Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

KETERANGAN PEMERINTAH
MENGENAI
PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
DALAM RANGKA KEMBALI KE U.U.D. 1945



Diutjapkan oleh
Perdana Menteri H. Djuanda
dalam rapat pleno Dewan Perwakilan Rakjat
pada hari Senin tanggal 2 Maret 1959 mulai djam 19.30.

Saudara Ketua jang terhormat.

Dengan surat saja tertanggal 21 Pebruari 1959 kepada Dewan Perwakilan Rakjat jang terhormat disampaikan putusan Dewan Menteri jang diambil dalam sidangnja tanggal 19 Pebruari jang baru lalu tentang pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Pemerintah merasa perlu memberikan pendjelasan kepada Dewan Perwakilan Rakjat jang terhormat mengenai putusan Dewan Menteri jang saja sebutkan tadi.

Maka dari itu Pemerintah mengutjapkan terima kasih bahwa kepada saja pada hari ini diberi kesempatan menjampaikan keterangan tentang putusan Dewan Menteri jang penting itu.

Saudara Ketua jang terhormat.

Sebelum mendjelaskan maksud Pemerintah untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang -undang Dasar 1945 itu baiklah kiranja disini saja memperingatkan kepada beberapa bagian didalam Keterangan-keterangan Pemerintah jang diutjapkan dihadapan sidang jang terhormat ini sedjak dibentuknja Kabinet sekarang pada tanggal 9 April 1957.

Dalam Keterangan-keterangan Pemerintah tadi telah digambarkan kesulitan-kesulitan jang dihadapi oleh Negara dan Masjarakat kita semendjak Kemerdekaan Indonesia diakui, pada achir tahun 1949, jang makin lama makin bertambah.

Kesulitan-kesulitan jang saja maksudkan tadi meliputi segala soal pokok dibidang politik, ekonomi-keuangan, militer dan kemasjarakatan. Sebagai usaha untuk menjelesaikan dan mentjegah kesulitan-kesulitan itulah maka Kepala Negara telah mentjetuskan gagasan-gagasan dengan nama „Konsepsi Presiden” dan „Demokrasi Terpimpin” jang dalam taraf pertama telah menghasilkan Kabinet Karya, dan Dewan Nasional, sedang Dewan Perantjang Nasional sedang kita selesaikan.  Saudara Ketua jang terhormat.

 Persoalan jang saja kemukakan diatas tadi telah dibahas setjara mendalam oleh Dewan Menteri dalam suatu sidang chusus, jang diadakan di Istana Presiden di Tjipanas pada tanggal 7 Nopember 1958.

 Pemerintah jakin bahwa pertumbuhan politik sedjak 1949 menundjukkan kelemahan-kelemahan, antara lain terlalu banjaknja partai-partai dan fraksi-fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakjat, tidak adanja stabiliteit pemerintahan , dan penjelewengan-penjele wengan dibidang sosial ekonomi, sehingga Pemerintah jakin pula, bahwa kita harus meninggalkan sistim jang lama dan harus menempuh suatu djalan jang baru.

 Atas dasar alasan dan kejakinan jang demikian itu , maka Dewan Menteri dalam sidangnja di Tjipanas tersebut sampai pada kesimpulan dan menjetudjui prinsip demokrasi terpimpin.

 Adapun arti pokok daripada prinsip demokrasi terpimpin itu ialah sebagai berikut:

 Pembentukan masjarakat adil dan makmur tidak dapat dilakukan dengan demokrasi jang kita praktekkan selama ini, jaitu jang dinamakan demokrasi liberal.

 Demokrasi seperti itu tidak tjotjok dengan kepribadian rakjat Indonesia dan dasar hidup bangsa Indonesia.

 Demokrasi harus mempunjai disiplin dan harus mempunjai pimpinan.

 Dalam pada itu demokrasi adalah alat, dan bukan tudjuan.

 Tudjuan ialah: suatu masjarakat jang adil dan makmur, suatu masjarakat jang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil, sesuai dengan tjita-tjita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai alat, maka demokrasi -- dalam arti bebas berfikir dan bebas berbitjara -- harus berlaku dengan mengenal beberapa batas.

 Batas-batas itu ialah batas kepentingan rakjat banjak, batas kesusilaan, batas keselamatan negara, batas kepribadian bangsa, dan batas pertanggungan-djawab kepada Tuhan.


38  Masjarakat adil dan makmur tidak bisa lain daripada suatu masjarakat teratur dan terpimpin.

 Ekonominja adalah ekonomi terpimpin.

 Djadi masjarakat jang terpimpin adalah masjarakat jang ter ikat kepada batas-batas tuntutan keadilan dan kemakmuran.

