Kepala Naga di Dinding Guci

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Kepala Naga di Dinding Guci
oleh Deddy Arsya
52634Kepala Naga di Dinding GuciDeddy Arsya

KEPALA NAGA DI DINDING GUCI


Deddy Arsya

IAIN Imam Bonjol Padang


KEPALA pedagang guci yang setengah botak itu terlihat berkilat, seperti diminyaki. Wajahnya penuh jerawat besar- besar dengan kepundan berwarna merah menyala, seperti gunung api yang siap meletus. Ia terlihat letih, lalu meminta segelas air pada orang rumah.

"Bisa beri air segelas, Ni?"

Hari memang panas sekali. Angin pun tak ada. Kerong kongannya kering terasa. Sudah tiga hari ini tak satu pun gucinya yang laku terjual. Ada empat buah guci besar-besar yang ia tawarkan. Guci-guci itu kini terasa semakin berat saja.

"Dari pagi belum minum apa-apa," tambahnya.

Sementara Si Gemuk, orang rumah itu, tampak mulai berpikir. Untuk apa pula guci-guci itu olehnya? la pun bertanya tentang hal lain, bagaimana ukiran naga pada guci guci itu dibuat? Ia seperti dibebani oleh pertanyaannya sendiri. Palanta bambu yang ia duduki melentur menahan berat tubuhnya. Ia berdiri dan meninggalkan bunyi mengiut pada palanta itu. Ia kemudian berjalan ke belakang, melewati ruang tamu, tengah..., dan sebentar telah kembali membawa segelas air. Ia kembali duduk di tempatnya semula setelah menyerahkan air yang dibawanya itu kepada pedagang guci tersebut.

Di mata Si Tua, air di gelas itu terlihat berwarna.Barangkali termos telah kembali diisi sebab tadi pagi ia temukan telah kosong. Seorang bayi dapat disembunyikan di dalamnya. Pikiran itu entah mengapa tiba-tiba muncul di benaknya. Ia membayangkan tubuh bayi itu mengambang seperti daun-daun teh. Ia memikirkan hal-hal yang tiada terduga, bahkan olehnya sendiri. Bagaimana kalau tubuh tuanya berenang dalam air di gelas itu atau dalam termos? pikirnya lagi.

Seiring dengan rintik hujan di loteng, suara azan pun perlahan jatuh membuyarkan lamunannya, Ada apa dengan cuaca akhir-akhir ini? Ia kembali bertanya dalam hati dan tak terlalu berharap akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari rentetan pertanyaannya itu. Perasaan lain berkecamuk lebih hebat di dalam dadanya.

Ia telah lama tak suka pada bayi, pada tangisnya, pada anyir tubuhnya. Perasaan yang sama sekali tak pernah ia inginkan, tapi entah mengapa muncul begitu saja. Dan kemudian tak lagi dapat diusir. Tak jarang kesepian hampir membuatnya putus asa. Mendengar tawa seorang bayi, barangkali sesuatu yang dapat menjadi tawaran bagi kesepiannya itu. Tetapi, kebencian itu tak juga hilang dari pikiran seorang tua setengah pikun, sepertinya.

Si Gemuk, menantunya itu, sangat sulit diajak bicara akhir-akhir ini.

Tak jarang, ia mencoba berakrab. Ia duduk di dekat menantunya itu, saat telenovela minggu sore mulai mengisi hampir seluruh layar stasiun tv. Ia berbicara sendiri dengan perasaan riang. Dan, ia tak pernah meminta pembenaran atas apa yang dikatakannya. Ia tahu, telenovela telah menyihir mata banyak orang. Lelaki Meksiko punya mata yang berbeda, hijau seperti padang lamun dan tubuhnya yang berjenjang tercium anyir sampai ke sidang penonton. Tapi, akhir-akhir ini yang sering ia saksikan bersama menantunya bukan lagi keluaran Meksiko, tapi sinema drama Jepang dengan kisah-kisah percintaan yang menarik dan romantis pula. Orang Jepang sekarang sudah tinggi-tinggi, tidak seperti masa perang dulu, pikirnya.

