Kalimantan/Bab 6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB VI.

SEDJARAH RADJA-RADJA DI KALIMANTAN.

Keradjaan Bandjarmasin.

DALAM permulaan tahun 1450 daerah Bandjarmasin untuk pertama kalinja diperintah oleh seorang radja jang bernama Pangeran Suria Nata jang berkedudukan di Tjandi Agung. Dalam perkawinannja dengan Puteri Djundjung Buih telah mendapat tiga orang putera jang masing-masing bernama Pangeran Aria Wangsa, Pangeran Suria Wangsa dan Pangeran Suria Gangga Wangsa. Dengan tidak diketahui apa gerangan sebabnja, maka dalam tahun 1460 Pangeran Suria Nata bersama permaisurinja hilang lenjap, tidak tahu kamana arah perginja, jang diikuti djuga oleh puteranja, Pangeran Suria Wangsa dan Pangeran Suria Gangga Wangsa. Maka pada tahun itu djuga, keradjaan Bandjarmasin dikendalikan oleh puteranja jang sulung, jaitu Pangeran Aria Wangsa , hingga pada tahun 1505.

 Kemudian Pangeran Aria Wangsa kawin dengan puteri Kabuwaringin dan mendapat seorang putera jang diberinja nama Raden Sekar Sungsang. Tetapi kelahiran putera itu tidak memberi kepuasan terhadap permaisurinja, oleh karena itu maka permaisuri berlaku kedjam terhadap anaknja sendiri, hingga pada suatu hari ketika Raden Sekar Sungsang masih belum meningkat dewasa, terpaksa melarikan diri untuk melepaskan siksaan dari ibunja. Ia melarikan diri dan turut berlajar ke Djawa dengan perahu lajar kepunjaan Djuragan Petinggi.

 Setelah sampai di Djawa beberapa tahun lamanja, Raden Sekar Sungsang dikawinkan dengan anak Djuragan Petinggi, jang achirnja memperoleh seorang anak laki -laki bernama Raden Pandji Sekar. Pada suatu ketika Raden Sekar Sungsang mengembara dengan anaknja dan bertemu dengan sebuah Keradjaan jang diperintahi oleh Sunan Giri. Setelah beberapa tahun lamanja mereka tinggal berdiam dalam Keradjaan Sunan Giri, achirnja Pandji Sekar jang ketika itu sudah dewasa diambil menantu oleh Sunan Giri dan diberi nama gelaran Sunan Serabut.

 Setelah terjadi perkawinan itu maka ajahnja Raden Sekar Sungsang kembali ke Kalimantan dan terus ke Tjandi Agung. Kedatangannja ke Kalimantan jang telah lama ditinggalkannja itu jang bermaksud mentjari ibunja sendiri, tetapi telah lupa wadjah muka dan tidak dapat mengenal satu sama lain, sehingga achirnja Raden Sekar Sungsang kawin lagi dengan puteri Kabuwaringin jang sebenarnja ibunja sendiri, sedang isterinja jang pertama ditinggalkannja di Djawa.

 Karena waktu itu Keradjaan Bandjarmasin tidak mempunjai radja, maka ia dilantik sebagai radja Bandjarmasin jang berkedudukan di Tjandi Agung, sedjak dari tahun 1530 hingga tahun 1555.

 Perkawinan itu telah membawa hasil puteri Kabuwaringin berada dalam keadaan duduk perut, tetapi pada saat itulah baru diketahui, bahwa jang mendjadi suaminja sekarang ini adalah anak kandungnja sendiri. Setelah terdjadi kesalahankesalahan jang demikian besar, maka achirnja mereka bertjerai, dan atas persetudjuan anak-beranak itu, maka bekas suaminja itu dikawinkannja dengan puteri Minasih anaknja Patih Lau.

