Lompat ke isi

Kemutlakan Pengadaan Korpus Demi Keberhasilan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Makalah Kongres Bahasa Indonesia X

Mien A. Rifai

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia AIPI, Jakarta

Abstrak

[sunting]

Kelemahan mendasar pada penyusunan ratusan kamus bahasa yang terbit dalam lima dasawarsa terakhir––termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa––adalah tidak digunakannya korpus, yang memang belum tersedia secara memadai. Sebagai akibatnya penggarapannya tidaklah didasarkan pada contoh nyata bahasa yang hidup di masyarakat, dan identitas objeknya adakalanya meragukan karena tidak didukung oleh data dan informasi yang terdokumentasi. Padahal, kamus seperti Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary berhasil diakui sebagai kamus kompak terbaik yang berharga murah dan sangat memuaskan pemakainya, karena penyusunannya didukung oleh lebih dari 13 juta berkas contoh pemakaian kata dalam konteks, suatu koleksi ujaran lisan atau tulisan yang terekam dan terdokumentasi untuk dipakai sebagai dasar pelaksanaan analisis deskriptif bahasa. Tersedianya korpus raksasa tersebut memang terbukti mampu menghasilkan kamus yang setiap lemanya dilengkapi dengan informasi berketepatan tinggi tentang pelafalan, etimologi dan asal-usul, kapan pertama kali dipakai, definisi teknis yang informatif, sinonim, dan data lain yang dianggap bermanfaat. Diunggahnya korpus tersebut dalam daring elektronik sehingga mudah diakses secara luas menyebabkan pelajar yang sedang membuat pekerjaan rumah, mahasiswa yang tengah menyusun skripsi, ataupun ilmuwan yang sibuk menulis artikel ilmiah akan terbantu dalam mengecek bahwa pemilihan kata, penataan frasa, pemisahan klausa, ataupun pembuatan kalimatnya semuanya sesuai dengan kaidah bahasa yang dibakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut, serta kesulitan besar yang dialami oleh ketiadaan korpus dalam mencari dan menemukan informasi terekam tentang cituar, grandil, rowe, sawunggaling, dan wantu ––beberapa istilah tua usia yang hampir tak pernah lagi ditulis tetapi masih terus terpakai dalam praktik––untuk dijadikan lema sebuah kamus batik, menunjukkan bahwa pengadaan korpus merupakan suatu kemutlakan. Ketersediaannya akan memungkinkan disusunnya sebuah babon kamus Bahasa Indonesia definitif, yang dapat disejajarkan dan dipertandingkan dengan The Oxford English Dictionary atau Webster’s Third New International Dictionary demi kemapanan pelaksanaan dan keberhasilan upaya pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia.

Pendahuluan

[sunting]

Dalam kearifan kolektifnya, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan bahwa pelahiran bahasa yang dibidani dan ditahbiskan oleh seorang pemuda Madura bernama Muhammad Tabrani dengan sebutan Bahasa Indonesia pada tanggal 2 Mei 1926, merupakan salah satu capaian nasional perjuangan panjang kemerdekaan bangsa yang sangat bermakna(AIPI 2009: 16). Sebagai akibatnya, capaian yang kemudian dikukuhkan untuk menjadi salah satu butir Sumpah Pemuda 1928––yang pengikrarannya pada tanggal 28 Oktober kita peringati dengan menyelenggarakan Kongres Bahasa Indonesia X sekarang ini––dianggap amat penting untuk dimanfaatkan sebagai bekal dan modal utama dalam mewujudkan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang makmur dan sejahtera yang diidam-idamkan bersama. Dapatlah dimengerti jika sesudah bangsa Indonesia berhasil memeroklamasikan kemerdekaan negaranya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun untuk melandasinya mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa negaranya, sehingga sekaligus mengamanatkan agar segala sesuatu tentangnya diatur dengan sebuah undang-undang. Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu perintah UUD tersebut telah dipenuhi dengan pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada tanggal 9 Juli 2009. Dengan demikian sekarang kita memiliki landasan hukum sahih dan pijakan berkiprah yang sangat kuat dalam mengefektifkan pemfungsian Bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa resmi dalam menjalani segenap langkah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam enam dasawarsa terakhir memang terlihat adanya upaya terkonsentrasi yang sangat intensif untuk membuat Bahasa Indonesia mampu mengemban tugas fungsi yang bermultifaset guna keperluan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan manusia Indonesia. Usaha pemodernan dan pencendekiaan tidak hanya dilakukan pada Bahasa Indonesia saja, sebab kegiatan serupa dilaksanakan pula pada pelbagai bahasa daerah walaupun dengan skala, magnitud, dan prioritas yang berbeda intensitasnya. Sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman dan keperluan komunikasi terutama demi kepentingan pemajuan pendidikan, salah satu kegiatan yang mendapat pumpunan khusus adalah pemekaran kosakatanya untuk lebih mencendekiakan Bahasa Indonesia sampai mampu dijadikan alat komunikasi massa dalam dunia modern. Bahwa usaha ini membuahkan hasil sudah tersaksikan dari kenyataan bahwa saat ini tidak ada satu disiplin ilmu di dunia––betapa pun maju, muskil, mutakhir dan mendalam kecanggihannya––yang komunikasi teknisnya baik untuk mengikuti perkembangan kemajuan, keperluan penulisan artikel ilmiah, maupun buat penyusunan disertasi doctor, yang tidak dapat dilakukan dengan Bahasa Indonesia. Ini dimungkinkan karena jumlah kosakata Bahasa Indonesia telah meningkat dengan sangat pesatnya, seperti terlihat dari kandungan lema Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Purwadarminta terbitan tahun 1953 yang hanya berjumlah sekitar 22.000 kemudian berhasil dimekarkan menjadi lebih dari 90.000 lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa yang diterbitkan pada tahun 2008. Selain itu di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sekarang sudah tersedia sekitar 405.000 istilah resmi Bahasa Indonesia yang berhasil dipungut dan diserap dari bahasa asing serta dibuatkan padanannya berdasarkan ketentuan-ketentuan Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang disepakati bersama oleh negara-negara anggota Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia (MABBIM).