 Untuk menjelenggarakan masjarakat jang demikian itu diper lukan suatu pola, dan untuk menjelenggarakan pola itu harus di pergunakan demokrasi terpimpin.

 Dengan demikian, demokrasi terpimpin pada hakekatnja adalah demokrasi penjelenggaraan („werkdemocratie”).

 Adapun jang menjiapkan pola itu adalah Dewan Perantjang Nasional, jang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 80 tahun 1958, dengan bertudjuan hendak menjiapkan rentjana pembangunan jang berdjangka pandjang, meliputi bidang-bidang kemasjarakatan.

 Sebagai konsekwensi daripada pelaksanaan prinsip demokrasi terpimpin itu maka kehidupan kepartaian sebagai alat perdjoangan dan pelaksanaan tjita-tjita bangsa Indonesia, harus ditertibkan dan diatur menurut wadjarnja dalam suatu Undang-undang kepartaian, jang memuat norma-norma dan ethik kepartaian, terutama ditudjukan kepada keselamatan negara dan rakjat Indonesia, seperti telah pernah dikemukakan oleh Musjawarah Nasional jang berlangsung pada bulan September 1957.

 Rantjangan Undang-undang kepartaian jang dimaksud itu kini pun tengah disiapkan oleh Pemerintah.

 Disamping itu kita mengakui pula kenjataan, bahwa masjarakat Indonesia dalam alam kemerdekaan sekarang adalah suatu masjarakat jang tumbuh dan bergerak setjara dinamis.

 Dalam pada itu ternjata, bahwa dalam masjarakat kita jang bergerak itu masih banjak sekali terdapat pertumbuhan kekuatan-kekuatan masjarakat, jang tidak tersalurkan setjara effektif dan parlementer guna kelantjaran roda pemerintahan dan stabilitet politik menudju kearah pembangunan masjarakat dan negara dalam arti jang luas.


39  Jang dimaksudkan dengan kekuatan-kekuatan masjarakat tadi adalah apa jang dinamakan golongan-golongan fungsionil.

 Saudara Ketua jang terhormat,

 Selandjutnja mengenai soal demokrasi terpimpin tersebut telah diadakan pertukaran fikiran antara Presiden dan Dewan Menteri, jaitu berturut-turut pada tanggal 5 Desember 1958 di Bogor, tanggal 15 Djanuari 1959 di Djakarta dan tanggal 26 Djanuari 1959 di Bogor lagi.

 Dapatlah diterangkan bahwa jang hadir melakukan pembitjaraan-pembitjaraan tersebut dengan hati terbuka, sehingga hasil-hasilnja merupakan bahan jang berharga untuk sidang-sidang Dewan Menteri jang diadakan pada tanggal 18 dan 19 Pebruari jang baru lalu, jang mengambil keputusan untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

 Rumusan keputusan Dewan Menteri tentang soal tersebut, jang telah diambil dengan suara bulat, telah disetudjui pula sepenuhnja oleh Kepala Negara.

 Saudara Ketua jang terhormat,

 Baiklah kiranja saja sekarang memberikan sekedar keterangan mengenai keputusan Pemerintah untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu setjara pasal demi pasal.


BAB I: TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR 1945

 Saudara Ketua jang terhormat,

 Tentang Undang-undang Dasar 1945 dalam keputusan Pemerintah tersebut dikemukakan 10 fikiran.

 Pertama : Undang-undang Dasar 1945 merupakan „dokumen historis”, atas dasar mana Revolusi dimulai, dan jang dapat dipakai untuk landasan guna penjelesaian Revolusi pada tingkatan sekarang.  Kita harus berani menkonstatir adanja pertumbuhan negara dan masjarakat jang kurang baik, disebabkan karena terdjadinja penjelewengan-penjelewengan terhadap tudjuan pokok dari Revolusi Nasional kita jang ditjetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945.

 Perlu ditambahkan disini adanja pertentangan-pertentangan pendapat di Konstituante jang mempunjai pengaruh jang tidak bermanfaat pada masjarakat, jang djika dibiarkan terlalu lama akan mendjadi demikian sulitnja hingga tidak mungkin untuk mentjari penjelesaian setjara damai.

 Disamping itu kita semua mengetahui bahwa djuga kalangan Angkatan Bersendjata menjetudjui malahan mengandjurkan „idee” kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

 Kenjataan-kenjataan jang saja sebutkan tadi memperkuat kejakinan Pemerintah, bahwa untuk mengatasi kesulitan-kesulitan jang dihadapi oleh Negara dan Masjarakat semendjak kemerdekaan dan kedaulatan kita diakui pada achir tahun 1949 dan untuk penjelesaian Revolusi kita pada tingkatan sekarang, Undang-undang Dasar 1945 merupakan bahan jang terbaik untuk dipergunakan kembali sebagai landasan.

