Khautul Kulub/Bab 9
- IX -
K E K U A S A A N A L L A H
Khautul Kulub diperiksa dengan saksama oleh sebuah Dewan yang dibentuk oleh Khalifah. Beliau sendiri segan turun tangan untuk memeriksa sendiri kasus perkara itu sebab mengenai keluarga dan rumah tangga Khalifah sendiri. Namun setiap persidangan selalu dihadiri oleh Khalifah yang dengan tekun mengikuti jalannya sidang.
Dakwaan yang ditimpakan kepada Khautul Kulub ialah: Dia sudah melakukan percabulan dengan seorang anak muda bernama Ganim bin Ayub dan sudah hidup di bawah satu atap selama beberapa lamanya.
Dengan tangkas dan gesit Khautul Kulub membantah semua tuduhan ketua Dewan. Dengan tangkas sebagai seekor singa betina ia membela dirinya:
"Semua dakwaan tuan-tuan itu semuanya hampa sama sekali. Memang benar saya tinggal bersama dengan dia dibawah satu atap tetapi kami belum pernah berbuat apa-apa. Untuk ini saya berani bersumpah dengan apa ajja bahwa saya tak pernah melakukannya.
Saya tinggal dirumahnya karena melindungkan diri dari bencana yang mungkin sewaktu-sewaktu akan menimpa saya. Karena saudara itulah yang sudah menarik saya dari lubang kematian dari orang yang ingin hendak mencederai malahan ingin menyingkirkan saya dari dunia ini. Jika budi dan bantuannya akan dinilai dengan uang agaknya seluruh isi perbendaharaan Khalifah di Bagdad ini diberikan kepadanya belumlah sepertujuh dari apa yang semestinya.
Jika dia ingin hendak melakukan sesuatu terhadap diri saya tidak satupun yang dapat menolaknya sebeb dia memang berhak atas diri dan nyawa saya. Tetapi ia tetap sopan dan tak pernah melakukannya. Dia adalah laki-laki terbaik dalam kawasan Daulat Abbasiah ini. Tuan-tuan boleh menanyai semua khadam dan semua inang dalam rumahnya dan andaikata ada saksi yang menerangkan berlawanan dengan keterangan saya ini, silahkan perbuat apa saja terhadap diri saya.....
Lebih-lebih setelah dia mengetahui bahwa saya ada berhubungan dnegan Khalifah sangat sekali hormatnya dan memuliakan Khalifah dan membuat bandingan anra dirinya dengan Khalifah seibarat seekor tikus dengan seekor singa.
Tetapi bahwa dia memang mencintai saya dan saya mencintai dia pula ini memang saya akui dan Demi Allah saya tidak akan menyembunyikannya. Tetapi cintanya adalah cinta yang suci dan jujur karena suasana yang melingkungi kami setiap hari.
Dan bila kami dianggap bersalah karena menyamaikan benih yang dititipkan Tuhan itu saya menyerah dengan rela dan jiwaraga saya....."
Bukan main tangkasnya Khautul Kulub mengucapkan pembelaannya sehingga Khalifah merasa kagum dan yakin bahwa kedua anak muda itu tak pernah melakukan sesuatu yang diluar batas pergaulan baik secara agama atupun secara adat istiadat. Lebih-lebih setelah tampil permaisuri menyampaikan permohonan ampunnya dan menyarankan agar Khautul Kulub yang tak berdosa dan bersalah apa-apa supaya dibebaskan.
Setelah Sidang menimbang dan membicarakan perkara Khautul Kulub maka semuanya sepakat dan memutuskan bahwa gadis itu memang tidak bersalah. Khalifah ikut membenarkan dan mengampuni Khautul Kulub. Khalifah berkata :
"Semuanya sudah menjadi terang. Kami akan menghukum siapa yang bersalah dan akan memberi hadiah bagi yang sudah berjasa. Sayang Ganim bin Ayub tidak hadir di persidangan ini. Jika dia ada hadir disini saat ini juga Khautul Kulub dengan Ganim bin Ayub akan saya nikahkan secara resmi.