Sejalan dengan itu, puluhan kamus dwibahasa baik yang menyangkut pelbagai bahasa daerah dan Bahasa Indonesia maupun bahasa asing juga sudah berhasil disusun dan diterbitkan. Di beberapa provinsi kajian dan pendokumentasian tata bahasa bahasa daerahnya masing-masing telah berhasil pula dibukukan, seringkali disertai dengan perekaman khazanah kesusastraan dan kekayaan budaya yang dimilikinya. Karena Undang-Undang Republik Indonesia 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan secara gamblang mewajibkan pemerintah daerah masing-masing untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa daerahnya, maka ke depan kegiatan ini dipastikan akan lebih tertangani secara mapan. Dengan demikian diharapkan bahwa bahasa daerah akan dapat tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat sebagai bagian integral kekayaan budaya bangsa Indonesia seperti dikehendaki oleh undang-undang. Beberapa pemerintah daerah memang sudah terlihat aktif menggalakkan kegiatan pakar wilayahnya untuk menyiapkan kamus bahasa daerah masing-masing sebagai pintu masuk dalam memulai karya besar untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan juga budaya kebanggaan daerahnya.

Prioritas pada penyusunan kamus umum bahasa diyakini merupakan pilihan langkah yang sangat tepat untuk menjadikan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah terkait bisa berfungsi sepenuhnya dalam mendukung terlaksanakannya kehidupan masyarakat Indonesia berbangsa dan bernegara. Kita harus bersyukur bahwa setahap demi setahap sarana dan peralatan berbahasa makin dilengkapi, sehingga misalnya Bahasa Indonesia sekarang sudah memiliki tesaurus, yang seperti diungkapkan sebelumnya (Rifai 1997) memang sangat dibutuhkan untuk memungkinkan para cerdik cedekiawan Indonesia mampu berkarya secara maksimum untuk mengekspresikan diri sepenuhnya untuk berkomunikasi dalam bidangnya masing-masing. Walaupun yang sudah tersedia dalam Bahasa Indonesia baru berupa kamus sinonim, antonim, hiponim, dan meronim sehingga belum merupakan khazanah kata-kata yang disusun atau terpetakan dalam tabulasi kategori konsep seperti dicontohkan oleh Dr Peter Mark Roget penciptanya, kedua tesaurus (Endarmoko 2006, Pusat Bahasa 2009) yang ada sudah lebih dari sekadar akar pengganti rotan. Selanjutnya kamus-kamus istilah juga sudah banyak disusun orang sesuai dengan tuntutan keperluan dan kemajuan bidang ilmunya masing-masing.

Sekalipun demikian masih dirasakan bahwa segenap kiat pengembangan bahasa beserta kemajuan teknologi mutakhir kebahasaan yang sudah umum dimanfaatkan orang di negara-negara maju belum sepenuhnya disediakan untuk dimanfaatkan seluas-luasnya guna membantu dicapainya hasil pengembangan dan pembinaan bahasa yang maksimum. Korpus bahasa yang sudah umum dipergunakan dalam menyusun kamus di negara maju, misalnya, terkesan masih belum atau kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kemudahan para pemakai Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dan berkarya. Oleh karena itu, berikut ini akan dikupas keperluan membangun korpus sebagai salah satu sarana penyusunan kamus babon Bahasa Indonesia yang diidam-idamkan.

Korpus dan Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary

[sunting]

Kalau prakata Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (Mich 1988: 6) disimak, kita bisa mengerti mengapa buku itu berhasil diakui sebagai sebuah kamus kompak terbaik yang berharga murah dan sangat memuaskan pemakainya. Keberhasilannya terjadi terutama karena penyusunannya telah didukung sepenuhnya oleh korpus––suatu koleksi ujaran lisan atau tulisan dengan segala macam dan bentuk variasinya yang direkam dan didokumentasi untuk dipakai sebagai dasar melakukan analisis deskriptif bahasa––yang terdiri atas lebih dari 13 juta berkas contoh pemakaian kata dalam konteks yang dituliskan pada kertas berukuran 3 x 5 inci. Tersedianya korpus raksasa tersebut memang terbukti mampu menghasilkan sebuah kamus yang setiap lemanya dilengkapi dengan informasi berketepatan tinggi tentang pelafalan, etimologi dan asal-usul, kapan pertama kali dipakai, perkembangan sejarah, definisi teknis yang informatif, contoh pemakaian, sinonim, dan data serta informasi lain yang dianggap bermanfaat.

Dalam bahan-bahan depan yang disajikan sebagai bagian pendahuluan buku tersebut, maka segala konvensi, kiat, dan teknik yang dipakai telah diungkapkan secara ringkas untuk menjelaskan cara para penyusunnya memadatkan bergudang-gudang informasi tentang kata-kata Bahasa Inggris ke dalam sebuah kamus yang memakan tempat tidak sampai 1400 halaman. Karena fungsi utama sebuah kamus adalah mendefinisikan arti kata, kepada kita diterangkan proses pola pemberian keterangan yang melibatkan semantik berdasarkan pendekatan definisi analisis, dengan segala macam variasi pemaknaan yang diperkenankan seperti dicontohkan oleh pemakaian nyata yang hidup dan berterima di masyarakat. Idealnya seorang penyusun kamus memang ingin agar kutipan yang tersedia dalam korpus sudah dapat memberikan pencerahan tentang arti suatu kata. Akan tetapi seperti dialami para penyusun Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, pada kenyataannya kutipan yang tersedia adakalanya agak kabur atau bersilang pendapat, sehingga selalu diperlukan data tambahan sesuai dengan perjalanan waktu yang sering berbuntut pada pergeseran pemaknaan.

Kita juga diberi gambaran cara pemilihan lema, terutama dalam melakukan pertimbangan untuk memertahankan lema lama yang menjadi usang karena tidak dipakai lagi (yang diberi patokan sejak tahun 1755), atau bersifat arkais yang pemakaiannya masih sintas (survive) walau hanya sekali-sekali muncul dalam keadaan khusus. Seperti dapat diduga, pelaksanaan pemilihan dan pengambilan keputusan hanya mungkin dilakukan dengan penuh keyakinan kalau tersedia korpus besar yang terus-menerus dimutakhirkan. Begitu pula dibentangkan alasan pembenaran untuk memutuskan pantas tidaknya suatu kata untuk dimasukkan sebagai lema baru. Keseringan muncul dan panjang rentang waktu pemakaian merupakan faktor penting dalam meloloskan suatu kata untuk dimasukkan menjadi lema, tetapi tidak ada patokan jumlah angka yang harus dicapai sebagai jaminan diterima atau ditolaknya kata dalam kamus. Untuk bisa lebih memahami luas cakupan asal sumber korpus yang dikumpulkan, kepada kita dijelasan bahwa untuk kata gentrification yang pemakaian pertamanya dicatat muncul dalam tahun 1964, penyusun kamus membaca 26 kutipan pemakaian. Korpus sebanyak itu berhasil dikumpulkan dalam rentang waktu lima tahun dari pelbagai artikel yang muncul dalam beberapa terbitan seperti The New York Times, Scientific Americans, Playboy, American Demographics, The Boston Globe, Smithsonian, Money, The Christian Science Monitor, Saturday Review, The Wall Street Journal, dan Harper’s.

