Lompat ke isi

Kisah Tiga Saudara

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Kisah Tiga Saudara
oleh S Metron Masdison

Kisah Tiga Saudara

S Metron Masdison


DIKUCILKAN

"Kita akan kemana, Kak?" tanya Bonsu Pinang Sibaribuik berbisik. Sejak tadi ia bertanya begitu. Ketakutan ada dalam nada suaranya.

Kakaknya, Murai Batu, mengeraskan genggaman. Pertanda menyuruh diam. Bonsu kembali berjalan terseret-seret. Matanya tertutup. Ia hanya memegang tangan Murai.

~ Sedang Murai memegang kakak sulung, Rondok Didin.

Ketiganya dibawa dua Dubalang ke hutan. Satu berjaga di depan, satu di belakang.

Kaki Bonsu sejak tadi terasa pedih. Tapi ditahannya. Ia ingin menangis, tapi takut kakaknya dapat masalah.

Ia tidak tahu kenapa dibawa menyusuri rimba raya ini. Ayah-ibu hanya melepas dengan mata sembab. Seluruh warga kampung melepas dengan beragam rona. Ada yang menatap dengan sedih, ada pula dengan benci.

Tiba-tiba, Murai berhenti. Hidung Bonsu terantuk ke punggungnya. Bunyi burung memenuhi udara.

"Di sini saja," ujar Dubalang Pertama.

Bonsu merasa ada yang melepaskan ikatan. Murai mempererat genggaman.

Penutup mata dilepas. Sesaat, Bonsu menghalangi mata dengan tangan. Cahaya membuat matanya pedih. Dari terangnya, Bonsu mengira matahari akan segera terbenam.

Berarti, sudah lama mereka berjalan. Matanya tertutup saat tengah hari tadi. Saat mereka dilepas di ujung kampung.

Kedua Dubalang memandangi mereka dengan tatapan sedih. Dubalang Pertama membagikan minuman dari tabung bambu. Mereka bergantian meneguk.

Hari mulai gelap. Dubalang kedua menghidupkan api. Setelah santap, mereka duduk mengelilingi api.

"Aku akan menceritakan seluruhnya. Kalian harus tahu apa yang terjadi," ucap Dubalang Pertama.

Dubalang Pertama bercerita, tugas mereka sebenarnya melenyapkan mereka bertiga. Ayah mereka, Tuanku Rajo Tuo, difitnah Rajo Angkek Garang, Kepala penyamun di daerah pesisir.

Rajo Arigek merasa terancam atas kehadiran Tuanku. Raja Alam Pagaruyung yang turun tahta. la akhirnya menetap di pesisir. Rencananya hanya membangun tempat tinggal. Lama kelamaan, jadi daerah makmur.

Rajo Angek iri. Ia menyebar penyakit. Obatnya hanya darah mereka bertiga. Setelah rapat nagari diadakan diputuskanlah mengikuti keinginan Rajo. "Kami akan samarkan darah kalian dengan binatang di hutan ini. Tapi, ingat, jangan sesekali turun ke bawah. Ini demi keselamatan kita semuanya," perintah Dubalang Kedua.

Rondok mengangguk. Ia memandang kedua adiknya. Terutama Bonsu.

"Jadi, kami tak akan bertemu ayah ibu lagi?" tanya Bonsu. Dubalang Pertama menatap trenyuh," Suatu saat nanti, Nak. Suatu saat nanti."

Esoknya, kedua Dubalang menangkap rusa, kijang, dan kambing hutan. Ketiga darah binatang itu dimasukkan dalam kantong. Mereka meninggalkan daging binatang untuk bekal. Daging dibuat dendeng, agar tahan lama.

Bonsu sempat kagum. Kedua dubalang begitu cekatan. Tangan-tangan mereka dengan cepat memotong-motong daging. Tak lama, setumpuk irisan tipis daging saling berhimpitan. Tingginya sampai sejengkal. Amat rapi.

Rondok dan Murai diajarkan cara memasak. Mudah dan cepat. Tabur garam dan lada saat dibakar. Hasilnya? Hmmm.

Lalu, membuat sup. Bahan-bahan disediakan alam. Tinggal petik.