Jadi kemana Ganim akan kita cari Khautul?"
"Dalam gerombolan manusia gelandangan, tuanku. Karena dia menyamar menjadi seorang gelandangan.
Perintahkanlah oleh tuanku khadam-khadam untuk mencarinya dalam gerombolan manusia gelandangan. Serukan tanda sandi: Kulbi. Bila seorang gelandangan datang mendekat mendengar kata sandi itu maka itulah dia: Ganim bin Ayub! Dan jika tuanku izinkan hamba mohon ikut mencarinya sebab pasti ia masih ada dalam kita Bagdad ini."
"Silahkan, Khautul Kulub dan bila dia sudah ditemui bawalah dia kesini dan apa yang sudah kami janjikan akan kami penuhi pada waktu itu juga...."
* * *
Ketika Ganim sudah terlepas dari bahaya kepungan di rumahnya iapun segera ke kota dan bergabung dengan gelandangan di kota itu. Dapatlah dibayangkan betapa menderitanya Ganim bin Ayub. Sudah terbiasa hidup mewah, bergelimang dengan uang banyak, di ladeni khadam dan inang pengasuh, dan kini hidup menjadi manusia gelandangan ter lunta-lunta sepanjang jalan kota Bagdad. Rasanya mau saja ia mati saat itu. Tetapi ketida di ingatnya ibu dan adiknya serta kekasihnya Khautul Kulub maka ia akan mencoba bertahan se kuasa-kuasanya. Mungkin ada juga hikmahnya nasib yang sedang dideritanya waktu itu.
Tetapi Ganim tidak tetap pada sebuah tempat. Ia merasa dirinya selalu diburu-buru dan di kejar-kejar oleh pasukan pengawal Khalifah. Lebih-lebih jika ada pembicaraan tentang dirinya. Dia sudah ketakutan setengah mati. Ia meklum bahwa Khalifah sedang mencari-carinya dan menyediakan hadiah yang amat besar bilamana dia ditemui dan menyerahkan kepada Khalifah.
Pada suatu hari serombingan kaumnya gelandangan sibuk membicarakan sesuatu. Yang seorang berkata;
"Heeei kawan-kawan! Adakah antara kalian yang ingin kaya mendadak? Kini ada jalannya......"
Semuanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bagaimana caranya?" tanya seseorang.
"Tahukah kaluan? Diantara kita kaum gelandangan ini ada menyamar seorang saudagar Damsyik bernama Ganim bin Ayub. Barang siapa yang dapat menemuinya dan menyerahkannya kepada Khalifah dia akan diberi hadiah lima puluh ribu dinar, ingat lima puluh ribu dinar bukan lima ribu dirham. Mau bikin rumah besaaaar,... mau kawin dengan gadis cantik,.. mau makan enak setiap hari,... ya mau apa saja,... syaratnya carilah Ganim bin Ayub....."
"Bagaimana kalau salah seorang antara kita kita serahkan saja kepada Khalifah dengan menerangkan bahwa dialah Ganim, bagaimana?"
"Hai kau kira Khalifah orang tolol? Ganim bin Ayub hanya satu......"
Mereka saling berpandangan dan mata mereka tertancap juga kepada Ganim bin Ayub yang memang mendengar semua pembicaraan mereka. Rasanya sekujur tubuhnya merasa lemas dan darah terhenti mengalir dalam urat-urat darahnya. Bagaimana jika mereka tahu bahwa dialah yang di cari-cari Khalifah dan dialah yang ebrnama Ganim bin Ayub.....
Tetapi tampaknya mereka tidak merasa curiga terhadap Ganim yang benar itu. Namun besoknya Ganim tak berani tinggal disana lagi. Ia terpaksa berpindah-pindah. Takut akan di syaki dan ditangkap ramai-ramai lalu diserahkan kepada Khalifah. Da... tamatlah riwayatnya!
Ia tak tahu bahwa Khalifah sudah mengampuninya dan mencari-carinya untuk di kawinkan dengan Khautul Kulub kekasihnya......
