Khautul Kulub/Bab 10

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Khautul Kulub
Ganim di manakah kau?

GANIM, DIMANAKAH KAU?

Prihal ada seorang gelandangan ter kapar di serambi mesjid, sampai juga beritanya kepada ketua desa disana. Iapun pergi sendiri melihat. Setelah diperhatikannya dengan saksama Ketua Desa itu mempunyai dugaan bahwa gelandangan itu bukanlah gelandangan asli tetapi palsu. Entah tanda-tanda apa yang dilihatnya entahlah!

"Jangan,...jangan,..." pikirnya. Tetapi di perintahkannya seorang membawa seekor keledai tunggangan kesana. Kemudian dengan dua orang penduduk desa itu gelandangan itu disuruh antarkannya ke Rumah Sakit Kerajaan di Bagdad. Mungkin juga Ketua Desa itu berpikir kalau dibiarkan gelandangan itu sampai mati disana repot juga.

Maka sebagai sebuah karung gelandangan itu di baringkan mereka di punggung keledai dan diantarkannya ke Rumah Sakit. Tak ubahnya membawa mayat saja.

Belum lagi sampai di Rumah Sakit salah seorang yang mengantar itu menjadi muak dan jengkel.

"Untuk apa kita susah-susah mengantarkan bangkai ini ke Rumah Sakit, biar lemparkan saja disini orang-orang Bagdad ini tahu akan diapakannya nanti...." cetusnya dengan rasa jengkel. "Apa yang kita dapat dengan kerja begini..."

Pendapat yang cukup cemerlang itu mendapat sambutan baik dari temannya. Berdua mereka mengangkat Ganim lalu di lemparkannya di pinggir jalan itu tanpa mempedulikan apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Lalu kembalilah mereka ke desanya.

Kebetulan tempat Ganim dilempar begitu saja di depan rumah seorang saudagar yang baru saja jatuh bangkerut. Ia mau pulang ke rumahnya ketika Ganim di lemparkan sebagai seonggok sampah oleh kedua orang tadi.

Saudagar itu memeriksa Ganim beberapa saat dan memegang urat nadinya dan dadanya.

"Masih hidup," bisiknya. Diperhatikannya wajah gelandangan itu. "Hai,...jangan-jangan,...." pikirnya lagi. Saudagar itu berlari-lari kerumahnya. Dengan dua orang khadamnya di pondongnya gelandangan itu dan disuruh sediakannya sebuah kamar kepada isterinya. Lalu gelandangan itu dibaringkannya diatas sebuah divan, diselimutinya.

"Untuk apa awak susah-susah membawa bangkai ini kerumah kita, jika dia mati disini kita 'kan repot," omelan isterinya.

"Jangan kau begitu lancang terhadap sesama makhluk Tuhan," bentak suaminya, "kita harus punya rasa kemanusiaan sesama makhluk Tuhan. Rawat orang ini baik-baik semoga Allah akan membalas kebaikan tuan-tuan...."

Maka dengan dibantu khadam dan isterinya Ganim di rawat sebaik-baiknya oleh tuan rumah yang baik hati itu sehingga keadaan Ganim menjadi agak baik. Ganim memang belum mati. Dia hanya lemah dan lapar. Beberapa hari kemudian keadaan si sakit itu semakin baik. Ia sudah dapat makan bubur dan minum air jeruk. Tuan rumah dan yang merawatnya merasa gembira sebab usaha mereka ber hasil. Malahan sudah mulai dapat berbicara. Yang keluar dari mulutnya sepatah kata yang tidak di maklumi maksudnya oleh tuan rumah atau siapa yang mendengarnya:

"Kulbi,...Kulbi,..." rintihnya.

"Tuan disini, istirahat sajalah baik-baik," kata tuan rumah. Ia semakin yakin bahwa orang gelendangan itu tidak sembarang orang dan bukan gelandangan sesungguhnya. Sebab kulitnya bersih dan ketika kebatan boroknya dibuka ternyata tak ada borok disana. Kulit yang dibalut itu bersih mulus. Hal itu menjadi tanda tanya bagi tuan rumah.

"Ya,...jangan-jangan,...." kata tuan rumah sendirian.

