Lompat ke isi

Keadilan, bukan Kemakmuran

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Majalah Tempo, 03 September 1977.


IDE-IDE perlu diasah, dan tak cuma sekali.

Lihatlah pengertian tentang "keadilan sosial". Beberapa puluh tahun kita selalu berbicara tentang hal ini. Kini bahkan ia diberi arah yang lebih jelas, dengan istilah "perataan pendapatan". Dan daya tariknya bukan main. Agaknya tidak ada seorang cendekiawan pun di Indonesia kini yang tidak berbicara untuk itu, dan tak ada seorang pejabat tinggi pemerintah pun yang terang-terangan bersedia menolaknya.

Namun tidakkah di balik keramaian suara intelektual yang terdengar itu sebenarnya masih terasa kemiskinan intelektual? Ide-ide terlontar dengan sinar yang panas terang, tapi mungkin belum cukup terasah. Sudahkah kaum cendekiawan kita merasa jelas benar dengan konsep "perataan pendapatan"? Adakah telah terjadi proses penajaman dan pencerahan dalam riwayat gagasan itu? Adakah ide itu bukan sekadar pengulangan dari hal yang kabur?

Nampaknya kita masih memerlukan seorang Socrates yang pandai bertanya. Tradisi kuat dalam pemikiran sosial-politik di Indonesia—dengan atau tanpa kita baca Indonesia Political Thinking yang dihimpun oleh Lance Castle dan Herbert Feith—diwarnai oleh cita-cita tentang "keadilan". Mungkin benar bila seorang rekan pernah berkata bahwa dalam sejarah kita rakyat hanya mendambakan "Ratu Adil", dan bukan "Ratu Makmur": suatu petunjuk bahwa "keadilan" lebih penting ketimbang "kemakmuran". Namun jarang terjadi bahwa semangat itu dipergoki oleh pertanyaan: adakah "keadilan" itu lebih penting ketimbang "kemerdekaan"?

Mungkin kita tahu mengapa pertanyaan itu jarang timbul. Kebanyakan intelektual kita yang kini bersuara untuk "perataan pendapatan" juga sekaligus bergulat dengan masalah "kemerdekaan". Mungkin ini karena kuatnya pengaruh paham sosialisme dan demokrasi, mungkin pula karena kita sedang terbuntu oleh situasi yang menghendaki sosialisme dan demokrasi sekaligus. Apapun sebabnya, di antara kita ada rasa enggan untuk berkata, bagaikan seorang Milton Friedman: bahwa kesama-rataan ekonomi tak mengandung kebajikan istimewa bahwa yang penting adalah kemerdekaan individu, dan persaingan bebas pada suatu saat akan mengurangi ketidak-merataan pendapatan serta konsumsi.

Namun sementara itu tak seorang pun yang nampaknya yakin, bahwa alternatifnya akan lebih baik. Tanpa kemerdekaan yang cukup, ia akan dipertemukan dengan soal siapa yang berhak melenyapkan kemerdekaan tertentu dan siapa yang tidak. Tanpa kemerdekaan yang cukup di masyarakat, campur-tangan pemerintah akan menimbulkan soal bukan saja efisiensi, tapi juga layak atau tidaknya campur-tangan itu.

Dengan kata lain, kita menyaksikan semacam sikap mendua. Mungkin juga kenanaran. Pada taraf inilah bisa dimengerti bila belum terdengar pertanyaan, adakah "Keadilan sosial" dengan sendirinya identik dengan "kesama-rataan". Mungkin kita jadi begitu silau oleh perbedaan si kaya dengan si miskin, sehingga kita cenderung untuk tak mempersoalkan, bahwa keadaan "sama-rata-sama-rasa" belum tentu merupakan keadaan yang adil.

Keraguan dan pertanyaan itu mungkin saja akan melahirkan suatu apologi—bahkan pembelaan—bagi mampetnya semangat egalitarianisme. Tapi toh ide-ide perlu diasah, dan tak cuma sekali.