Akhirnya Ganim sampai di sebuah desa di luar kota Bagdad. Dalam kota dirasanya dirinya tidak aman lagi. Tubuhnya sudah kurus maklum kekurangan makan, tidak ada tempat berteduh, dan hati dan jantung pedih perih menanggung rindu. Ia duduk nongkrong saja di serambi sebuah mesjid di desa itu. Disanalah ia menanti sesuatu. Apakah kekasihnya atau seseorang yang akan menyeru dengan kata sandi: Kulbi! Atau kedatangan Malakal Maut.
Pada pagi hari orang-orang yang selesai shalat subuh di mesjid itu mengerumuninya dan semuanya menaruh belas kasihan kepadanya. Maka ada antara mereka yang melemparkan mata uang, makanan ke sampingnya walau dia tidak pernah menampungkan tangannya.
Ganim benar-benar sudah kehilangan semangat untuk hidup. Hampir-hampir tak punya harapan lagi. Ia senantiasa dihantui pasukan Khalifah yang mencari-carinya.
Kemudian ia tinggal sendiri saja di serambi mesjid itu.......
* * *
Maka dengan takdir Allah menjelang waktu lohor singgahlah dua orang ke mesjid itu. Dua orang wanita yang kemungkinan dua orang beranak. Seorang sudah agak tua dan seorang masih muda remaja. Hanya karena kurang terpelihara dan tak pernah merias dirinya kelihatannya sebagai seorang melarat. Tetapi menilik gayanya bukanlah mereka kaum sengsara. Kelihatannya sebagai musafir yang datang dari jauh.
"Kita berhenti di mesjid ini Bu," ujar yang muda yang ternyata memang anaknya. "Setelah shalat luhur kita lanjutkan perjalanan kita. Rasanya kota Bagdad tidak jauh lagi. Ibunya menangguk tanda setuju dengan saran anaknya. Baru saja mereka melangkah kan naik ke atas mesjid dilihatnya seornag gelandangan terbaring diatas lantai serambi itu. Disampingnya terletak beberapa keping mata uang, makanan dan sebuah tongkat. Agak lama yang muda itu memperhatikan gelandangan itu dan agaknya bentuk manusia gelandangan itu sudah terlukis dalam otaknya.
Hampir-hampir saja ia berseru kepada ibunya:
"Kalau orang ini bukannya gelandangan, barangkali inilah abang Ganim,...."
Tetapi akhirnya gelandangan itu tidak menjadi perhatian mereka lagi. Mereka mengambil udhuk dan sesudah shalat lalu meneruskan perjalanannya menuju kota Bagdad. Sudah dekat sore mereka sampai di kota yang ramai dan masih serba asing bagi mereka. Siapakah mereka? Ialah Fatanah dan ibunya jua yang sudah sampai di Bagdad untuk mencari Ganim bin Ayub.
Aduuuh, kemana akan dicarinya Ganim dalam kota besar dan ramai itu? Namun Fatanah punya akal dan ikhtiar juga.
"Bu," katanya kepada ibunya, "abang dulu datang ke Bagdad membawa barang dagangan. Tentu ia berhubungan dengan saudagar-saudagar di kota ini. Mungkin di pasar ada orang yang tahu dengan abang. Jadi besok kita pergi ke pasar dan disana kita tanyakan kalau-kalau ada yang kenal dengan abang Ganim.
"Ya, ucapanmu tidak ada salahnya," jawab ibunya. "Besok kita tanyakan!"
Besoknya Fatanah dan ibunya sudah sampai ke Pasar Karkh yang ter masyuhur itu. Bukan main ngilernya Fatanah melihat barang-barang yang di jual disana. Maklum seorang gadis yang sedang berbunga dan hasrat dengan benda-benda semacam itu.
Mereka akhirnya memberanikan diri memasuki sebuah toko besar. Pelayan-pelayan tak seorang pun yang menawarkan sesuatu kepada keduanya sebab ditilik pada keadaannya keduanya bukanlah tergolong manusia yang punya duit untuk berbelanja.
Tuan toko datang menyongsong dan bertanya:
"Ibu cari apa?"