Beberapa hari kemudian ketika tuan rumah akan keluar rumah untuk mencari sesuatu keperluan si sakit itu ia berpapasan dengan dua orang perempuan muda yang sangat cantik parasnya menunggang kita. Dia diiringkan oleh dua orang khadam. Mereka kelihatan celingak celinguk mencari sesuatu.

"Tuan-tuan mencari apa? Dapatkah saya membantu anda?" tanya tuan rumah saudagar bangkerut itu dengan ramah. Dalam hatinya iapun amat heran karena ada dua orang dara manis menunggang kuda melihat-lihat sekitar rumahnya.

"Kami mencari sesuatu," jawab salah seorang penunggang kuda yang bak bidadari itu.

"Yang tuan cari apa?"

"Seorang gelandangan yang dalam sakit!"

"Gelandangan?" tanya tuan rumah dengan berbar-debar darahnya.

"Ya, kami sudah beberapa hari keliling-keliing mencarinya. Mula-mula kami mendapat kabar di desa Anu bahwa Ketua Desanya menyuruh antarkan orang itu ke Rumah Sakit. Setelah kami periksa di Rumah Sakit perawat-perawat disana merasa tak pernah merawat, atau menerima pasien sebagai yang dimaksud.

Kami kembali menemui Ketua Desa. Kemudian dapat kabar bahwa dua orang yang mengantar orang sakit itu meninggalkan begitu saja orang sakit itu dan kira-kira disinilah kedua orang itu melemparkan si sakit itu....."

Tuan rumah menjawab dengan rasa gembira:

"Jika itu yang tuan-tuan cari dia ada di rumah saya. Saya, isteri dan khadam saya sudah memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Insya Allah dengan berkat tolongan Tuhan dia ada semakin baik dari sehari ke sehari."

"Terima kasih, tuan,... terima kasih...." jawab penunggang kuda tadi. "Dan bawalah kami menemuinya...." Tuan rumah membawa kedua orang yang tidak dikenalnya itu masuk kedalam rumahnya. Kuda dijaga oleh kedua khadam tadi.

Dengan pelan-pelan kedua gadis cantik tadi menurutkan tuan rumah kedalam sebuah kamar. Dan,..... dalam sebuah kamaryang bersih dan terawat baik, diatas sebuah katil terbujurlah orang yang di cari-cari mereka. Tak salah lagi! Itulah Ganim bin Ayub.

Keduanya menutup mulutnya supaya jangan terloncat jeritannya keluar. Dan kedua dara itu saling berpelukan.

"Tidak salah, inilah Ganim!" kata Khautul Kulub kepada Fatanah. Mereka memang ialah Khautul Kulub dan Fatanah yang sudah selama beberapa hari mencari-cari. Waktu itu Ganim sedang tidur, dadanya berombak dengan teratur. Tiba-tiba sebagai seorang bermimpi keluar dari mulutnya sepatah kata:

"Kulbi!"

Hampir saja Khautul Kulub terloncat dan terduduk mendengar kata yang meluncur dari bibir si sakit itu.

"Ya,.... kanda,... inilah Kulbi," jawab Khautul Kulub dengan memegang pergelangan si sakit. Rupanya si sakit merintih dalam tidurnya sebab dia tak mendengar kata Khautul Kulub. Semua yang menyaksikan adegan itu sama-sama terdiam mengucurkan air mata. Khautul Kulub membaiki selimut si sakit dan kemudian menggubit tuan rumah keluar dari kamar itu.

"Terima kasih atas kemuliaan hati tuan dan kesudian tuan sudah membawa dan merawat orang sakit itu dirumah tuan. Jagalah,... dan rawatlah baik-baik, sampai dia sembuh benar. Kalau dia nanti berkata "Kulbi"....Kulbi lagi katakan: Kulbi tuan sudah datang dan ia ada dalam selamat. Tuan juga selamat..."

Kami akan datang setiap hari kesini untuk menjenguknya. Dan untuk biaya-biaya atau membeli obat-obatan tuan terimalah ini sekadarnya..... seribu dinar....."

Tuan rumah ber kerdipan dengan isterinya sebagai mengucapkan: "Bolakkah kataku?"

