsung ke topik. Dia sama sekali tidak berpikir bahwa bisa saja aku tersinggung.

"Kenapa?" tanyaku masih berusaha untuk tenang.

"Aku takut terpengaruh."

"Apa?"

"Iya, aku takut kamu pengaruhi."

"Kamu sebaiknya berpikir dulu sebelum bicara!"

"Aku sudah berpikir."

"Kamu sadar apa yang baru kamu katakan?"

"Tika, kamu itu bisa menjadi dampak buruk suatu saat nanti bagiku."

Meyebalkan sekali, Dian. Seenaknya menceramahiku. Padahal dia tidak tahu apa-apa. Dia sama denganku, kami Sama-sama pelajar SMU. Itu artinya, dia memang tidak lebih dewasa daripada aku. Seenaknya saja dia bicara.

"Kamu itu sangat tidak bersyukur. Kamu tidak pernah berusaha untuk memanfaatkan segala sesuatu yang kamu punya dengan sebaik-baiknya. Kamu pintar. Kalau aku harus mengulang beberapa kali untuk menguasai suatu bahan, kamu sepintas lalu saja sudah bisa. Kamu punya segalanya, fasilitas yang lengkap, segala sesuatu yang berlimpah. Tapi, apa? Kamu nggak menghargai semua itu. Tidak semua orang seberuntung kamu. Di luar sana, banyak orang yang berusaha mati-matian untuk meraih cita-citanya. Dan, kamu? Kamu bahkan nggak memikirkan ingin jadi apa kamu nanti. Padahal, kamu bisa meraih apa yang kamu inginkan, tapi kamu sia-siakan."

Menyebalkan! Dia sama sekali tidak punya hak untuk menasehatiku dan mengguruiku, seperti itu. Orang tuaku saja tidak pernah protes. Dia juga menambahkan, "Katanya, seseorang nggak akan tahu betapa berharganya sesuatu, sebelum dia kehilangan, dan aku rasa itu benar."

Bagiku itu terdengar, seperti sebuah kutukan, seperti ketika si penyihir jahat mengutuk putri tidur untuk tertidur selama seratus tahun.

"Aku sama sekali tidak ingin hal itu terjadi sama kamu, Tika. Sama sekali tidak. Sekarang aku cuma berharap agar ada suatu hal yang bisa membuka hati dan otak kamu yang terlalu sempit itu."

Semua ucapannya yang menyebalkan itu terekam jelas dalam ingatanku dan sekarang pun masih terngiang-ngiang di telingaku. Jelas dan bersih.

Masih dengan perasaan kesal, marah, dan lainnya bercampur aduk dalam diriku, aku berjalan ke toko buku langgananku. Toko yang tidak terlalu besar itu terlihat sepi, hanya ada seorang bapak setengah baya dan seorang anak laki-laki yang kira-kira masih duduk di bangku SD di sana. Aku rasa mereka adalah pembeli.

Aku berjalan mendekat dan menyapa Pak Budi, pemilik toko yang ramah dan bersahabat itu, dengan sebuah senyum. Dia membalas senyumku dan kembali melayani pembeli, ayah dan anak itu.

"Harganya berapa, Pak?" tanya sang ayah kepada Pak Budi.

"Lima belas ribu." Si ayah merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah dompet lusuh. Dia membuka dompet itu dan mengelurkan dua lembaran lima ribuan dari dalam dompet itu, serta dua lembar ribuan. Dia melipat dompet itu kembali dan merogoh kembali ke kantong lain yang ada di celananya. Terdengar suara gemerincing, aku rasa itu suara recehan. Recehan yang banyak. Dan tidak kuduga, dia mengeluarkan recehan itu, meletakkannya di atas meja, kemudian menghitungnya, satu per satu. Aku benar-benar heran, aku tertegun dan tidak bisa bicara apa-apa menyaksikan pemandangan itu.

"....dua ribu tujuh ratus..." kata si ayah pelan, lalu mengangkat kepalanya dan memandang Pak Budi. "Apa tidak bisa lebih kurang, Pak?" tanyanya.