Pedagang guci tampak mulai tak sabar untuk segera pergi. Keempat guci itu telah sedemikian rupa tertata pada tempatnya semula, Kedua perempuan itu tak menampakkan kegairahan untuk memiliki salah-satunya. Sudah sering ia lihat hal yang seperti itu pada muka setiap orang yang ia tawarkan. Ia termenung. Memang bukan waktu yang tepat untuk berdagang pajangan rumah tangga semacam guci di waktu-waktu, seperti sekarang ini. Ia tahu, baiknya memang menjelang masuk puasa atau dekat-dekat hari raya.

Tapi, Si Gemuk dengan wajah seperti berpikir membuatnya bertahan. Ia mengeluarkan guci-guci itu kembali dari tempatnya semula. Mata Si Tua pun mengisyaratkannya. Beberapa detik mata ketiganya saling beradu bergiliran.

Si Tua membayangkan seorang bayi tidur nyenyak di dalam guci itu.

Perabotan di rumah menantunya tak cukup baik untuk menawan mata para tamu yang datang, kursi letter U yang bocor, sebuah meja penuh kurap, vas bunga-plastik di atasnya yang dibeli barangkali untuk hari raya tahun yang lalu, dan sebuah televisi yang tidak begitu kecil di sudut yang lain. Barisan gelas-gelas antik di lemari pajangan, selembar almanak tahun lalu di dinding, dan di samping itu poster Imam Bonjol yang sedang menunggang kuda sambil mengangkat pedangnya.

Si Gemuk mulai menimbang-nimbang. Sisa gaji bulan kemarin yang dititipkan suaminya masih utuh di bawah kasur. Mertuanya mungkin bisa bersepakat dengannya untuk mempergunakan uang itu. Mertuanya memang seringkali ikut campur masalah keuangan, hal itu sering dirasakannya mengganggu.

Ia mulai memilih-milih dan yakin dapat meninggalkan salah satu guci itu di sini, di rumahnya. Jari-jarinya yang besar mengelus-elus kepala naga pada dinding salah satu guci Sementara itu, matanya mengalihkan pandangan ke dalam lubang guci itu. Ia masukkan hampir setengah kepalanya yang mulai ditumbuhi uban itu ke dalamnya. Matanya menyala di dalam sana. Ia sendiri tak menyadari untuk apa ia memasukkan kepalanya ke dalam guci itu.

Tak ada bayi menangis di dalamnya, pikirnya.

Sebentar, seluruh kepalanya telah berada di luar.

“Benar, asli dari China?” tanyanya setengah tak percaya.

Ia terlihat ragu. Ia kemudian menatap mata mertuanya, mengajukan pertanyaan yang sama, kini dengan lebih menyadari tujuan pertanyaannya itu, sambil memalingkan wajah ke arah pedagang guci. Ia pernah menonton cerita silat China di televisi, tentang sebuah guci ajaib yang menjadi tempat bersemayam Dewi Kebaikan, yang diperebutkan para pendekar. Apalagi guci-guci yang ada di depannya sekarang, pada dindingnya terdapat pula ukiran bayi naga. Konon, naga bagi orang China dianggap penuh tuah dan memberi mujur. Ah, ia tak terlalu mengetahui hal itu.

“Tentu!” balas pedagang guci itu mencoba meyakinkan keduanya meskipun ia sendiri tak begitu yakin dengan kebenaran jawabannya itu. Ia hanya bekerja pada seorang incek, induk semangnya, yang memang orang China. Gajinya dihitung dari seberapa mampu ia menjual guci-guci itu di atas harga yang ditetapkan induk-semangnya. Dan, sampai saat ini belum satu pun yang berhasil ia jual. Ia menggaruk--garuk kepalanya yang botak. Dengan handuk kecil yang penuh daki ditangannya, yang terlihat dari sisi-sisinya yang menghitam, ia mengelap keringat di seluruh wajah hingga pangkal lehernya. Ia mendengus pelan.

Si Gemuk beberapa kali mengetuk-ngetuk dinding guci. Bunyinya berdentang cukup keras. Titik-titik air jatuh di loteng. Beberapa saat menderu kencang. Lalu, hilang lagi. Hujan angkut-angkut. Tempiasnya sampai ke serambi itu. Pedagang guci menggeser dirinya untuk sedikit merapat menghindarkan tempias.