"Tetapi tuan-tuan ini siapa?" tanya tuan rumah.

"Baik yang sakit ini, ataupun kami belum perlu tuan ketahui. Hanya jaga dan rawat sajalah orang ini baik-baik sampai dia sembuh betul....."

"Baik,..baik,... terima kasih....." jawab tuan rumah.

Kemudian Khautul Kulub dengan Fatanah kembali kerumah Ganim. Semenjak ibu Ganim dan Fatanah mendiami rumah Ganim Khautul Kulub sudah kembali kerumah itu,- rumah yang penuh dengan kenang-kenangan, baik kenangan pahit atau kenangan manis.

Kepada Khalifah Khautul Kulub mengirim berita bahwa ibu dan adik Ganim Ayub datang dari Damsyik dan Ganim bin Ayub sudah ditemui tetapi masih dalam keadaan sakit. Yang sangat bergembira pula mendengar berita itu ialah Permaisuri Zubaedah. Sebab keselamatan diri dan nyawanya tergantung pula pada peristiwa itu.

Ibu Ganim setelah mendengar kabar bahwa anaknya Ganim sudah ditemui ber jam-jam ia bersimpuh diatas tikar sembahyangnya dan mengucap syukur kepada Tuhan dan semoga cepat mereka dipertemukan Tuhan dalam keadaan yang lebih baik.....

* * *

Kira-kira seminggu kemudian Khautul Kulub bersama-sama dengan Fatanah dan ibunya datang pula menjenguk Ganim bin Ayub. Dari tuan rumah dia dapat kabar bahwa keadaan Ganim sudah jauh bertambah baik. Dan bersama-sama mereka menemui Ganim dalam kamarnya. Hampir saja ibu Ganim terjerit ketika melibat anaknya yang sudah sekian lama berpisah dan telah mengalami bermacam-macam cobaan dan penderitaan.

Didapati mereka Ganim sedang tidur. Wajahnya sudah kelibatan berseri dan tubuhnya mulai ber isi. Wajah Ganim yang dulu ber angsur-angsur sudah mulai kelibatan. Ia menarik nafas dengan beraturan dan sekonyong-konyong bibirnya sudah bergeri pula:

"Kulbi.....!"

Khautul Kulub terloncat kedepan dan memegang pergelangan Ganim:

"Kanda,... inilah Kulbi kanda itu sudah datang. Dan ini juga ibu dan adik kanda Fatanah...."

Mendengar suara yang amat dikenalnya itu Ganim membuka matanya. Laksana terbangun dari tidur yang amat nyenyak dan terlempar dari sebuah mimpi Ganim melibat dengan heran sekelilingnya.

"Kulbi,.... Khautul Kulub,... kau disini?"

"Ya,... saya disini kanda, ini Kulbi kanda dan ibu serta adik kanda si Fatanah....." Ganim mencoba melihat nanap-nanap: "Ibuuuu......!" bisiknya.

"Anakku, Ganim," jawab ibunya sambil memeluk anaknya Ganim.

"Saya takut," kata Ganim lagi.

"Tak usah kanda takut-takut lagi," kata Khautul Kulub, "Khalifah sudah memberi ampun kepada kita. Dan semuanya sudah selesai. Bila kanda sudah sembuh, kita akan pulang kembali dan Khalifah sendiri akan mengawinkan kita......."

"Benar? Oh, Tuhan....!" Ganim memejamkan matanya air mata giring gemiring dalam kelopaknya.

Khautul Kulub memeluk kekasihnya dan mencium pipinya. Hatta maka itulah penawar dan obat yang paling mujarrab diatas dunia ini.

Semenjak hari itu Khautul Kulub, Fatanah dan ibunya ikut bersama sama menjaga Ganim sampai sembuh. Tuan rumah tak mau membiarkan Ganim dibawa begitu saja. Dan mereka memang sudah merencanakan kepulangan Ganim dari rumah saudagar bangkerut yang berjiwa sosial itu akan dilaksanakan dengan secara meriah dan besar-besaran sebagai tandaber syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua orang-orang dan tokoh-tokoh yang sudah memberi bantuan dalam kepulangan Ganim bin Ayub.......

.//.