 Kedua: Undang-undang Dasar 1945 adalah tjukup demokratis dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia: „kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan” (Pembukaan Undang-undang Dasar 1945).

 Mengenai hal ini sekiranja tidak perlu diberikan tambahan pendjelasan.

 Ketiga: Undang-undang Dasar 1945 lebih mendjamin terlaksananja prinsip demokrasi terpimpin.

 Demokrasi terpimpin ialah demokrasi.

 Demokrasi terpimpin itu bukanlah diktatur.

 Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kemasjarakatan, jang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial.  Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 lebih mendjamin terlaksananja prinsip demokrasi terpimpin, antara lain karena ketentuan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 jang disebutkan dalam pokok fikiran jang kedua tadi, jaitu „kerakjatan" ― atau demokrasi ― „jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan”.

 Keempaat: Undang-undang Dasar 1945 mendjamin Pemerintah jang stabil selama 5 tahun (pasal 7) ― lebih dari Undang-undang Dasar Sementara sekarang ― oleh karena kekuasaan Perwakilan Rakjat dibatasi (tidak dapat mendjatuhkan Pemerintah i.c. Presiden) berhubung kekuasaan tertinggi (jaitu kedaulatan rakjat) ada ditangan Madjelis Permusjawaratan Rakjat.

 Hal itu tidak berarti, bahwa pergeseran seorang atau beberapa orang Menteri antar-waktu tidak dapat terdjadi, tetapi pergantian Kabinet dalam keseluruhannja hanja dapat terlaksana sekali dalam djangka waktu 5 tahun.

 Presiden lebih bebas memilih tenaga-tenaga jang baik dan tjakap sebagai pembantu-pembantunja, jaitu sebagai menteri, oleh karena pengaruh partai-partai tidak terlalu mengikat seperti sekarang, dengan adanja imbangan golongan fungsionil.

 Dengan demikian maka dapatlah dikurangi krisis-krisis Kabinet serta pergantian-pergantian Pemerintah, jang senantiasa disertai oleh kegontjangan-kegontjangan didalam negeri serta reflexinja diluar negeri.

 Kelima: Unsur golongan fungsionil dapat dimasukkan dalam:

  1. Dewan Perwakilan Rakjat (pasal 19 Undang-undang Dasar 1945);
  2. Dewan Pertimbangan Agung (pasal 16 Undang-undang Dasar 1945) dan
  3. Madjelis Permusjawaratan Rakjat (pasal 2 Undang-undang Dasar 1945), dimana spesifik disebut utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan (jaitu golongan fungsionil).
 Unsur golongan fungsionil sebagai alat demokrasi, disamping unsur kepartaian, perlu kita akui, karena kita pun harus mengadakan penggolongan warganegara Indonesia menurut tugas pekerdjaannja dalam lapangan produksi dan djasa dalam melaksanakan pembangunan masjarakat jang adil dan makmur, sesuai dengan tjita-tjita Bangsa Indonesia.

 Kedudukan golongan fungsionil telah mendapat pengakuan jang sah dengan adanja Undang-undang No. 80 tahun 1958 tentang Dewan Perantjang Nasional.

 Mengingat pentingnja kedudukan golongan-golongan fungsionil itu didalam masjarakat, maka ada sewadjarnja apabila mereka dimasukkan bersama wakil partai-partai, dalam Dewan Perwakilan Rakjat, Dewan Pertimbangan Agung dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat.

 Untuk menjesuaikan Undang-undang Pemilihan Umum dengan keadaan sekarang, dan dalam pada itu melaksanakan pemasukan golongan-golongan fungsionil itu kedalam Dewan Perwakilan Rakjat, maka pada tanggal 27 Mei 1958 Pemerintah telah membentuk suatu Panitia ad hoc baru urusan Pemilihan umum, jang diberi tugas merantjangkan bagi Dewan Menteri sebuah Undang-undang untuk menjempurnakan Undang-undang No. 7 tahun 1953.

 Bertalian dengan itu dan untuk menjederhanakan sistim kepartaian, bukan untuk membubarkan partai-partai, dibentuklah pula suatu Panitia ad hoc lain untuk merantjangkan bagi Dewan Menteri sebuah Undang-undang tentang Kepartaian.

 Soal memasukkan golongan-golongan fungsionil kedalam Dewan Pertimbangan Agung dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat dapat diatur nanti dalam Undang-undang tentang susunan kedua Badan itu, jang harus dibuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 16 dan 2 Undang-undang Dasar 1945.

 Keenam: Parallel dengan demokrasi terpimpin, maka kebidjaksanaan ekonomi terpimpin didasarkan pasal 33, asal tjukup didjelaskan nanti oleh perumusan-perumusan Dewan Perantjang Nasional.  Untuk memudahkan, saja batjakan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 itu, jang terdiri dari 3 ajat.