Jika diambil secara acak sebuah contoh lema dalam Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, akan tersaksikan tampilan berikut:

in.no.cent \‘in-e-sent\ adj [ME, fr. MF, fr. L innocent-, innocens, fr. in- + nocent-, nocens wicked, fr. prp. of nocere to harm –– more at NOXIOUS] (14c) 1 a: free from guilt or sin esp. through lack of knowledge of evil : BLAMELESS <an ~ child> b: harmless in effect or intention <searching for a hidden motive in even the most ~ conversation––Leonard Wibberley>; also CANDID <gave me an ~ gaze> c: free from legal guilt or fault; also LAWFULL <a wholly ~ transaction> 2 a: lacking or reflecting a lack of sophistication, guile, or self-consciousness : ARTLESS INGENIOUS b: ignorant <almost entirely ~ of Latin––C.L.Wrenn>; also: UNAWARE <perfectly ~ of the confusion he had created––B.R.Haydon> 3: lacking or deprived of something <her face ~ of cosmetics––Marcia Davenport> –– innocent n–– innocently adv

Dari informasi yang disuguhkan tersebut kita lalu dapat mengetahui etimologi atau sejarah perjalanan bentuk linguistik kata termaksud, yang diketahui dipakai pertama kali di abad ke-14 pada periode Bahasa Inggris Tengahan, dan dicatat merupakan hasil serapan dari Bahasa Prancis Tengahan, yang pada gilirannya memungutnya dari Bahasa Latin. Dari definisi makna yang diberikan terlihat bahwa dalam Bahasa Indonesia kata innocent oleh kamus dwibahasa umumnya hanya diartikan tidak bersalah dan tidak berdosa serta juga tidak merusak (untuk kasus innocent amusement), sedangkan kisaran makna yang disediakan oleh korpus Bahasa Inggris ternyata memiliki nuansa yang jauh lebih luas lagi.

Salah satu kekuatan korpus yang dihimpun untuk menyusun Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary adalah dimuatnya kutipan langsung pernyataan yang dibuat oleh pengarang dan budayawan terkenal. Dengan demikian maka contoh nyata buah kebijakbestarian berupa kata-kata mutiara yang disuarakan oleh para tokoh ‘pembuat bahasa dan pemicu pacu budaya’ bangsanya menjadi tersedia untuk disimak dan dijadikan panutan, seperti tersaksikan lebih lanjut dalam contoh-contoh berikut:

ahold \e.‘hold\ n [prob. fr. the frase a hold] (1872) : HOLD < if you could get ~ of a representative –– Norman Mailer >
conk vi [prob. imit.] (1918) 2 c: DIE < I caught pneumonia I almost ~ed –– Truman Capote >
fit vb (1586) 1 b archaic : to be seemly or proper for it < it ~s us then to be as provident as fear may teach us –– Shakespeare >
fructify vb (14c) to bear fruit < its seeds shall ~ –– Amy Lowell> <no partnership can ~ without candoron both sides –– D.M. Ogilvy >
gender n (14c) 1 : SEX < black divinities of the feminine ~ –– Charles Dickens >
perspective n (1563) 2 a : POINT OF VIEW < tend to view most issues from a liberal ~ –– G.R. Rosen > b: the capacity to view things in their true relations or relative importance < urge you to maintain your ~ and to view your own task in a larger framework –– W.J. Cohen >
rave vb \‘rav\ 2: to move or advance violently: STORM < the iced gusts still ~ and beat –– John Keats >
whispering adj (1547) 2 : spreading confidential and esp. derogatory reports < ~ tongues can poison truth –– S.T. Coleridge >

Salah satu keunikan lain Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary tersaksikan dari disajikannya catatan pendek yang diberi bertajuk usage (berarti ‘pola pemakaian’) pada beberapa lema yang dianggap bermasalah. Sebagaimana diketahui, misalnya, kata loan umumnya diklasifikasikan orang sebagai nomina, tetapi ternyata bahwa kata itu bisa pula difungsikan sebagai verba transitif. Oleh karena itu dirasakan keperluannya untuk menambahkan catatan berikut: “Most recent commentators accept the use of loan as a verb as standard. It has been in use at least since the time of Henry VIII, and became widely used in the US. About 100 years ago a prominent American critic denounced the use, apparently basing his objections on a misunderstanding of Old English. Even though they are based on a mistake, these same objections may still be heard today.” Dari cuplikan kasus tersebut agaknya jelas bahwa tanpa adanya dukungan korpus yang terandalkan jumlahnya dalam variasi waktu dan pemaknaannya, catatan amat berharga seperti itu tidaklah mungkin dapat dihadirkan.