 Tidak lama kemudian, puteri Kabuwaringin, jaitu ibu dari Sekar Sungsang telah melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi anak jang sial itu kemudian diperintahkan ibunja supaja dimasukkan kedalam peti untuk dibuang kelaut. Peti jang berisi anak itu hanjut dibawa arus arah ke Marabahan dalam daerah Kalimantan Selatan telah dipungut oleh seorang desa, dan alangkah gembiranja ketika diketahuinja, bahwa dalam peti itu terdapat seorang anak laki-laki. Anak buangan itu dipelihara dan diberinja nama Siro Pandji Kusomo dan kemudian anak itulah jang mendjadi turunan radja-radja Dusun Lawangan, Biadju dan lain-lain.

 Adapun perkawinan Raden Sungsang dengan puteri Minasih telah mendapat tiga orang anak, masing-masing seorang puteri dengan nama Ratnasari, sedang jang lainnja laki-laki diberinja nama Raden Menteri dan Raden Santang. Tidak lama kemudian Raden Sekar Sungsang meninggal dunia setjara gaib, dan Keradjaan diperintahkan oleh anaknja jang perempuan, jaitu Ratnasari serta bergelar Ratu Lama.

 Ratu Lama diwadjibkan oleh saudaranja, jaitu Sunan Serabut jang berkedudukan di Giri, supaja mengantar upeti kepadanja, karena Keradjaannja itu dibawah kekuasaan Sunan Giri. Kemudian setelah Raden Menteri, jaitu adiknja dari Ratu Lama sudah besar, lalu dilantik mendjadi radja mengganti kedudukan Ratu Lama dan memakai gelar Ratu Anum. Tetapi selama dia memerintah atau mendjadi radja belum pernah diantarnja upeti kepada Sunan Serabut jang berkedudukan di Djawa jang achirnja Ratu Anum ditangkap dibawa ke Djawa. Sementara Ratu Anum tidak ada , keradjaan diserahkan kepada adiknja jang bernama Raden Santang serta bergelar Singo Goergo. Kemudian atas usaha dan daja upaja dari Pangeran Singo Goergo, jang berusaha untuk melepaskan saudaranja dari tawanan saudaranja sendiri Sunan Serabut, tapi tidak berhasil.

 Ratu Lama mempunjai anak laki-laki Gusti Sumambang Djaja Ratu Anum mempunjai anak laki-laki pula jang bernama Gusti Ariangin Djaja. Djuga Pangeran Singo Goergo beranak pula laki-laki jang diberi nama Pangeran Agung. Setelah Ratu Anum terlepas dari tawanan dan setelah kembali ke Kalimantan, maka diangkat lagi mendjadi radja, tetapi tidak lama kemudian meninggal dunia, dan kerajaan diserahkan kepada anaknja sebagai gantinja, jaitu Gusti Ariangin Djaja dan bergelar Pangeran Tumenggung, sedang anak dari Ratu Lama jang bernama Gusti Sumambang Djaja diangkat mendjadi Mangkubumi dengan bergelar Pangeran Sukarama. Anak dari Pangeran Singo Goergo jang bernama Pangeran Agung diangkat mendjadi Adipati dibawah Pangeran Sukarama. Sebagai seorang Mangkubumi, Pangeran Sukarama membuat suatu negeri jang letaknja di Babirik.

 Sebenarnja Pangeran Sukarama hatinja sangat djahat terhadap Pangeran Tumenggung dan bermaksud djahat pula, karena Pangeran Sukarama menghendaki supaja ia mendjadi radja. Pada suatu hari ketika Pangeran Sukarama mengadakan keramaian wajang, djuga Pangeran Tumenggung diundang untuk datang menghadiri, tiba-tiba sampainja disitu, Pangeran Tumenggung dibunuh oleh Pembekal Mardata, ialah seorang penakawan dan pesuruh Pangeran Sukarama. Dan dengan demikian setelah Pangeran Tumenggung meninggal dunia, lalu Pangeran Sukarama mengganti kedudukannja sebagai radja.

 Disamping itu ketika terdjadi pembunuhan atas Pangeran Tumenggung, permaisurinja jang bernama puteri Intan sedang mengandung, dan tidak lama kemudian melahirkan seorang putera laki-laki. Setelah terdjadi peristiwa jang sematjam itu, Radja Pangeran Sukarama merasa kuatir, dan anak puteri Intan itu disuruhnja masukan kedalam peti dan dibuang kesungai. Peti jang berisi anak keturunan radja itu hanjutlah dibawa arus sungai, sesudah sampai didekat Muara Tjerutjuk, didapat oleh Patih Masih jang selalu dipeliharanja dan dibawanja kekampung Kuwin.