 Ajat 1 berbunji: „Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.

 Ajat 2 berbunji: „Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara”.

 Ajat 3 berbunji: „Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat”.

 Pasal itulah jang senantiasa harus dipakai sebagai pedoman dalam pembangunan semesta, jang polanja harus dibuat oleh Dewan Perantjang Nasional, jang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 80 tahun 1958.

 Ketudjuh: Sistim merobah dan menjempurnakan Undang-undang Dasar dalam Undang-undang Dasar 1945 lebih flexibel dan dapat dilakukan setiap waktu amat terasa keperluannja oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat dengan suara ⅔ (pasal 37 Undang-undang Dasar 1945).

 Untuk memudahkan, saja batjakan pasal 37 Undang-undang Dasar 1945 itu, jang terdiri dari 2 ajat.

 Ajat 1 berbunji: „Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang-kurangnja ⅔ dari pada djumlah anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat harus hadir".

 Ajat 2 berbunji: „Putusan diambil dengan persetudjuan sekurang-kurangnja ⅔ dari pada djumlah anggota jang hadir”.

 Kedelapan: Undang-undang Dasar 1945 ini dipertahankan sebagai keseluruhan.

 Pemerintah mengetahui, bahwa dalam Undang-undang Dasar 1945 terdapat ketentuan-ketentuan jang perlu disesuaikan dengan keadaan sekarang, diantaranja ialah Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan. Namun Pemerintah djuga jakin, bahwa dengan menjetudjui diusahakannja perubahan dalam sesuatu ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 harus disetudjui pula usul-usul untuk merubah ketentuan-ketentuan lain, bahkan mungkin semua ketentuan dalam Undang-undang Dasar tersebut.

Dengan demikian maka pembitjaraan mengenai soal kembali ke Undang-undang Dasar 1945 akan berlarut-larut dan memakan waktu dan tenaga jang banjak dan berharga.

Berhubung dengan itu maka Pemerintah akan menjarankan kepada Konstituante untuk menerima Undang-undang Dasar 1945 dalam keseluruhannja dan menangguhkan usaha-usaha untuk menjempurnakannja.

Kesembilan: Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam, berhubung dengan penjelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanja „Piagam Djakarta” tertanggal 22 Djuni 1945, jang ditandatangani oleh Soekarno, Moh. Hatta, A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, A. K. Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim dan Muh. Yamin.

Dengan kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 dimaksudkan untuk mengembalikan seluruh potensi nasional, termasuk golongan-golongan Islam, guna dipusatkan kepada penjelesaian soal-soal keamanan dan pembangunan diseluruh bidang.

Kesepuluh: Perubahan, tambahan dan penjempurnaan Undang-undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan dengan melalui djalan pasal 37 Undang-undang Dasar 1945, jaitu oleh Madjelis Permusjawaratan Rakjat.

Sebaiknja hal ini baru dilakukan setelah beberapa tahun berlaku dan setelah tertjapainja stabilisasi dilapangan politik dan ekonomi.

Seperti dikemukakan terlebih dahulu maka Pemerintah berpendapat sejogianja kita sekarang menerima Undang-undang Dasar 1945 sebagai keseluruhan, tanpa perubahan, tambahan atau penjempurnaan. Sesudah itu diusahakan pembuatan beberapa Undang-undang tentang Alat-alat Perlengkapan Negara, jang susunannja menurut Undang-undang Dasar 1945 harus diatur dengan Undang-undang.

Disamping itu diambil tindakan-tindakan untuk mentjapai stabilisasi dilapangan politik dan ekonomi, dengan memperhatikan rentjana-rentjana jang dibuat oleh Dewan Perantjang Nasional.

Baru sesudah itu semua berlangsung, maka diusahakan perubahan, tambahan dan penjempurnaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945, dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman jang diperoleh selama beberapa tahun berlakunja Undang-undang Dasar 1945 tersebut, dan untuk menjesuaikannja dengan keadaan pada waktu jang akan datang nanti.

Dalam pada itu harus ditempuh djalan jang ditentukan dalam pasal 37 Undang-undang Dasar 1945, jaitu melalui Madjelis Permusjawaratan Rakjat, jang menurut pasal 1 dan pasal 2 Undang-undang Dasar 1945 melakukan sepenuhnja kedaulatan rakjat serta menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan Negara.

BAB: TENTANG PROSEDUR „KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR 1945”

Saudara Ketua jang terhormat,

Tentang prosedur „kembali ke Undang-undang Dasar 1945” dalam keputusan Pemerintah tertanggal 19 Pebruari 1959 dinjatakan, bahwa usaha itu harus dilakukan setjara konstitusionil, sedang dalam pada itu dikemukakan 7 pokok-fikiran sebagai berikut:

Pertama: Setelah terdapat kata sepakat antara Presiden dan Dewan Menteri, maka Pemerintah minta supaja diadakan sidang pleno Konstituante.

