Laporan Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS


Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana ini menggunakan pendekatan filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai kerangka dan landasan berpikir dalam merumuskan dan menyusun ruang lingkup, serta pengaturan muatan-muatannya yang dipandang penting dan relevan sehubungan dengan kebijakan hukum perampasan aset yang terkait dengan tindak pidana. Sebab disadari bahwa kerangka berpikir yang baik akan dapat menjelaskan berbagai hal pokok yang saling berkaitan, dengan alur pemikiran yang logis dan sistematis.

A. Landasan Filosofis

UUD NRI Tahun 1945 telah menetapkan tujuan dan cita mencapai kesejahteraan rakyat. Di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini merupakan bagian dari tujuan Negara Republik Indonesia. Filsafat Hukum yang dikandung dari hal tersebut adalah bahwa para pendiri bangsa kita mencita-citakan agar Negara Republik Indonesia menjadi Negara Hukum (Rechtsstaat), sebagaimana ternyata dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Dalam setiap negara hukum selalu harus ada unsur atau ciri-ciri yang khas, yaitu (i) pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (ii) adanya peradilan yang bebas, mandiri, dan tidak memihak, (iii) adanya pemisahan kekuasaan dalam sistem pengelolaan kekuasaan negara, dan (iv) berlakunya asas legalitas hukum, yaitu bahwa semua tindakan negara harus didasarkan atas hukum yang sudah dibuat secara demokratis sebelumnya, bahwa hukum yang dibuat itu memiliki supremasi atau berada di atas segalanya, dan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum.291

Dengan perkataan lain, yang diharapkan oleh penyusun UUD NRI Tahun 1945 bukanlah semata suatu Negara Hukum dalam arti yang sangat sempit atau Negara berdasar undang- undang, bukan pula kehidupan bernegara berdasarkan Supremasi Hukum semata, tetapi kehidupan berbangsa dan bernegara yang membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baik bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan politik tetapi juga bagi tiap-tiap warga negaranya, tua-muda, tinggi-rendah, kaya- miskin, tanpa perbedaan asal-usul ethnologis atau rasial, atau tinggi rendahnya status sosial seseorang, atau apa agama yang dianutnya. Karena itu paham Negara Hukum sebagaimana berkembang di abad ke-20, yaitu yang sekaligus harus mengembangkan suatu negara kesejahteraan (Welfare State) yang bertanggung jawab lebih dekat pada pemahaman UUD NRI Tahun 1945 daripada paham Anglo-Amerika tentang The Supremacy of Law atau paham Supremasi Hukum.292

Sebagai sebuah negara yang berdasarkan pada hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) maka pemerintah berkewajiban untuk mensinergikan upaya penegakan hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dengan upaya pencapaian tujuan nasional

——————————————————

291Moh. Mahfud M.D, “Politik hukum di Indonesia”, (Jakarta: LP3S,1998), hlm. 121-194 292 Ibid,hlm. 152 untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berdasarkan pemikiran seperti ini, penanganan tindak pidana dengan motif ekonomi harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berkeadilan bagi masyarakat melalui pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana kepada negara untuk kepentingan masyarakat.

Pencapaian tujuan dan cita tersebut hanya dapat diwujudkan dengan memajukan perekonomian nasional. Perekonomian nasional baru dapat dimajukan jika sektor keuangan dan perbankan dapat tumbuh dengan sehat dan terjamin dilihat dari sudut kepastian hukum. Kepastian hukum baru akan tercapai jika didasarkan pada peraturan perundang- undangan berkaitan dengan keuangan negara dan perbendaharaan dan perpajakan yang memadai. Kelemahan peraturan perundang-undangan dalam sektor tersebut termasuk ketentuan yang tumpang tindih dan menimbulkan multi tafsir merupakan celah hukum (loopholes) dari awal timbulnya kerugian negara.

Aset hasil kejahatan adalah titik terlemah dari mata rantai kejahatan. Setiap orang tidak berhak menikmati aset hasil kejahatan.

B. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Perkembangan praktek korupsi di Indonesia yang sudah mengakar dan menyebar ke semua lapisan birokrasi sudah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Kemajuan peradaban manusia di berbagai bidang kehidupan tidak hanya memberi dampak yang positif terhadap perbaikan kualitas hidup, tetapi juga mengakibatkan dampak negatif dengan berkembangnya berbagai bentuk kejahatan, khususnya kejahatan yang bertujuan untuk mendapat keuntungan ekonomis atau lebih dikenal sebagai tindak pidana dengan motif ekonomi.

Perkembangan praktek tindak pidana dengan motif ekonomi di Indonesia seperti korupsi kini berkembang menjadi semakin kompleks karena melibatkan pelaku yang terpelajar dan seringkali bersifat transnasional atau lintas negara. Perkembangan praktek korupsi di Indonesia yang sudah mengakar dan menyebar ke semua lapisan birokrasi sudah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara. Adapun yang menjadi tujuan utama dari para pelaku tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lain dengan motif ekonomi adalah untuk mendapatkan dan menikmati harta kekayaan hasil kejahatan tersebut. Dengan demikian dalam tindak pidana dengan motif ekonomi ini harta kekayaan hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana, sehingga cara yang paling efektif untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan terhadap tindak pidana dengan motif ekonomi adalah dengan membunuh kehidupan dari kejahatan dengan cara menyita dan merampas hasil dan intrumen tindak pidana tersebut.

Dalam sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini, menggungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata tidak menimbulkan efek cegah dan belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Menyita dan merampas hasil dan intrumen tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat. Hal ini yang pada akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan terkait upaya percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu kebijakan yang menjadi prioritas Pemerintah Indonesia adalah pembuatan instrumen hukum yang mampu merampas seluruh harta kekayaan yang dihasilkan dari suatu tindak pidana serta seluruh sarana yang memungkinkan terlaksananya tindak pidana terutama tindak pidana bermotif ekonomi.

Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, selain mengurangi atau menghilangkan motif ekonomi pelaku kejahatan juga memungkinkan pengumpulan dana dalam jumlah yang besar yang dapat digunakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Secara keseluruhan, hal tersebut akan menekan tingkat kejahatan di Indonesia. Pendekatan untuk menekan tingkat kejahatan melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Pendekatan seperti ini, akan memperbesar kemungkinan untuk mengambil kembali hasil dan instrumen tindak pidana tanpa dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan dalam penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. usaha pengembalian uang negara juga terganjal oleh karakteristik tindak pidana korupsi yang pembuktiannya sangat detail dan memakan wktu yang teramat panjang. Sementara di satu sisi, upaya koruptor untuk menyembunyikan harta hasil tindak pidana korupsi sudah dilakukan sejak korupsi itu terjadi. Rata-rata rentang waktu 2 hingga 3 tahun untuk menyelesaikan sebuah kasus tindak pidana korupsi memberikan waktu yang teramat longgar bagi pelakunya untuk menghilangkan jejak atas harta yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.

Kesulitan untuk mendeteksi harta tindak kejahatan korupsi (asset tracing) kian bertambah jika kegiatan memindahkan harta kekayaan ke negara lain sudah dilakukan. Belajar dari pengalaman negara lain yang berusahanuntuk mendapatkan kembali harta hasil kejahatan korupsi mantan presidennya, dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang serius, baik dalam skala domestik maupun internasional.

Dalam sejarah perampasan aset korupsi di Indonesia masih belum membuahkan hasil yang signifikan. Aset-aset yang dibawa keluar negeri seperti dalam beberpa kasus Edy Tansil, Bank Global, kasus-kasus BLBI, dan kasus-kasus lainnya sampai hari ini aparat penegak hukum masih mengalami kesulitan pelacakan sampai perampasannya. Hambatan itu bukan saja karena perangkat hukumnya yang masih lemah, tetapi juga belum ada perangkat hukum yang mengatur kerjasama dengan Negara lain untuk perampasan aset hasil kejahatan.