Hari berikutnya, mereka diajarkan hidup di hutan, termasuk mencari sumber mata air. Ada sungai, diajarkan menombak ikan. Ada kulit kayu, jadi alas tidur. Semuanya diajarkan. Apa yang bisa diajarkan.

Hari ketiga, kedua dubalang pamit. Hari sudah senja.

"Hiduplah rukun. Saling menjaga. Sekarang kalian hanya mengandalkan sesama," nasehat Dubalang Pertama.

Ketiganya mengangguk.

"Maaf, kami tak bisa tinggal lebih lama. Nanti Rajo Angek curiga," tambah Dubalang Kedua.

Kedua dubalang memeluk mereka bergantian. Matahari menghilang. Dua dubalang juga hilang dari pandangan.


CAHAYA DI UJUNG BARISAN


Bunyi api membakar kayu, membelah malam. Ketiganya merangku lutut. Mata memandang api. Ketiganya merasa sendirian. Kesedihan memancar dari mata mereka.

Tanpa bicara, ketiganya mengambil kulit kayu. Lalu, merebahkan diri. Karena kelelahan, mereka tertidur.

Namun, suasana hutan beda dengan kamar tidur mereka. Sebentar-sebentar mereka terbangun.

Rondok sampai terduduk. Ia seperti mendengar suara ibu.

Saat menyadari, dirinya di hutan, ia tidur lagi.

Begitu juga Murai. la terbangun. Ingat ayah. Hatinya sedih. la melihat ke unggun.

Api meredup. la bergegas memperbesarnya. Ucapan Dubalang Pertama terngiang. Apapun yang terjadi, jika malam hari, api jangan mati. Binatang buas takut dengan api.

Bonsu juga terbangun. Suara binatang malam penyebabnya. Baru jelang subuh, ketiganya pulas.

Paginya, suara binantang makin riuh. Matahari dari sela daun sampai ke wajah. Panasnya, membuat Rondok terbangun. Sesaat kemudian, Murai dan Bonsu juga terduduk.

Ketiganya saling berpandangan. Dalam hati, sedih tak terkira. Terbuang jauh bukan karena salah mereka. Namun, mereka juga sadar. Terlalu lama bersedih, tiada guna.

Mereka bangun serentak. Masing-masing membagi tugas. Rondok mencari kayu. Murai memasak daging. Sedangkan, Bonsu membantu membereskan alas tidur.

Sesudah makan, mereka berkeliaran. Lebih mengenal hutan. Mereka menemukan sebuah tebing di sebelah timur. Tebing tegak berdiri. Tak ada jalan memutar menuju ke sana.

Mereka melihat mulut goa. Setelah berbincang, mereka memutuskan tak memanjat. Terlalu tinggi. Alat memanjat mereka tak punya.

Kalau di panjat, hanya Rondok yang bisa. Ia sudah dilatih ketangkasan. Namun, Rondok tak mau meninggalkan dua saudaranya.

Akhirnya, mereka memilih ke mata air, Air sejernih itu menimbulkan kesegaran. Ketiganya tertawa-tawa. Melupakan kesedihan untuk sementara.

Begitu yang mereka lakukan setiap hari. Goa tetap dipandangi. Masih memikirkan cara terbaik sampai ke sana. Bagaimana pun mereka butuh tempat berteduh jika hujan.

Sampai akhirnya di hari ketujuh.

Rondok terbangun. Ada suara ranting diinjak. Lalu, suara dengusan. Ia membangunkan Murai dan Bonsu.

Ketiganya duduk merapat. Memandang sekeliling. Perlahan, Murai memasukkan kayu ke unggun.

Api perlahan membesar. Ketiganya kaget. Di hadapan mereka, binatang hutan berbaris berhadapan. Ada harimau, macan, kijang, rusa, ... semuanya. Murai menggosok mata. Bonsu mencubit kulit. Bukan mimpi, kata Bonsu dalam hati. Tapi, bagaimana mereka keluar selarut ini? Kenapa harimau tak memakan kijang?

Barisan itu panjang, sejauh cahaya api menangkap. Tapi, Rondok yakin lebih panjang dari itu.

Tiba-tiba, cahaya putih terlihat di ujung barisan terjauh.Para binatang, mengambil posisi duduk dengan hormat. Mereka ikut memandang cahaya,

Sepertinya, cahaya itu membungkus tubuh manusia, Sayang, terlalu slit memastikan.