Suara azan tak lagi terdengar. Si Gemuk tiba-tiba ingat, ia sudah harus menyalakan televisi, mengatur gelombang beberapa kali untuk menemukan sinema drama Jepang yang dinantikannya. Mungkin ia lagi-lagi akan menyuruh anak lelakinya naik ke perabungan rumah tetangga untuk memutar-mutar antena parabola, seandainya gelombang yang diinginkan belum juga bersua. Antena parabola itu memang hanya dapat dijangkau dari perabungan rumah tetangga.

Tiba-tiba dari ruang tamu, ia mendengar suara televisi meraung-raung. Anak lelakinya telah lebih dulu berada di depan televisi itu, memutar balap mobil formula satu.

“Bagaimana, Ni? ... Mak?”

Pertanyaan pedagang guci itu mengalihkan perhatiannya. Mertuanya mulai tak peduli. "Terlalu mahal!” jawabnya enteng.

Si Gemuk mengalihkan lagi pandangannya pada guci yang semula dipilihnya, lantas pada tiga lainnya. Tanpa menoleh pada penjual guci, ia bertanya dengan sedikit ragu.

“Berapa pasnya?”

Dalam bayangannya, ia melihat seekor kelelawar keluar dari lubang salah satu guci tersebut, kemudian dari lubang yang lain. Empat ekor kelelawar terbang menuju antena parabola dan hinggap di sana, seperti hari telah menjadi malam. Anak lelakinya terlihat menyiapkan jenjang untuk naik ke perabungan tetangga. Empat ekor kelelawar tak juga beranjak dari sana.

“Upah angkut saja sedikit untuk saya itu, Ni!” kata pedagang guci itu menjawab setengah mengiba dan wajahnya terlihat makin masam. Ia mengelap-ngelap keringatnya lagi.

Cuaca memang aneh akhir-akhir ini, sedang panas-panasnya tiba-tiba diguyur hujan.

Si Gemuk tampak mulai surut. Mukanya menoleh ke sana kemari. Kalau harganya semahal itu, lebih baik tidak usah saja, pikirnya. Ia memang peragu.

Suaminya baru saja pulang dari kantor dan berjalan begitu saja melewati mereka menuju kamarnya untuk berganti baju. :

Sekali suaminya pernah mengeluh tentang suasana kerja di kantornya yang kian memburuk dari hari ke hari. Orang-orang eselon atas sering melakukan inspeksi mendadak dan menemukan beberapa orang bermain pinball, solitaire, backgammon. Ia hampir saja dipindahkan karena datang terlambat ketika terjadi inspeksi suatu kali. Dan, pindah berarti berada pada tempat yang tidak nyaman sama sekali. Menghadapi banyak mata yang penuh curiga. Tidak aman! Ia mulai was-was untuk meninggalkan meja kerjanya di waktu-waktu dinas. Sesekali ia mulai bertanya kepada teman kerjanya, jika hendak pergi keluar, “Apa ada kunjungan hari ini?” Semenjak seringnya diadakan inspeksi mendadak, mereka mulai berpikir untuk mencari-cari bocoran tentang waktu pelaksanaannya, tentu saja agar tidak kecolongan. Jika tidak ada, barulah ia dapat dengan leluasa pergi membeli kertas-kertas togel atau sekadar melepas penat bekerja, bermain kartu di kedai kopi, tertawa-tawa dengan beberapa kenalan di taman seberang jalan. Tapi, hal itu membuatnya was-was juga. Tidak jarang, ia cukup hanya berpesan pada teman kerjanya yang “keluar” untuk dibelikan rokok.

Di rumah, di meja kerjanya di ruang tengah, ia mulai membuka tas kerjanya yang ringan. Menimbang-nimbang gambar pada kertas togel yang dibelinya, lalu berpikir sebentar, untuk kemudian menorehkan sesuatu pada sisi yang kosong serupa huruf-huruf kanji dengan pulpen yang putus-putus. Ia tiba-tiba memanggil anaknya yang telah kembali duduk di depan televisi di ruang tamu.