C. Landasan Yuridis

Pengaturan mengenai perampasan aset sudah diatur dalam bbeberapa peraturan, terkait, tetapi secara prinsipil perampasan aset terkait dengan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) , Pasal 28J, kemudian diatur dalam Berbagai bentuk perundang-undangan yang terkait dengan perampasan aset berupa :

  1. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
  2. HIR (Het Herziene Indonesich Reglement Atau Reglemen Indonesia Baru, Stb. 1848-16, Ingevolge Stb. 1848-57 I.W.G. 1 Mei 1848, Opnieuw Bekend Gemaakt Bij Stb. 1926-559 En Stb. 1941-44)
  3. RBG (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor: 227)
  4. RV. (Rgelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering Voorderaden Van Justitie Opa Java En Het Hoogerechtshof Van Indonesie, Alsmede Voor De Risidentiegerechten Op Java En Madura) yang lazim disebut reglemen Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa (Stb. 1847 Nomor: 52 jo Stb. 1849 Nomor: 63)
  5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
  6. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme;
  7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
  8. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  9. Undang-Undang no. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002.


~235~

10. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai Undang-Undang.
11. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
13. Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
14. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003;
15. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
16. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
17. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara;
18. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
19. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2006.
20. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
21. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
22. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Dalam perkembangan terakhir di dunia internasional,

penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan di antaranya adalah United Nation Convention on Trans National Crime (UNTOC) pada tahun 2000 dan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) pada tahun 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi. Adapun salah satu bagian penting yang diatur dalam konvensi tersebut adalah adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan, dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana termasuk kerjasama internasional dalam rangka pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana antar negara. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka pemerintah Indonesia harus menyesuaikan ketentuan- ketentuan perundang-undangan yang ada dengan ketentuan- ketentuan di dalam konvensi tersebut.

Pengaturan mengenai perampasan aset yang berlaku di Indonesia saat ini hanya dapat dilaksankan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Mekanisme ini seringkali sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan. Aset kejahatan seringkali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri. Pengembalian aset melalui instrumen proses peradilan perdata murni mengandung kelemahan pada sistim pembuktian yang terikat pada bukti formal serta memerlukan waktu yang relatif yang lebih lama, dan biaya yang relatif lebih tinggi. Sementara pengembalian aset melalui proses peradilan pidana murni mengandung kelemahan yaitu dalam proses ini penuntut umum tidak berhadapan dengan terdakwa akan tetapi yang dihadapi di sini adalah aset yang diperoleh dari hasil kejahatan.

Untuk itu dipandang perlu untuk memiliki instrumen hukum yang memiliki sistem perampasan yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset hasil tindak pidana. Instrumen tersebut dilakukan melalui mekanisme yang mirip dengan mekanisme peradilan perdata tetapi dengan proses yang lebih cepat, mekanisme ini meripakan mekanisme berbeda dengan gugatan perdata, sehingga penggunaan mekanisme ini lebih dulu dilaksanakan, dan apabila gugatan permohonan perampasan aset tidak dapat selesai sesuai masa waktunya maka gugatan itu harus dilimpahkan ke pengadilan perdata.

mekanisme perampasan aset menekankan perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan) dan bukan pada orang (in personan). Dengan demikian adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan menjadi prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset. Dengan sistem perampasan secara in rem diharapkan dapat optimal dalam merampas aset hasil tindak pidana dalam hal tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya atau terdakwanya diputus lepas dari segala tuntunan. Selain itu perampasan juga dapat dilakukan terhadap aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan maupun yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan dikemudian hari ternyata terdapat aset dari tindak pidana yang belum dirampas. mekanisem ini merupakan solusi atau konsep peradilan yang dapat memenuhi tujuan yaitu mengembalikan aset negara dan menyita aset yang terkait dengan kejahatan.


~o0o~