Yang ditanya hanya menggeleng lemah dan di wajahnya terlihat ekspresi yang sulit dijelaskan, seperti kasihan atau semacamnya.

Aku melihat si anak. Dia memandangi ayahnya penuh harap, lalu menunduk, melihat lantai dan bilang, "Nggak usah aja, deh, Pak."

Bapak itu melihat anaknya dan dengan suara pelan berkata, "Tapi, kamu, kan, perlu."

"Nggak ada juga, nggak apa-apa," aku melihat anak itu memaksakan sebuah senyum tersungging di bibirnya.

Wajah bapak itu terlihat makin melunak, dia membelai-belai kepala anaknya dan juga memaksakan diri untuk tersenyum. Lalu dia kembali mengangkat kepalanya, menatap buku itu dengan penuh harap.

"Ya, sudah, kalau begitu, sekarang kita pulang saja." Bapak itu mengajak anaknya menjauh.

Sejenak aku terpana, memandangi buku berkulit hijau daun itu. Entah kenapa, tiba-tiba mulutku terbuka dan memanggil mereka kembali.

"Pak," aku dengan segera mengambil buku itu dari atas meja dan mengejar mereka. Mereka berhenti dan menatapku dengan heran. Dengan gugup aku menghampiri mereka.

"Pak, ini buku adik saya. Saya kebetulan terbeli dua kali dan katanya tidak bisa dikembalikan lagi, daripada mubazir lebih baik untuk anak Bapak. Sepertinya, adik ini memakai buku yang sama," kataku mengarang cerita. Bapak itu memandangku lama, begitu juga anaknya. Tak lama, mereka saling berpandangan. Bapak itu berkata kepadaku, "Apa tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, Pak. Malah sangat bagus kalau Bapak mau menerimanya."

Anak itu memandangi Bapaknya seolah menyuruhnya mengatakan, iya. Aku rasa, ia, terharu.

Aku mengambil tangan anak itu dan menyelipkan buku itu di kepalan tangannya lalu tersenyum. "Ini untuk kamu."

"Terima kasih, ya Nak." Si Bapak tersenyum kepadaku, wajahnya berubah jadi berseri. Senyumnya tidak lagi dipaksakan, senyuman itu tulus dan hangat.

Aku berjalan meninggalkan mereka dan kembali ke toko buku.

"Hidup memang makin susah." Pak Budi tersenyum padaku. "Kalau semua orang sebaik kamu ini..."

"Biasa aja, kok, Pak," kataku merasa sangat malu.

"Berapa, Pak?"

Aku berjalan keluar dari pasar dan aku melihat sekelilingku, ada pengemis, ada seorang nenek yang mungkin umurnya sudah lebih dari tujuh puluh tahun, duduk di atas sebuah plastik di atas tanah yang becek, dan di hadapannya ada sayuran yang sudah tidak segar lagi. Dengan suaranya yang lemah, dia masih berusaha mengimbau para pembeli, menawarkan dagangannya.

Juga seorang anak laki-laki, berbadan kecil, masih memakai celana seragam SD, menjajakan kerupuk pada setiap orang yang lewat. Anak sekecil ini sudah mencari uang.

Sudah hampir enam belas tahun aku hidup, tapi aku merasa baru pertama kali melihat pemandangan ini.

Selama ini aku hanya melihat yang indah-indah saja, aku tidak pernah melihat sisi lain dari dunia yang kutempati ini. Aku sama sekali tidak memedulikan sekelilingku, aku hidup dalam duniaku sendiri yang egois.

Dan, betapa malunya aku mendengar pujian dari Pak Budi tadi, aku sangat tidak pantas menerimanya. Pujian itu sama sekali bukan untuk manusia yang sama sekali tidak bersyukur, seperti aku.

Sekarang aku merasa semua ucapan Dian benar. Semuanya benar, tidak ada yang salah. Aku memang sangat jahat. Di saat aku berfoya-foya, di tempat lain ada orang lain yang sedang merintih menahan lapar.