Seperti telah saja katakan terlebih dahulu dalam uraian ini, maka putusan Dewan Menteri, jang diambil dengan suara bulat dalam sidangnja pada tanggal 19 Pebruari jang baru lalu, telah disetudjui sepenuhnja oleh Kepala Negara.

Selandjutnja dapatlah diterangkan disini, bahwa telah tertjapai pula persetudjuan untuk mengadakan pertemuan antara Panitia Permusjawaratan Konstituante ― termasuk Ketua dan para Wakil Ketua Konstituante ― dengan Pimpinan Dewan Menteri, jaitu Perdana Menteri dan para Wakil Perdana Menteri, jang dalam hal ini akan dibantu oleh Panitia ad hoc Kabinet urusan Konstituante dan Konstitusi, jang terdiri dari Wakil Perdana Menteri I sebagai Ketua, Wakil Perdana Menteri III, Menteri Kehakiman, Menteri Agraria, Menteri Urusan Veteran dan Menteri Negara Prof. Mr H. Muh. Yamin sebagai Anggota-anggota.

Pertemuan tersebut akan diselenggarakan pada hari Djum'at tanggal 6 Maret jang akan datang mulai djam 08.30 pagi di Gedung Konstituante di Bandung, dan diadakan untuk membitjarakan bersama serta menggariskan djalan dalam merealisasi andjuran Pemerintah untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Pemerintah berharapan supaja dalam pertemuan itu dapat ditentukan bila sidang pleno Konstituante dapat diadakan.

Kedua: Atas nama Pemerintah disampaikan oleh Presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara kepada Konstituante, jang berisi andjuran supaja Undang-undang Dasar 1945, ditetapkan.

Adalah sewadjarnja, bahwa amanat Presiden jang demikian pentingnja, diutjapkan dalam suatu sidang pleno Konstituante.

Menurut pasal 134 Undang-undang Dasar Sementara jang berlaku sekarang, maka „Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnja menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia jang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini”.

Dalam sidang pleno Konstituante jang akan datang Presiden atas nama Pemerintah akan menjampaikan amanat, jang berisikan andjuran untuk menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia, jang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara 1950 jang berlaku sekarang.

Ketiga: Djika andjuran (Presiden) itu diterima oleh Konstituante, maka Pemerintah atas dasar pasal 137 Undang-undang Dasar Sementara „mengumumkan Undang-undang Dasar itu dengan keluhuran”. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam, jang ditanda tangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh Presiden, para Menteri dan para Anggota Konstituante.

Piagam Bandung itu diantaranja memuat ketentuan-ketentuan:

  1. tentang diakuinja Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 sebagai dokumen historis;
  2. bahwa segala hasil Konstituante jang telah tertjapai diserahkan kepada Pemerintah;
  3. bahwa Pemerintah segera membentuk suatu Panitia Negara untuk menindjau segala peraturan-peraturan hukum jang berlaku sampai sekarang dan badan-badan kenegaraan jang ada sampai sekarang, guna disesuaikan dengan Undang-undang Dasar 1945;
  4. tentang berlakunja Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sedjak penandatanganan Piagam Bandung.

Adalah sepantasnja kiranja, apabila pengumuman tentang berlakunja Undang-undang Dasar 1945 dengan keluhuran dan penandatanganan Piagam Bandung itu dilakukan dengan upatjara kenegaraan dan upatjara kebesaran.

Sebagai penghargaan untuk pekerdjaan jang telah dilakukan oleh Konstituante selama ini, maka dalam Piagam Bandung perlu dimuat ketentuan bahwa segala hasil Sidang Pembuat Undang-undang Dasar jang tertjapai sampai pada hari penandatanganan Piagam Bandung tersebut diserahkan kepada Pemerintah.

Hasil Konstituante itu akan merupakan bahan jang berharga untuk usaha menjempurnakan Undang-undang Dasar 1945, jang menurut pendapat Pemerintah sejogianja dilakukan setelah tertjapai stabilisasi dilapangan politik dan ekonomi, dan dimana dimungkinkan untuk ditetapkan dalam Undang-undang organik.

Piagam Bandung selandjutnja memuat andjuran kepada Pemerintah, jang akan dibentuk nanti berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, untuk membentuk suatu Panitia Negara guna menindjau segala peraturan-peraturan hukum jang berlaku sampai sekarang dan badan-badan kenegaraan jang ada sampai sekarang dan menjesuaikannja dengan Undang-undang Dasar 1945.