"Maaf tuan," ujar Fatanah, "kami hanya ingin menanyakan sesuatu kepada tuan."
"Tentang apa?"
Fatanah ber pikir-pikir sejenak.
"Apakah tuan barangkali kenal dengan... dengan seseorang yang bernama Ganim bin Ayub?"
Tuan toko itu tersenyum dan menjawab:
"Siapa yang tak kenal dengan Ganim bin Ayub? Saudagar dari Damsyik itu bukan?"
"Ya, benar tuan."
"O, jadi ibu mau ketemu dengan dia?"
"Ya, tuan."
"Barangkali antara anak buah saya ada yang tahu rumahnya dan dia bisa membantu mengantarkan ibu kesana....."
"Terima kasih, tuan... terima kasih," kata ibu Ganim ber kali-kali. Ia merasa gembira karena anaknya Ganim memang ada di kota itu. Dan mungkin dia sudah menjadi seorang saudagar.
Maka khadam yang baik hati itu mengantarkan kedua beranak itu ke rumah Ganim. Kebetulan memang rumahnya tak berapa jauh dari pasar Karkh itu.
"Nah, itulah rumahnya," kata khadam itu sambil menuding ke sebuah gedung yang besar dan mewah. Baik Fatanah atau ibunya merasa ragu dan bimbang. Gedung yang bagai istana Khalifah itukah rumah anaknya Ganim? Aduh, bukan main kayanya Ganim sekarang, memang patut dia lupa dengan ibu dan adiknya. Pakai pengawalan segala, tentara yang bersenjata lengkap. Dengan bimbang dan masih ragu-ragu kedua ber anak itu maju mendekati pintu gerbang yang dikawal oleh dua orang tentara.
"Mau kemana?" tanya pengawal itu garang. Ibu Ganim dan anaknya menjadi kecut. Kok begitu siap keadaan mereka? Di Damsyik rumahnya kini dijaga tentara dan di Bagdad rumah Ganim dikawal tentara pula. Apa sebenarnya yang terjadi?
"Saya mau menemui anak saya, Ganim" jawab ibu Ganim,- ya Ganim bin Ayub...."
"Ya, memang ini rumahnya," sahut tentara itu. "Tetapi sekarang rumah ini dibawah pengawasan Perdana Menteri. Kalau ibu mau masuk harus ada izin lebih dahulu dari beliau."
Walau kelihatan garang tetapi tentara itu ternyata baik hatinya. Ia melapor kepada komandannya mengatakan ada dua orang perempuan ingin bertemu dengan Ganim. Setelah ber dialog sebentar komandan menyuruh seorang anggota pasukannya untuk menghadap Perdana Menteri Ja'far Bermaki. Sebab rumah Ganim sedang dibawah pengawasan pemerintah yang dipertanggung jawabkan kepada Perdana Menteri.
Kedua beranak itu lalu dibawa menghadap Perdana Menteri. Ternyata pula Perdana Menteri seorang besar dan baik hati serta suka memberi bantuan. Setelah beliau yakin bahwa yang datang itu ialah ibu dan adik saudagar Ganim Ayub diberinya sepucuk surat untuk dapat memasuki bahkan mendiami rumah saudagar Ganim bin Ayub.
Kemudian dengan diantar oleh seorang khadam Perdana Menteri kedua beranak itu dapatlah masuk kedalam rumah anaknya sendiri. Keduanya tak tahu bahwa diam-diam perdana Menteri mengirim berita kepada Khautul Kulub tentang kehadiran mereka.
Ibu dan anak heran ter cengang-cengang ketika sudah masuk kedalam rumah Ganim. Semua khadam dan inang sangat hormat kepada keduanya sebab mereka sudah diberi tahu bahwa yang datang itu ialah ibu saudagar Ganim dan adiknya Fatanah binti Ayub yang baru datang dari Damsyik.
Tetapi Ganim sendiri tidak ada.
"Kemana Ganim?" tanya ibunya. Tidak seornag pun yang mampu menjawabnya.