 Rupanja Pangeran Sukarama tak merasa puas dengan membuang anak puteri Intan, ia bermaksud pula membunuh puteri Intan dengan pengikutnja, tetapi sebelum terdjadi pembunuhan puteri Intan telah melarikan diri lebih dahulu bersama-sama Patih Maha jaitu saudara dari Patih Masih menudju ke Marampiau dan kemudian kekampung Balandian. Setelah beberapa hari tinggal dikampung Balandian, ia mendapat kabar bahwa Patih Masih mendapat seorang anak didalam peti jang dihanjutkan disungai, dan setelah Patih Masih datang kekampung Balandian bersama-sama dengan anak pungutnja itu, maka ternjatalah bahwa anak itu adalah anak kandungnja sendiri jang telah ditjuri dan dibuang kesungai oleh Pangeran Sukarama. Achirnja puteri Intan bersama anaknja disembunjikan oleh kedua Patih tadi dikampung Balandian tersebut

 Kira-kira 12 tahun kemudian, Pangeran Sukarama mendjadi radja, lalu mendirikan suatu istana di Kaju Tangi Martapura dan terus pindah ditempat jang baru dibikinnja itu. Sebalikjna putera dari puteri Intan setelah agak dewasa dan setelah mendengar tjeritera-tjeritera ibunja tentang hal ichwal kelakuan serta perbuatan Pangeran Sukarama itu bermaksud hendak membalas dendam atas kematian ajahandanja. Ketika itu putera dari puteri Intan tadi diberi nama Raden Samudera. Usaha Raden Samudera jang pertama sekali ialah akan pergi ke Djawa dan akan meminta bantuan pada Sunan Serabut.

 Pada waktu itu keadaan radja- radja di Djawa sudah banjak jang memeluk Agama Islam. Setelah Raden Samudera sampai di Djawa dan setelah bertemu dengan Sunan Serabut, achirnja Raden Samudera disuruhnja memeluk Agama Islam dan bergelar Pangeran Suriansjah. Setelah itu Pangeran Suriansjah pulang ke Kalimantan beserta beberapa ribu balatentara dari Sunan Serabut untuk menjerang keradjaan Kaju Tangi.

 Setelah sampai dimuara Bandjar dan sebelum mengadakan penjerangan, setjara satria Pangeran Suriansjah mengirim seorang utusan kepada Pangeran Sukarama untuk memberi tahukan bahwa Pangeran Suriansjah alias Raden Samudera putera almarhum Pangeran Tumenggung jang ketika itu masih baji dimasukkan dalam peti dan dibuang kesungai akan tiba di Kaju Tangi untuk menjerang kerajaan Kaju Tangi sebagai pembalasan atas perbuatan kedjam Pangeran Sukarama terhadap almarhum ajahandanja Pangeran Tumenggung. Dalam pertempuran ini Pangeran Sukarama dengan balatentaranja dapat dikalahkan, sedang Pangeran Sukarama sendiri dapat ditangkap dan dibuang ke Danau Salak, dan semendjak waktu itu, Pangeran Sukarama dengan semua turunannja tidak boleh lagi memakai gelar Gusti atau Pangeran, tetapi hanja boleh memakai gelar Andin. Demikianlah hingga pada dewasa ini turunan Andin-andin di Danau Salak dan Alai.

 Sebaliknja Pangeran Agung jang mendjadi Adipati Pangeran Sukarama setelah mendengar bahwa Pangeran Sukarama dapat ditangkap dan dibuang lalu Pangeran Agung melarikan diri kebahagian Barito, dan dialah jang mendjadi radja-radja ditanah Barito. Pangeran Suriansjah, setelah menang dalam peperangan tersebut lalu kembali ke Bandjarmasin serta dilantik mendjadi Sultan, dan dialah Sultan Bandjarmasin jang pertama-tama sekali memeluk dan memasukkan agama Islam kedaerah ini, jaitu dalam tahun 1590, sehingga agama Islam dapat tumbuh subur dan berkembang. Sultan Suriansjah memegang keradjaan Bandjarmasin hingga sampai tahun 1620.