Namun, Rondok merasa sepasang mata memandang mereka bertiga. la menoleh pada Murai. Murai memberikan isyarat yang sama.

Perlahan cahaya itu mendekat. "Anak-anakku.. " sebuah suara menggema di hutan, Memantul-mantul. Rasanya, seperti suara ayah dan ibu saat memanggil mereka.

Tanpa sadar ketiganya saling memegang, tangan, mata terus memandang cahaya.

Saat makin dekat, tiba-tiba, cahaya melesat. Terus. Dan lenyap. Rondok yakin, cahaya itu hilang dalam gua.

Satu persatu, para binatang menegakkan diri. Kemudian, menghilang dalam kegelapan.

Paginya, Rondok, Murai, dan Bonsu menengadahkan kepala. Mulut gua terasa jauh. Namun, rasa ingin tahu begitu besar.

Rondok memandang sekeliling. Sulur ada. Tapi, bagaimana memancangnya? ujarnya dalam hati.

Rondak memandang sekali lagi ke atas. Ada tiga batang kayu tumbuh di dining tebing, Jaraknya sempura. Terutama untuk melemparkan sulur kayu.

Batang kayu terlihat kuat. Terutama untuk menampung berat badan mereka bertiga.

Wajah Bonsu pucat saat mendengar rencana Rondok. Wajahnya gelisah memandang tebing. Murai coba meredakan.

"Percayalah," ucapnya singkat.

Kemudian, mereka menyatukan beberapa sulur. Di ujungnya, cabang kayu terikat kuat. Rondok mengambil ancang-ancang.

Lemparan pertama gagal. Baru dilemparan ketiga berhasil. Sulur melilit batang kayu dengan sempurna.

Rondok pertama memanjat. Setelah memeriksa batang kayu, ia makin yakin. Bonsu berikutnya. Murai dan Rondok terus memberikan semangat. Saat giliran Murai, ia memanjat dengan ligat.

Batang kayu kedua lebih susah. Namun, Rondok berhasil. la menghentakkan sulur. Bulir batu berjatuhan.

"Perlahan saja, Kak,” kata Murai.

Rondok memanjat lebih hati-hati. Bonsu memejamkan mata ketika memanjat. Ia sampai dengan peluh dingin membasahi tubuh.

Saat Murai setengah jalan, Elang berkulik. Tidak satu, tapi dua. Elang putih dengan tubuh besar. Keduanya terbang mengelilingi batang kayu.

Murai terus memanjat. Elang mulai mendekati dirinya. Batang kayu bergoyang. Bonsu melihat sarang elang di ujung cabang. Ia menyentuh Rondok lalu menunjuk sarang.

"Tahan," teriak Rondok pada Murai. "Jangan buat gerakan berlebihan. Sarang itu bisa jatuh."

Murai melihat ke sarang elang. Pantas, tukas Murai dalam hati. Lalu, ia memandang elang itu. Tanpa sadar, ia berucap, "Kami tak akan menyakiti anak kalian."

Elang mengepakkan sayap. Menahan tubuhnya di udara. la memandang Murai. Matanya berkedip. Lalu, terbang menjauh.

Murai menghembuskan nafas lega. la terus memanjat. Matahari tepat di atas kepaia. Ketiganya sampai di mulut gua. Dengan langkah perlahan, mereka masuk.

Gua cukup luas, Lagi pula, terasa sejuk. Ada lorong, menuju ke dalam. Mereka terus melangkah masuk.

"Sampai juga kalian di sini," ufar sebuah suara, Ketiganya kaget. Mereka meninggalkan daging binatang untuk bekal. Daging dibuat dendeng, agar tahan lama.

Bonsu sempat kagum. Kedua dubalang begitu cekatan.Tangan-tangan mereka dengan cepat memotong-motong daging. Tak lama, setumpuk irisan tipis daging saling berhimpitan. Tingginya sampai sejengkal. Amat rapi.

Rondok dan Murai diajarkan cara memasak. Mudah dan cepat. Tabur garam dan lada saat dibakar. Hasilnya? Hmmm.

Lalu, membuat sup. Bahan-bahan disediakan alam. Tinggal petik.

Hari berikutnya, mereka diajarkan hidup di hutan, termasuk mencari sumber mata air. Ada sungai, diajarkan menombak ikan. Ada kulit kayu, jadi alas tidur. Semuanya diajarkan. Apa yang bisa diajarkan.