Dengan ketentuan tersebut dalam Piagam Bandung, dapatlah kiranja sekedar ditampung sesuai dengan keadaan pada dewasa ini beberapa ketentuan dalam Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan daripada Undang-undang Dasar 1945, begitu pula beberapa hal jang termuat dalam Ketentuan-ketentuan Penutup daripada Undang-undang Dasar Sementara 1950.

Achirnja Piagam Bandung hendaknja memuat sesuatu ketentuan tentang berlakunja Undang-undang Dasar 1945 sedjak penandatanganan Piagam Bandung itu bagi segenap bangsa Indonesia.

Keempat: Dengan ditetapkannja Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang Dasar, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar tersebut, sehingga Kabinet Karya harus mengembalikan portefolionja kepada Presiden, jang mengangkat Menteri-menteri menurut pasal 17 Undang-undang Dasar 1945.

Pemerintah berpendapat, bahwa Kabinet Karya, jang dibentuk menurut Undang-undang Dasar Sementara 1950, harus segera menjerahkan mandatnja kepada Kepala Negara, setelah ditandatanganinja Piagam Bandung nanti, jang mengumumkan dengan keluhuran berlakunja Undang-undang Dasar 1945.

Menurut pasal 4 Undang-undang Dasar 1945 maka selandjutnja Presidenlah memegang kekuasaan pemerintahan, dan untuk itu menurut pasal 17 Kepala Negara mengangkat Menteri-menteri untuk membantu Presiden.

Kelima: Kabinet Karya menjiapkan rantjangan Undang-undang Kepartaian dan rantjangan Undang-undang untuk menjempurnakan Undang-undang Pemilihan Umum 1953, untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat sekarang, jang berdjalan terus sampai terbentuknja Dewan Perwakilan Rakjat baru sebagai hasil pemilihan umum.

Seperti telah dikatakan terlebih dahulu dalam uraian saja ini, maka Pemerintah telah membentuk dua Panitia ad hoc untuk menjiapkan kedua rantjangan Undang-undang tersebut, jang selekas-lekasnja oleh Kabinet sekarang akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat untuk disahkan, agar pemilihan umum dapat diselenggarakan pada waktunja.

Selandjutnja, dengan mengingat ketentuan-ketentuan, baik dalam pasal 19 Undang-undang Dasar 1945, maupun dalam pasal 57 Undang-undang Dasar Sementara 1950, maka jang akan menerima kedua rantjangan Undang-undang tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakjat sekarang.

Baik Dewan Perwakilan Rakjat sekarang, maupun Undang-undang Pemilihan Umum 1953 itu menurut pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, „masih langsung berlaku selama belum diadakan jang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, semendjak penandatanganan Piagam Bandung nanti.

Keenam: Baru sesudah pemilihan umum selesai, maka kepada Dewan Perwakilan Rakjat baru diadjukan rantjangan-rantjangan Undang-undang tentang:

  1. pembentukan Dewan Pertimbangan Agung, dengan beranggota djuga wakil-wakil golongan fungsionil;
  2. pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat, jang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan-utusan dari Daerah-daerah dan golongan-golongan (jaitu golongan fungsionil).

Pemilihan Umum jang akan datang akan terselenggara berdasarkan Undang-undang Pemilihan Umum 1953 jang telah diubah dengan suatu Undang-undang nanti, jang rantjangannja kini sedang disiapkan oleh Kabinet Karya sekarang.

Kepada Dewan Perwakilan Rakjat baru itulah oleh Kabinet Presidentil jang akan datang akan diadjukan rantjangan-rantjangan Undang-undang tentang susunan Dewan Pertimbangan Agung dan Madjelis Permusjawaratan Rakjat, jang masing-masing didasarkan atas pasal 16 dan pasal 2 Undang-undang Dasar 1945.

Ketudjuh: Selandjutnja dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut pasal 6 Undang-undang Dasar 1945. Kepala Negara kita sekarang tetap mendjabat Presiden Republik Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan daripada Undang-undang Dasar 1945.

Baru setelah Madjelis Permusjawaratan Rakjat terbentuk dengan Undang-undang, sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 Undang-undang Dasar 1945, maka Madjelis Permusjawaratan Rakjat itu dapat melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan suara jang terbanjak, seperti ditetapkan dalam pasal 6 Undang-undang Dasar 1945.

BAB III : TENTANG MASUKNJA GOLONGAN
FUNGSIONIL KEDALAM D.P.R.

Saudara Ketua jang terhormat.

Tentang masuknja golongan fungsionil kedalam Dewan Perwakilan Rakjat jang akan datang dan tentang penjelenggaraan demokrasi terpimpin Pemerintah telah menjetudjui 7 prinsip pelaksanaan sebagai berikut:

Pertama: Untuk menjehatkan sistim kepartaian, maka harus diadakan penjederhanaan partai-partai, jang akan diatur dengan Undang-undang Kepartaian dan dengan djalan perobahan dan/atau penjempumaan Undang-undang Pemilihan umum, jaitu Undang-undang No. 7 tahun 1953.