Akibatan tak Tergunakannya Korpus

[sunting]

Kelemahan mendasar pada penyusunan ratusan kamus bahasa yang terbit dalam enam dasawarsa terakhir di Indonesia adalah tidak digunakannya korpus secara bertaat asas, karena mungkin memang belum tersedia secara memadai. Sebagai akibatnya penggarapannya tidaklah didasarkan pada contoh nyata bahasa yang hidup di masyarakat, dan identitas objeknya adakalanya meragukan karena tidak didukung oleh data dan informasi yang terdokumentasi. Penyusunan Kamus Indonesia–Inggris: An Indonesian–English Dictionary susunan John M. Echols & Hassan Shadily yang direvisi dan disunting oleh John U. Wolff & James T. Collins (1989) mungkin merupakan perkecualian. Dari prakata penyunting edisi ketiga kamus tersebut terbaca bagaimana penyempurnaan perevisiannya telah dikerjakan berdasarkan sejumlah besar kumpulan catatan berisi kutipan-kutipan langsung yang disiapkan oleh pengarang aslinya. Kemudian ditambahkan pula sumber kutipan yang tak terhitung jumlahnya yang diekstrak dan diindeks dari 20 novel karya berbagai sastrawan Indonesia oleh Prof. Dr. Rufus Hendon dari Universitas Yale, serta catatan-catatan lain yang dikumpulkan oleh para penyumbang data dan informasi sukarela. Dapatlah dimengerti jika pada saat ini buku tersebut merupakan kamus dwibahasa terbaik yang laku keras di Indonesia. Karena corak isinya yang merupakan lawan kamus maka sifat penyusunan tesaurus seperti buku Tesaurus Bahasa Indonesia tidaklah mungkin dilakukan tanpa menggunakan kumpulan menggunung kertas berukuran A6 (atau seperempat A4) berisi catatan kata-kata bersinonim seperti diakui sendiri oleh Endarmoko (2006: xii) sebagai pengarangnya.

Pada pihak lain, penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa pada umumnya juga tidak didasarkan pada dukungan korpus, sebab penggarapannya diakui telah dikembangkan dari kamus-kamus pendahulunya, terutama Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta. Sebagai akibatnya, contoh pemakaian yang disajikan kamus tersebut umumnya tidak didasarkan pada rekaman bahasa yang hidup di masyarakat yang mapan terdokumentasi, kecuali untuk peribahasa yang sebagian besar memang sudah dibukukan secara tersendiri. Dapatlah dimengerti jika lema belida, misalnya, sampai edisi III masih didefinisikan sebagai ikan laut, karena Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dijadikan sumber memang menuliskannya demikian. Padahal banyak tulisan para ahli perikanan Indonesia yang secara jelas sudah merekam bahwa ikan bernama ilmiah Notopterus chitaladan merupakan bahan utama pembuat pempek Palembang yang terkenal itu merupakan ikan sungai yang di hilirnya dapat berair payau. Kesalahan identitas ini baru diperbaiki dalam edisi IV Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa; akan tetapi amat disayangkan bahwa dalam proses perbaikan tersebut peribahasa terkenal "apa yang kurang pada belida, sisik ada tulang pun ada" menjadi terhapus. Padahal pencantuman peribahasa merupakan salah satu keunikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai gudang penyimpan kekayaan khazanah Bahasa Indonesia. Selanjutnya merupakan keanehan pula jika definisi lema pempek Palembang tidak menyebutkan secara tegas dipakainya ikan belida sebagai bahan utamanya, walaupun harus diakui bahwa memang banyak pempek (terutama yang diproduksi di luar Palembang) yang sekarang dibuat dengan menggunakan jenis ikan lain.

Gatot yang merupakan makanan khas Jawa didefinisikan sebagai ‘penganan kukus, dibuat dari gaplek yang disayat kecil-kecil memanjang kemudian direbus dan dicampur dengan gula, dimakan dengan parutan kelapa’. Selain terasa aneh bahwa gaplek yang kering itu masih bisa disayat kecil-kecil (sebab kalau yang dimaui sebagai bahan adalah sayatan ubi kayu maka penyayatannya dilakukan ketika ubinya masih segar jadi sebelum dijemur), definisi yang diberikan baru berisi separuh kandungan konsep yang diemban kata gatot. Beberapa terbitan hasil penelitian mencatat adanya bentuk gatot lain, yang dibuat dari gaplek yang dihitamkan dengan bantuan fermentasi jamur untuk membuat penganannya menjadi lebih pulen sehingga terasa makin enak dimakannya, dan lebih bergizi kandungan haranya karena rantai karbon tepungnya diperpendek sehingga makin mudah dicernakan.

Plasma nutfah merupakan padanan istilah germplasms yang saya reka dan usulkan pada tahun 1975, yang kemudian ternyata berterima secara luas pemakaiannya karena dianggap lebih baik dibandingkan dengan plasma germa yang sebelumnya diusulkan oleh seorang ilmuwan dalam koran Kompas. Penggunaan kata nutfah––yang secara sempit berarti air mani––sebagai padanan istilah germ memang diilhami oleh sepotong ayat suci Surat Yaasin dalam Al Qur’an, tetapi dimaksudkan untuk digunakan dengan makna yang diperluas sampai dapat berarti gamet secara umum. Peluasan ini dilakukan agar plasma nutfah dapat mengemban konsep ‘substansi yang terdapat dalam setiap kelompok makhluk dan merupakan bahan yang mengatur sifat kebakaan turun-temurun yang diteruskan dari tetua kepada keturunannya melalui gamet’. Tidak digunakannya korpus dalam menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia telah menyebabkan lema nutfah secara mengherankan didefinisikan juga sebagai ‘embrio yang berada dalam biji’. Embrio yang dimaksudkan di sini adalah bentuk tumbuhan belum berkembang atau sporofit muda yang di kalangan biologi, pertanian, dan kehutanan secara populer hampir selalu diacu sebagai lembaga, tetapi setahu saya tidak pernah dengan istilah nutfah!

Karena contoh pemakaian yang diberikan terkesan sering ‘dikarang’ oleh penyusun kamus, terkadang dihasilkan pernyataan yang menggelikan atau bahkan tidak masuk akal. Sebagai ilustrasi, lema membelintangkan yang didefinisikan sebagai ‘meletakkan melintang’ telah disajikan contoh pemakaian ‘beberapa orang telah membelintangkan batang-batang kayu di jembatan yang hampir runtuh itu’. Apakah kegiatan berupa penambahan beban tambahan itu malahan tidak akan membuat jembatannya lalu betul-betul runtuh?