Hari ketiga, kedua duba'ang pamit. Hari sudah senja.

“Hiduplah rukun. Saling menjaga. Sekarang kalian hanya mengandalkan sesama,” nasehat Dubalang Pertama.

Ketiganya mengangguk.

“Maaf, kami tak bisa tinggal lebih tama. Nanti Rajo Angek curiga,” tambah Dubalang Kedua.

Kedua dubalang memeluk mereka bergantian. Matahari menghilang. Dua dubalang juga hilang dari pandangan.

CAHAYA DI UJUNG BARISAN

Bunyi api membakar kayu, membelah malam. Ketiganya memangku lutut. Mata memandang api. Ketiganya merasa sendirian. Kesedihan memancar dari mata mereka.

Tanpa bicara, ketiganya mengambil kulit kayu. Lalu, merebahkan diri. Karena kelelahan, mereka tertidur.

Namun, suasana hutan beda dengan kamar tidur mereka. Sebentar-sebentar mereka terbangun.

Rondok sampai terduduk. Ia seperti mendengar suara ibu.

Saat menyadari, dirinya di hutan, ia tidur lagi.

Begitu juga Murai. Ia terbangun. Ingat ayah. Hatinya sedih. la melihat ke unggun.

Api meredup. la bergegas memperbesarnya. Ucapan Dubalang Pertama terngiang. Apapun yang terjadi, jika malam hari, api jangan mati. Binatang buas takut dengan api.

Bonsu juga terbangun. Suara binatang malam penyebabnya.

"Ayam yang kalian makan tadi merupakan ayam keramat. Salah satu keturunan langsung dari Kinantan. Binatang keramat dari Pagaruyung. Siapa yang memakan kepala?" tanya Gaek lagi.

Rondok mengangkat tangan.

"Pergilah ke Palinggam Jati. Kau akan dirajakan di sana,” katanya, "Dada?"

"Aku," Murai menjawab.

"Ke Aceh. Kau akan jadi Hulubalang di sana," kata Gaek.

Gaek tak bertanya lagi. Ia menatap Bonsu lekat-lekat.

"Nasibmu akan berliku, Anakku. Dan takdir orang besar selalu akan melewati lembah dan jurang yang cukam," Gaek berujar lembut.

"Aku akan kemana?" tanya Bonsu.

"Malaka."

"Jadi apa aku di sana?"

Gaek tersenyum, "Kau akan baik-baik saja." Selama semusim kemudian, Gaek melatih mereka secara khusus. Sesuai dengan apa yang akan mereka hadapi di masa depan.

Mereka berada di tepi hutan, pagi itu. Untuk Bonsu, Gaek memberikan kalung padanya.

Bonsu menerima, "Engku belum memberitahu apa yang akan terjadi pada saya," katanya.

"Bukankah itu lebih menarik?"

***

Bonsu memang menjalani hidup berliku. la jadi budak di Malaka. Dijual ke seorang Syahbandar. Namun, karena ketekunannya, ia berhasil naik jadi wakil. Tapi, ada yang tak suka.

Bonsu difitnah. Ia dijual Syahbandar pada bajak laut. Lagi-lagi, karena ketekunannya, ia berhasil.

Dalam sebuah mimpi, ia disuruh Gaek pulang. Bonus meninggalkan kekayaannya. Saat bertemu, Gaek sudah kepayahan. la berpesan, sudah saatnya menumpas Rajo Angek Garang.

Malam itu juga Gaek meninggal. Seluruh binatang meratap sampai pagi.

Bonsu, dengan bantuan kedua kakaknya, mengalahkan Rajo. Ayahnya meminta Bonsu menggantikannya di Kerajaan Pagaruyung. Namun, Raja yang saat itu memerintah, sangat adil.

Bonsu memilih menaklukkan Portugis. Namanya harum di mana-mana. Sekali lagi, Bonsu diminta jadi raja. Bahkan oleh Raja yang memerintah.

Bonsu tidak mau. Saya belum bisa seadil raja, alasannya.la memilih tinggal di Gunung Selasih. Tempat Gaek mengenalkannya pada alam.

Di sana, ia juga jadi raja. Raja bagi seluruh penghuni hutan.

***