Tidak dilakukan pembubaran partai-partai.

Kita menginsjafi bersama, bahwa untuk melantjarkan djalannja roda pemerintahan Negara, perlu dilakukan pelbagai usaha, diantaranja ialah untuk menghapuskan atau setidak-tidaknja mengurangi ekses-ekses dan kesulitan-kesulitan jang timbul dari sistim multi-partai di Indonesia, dan sekali-kali tidak untuk membubarkan partai-partai itu.

Untuk menjehatkan sistim kepartaian kita harus diadakan pembatasan djumlah partai, jang senantiasa menundjukkan tendens meningkat pada saat-saat kita menghadapi pemilihan umum.

Pemerintah senantiasa berharapan melakukan usaha penjehatan sistim kepartaian tersebut dengan djalan konstitusionil dan legal, jaitu dengan menjampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat rantjangan-rantjangan Undang-undang Kepartaian dan Undang-undang untuk merobah dan menjempurnakan Undang-undang Pemilihan Umum 1953, jang telah disebut-sebut beberapa kali dalam uraian saja ini terlebih dahulu.

Selandjutnja, dengan tidak mengurangi penghargaan terhadap djasa partai-partai terhadap Nusa dan Bangsa sebelum Kemerdekaan Indonesia dan terhadap Negara dan Masjarakat dizaman kemerdekaan kita sekarang, Pemerintah berpendapat, bahwa perlu diperhatikan pula golongan-golongan fungsionil, jang tumbuh dan berkembang djuga sebagai kekuatan-kekuatan didalam masjarakat.

Berhubung dengan itu, maka sebagai hasil pemikiran jang sedalam-dalamnja dan jang memakan waktu beberapa bulan lamanja, Pemerintah sampai pada prinsip-prinsip pelaksanaan jang berikutnja.

Kedua: Didalam Dewan Perwakilan Rakjat jang akan dibentuk dengan djalan pemilihan umum jang akan datang akan duduk pula wakil-wakil dari golongan fungsionil dalam masjarakat, disamping wakil-wakil dari partai-partai.

Ketiga: Duduknja wakil-wakil golongan fungsionil termaksud diatas didalam Dewan Perwakilan Rakjat diatur dengan tjara:

  1. memasukkan wakil-wakil golongan fungsionil dalam satu daftar tjalon partai atau kumpulan pemilih dibawah satu bendera dengan partai atau kumpulan pemilih, setjara bergiliran wakil partai, wakil golongan fungsionil, wakil partai, wakil golongan fungsionil dan seterusnja, dengan tidak mempersoalkan lagi djumlah wakil golongan fungsionil sepertiga atau separoh djumlah kursi Dewan Perwakilan Rakjat. Pelaksanaan hak-pilih (penodjosan tanda gambar) dilakukan satu kali;
  2. pengangkatan oleh Presiden/Panglima Tertinggi (termaksud dalam nomor 6).

Keempat: Berhubung dengan ketentuan termaksud dalam nomor 3a, maka dalam penjusunan daftar tjalon, Presiden dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan, dengan pengertian :

  1. Presiden dibantu oleh Front Nasional (baru), jang diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  1. Konsultasi ini diatur dengan djalan musjawarah dan kebidjaksanaan;
  2. Front Nasional berhak mengadjukan daftar golongan fungsionil tersendiri.

Djika kita berfikir dalam suasana demokrasi terpimpin, maka adalah sewadjarnja, apabila kepada Presiden diberikan kesempatan untuk mengemukakan pertimbangan-pertimbangan mengenai daftar-daftar tjalon itu.

Dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan itu Presiden dapat mendengar Front Nasional jang akan dibentuk dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan Front Nasional baru itu tidak dimaksudkan Front Nasional Pembebasan Irian Barat jang ada sekarang.

Konsultasi Front Nasional baru oleh Presiden itu dilakukan dengan djalan musjawarah dan kebidjaksanaan.

Front Nasional berhak mengadjukan daftar tjalon tersendiri untuk golongan-golongan fungsionil jang tergabung didalamnja, tetapi tidak diharuskan mengadjukan daftar tjalon tersebut.

Kelima: Golongan-golongan fungsionil didalam Dewan Perwakilan Rakjat mengadakan kerdjasama sesuai dengan kepentingan Negara dan kepentingan bersama. Di Dewan Perwakilan Rakjat diichtiarkan kerdjasama dibawah bendera golongan fungsionil. Dalam hal ini Front Nasional memberikan bantuan. Segala ichtiar itu dilakukan melalui musjawarah, djadi tidak dengan penetapan atas dasar sesuatu peraturan.