Ketiadaan korpus bahasa memang menyebabkan kita tidak memunyai rekaman data pernyataan langsung yang pernah dibuat para budayawan dan cerdik cendekiawan Indonesia masa lalu dalam menjalani kiprah hidupnya untuk dijadikan bahan baku penyusun sebuah kamus bahasa yang mendokumentasi esensi gerak jiwa dan semangat bangsanya. Padahal mereka inilah pelaku budaya dan pembuat peradaban, yang dengan menggunakan licentia poetica yang dimilikinya sering bermain-main dengan bahasanya untuk mengekspresikan perasaan hatinya secara inovatif untuk kemudian ditiru dan dijadikan panutan oleh masyarakat luas di lingkungannya. Dari merekalah lahir ungkapan penuh makna seperti peluhnya menganak sungai, mulutmu harimau kamu, langkah kanan pembawa keberuntungan, mata bercerlang bak bintang kejora, naik kuda hijau, dan mendapat durian runtuh. Amat disayangkan bahwa tidak terekam siapa yang pertama kali mencetuskan atau menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut, tetapi semuanya sekarang sudah menjadi kosakata umum yang memerkaya corak ragam bahasa sehari-hari manusia Indonesia.

Berkat adanya dokumentasi agak mapan, baru belakangan kita dapat mengetahui siapa yang mengujarkan kata-kata arif penuh kekuatan pengandaian seperti misalnya air mengalir sampai jauh yang menyebabkan almarhum musikus Gesang dibayar Rp 10 juta oleh perusahaan pralon Wavin untuk hak pemakaian sebagai bahan iklan. Adalah raja penyair Indonesia Chairil Anwar yang menyatakan dirinya binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya tetapi berhasrat mau hidup seribu tahun lagi. Pada awal tahun 1950-an penggubah lagu langgam Poniman meminta rembulan untuk menyampaikan salam sambil membisikkan pesan di telinga hati kekasihnya tentang kesungguhan hasratnya dalam mencintainya. Penyanyi kenamaan Ebiet G. Ade menyarankan pada mereka yang sedang dilanda kebingungan oleh peri laku serba janggal kehidupan sosial masyarakat Indonesia agar menggunakan rumput yang bergoyang sebagai tempat bertanya. Sebagian dari kita tentu tersentak ketika mendengar Jenderal Wiranto saat berkampanye dalam pemilihan Presiden Indonesia menyatakan kesediaan dirinya untuk mewakafkan sisa hidupnya buat tanah air tercinta, walaupun ada pakar bahasa yang mengira bahwa penggunaan kata wakaf di sini merupakan suatu kesalahan epistemologi.

Dalam novel Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer (1995) berceritera tentang kegiatan tentara Adipati Unus yang sedang menyiapkan armada kapal perang kayu untuk menyerang Malaka yang pada tahun 1511 sudah dikuasai Portugis. Ia antara lain menulis tentang pembuatan “. . . kapal terbesar, yang akan dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut lima ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar pada haluan dan lambung . . ..” Cetbang adalah istilah yang dipakai Pramoedya untuk mengacu pada meriam sundut yang belum pernah saya jumpai dipakai oleh orang lain. Hanya waktu yang akan menentukan apakah nanti kata yang diciptakan penulis kondang ini akan pernah masuk menjadi lema sebuah kamus, yang peluangnya sangat kecil jika korpus tidak pernah dibuat untuk merekam dan mendokumentasikan keberadaannya.

Jika korpus yang diekstrak oleh Prof. Dr. Rufus Hendondari 20 novel karya sastrawan Indonesia telah membantu penyusunan Kamus Indonesia–Inggris: An Indonesian–English Dictionary sampai membuatnya menjadi buku laris, tak terbayangkan peningkatan mutu yang bisa dicapai oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia seandainya ratusan karya terbaik budayawan bangsa Indonesia terkerahkan sepenuhnya untuk mendukung penulisannya. Yang jelas kekurangan dan kelemahan yang disebutkan dalam cuplikan contoh di atas akan mudah diatasi sehingga data yang bakal disajikan dijamin keakuratannya oleh adanya dukungan data dan informasi yang terdokumentasi.

Pengadaan korpus yang dilakukan dengan mapan, dan penggunaannya secara bertaat asas dilakukan dalam menyusun kamus, akan dapat menjelaskan mengapa kata canggih sebagai padanan sophisticated tidak digunakan dalam menerjemahkan Al Qur’an yang diterbitkan Kementerian Agama pada tahun 1971. Padahal ada ayat-ayat suci Al Qur’an yang berkonotasi penuh kemuskilan yang akan lebih mudah dipahami jika seandainya digunakan istilah canggih dalam menerjemahkannya. Sayangnya memang baru 12 tahun kemudian kata itu dijadikan lema dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa pada tahun 1983.

Kata sintas yang saya rekayasa pembentukannya pada tahun 1997 sebagai padanan istilah survive yang banyak dipakai dalam komunikasi mengenai evolusi makhluk, baru dijadikan lema edisi III Kamus Besar Bahasa Indonesia yang terbit tahun 2001. Penyajiannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi IV adalah sebagai berikut:

sin.tas a terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya;
pe.nyin.tas n orang yang mampu bertahan hidup

Jika dilakukan pembandingan dengan penyajian padanannya yang dilakukan oleh Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary akan tersaksikan perbedaan kedalaman dan ketuntasan penanganannya, terutama karena digunakannya korpus seperti terlihat pada tampilan berikut:

sur.vi.ve \ser-‘viv\ vb sur.vived; sur.viv.ing [ME surviven, fr. MF survivreto outlive, fr. L supervivere, fr. super + vivereto live –– more at QUICK] vi(15c) 1 : to remain alive or in existence : live on 2 : to continue to function or prosper – vt 1 : to remain alive after the death of <his son survived him> 2 : to continue to exist or live after <survived the earthquake> 3 : to continue to function or prosper despite : WITHSTAND –– sur.vi.vor \-‘vi-ver\ n

Keunggulan hasil penggarapan oleh Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary makin meningkat karena kepada kita masih disuguhkan sekumpulan lema terkait, seperti survivable adj (1955), survival n (1598), survivalist n (1970), survival of the fittest (1864), survivance n (1623), surviver n archaic (1602), survivorship n (1625), masing-masing lengkap dengan data dan informasi lain serta definisinya yang semuanya dilakukan bersumberkan korpus yang mapan. Dengan demikian kita bisa mengikuti kemajuan perjalanan pengembangan kata survive yang pertama kali dipakai di abad ke-15 itu, sampai kemudian diusulkannya bentukan baru pada tahun 1955, dan perkembangan terakhir yang dialaminya pada tahun 1970. Walaupun tidak tuntas benar, sesungguhnya kita pun dapat pula melakukannya sebab dalam khazanah kepustakaan biologi dalam Bahasa Indonesia terdapat tulisan Dr. Boen S. Oemarjati (2006) yang antara lain berbunyi: “Dari segi pemberlanjutan, keanekaragaman justru merupakan sumber ketersintasan (survivability), yang kemudian menjadi dasar kesintasan (survivorship), serta akan menandai sintasan (survival) dan penyintasnya (survivor).”