“Jang, pinjam Ayah pulpenmu sebentar lah!”

Tanpa berkata sepatah pun, anaknya kemudian beranjak merogoh-rogoh saka ranselnya. Dan, menemukan sebuah pensil yang belum diruncing. Ia terus berjalan ke dapur mencari pisau. Langkahnya terlihat malas. Ia merautnya sendiri. Kemudian ia menyerahkan pada ayahnya itu, lagi-lagi tanpa sepatah pun bersuara. Lalu ia pun duduk kembali di depan televisi.

Sementara itu, di serambi Si Tua mulai bercerita tentang anak lelakinya yang bekerja sebagai pegawai negeri di kantor walikota, seperti hendak memperkenalkan pada pedagang guci itu bagaimana kehebatan dan keberhasilannya membesarkan anak-anaknya. Ia seakan menyindir menantunya yang tidak bisa apa-apa, selain menunggu uluran tangan dari suaminya.

Ia harus membayarkan tiga kali uang pensiunnya untuk penempatan pengangkatan anak perempuannya yang menjadi guru di kota itu. Sekarang ia tidak lagi bercerita tentang anak lelakinya yang bekerja di kantor walikota itu. Begitulah caranya ia bercerita, melompat-lompat tak menentu. Anak perempuannya itu bisa saja ditempatkan di Selatan sana, ke arah perbatasan, seandainya ia tak pandai-pandai mendekati petugas pengangkatan.

“Menjadi guru di Selatan, seperti mengajar beruk membaca,” ia semakin menjadi-jadi.

Sewaktu suaminya masih ada, mereka tinggal di kota kecamatan yang ramai. Suaminya seorang toke cengkeh dan pala yang memiliki sebuah gudang penampungan di Kota kecamatan itu. Dan, suatu malam semua habis terbakar, juga suaminya! Sejak itu, ia membesarkan sepasang anaknya sendirian. Dan menurut pandangannya sendiri, ia berhasil.

“Hanya sedikit sekali buku-buku dari dinas pendidikan yang sampai ke Selatan,” ja melanjutkan, “dengan hari libur yang panjang. Jika damar telah berbuah, cengkeh, dan cokelat telah masak pula, nyaris tak ada lagi sekolah. Semua murid dibawa ayah ibunya masuk rimba.”

Ia jarang bisa diam dengan siapa pun. Ketika seseorang datang bertamu, mukanya seketika terlihat cerah. Dan ia bahagia, sebab menantu dan anak lelakinya akhir-akhir ini semakin sulit diajak bicara. Beberapa minggu ke depan, ia telah berada di rumah anak perempuannya yang guru itu, yang tinggal beberapa kilometer di Utara, dekat pabrik semen terbesar di kota itu bersama suaminya, seorang pegawai rendah di Kantor Pekerjaan Umum.

Ia mengeluhkan anak laki-lakinya yang tak memperhatikannya lagi dan menantunya yang sulit diajak bicara akhir-akhir ini, Sesekali ia berbicara sendiri tentang menantunya yang lain, pegawai rendah di Kantor Pekerjaan Umum itu, yang tak bisa memanfaatkan kesempatan menggelapkan uang di tempat kerjanya, yang akhir-akhir ini seringkali disebut-sebut warta televisi. Dan, setiap kali ia berbicara dengan anak perempuannya tentang itu, anak perempuannya malah tampak ketakutan.

Pedagang guci, terlihat dari raut wajahnya, tak terlalu hirau pada cerita itu. Ia malah sedang berpikir kilat, mematok-matok harga terakhir yang akan ia jatuhkan. Ia sama sekali tidak mendengarkan kalimat-kalimat panjang dan berulang-ulang Si Tua itu. Ia harus memutuskan! Ia terus berpikir, menimbang-nimbang, ia tak mungkin bertahan dengan harga yang ditawarkannya semula. Si Gemuk tak lagi merespon, ia mulai tak berminat. Si Tua, apalagi!