Seperti dirumuskan dalam prinsip pelaksanaan ketiga, maka wakil-wakil golongan fungsionil masuk kedalam Dewan Perwakilan Rakjat melalui satu daftar tjalon jang diadjukan oleh partai atau kumpulan pemilih.

Berhubung dengan itu dan mengingat akan berlakunja „disiplin partai”, maka umumnja wakil-wakil golongan fungsionil akan bekerdja dalam satu fraksi dengan masing-masing partai atau kumpulan pemilih.

Sekalipun demikian, diharapkan dapatnja diusahakan lambat-laun diwaktu jang akan datang kerdjasama antara golongan-golongan fungsionil di Dewan Perwakilan Rakjat, pertama-tama dalam menghadapi kepentingan nasional dan kepentingan bersama, untuk keperluan pembangunan semesta.

Kerdjasama antar-golongan-fungsionil itu dilakukan dengan tjara perundingan, dan dalam pada itu Front Nasional diharapkan memberikan djasa-djasa baiknja.

Keenam: Presiden/Panglima Tertinggi mengangkat Anggota Dewan Perwakilan Rakjat dari golongan Angkatan Bersendjata (A.D., A.L., A.U., Kepolisian, O.K.D. dan O.P.R.). Pengangkatan dan djumlah wakil jang akan diangkat diatur dalam Undang-undang.

Djumlah seluruhnja ditetapkan 35 orang.

Berhubung dengan pengangkatan itu maka Anggota Angkatan Bersendjata tidak lagi menggunakan hak-pilih aktif dan hak-pilih passif.

Tak perlu kiranja dikemukakan disini dengan pandjang lebar peranan Angkatan Bersendjata kita dalam keseluruhannja dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, dalam mempertegak Kemerdekaan Indonesia dimasa sedjak 1945 sampai sekarang dan dalam mempertahankan Negara dan Masjarakat kita dimasa jang akan datang.

Adalah sudah sepantasnja kiranja djika kepada golongan fungsionil ini, jang sudah banjak djasanja dimasa jang lampau dan jang diharapkan djasanja dimasa jang akan datang untuk Negara dan Masjarakat kita, diberikan tempat jang tertentu dalam Dewan Perwakilan Rakjat jang akan datang, jang seimbang dengan peranannja, untuk dapat mengambil bahagian, dalam musjawarah-musjawarah nasional guna menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia.

Untuk memelihara disiplin dan hierarchi dalam Angkatan Bersendjata, maka masuknja wakil-wakil golongan fungsionil ini kedalam Dewan Perwakilan Rakjat sejogianja tidak ditjapai dengan pemilihan umum, melainkan dilakukan dengan pengangkatan oleh Presiden/Panglima Tertinggi, jang harus diatur pula dengan Undang-undang.

Dengan demikian maka Anggota-anggota Angkatan Bersendjata terhindar dari rebutan dalam propaganda partai-partai dan golongan fungsionil, seperti telah terdjadi pada masa jang lampau, sehingga dipengaruhi ideologi Anggota-anggota T.N.I. dan timbul penjimpangan-penjimpangan dari „Saptamarga” Tentara.

Djika seseorang Anggota Angkatan Bersendjata tidak bersedia dengan sukarela melepaskan hak pilih aktif dan hak pilih passifnja, maka ia harus meninggalkan Angkatan Bersendjata.

Ketudjuh: Pembentukan Front Nasional dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah.

Maksud Pemerintah ialah untuk memberikan tugas-tugas lain kepada Front Nasional jang lebih luas daripada jang tersebut dalam prinsip-prinsip pelaksanaan Keempat dan Kelima tadi, jang masing-masing mengenai lapangan pekerdjaannja dibidang pemilihan umum dan aktivitet dalam Dewan Perwakilan Rakjat sadja.

Pemerintah berharapan, bahwa Front Nasional dapat didjadikan alat penggerak masjarakat dengan tjara-tjara jang demokratis, terutama dibidang pembangunan, menudju kemasjarakat jang adil dan makmur, sesuai dengan tjita-tjita bangsa Indonesia.

Karena itu maka pembentukan Front Nasional perlu dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah, pula untuk memungkinkan ikut sertanja dalam pemilihan umum dan memasukkan daftar tjalonnja sesudah adanja Undang-undang Kepartaian.

Saudara Ketua jang terhormat.

Sekianlah pemberitahuan dan keterangan saja tentang keputusan Pemerintah tertanggal 19 Pebruari 1959.

Saja menutup uraian saja ini dengan do'a, semoga dengan melaksanakan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945 itu kita dapat menjelamatkan Negara dan Masjarakat Indonesia dan mempertjepat pembangunan dimasa jang akan datang.

Terima kasih.