Tetapi karena penyediaan korpus belum tergarap, dan penggunaannya dalam penyusun kamus belum dibudayakan di Indonesia, hasil yang diperoleh seperti tersaji dalam kamus terbitan Indonesia setakat ini memang belum optimum.

Pengalaman Menyusun Kamus Batik

[sunting]

Ketika di awal tahun 2013 diminta oleh Pusat Bahasa untuk menyusun sebuah kamus batik, semula saya mengira bahwa kegiatannya akan dapat mudah diselesaikan dengan hanya mengekstrak dari lema kamus umum, lalu menambahkan glosari yang terkandung dalam beberapa buku batik yang ada. Akan tetapi kesimpangsiuran istilah yang dipakai orang, ketidaktepatan definisi yang terkesan saling bertentangan, berlainannya pemaknaan suatu konsep yang sama oleh berbagai penulis berbeda karena tidak saling mengacu untuk membandingkannya, mengharuskan dilakukannya penelaahan yang lebih saksama dan mendalam. Saya segera merasakan kesulitan besar yang akan dialami oleh ketiadaan korpus untuk mendapatkan rekaman data dan informasi terdokumentasi, terutama dalam menghadapi beberapa istilah tua usia yang hampir tak pernah lagi ditulis orang tetapi masih terus terpakai dalam praktik. Bahkan masalah langsung muncul dalam menghadapi istilah ‘batik’ itu sendiri, karena definisi lema batik yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (‘kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu’) tidak banyak membantu. Kesulitan makin meningkat karena dipakainya pendekatan pendefinisian yang bersifat indikatif dan bukannya informatif, seperti digunakannya kata ‘khusus’ dan ‘tertentu’ yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Sebagaimana halnya dengan kebanyakan lema yang lain, definisi batik yang diberikan oleh Pusat Bahasa (2008) itu telah didasarkan pada batasan yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1953) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang merupakan sumber induknya, yang selengkapnya berbunyi ‘kain dan sebagainya yang bergambar (bercorak, beragi) yang pembuatannya dengan cara yang tertentu (mula-mula ditulis atau ditera dengan lilin lalu diwarnakan dengan tarum dan sogan)’.

Seandainya tersedia korpus lengkap untuk digunakan saat Pusat Bahasa menyusun definisi tersebut, pasti akan dijumpai catatan-catatan yang menunjukkan sudah adanya ketentuan tertulis dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), dan juga tercapainya kesepakatan di kalangan Yayasan Batik Indonesia, yang menentukan bahwa dalam mendefinisikan batik maka aspek pewarnaan celup rintang yang menggunakan lilin batik sebagai bahan perintangnya harus mendapat penekanan. Berdasarkan petunjuk tersebut, dan dengan mengakomodasi kemungkinan perkembangan teknologi yang akan melahirkan inovasi baru di masa mendatang, kata batik haruslah diartikan sebagai 1) kain dengan ragam hias yang diperoleh melalui pewarnaan rintang dengan menggunakan cairan lilin batik untuk menutupi bagian yang tak ingin terwarnai, dan juga 2) teknik serta proses pewarnaan rintang kain dengan menggunakan cairan lilin batik untuk menutupi bagian ragam hias yang tak ingin terwarnai.

Ketiadaan korpus tentang batik telah ‘memaksa’ saya untuk menelaah langsung ratusan artikel yang terbit secara terserak di berbagai media massa, termasuk informasi yang ditawarkan orang melalui daring, serta membacai sekitar 150 buku yang sudah ditulis orang dalam dan luar negeri tentang batik. Berdasarkan kegiatan pendalaman itu lalu dibuat pelbagai macam catatan yang diduga bakal diperlukan dalam kegiatan penyusunan kamus batik yang sedang dikerjakan. Secuplikan masalah yang dijumpai seperti diulas berikut ini merupakan ilustrasi kemanfaatan besar yang dapat disediakan oleh korpus.

Cituar adalah istilah yang direkam dari daerah Tasikmalaya hampir seabad yang lalu oleh Jasper & Mas Pirngadie (1916), yang sekarang rupanya telah menjadi usang sehingga tidak pernah ditemukan lagi dalam tulisan-tulisan mutakhir. Dengan menyimak apa yang dijelaskan oleh kedua penulis tersebut, dapatlah direkonstruksi pengertian konsep cituar sebagai ‘salah satu macam loyor tempo doeloe di Tasikmalaya, yang merupakan campuran minyak jarak dan minyak kacang tanah (atau minyak nyamplung, atau minyak klenteng, atau minyak wijen––tetapi tidak pernah minyak kelapa) serta air landa merang, yang dipakai untuk mengetel mori.’ Karena kemanfaatan konsep tersebut dalam dunia pembatikan masa kini dirasakan agak terbatas, masih dipertimbangkan keperluan memasukkan istilah ini sebagai sebuah lema dalam kamus batik modern.

Selanjutnya Jasper & Mas Pirngadie (1916) juga mencatat ‘ngroedjak’ sebagai sebuah istilah tua usia dalam Bahasa Jawa di dunia pembatikan tempo doeloe, yang berarti ‘mengelowong dengan membubuhkan lilin batik secara bebas dan langsung pada mori polos, jadi tanpa mengikuti sketsa atau gambar kerangka motif yang sudah dipersiapkan sebelumnya’. Istilah yang dapat diindonesiakan dengan merujak––yang merupakan sebuah verba––tidak dicakup saat penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa menangani lema rujak. Karena belum tersedianya korpus yang memadai tentang rujak, kata itu hanya diklasifikasikan sebagai sebuah nomina. Padahal di lapangan sering juga terjumpai penggunaan rujak sebagai verba (‘dia merujak mangga muda dan kangkung rebus dengan menggunakan kuah yang dibumbui petis ikan’; ‘di Madura kerai biasa dirujak sebagai pengganti mentimun’).