Suaminya barangkali sudah mengetahui sisa gaji bulan kemarin telah ia ambil untuk membeli guci, Ia tak ingin bertengkar lagi. Beberapa malam belakangan mereka tak lagi tidur berdua. Tiba-tiba ia membayangkan seorang bayi mungil menyumbul dari lubang guci. Ia sudah lama ingin hamil lagi. Susunya terasa bengkak sebelah. Ia merasa tubuhnya makin tak menarik saja. Tahun-tahun belakangan, malam menjadi begitu dingin. Di malam hari, ia tak pernah lagi menyalakan kipas angin di kamarnya, seperti hari-hari yang lalu. Malam sudah kelewat dingin. Ia ingin membeli selimut baru dengan warna yang cantik dan menyala, Ia sudah lama tak menjemur kasur. Ia baru ingat ketika sudah berada di atasnya dan mencoba untuk terus mengingat sampai pagi. Suaminya sudah tak begitu peduli pada banyak hal.


Dengkur suaminya yang putus-putus sering mengganggunya. Ia jijik mendengar bunyi dengkur itu akhir-akhir ini. Entah mengapa. Pikirannya dipenuhi lumut. Matanya berpasir. Ia tak jarang menumpang tidur di kamar anak lelakinya yang mulai beranjak dewasa itu. Ia mulai gerah pada banyak hal. Juga pada mertuanya yang sering ikut campur dan acap menyindirnya tak bisa apa-apa, selain menunggu uluran tangan dari suami. Sementara itu, banyak perempuan lain yang tidak menjadi pegawai, toh bisa mengisi kue-kue di kedai-kedai atau berdagang ke pasar-pasar.


Sesekali ia ingin bertamasya naik kereta api wisata pada minggu pagi ke Pariaman. Ia ingin pergi seorang diri, menikmati percakapan dengan banyak orang, membiarkan kedua matanya bebas berkeliaran, memandang hamparan luas tiada terbatas. Membayangkan tubuh-tubuh dengan otot berjenjang, wajah-wajah tampan yang familiar.


Dari arah ruang tamu, sinema drama Jepang baru saja selesai. Digantikan lagu berirama Latin. Wajah-wajah tampan pria Kolumbia memenuhi layar kaca. Sebentar kemudian, berganti perempuan cantik berwajah Indian dengan dada. sedikit terbuka.

Dengan rasa iri yang sedikit berlebihan, ia membayangkan seekor lipan hinggap dan menusukkan racunnya pada belahan dada perempuan itu. Anaknya terlihat menatap lurus, tak mengedip.

Lagu Latin tiba-tiba berganti suara deru mesin. Anaknya mengganti chanel lagi. Fernando Alonso diselip Juan Pablo Montoya di lap ke delapan belas. Suara ban meletus diulang tayang beberapa kali. Kepingan sayap belakang mobil Montoya berserpihan ke angkasa.

Pedagang guci mulai gelisah. Ia belum juga memutuskan, terlalu murah, tak membayar jerih payah! pikirnya. “Kalau dijual dengan harga segitu, hanya incek, induk-semangnya itu juga yang akan berlaba!” pikirnya lebih jauh lagi. Ia seperti tak rela.

Si Tua sudah lama tak peduli. Ia membayangkan melihat kepala bayi menyumbul keluar dari lubang salah satu guci itu kemudian dari lubang yang lain.Empat ekor kelelawar terbang menuju antena parabola. Dan, hinggap di sana, seperti hari telah menjadi malam. Suara tangisan terdengar menggema dari dalam guci. Semakin lama semakin menjadi-jadi, bergemuruh-guruh.

Si Gemuk menggilirkan pandangannya dari guci yang semula dipilihnya, lantas pada tiga lainnya. Jari-jarinya yang besar itu masih menempel di salah satu guci. Ia mengelus-elus kepala naga berwarna emas pada dindingnya. Sesekali ia mengetuk-ngetuknya lembut.

Tok-tok-tok

Suara hujan menderu lagi. Mobil Alonso tergelincir keluar arena, di lap entah ke berapa.

“Tak ada penamu yang lain, Jang?”

Pensil itu patah.

Angka 1842 muncul ajaib pada kertas togel.

“Jadi, Ni?”