"Nanti akan ada seorang yang dapat menajawabnya," kata salah seorang khadam. Atau barangkali juga mereka keberatan memberi jawaban itu kepada ibu Ganim dan adiknya. Kepada keduanya hanya diberi sebuah kamar yang lengkap segalanya.
Untung saja Khautul Khulub yang dihubungi Perdana Menteri sedang ada di rumahnya. Tak lama kemudian seorang gadis yang luar biasa cantiknya datang menemui kedua beranak itu. Ibu Ganim dan Fatanah ter heran-heran melihat kecantikan gadis yang datang itu. Tentu saja mereka tidak kenal kepadanya.
"Ibu adalah ibu Ganim bin Ayub?" tanya gadis itu.
"Benar, Ayub itu suami saya tetapi ia sudah meninggal....." jawab ibu Ganim. Khautul Kulub tersenyum mendengar jawaban yang lugu itu. "Dan ini adiknya?"
"Ya, saya Fatanah binti Ayub adik dari Ganim bin Ayub." Lalu mereka saling bersalaman dengan rasa gembira dan terharu.
Khautul Kulub mengakui dalam hatinya bila adik Ganim itu didandani dan dirias dengan wajar pastilah kecantikannya tak kurang dari gadis mana juga di kota itu.
"Dan tuan siapa?" tanya ibu Ganim kepada gadis yang baru datang itu. Khautul kelihatan malu-malu.
"Biarlah nanti ibu dan adik akan tau juga. Tetapi yang lebih penting ibu dan adik tentu ingin mengetahui dimana Ganim sekarang, bukan?"
"Benar,...benar,..." jawab ibu Ganim.
Maka Khautul Kulub mengisahkan dengan ringakas tentang hubungannya dengan Ganim, satupun tidak ada yang ketinggalan.
Sehabis kisah itu ibu dan anak saling bertangisan.
"Tetapi sekarang Khalifah sudah mengampuni tuan Ganim," ujar Khautul Kulub. "Hanya sayangnya sampai hari ini Ganim yang menyamar sebagai gembel itu belum juga ditemui. Khalifah akan memberi hadiah yang sangat besar bagi barang siapa yang dapat menunjukkan tempat Ganim atau membawa Ganim kehadapan Khalifah.
Dan mengertilah ibu sekarang bahwa jika tuan Ganim sudah dijumpai maka sayalah yang akan menjadi menantu ibu........" Ibu Ganim memelik Khautul Kulub calon menantunya.
Fatanah kelihatan berpikir-pikir. Dan kemudian bertanya kepada Khautul:
"Dapatkah anda menerangkan bagaimana ciri-ciri abang Ganim ketika menyamar menjadi gelandangan itu?" Khautul memejamkan matanya sebentar sebagai mengingat-ngingat dan lalu berkata menerangkan ciri-ciri Ganim ketika dalam samarannya. Sampai kepada bentuk tongkat dan periuknya.
Tiba-tiba Fatanah menggosok-gosok tangannya dengan perasaan gembira penuh haru.
"Kalau begitu bu, tidak salah lagi. Jembel yang kita temui di mesjid kemarin pastilah abang Ganim. Semua ciri-ciri yang dikatakan persis ada padanya."
"Kalau begitu." potong Khautul. "Kita tak boleh ber lalai-lalai lagi, orang itu pasti Ganim."
Khautul Kulub memerintahkan menyediakan dua ekor kuda kepada khadam, karena dia dan Fatanah yang akan pergi ke desa itu untuk memeriksa masih adakah Ganim Ayub disana. Dan untung pula Fatanah pandai juga naik kuda.
Mereka sebagai berpacu-pacu menuju desa yang dikatakan oleh Fatanah itu.
Tetapi Ganim tidak ada ditemui lagi oleh mereka. Hanya didekat pojok mesjid ditemui sebuah periuk tanah. Khautul Kulub kenal benar dengan periuk itu. Sebab dialah yang menyediakannya sebelum Ganim berangkat untuk menyamarkan diri.
Tetapi kemanakah Ganim? Sudah matikah dia?
.//.