Dalam menjelaskan lema gandarukem, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa mengulang kandungan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang mendahuluinya, yang rupanya mendasarkan definisinya pada keterangan tidak langsung yang disediakan oleh buku De Nuttige Planten van Nederlandsch Indiekarya Heyne (1927). Oleh karena itu definisi yang ditulisnya berbunyi ‘pohon yang menghasilkan damar untuk lem, patri, dan sebagainya, Colophonium’. Secara tidak tepat, istilah yang terakhir––colophony dalam Bahasa Inggris, yang sebenarnya merupakan nama bahan kimia oleoresin yang dihasilkan oleh pohon pinus atau tusam––dikira nama ilmiah tumbuhannya padahal nama Latinnya yang tepat untuknya adalah Pinus merkusii. Karena gandarukem merupakan bahan penting dalam dunia pembatikan, untuk keperluan kamus batik yang sedang disusun digunakanlah data dan informasi yang lebih akurat untuk menghasilkan definisi baru yang berbunyi ‘massa padat yang merupakan residu penyulingan getah pohon tusam Pinus merkusii saat diambil terpentinnya; banyak dipakai sebagai ramuan pembuatan lilin batik untuk lebih meningkatkan daya lekatnya pada permukaan kain.’

Istilah rowe saya dengar pertama kali pada tahun 2010 ketika sedang menyaksikan sebuah pameran batik Jawa Timur di Surabaya. Berdasarkan informasi yang diperoleh saya lalu mencatat bahwa istilah itu digunakan untuk menjelaskan corak tampilan garis-garis pada motif batik dari daerah Tulungagung yang secara khas digambarkan dengan deretan titik-titik. Kata wantu merupakan istilah dari daerah pembatikan di Blora yang dicatat oleh Drs. Hamzuri (1981) untuk menjelaskan air panas––yang wadah perebusannya didasari daun pepaya (Carica papaya) dan daun bambu (Gigantochloa apus) atau merang padi (Oryza sativa)––yang dipakai untuk membilas mori yang baru habis dicuci untuk menghilangkan kanji appretmassanya. Karena besarnya makna kepentingannya dalam pembatikan, kedua istilah rowe dan wantu tersebut merupakan kandidat untuk dijadikan lema dalam kamus batik yang sedang dipersiapkan.

Kerumitan memesona batik-batik indah karya Nyonya Kwee Tjoen Giok (yang kemudian menggunakan nama bergaya Eropa Nyonya Nettie Kwee) istri pembatik kawakan Oei Soe Tjoen dari Kedungwuni Pekalongan, secara gamblang diungkapkan oleh penulis Ishwara, Yahya & Moeis (2011) dalam buku Batik Pesisir Pusaka Indonesia dengan kata-kata “. . . pinggiran kain (sered) dan seluruh motif pada bagian kepala diberi grandil. Pengerjaan grandil yang berbentuk seperti kait memerlukan keterampilan dan ketekunan yang luar biasa . . ..” Berdasarkan bahan korpus ini, dan dengan menyimak gambar serta juga mengamati langsung kain batiknya, dapatlah grandil didefinisikan sebagai ‘hiasan renik yang diberikan pada sisi luar garis-garis motif, berupa deretan kait renik atau ukel sangat kecilnya serta serba halus yang pengerjaannya menuntut keterampilan, ketelitian, kecermatan, ketekunan, dan kesabaran luar biasa; diketahui hanya pernah dibuat oleh Nyonya Kwee Tjoen Giok atau Nettie Kwee istri pembatik kawakan Oei Soe Tjoen dari Kedungwuni Pekalongan’.

Sawunggaling tidak merupakan lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa karena kata itu merupakan nama seorang pemuda desa tokoh ceritera rakyat Pasundan, yang diriwayatkan berhasil menyelamatkan negaranya sehingga dikawinkan dengan putri raja. Dalam perjalanan waktu, tokoh tersebut lalu dikaitkan dengan kesenian ronggeng gunung di daerah Ciamis. Ia konon memiliki ayam sabung jagoan yang dikisahkan sebagai hasil persilangan antara ayam hutan dan burung merak, yang juga terkenal dengan sebutan sawunggaling. Pemakaian stilasinya dalam pembatikan dipopulerkan oleh almarhum Panembahan Go Tik Swan Hardjonagoro berdasarkan praktik orang Bali, kemudian dikembangkan secara besar-besaran oleh maestro batik Iwan Tirta menjadi ragam hias yang anggun dan memukau. Pengejawantahan sawunggaling dalam pembatikan terkesan dipengaruhi oleh feng huang atau burung hong Tionghoa yang dulu sangat popular di kalangan pembatik Peranakan di Lasem. Sebagai akibatnya bulu-bulu sayap sawunggaling sering digambarkan terurai dan kaku serta berujung tajam, sedangkan bulu ekornya yang menjurai diberi bermata seperti dijumpai pada ekor burung merak. Sekarang sawunggaling merupakan salah satu pola batik yang dicirikan oleh kepemilikan ragam hias besar-besar stilasi burungnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa lema sawut hanya didefinisikan sebagai ‘penganan yang dibuat dari singkong yang diparut kasar kemudian dikukus sampai masak, dimakan dengan kelapa parut dan sebagainya.’ Padahal dalam dunia pembatikan istilah sawut sangat terkenal untuk mengacu pada isen-isen latar terdiri atas jajaran garis-garis pendek yang ditata rapat-rapat. Selanjutnya ujung tiap-tiap garis tadi adakalanya dilengkapi dengan sebuah titik untuk menghasilkan bentuk isen-isen lain yang disebut cecek sawut.

Novel Canting karya seniman Arswendo Atmowiloto (1986) berisi kisah drama keluarga seorang bangsawan Surakarta yang memiliki Pabrik Batik Canting dengan pekerja 120 orang, yang produknya diperjualbelikan di Pasar Klewer. Seperti dapat diperkirakan, dalam perjalanan waktu perusahaannya mengalami pasang surut, sampai akhirnya Subandini Dewaputri Sestrokusuma––sang wirawati (atau heroine) novel yang oleh lingkungannya selalu disebut Ni––terpaksa “. . . menerima kenyataan bahwa usahanya kini sekadar menjadi pabrik sanggan, pabrik yang menerima pekerjaan dari perusahaan batik milik perusahaan lain . . ..” Sebagai sebuah kutipan yang wajib diambil untuk keperluan korpus, istilah yang diciptakan Arswendo Atmowiloto tersebut perlu dijadikan lema kamus batik. Istilah perusahaan batik sanggan mampu menampung konsep bentuk perusahaan yang hanya menghasilkan batik dalam jumlah besar untuk keperluan perusahaan lain, yang kemudian akan menjualnya atas namanya sendiri, sebuah perusahaan berjaya yang menampung produk perusahaan(-perusahaan) anonim yang kurang beruntung sehingga tidak berani memberi label atau merek dalam memasarkan produknya.