Aku meraba kantongku dan aku ingat kata-kata kakakku. Aku membawa sebuah benda berharga kurang lebih empat juta, dan aku sama sekali tidak menghargainya.

Dian, bukan materialis, melainkan dia tahu bagaimana cara menghargai sesuatu.

Aku merasa sangat bersalah, aku terlalu berlebihan, segalanya berlebihan. Selain benda seharga empat juta yang ada di kantongku itu, kakiku menggunakan sepatu dengan harga tiga ratus ribu, aku menyandang tas yang bernilai uang seratus lima puluh ribu. Dan di dalam tas itu, ada sebuah kaca mata, yang harganya satu juta. Padahal, berapa pun harga sebuah kaca mata, kegunaan dan manfaatnya tetap sama. Memang sangat mubazir.

Bagaimana seandainya, jika semua itu kuberikan kepada ayah dan anak tadi? Betapa bahagianya mereka.

Selain itu, sekarang aku sudah paham, hubungan antara tingkat kriminalitas yang tinggi dan keadaan ekonomi yang buruk. Naluri seseorang untuk mencuri, merampok, bahkan membunuh karena mereka harus memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk terus bertahan di dunia ini.

Aku memang sangat tidak tahu diri.

Pintu rumah terbuka saat aku sampai, aku tidak melihat siapa-siapa di ruang tamu. Aku terus berjalan ke dalam dan tanpa sengaja mendengar percakapan Mama dan kakak perempuan dan kakak laki-lakiku.

"....karena itulah dia disekolahkan di sekolah biasa, yang teman-temannya orang biasa juga, sekolah rakyat. Bukan Sekolah elit, seperti biasanya. Kalau dia bergaul dengan teman-temannya itu terus, dia tidak akan tahu keadaan dunia yang sebenarnya. Dia akan tetap ada di dunianya sendiri.

"Apa berhasil?"

"Sejauh ini tidak ada, tapi mudah-mudahan saja secepatnya. Dia harus belajar melihat ke bawah, jika terlalu lama menengadah, lehernya bisa patah."

"Ma, Lassez faire lassez passer, la monde valors [...]." Biarkan semua berjalan dengan sendirinya dan alam yang akan mengaturnya.

Jadi, itu alasannya. Jadi, selama ini aku memang tidak tahu diri dan aku baru menyadarinya sekarang. Memang belum terlambat, tapi rasanya aku sudah menyia-nyiakan terlalu banyak.

"Mungkin ini salah Mama dan Papa juga. Dari dulu kami selalu menuruti kemauannya. Semua yang diinginkannya akan didapatkannya. Karena itu dia tidak menghargai apa pun yang dimilikinya. Dia, bahkan, tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya."

"Ya, aku tahu, dia sampai sekarang masih tidak punya ambisi untuk apa pun karena dia tahu apa pun yang diinginkannya akan didapatkannya tanpa usaha. Bahkan, lebih mudah daripada membalikkan telapak tangannya."

Ceroboh sekali mereka, membicarakan aku. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan aku akan mendengarkannya.

Astaga! Hari ini aku, kan, seharusnya les sampai sore. Aku lupa!

Aku kembali berjalan keluar, merekonstruksikan gerakanku dengan cara mundur. Karena kekerasan hati dan harga diriku yang tinggi, aku melakukan hal yang biasa aku lakukan.

Sampai di pintu depan aku berdiri sebentar kemudian berteriak, "Ma..., Tika pulang!"

Aku melemparkan tasku, melepas sepatuku dan juga melemparnya sembarangan, masuk ke dalam kamar. Dan, Mama lah yang akan membereskan semuanya, seperti biasa.

Mulai hari ini aku akan mengevaluasi diri, membuat rencana, dan mulai menghargai segala sesuatu yang aku miliki.

Sekarang, yang pertama akan kulakukan adalah menelepon Dian, sahabatku, yang ternyata sama sekali bukan seorang yang materialis.