Ketika menceriterakan ketangguhan batik Laweyan sejak dulu kala dalam surat kabar Kompas terbitan tanggal 1 Oktober 2013, Cornelius Helmy (2013) antara lain menyatakan bahwa batiknya kebanyakan “. . . dibuat dengan teknik smok, menggunakan canting dan kuas . . ..” Pernyataan ini merupakan contoh kutipan korpus yang kalau informasinya akan dijadikan lema kamus masih memerlukan pengecekan dengan melakukan pekerjaan lapangan lebih lanjut di Laweyan, untuk mendapatkan keterangan tambahan apakah dalam teknik smok itu kuasnya dipakai untuk membubuhkan lilin batik, atau untuk memberikan warna pada kainnya. Berdasarkan kasus-kasus yang dialami saat membuat definisi lema-lema yang terkait pada batik, terlihat bahwa penyusunan kamus berdasarkan dukungan korpus lengkap akan lebih memuaskan hasilnya dibandingkan dengan lema dalam kamus umum ataupun glosarium yang terdapat dalam buku-buku batik yang ada. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengadaan korpus merupakan suatu kemutlakan dalam kegiatan penyusunan sebuah kamus untuk bisa menghasilkan kamus yang isinya terandalkan.

Penutup

[sunting]

Karena diyakini bahwa di masa depan Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa penting di kawasan Asia Tenggara, penyusunan sebuah kamus Bahasa Indonesia yang lebih definitif dibandingkan dengan kamus-kamus yang sudah ada agaknya perlu mulai dipikirkan dari sekarang. Sebagai tindak lanjutnya kemudian perlu dirancang dan direncanakan tahap-tahap pelaksanaan dengan lebih matang dan terperinci yang harus dijadwalkan untuk makan waktu berjangka panjang (katakanlah 10–15 tahun). Untuk keperluan itu kita harus berani berpikiran besar buat menghasilkan sebuah induk atau babon kamus yang nantinya dapat disejajarkan dan dipertandingkan dengan The Oxford English Dictionary atau Webster’s Third New International Dictionary sebagai sasaran kemapanan pelaksanaan dan keberhasilan upaya pengembangan dan pembinaan Bahasa Indonesia, yang sebenarnya merupakan raison d’etre pembentukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Belajar dari keberhasilan proses penggarapan Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, langkah awal yang harus dan dapat dikerjakan sekarang adalah mulai menghimpun korpus yang mutlak akan sangat diperlukan nanti. Kita mungkin tidak perlu malu untuk menggunakan kamus populer yang terkenal itu sebagai model keluasan cakupan isi setiap lemanya, tetapi dengan tekad akan terus mencari peluang untuk mengembangkannya secara inovatif sesuai dengan tuntutan kekhasan Bahasa Indonesia (misalnya dengan terus memasukkan peribahasa, untuk ditambah dengan penanganan segala ungkapan bahasa yang bakal tersaring dan tertangkap selama berlangsungnya kegiatan pengumpulan korpus nanti). Sejalan dengan kemajuan zaman modern yang kita masuki, segala kemudahan teknologi harus dimanfaatkan seluas-luasnya dalam membangun korpus bahasa termaksud, sehingga penggunaan mesin pemindai (scanner) untuk mengekstrak kutipan dari ribuan naskah tulisan tangan dan dokumen tercetak haruskah dikerahkan dari awal karena sistem pencatatan dengan memakai kartu mungkin sudah harus diganti sepenuhnya dengan pendekatan elektronik. Tersedianya pelbagai bentuk data dan informasi kebahasaan yang sudah tersedia dan bisa diunduh dari berbagai sumber melalui daring elektronik akan memudahkan kegiatan pengumpulan korpus yang diperlukan oleh tenaga perkamusan yang dilibatkan dan ditugasi khusus untuk menangani kegiatan yang terkait dengannya. Dalam kaitan ini kita sudah harus berani bermimpi untuk membuat kamusnya sangat interaktif––sehingga mungkin bisa tumbuh dengan sendirinya seperti Wikipedia yang mulai menggusur sumber penyedia informasi mapan seperti kamus elektronik Encarta ataupun ensiklopedia tercetak–– walaupun semuanya harus terjadi di bawah pengawasan kendali yang ketat. Untuk itu kita barangkali sudah pula harus membayangkan bahwa buku yang akan dihasilkan nanti tidak akan ada bentuk tercetaknya.

Sesuai dengan kemajuan teknologi informasi yang akhir-akhir ini melanda dunia komunikasi, maka korpus yang sudah berhasil dikumpulkan seyogianya dapat segara diunggah dalam daring elektronik sehingga langsung mudah diakses oleh semua orang yang berhasrat memanfaatkannya. Dengan demikian, dari awal kegiatan maka para pelajar yang sedang membuat pekerjaan rumah, mahasiswa yang tengah menyusun skripsi, ataupun ilmuwan yang lagisibuk menulis artikel ilmiah pasti akan terbantu dalam mengecek bahwa pemilihan kata, penataan frasa, pemisahan klausa, ataupun pembuatan kalimatnya semuanya sesuai dengan kaidah bahasa yang dibakukan. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa mutu karya kecendekiaan mereka akan meningkat secara lebih meyakinkan. Di dunia maya korpus Bahasa Inggris baik yang untu the Queen English ataupun versi American English-nya sekarang sudah tersedia untuk diakses secara cuma-cuma oleh siapa saja. Secara diam-diam rupanya Universitas Katolik Atmajaya Jakarta dan Universitas Negeri Malang sudah mulai menggarap penyediaan korpus bahasa yang sementara baru difokuskan dari sumber dan untuk keperluan kalangan mereka sendiri. Besar harapan kita semua bahwa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa akan segera mengambil langkah awal ntuk memulai pekerjaan raksasa yang diimpikan semua orang ini.