Perang dengan Belanda.

 Pada tanggal 14 Pebruari 1606 dimasa Sultan Suriansjah memerintah, datanglah sebuah kapal Belanda jang pertama sekali ke Bandjarmasin dibawah pimpinan Nachoda Belanda Gillis Michiel untuk mengadakan perhubungan dengan Sultan, tetapi setelah anak-buah kapal tersebut naik kedaratan, lalu dibunuh semuanja oleh balatentara Sultan, disebabkan kelakuan-kelakuan mereka itu sangat biadab. Kemudian diantara tahun 1607 dan tahun 1609 bangsa Belanda mentjoba sekali lagi untuk mengadakan perhubungan dagang jang baru dengan Sultan, tetapi tidak mendapat hasil jang memuaskan bagi pihak Belanda.

 Selain daripada itu, oleh karena pada waktu itu rupanja Sultan Suriansjah tidak tetap membajar upetinja kepada Sunan Serabut di Demak, dimana telah didjandjikan ketika Pangeran Suriansjah meminta bantuan menjerang Pangeran Sukarama dahulu, maka atas perintah Sultan Demak diadakan serangan ke Bandjarmasin dan berhasil dapat membakar kota Bandjarmasin. Dalam keadaan jang huru-hara ini, pihak Belanda mengambil kesempatan untuk mengadakan pembalasan atas pembunuhan anak buahnja, hingga dengan demikian Sultan Suriansjah terpaksa mengundurkan diri dan lari ke Kaju Tangi Martapura. Peristiwa ini terdjadi pada tahun 1612. Selandjutnja pada tahun 1620 Sultan Suriansjah meninggal dunia dan dimakamkan dikampung Kuwin, jang sekarang letaknja didekat Mesdjid Kuwin, seringkali diziarahi oleh penduduk.

 Sebagai ganti memegang keradjaan ialah puteranja sendiri jang bergelar Sultan Rachmatullah. Selandjutnja semendjak keradjaan dibawah perintah Rachmatullah, maka kerajaan Bandjarmasin nampak kemadjuannja serta dapat mengembangkan sajapnja keseluruh Kalimantan. Perhubungan dagang bukan sadja dengan bangsa Belanda, djuga dengan bangsa Eropah lain-lainnja.  Dalam tahun 1626 bangsa Deen dan bangsa Belanda selalu datang ke Bandjarmasin untuk membeli lada, sedang pada tahun 1628 ada pula kapal jang dikirim oleh bangsa Belanda ke Kotawaringin untuk membeli beras, dan semendjak tahun 1628 perhubungan dagang antara Bandjarmasin dan Djawa nampak bertambah baik dan tetap. Tetapi pada tahun 1630 kota Bandjarmasin dibakar oleh rakjat sendiri karena mereka merasa tidak senang dengan adanja kelakuan-kelakuan bangsa Belanda dikota tersebut jang diantaranja ada jang menjakitkan hati.

 Pada tahun 1633 kota Bandjarmasin dapat dibangunkan kembali sesudah orangorang Belanda banjak jang lari ke Djakarta dan semendjak itu suasana ada sedikit baik dan tenteram, tetapi dibalik itu ada pula antjaman dari Sunan Demak jang akan menghantjurkan keradjaan Bandjarmasin karena Sultan Rachmatullah tidak memperhatikan pembajaran upetinja. Tetapi sebelum terdjadi peristiwa tersebut, Sultan Rachmatullah meminta bantuan kepada Kompeni Belanda, untuk mempertahankan daerahnja dari serangan tentara Sultan Demak. Belanda jang melihat tidak ada keuntungannja, maka permintaan Sultan Rachmatullah itu ditolaknja.

 Keadaan pelabuhan Bandjarmasin sangat ramai dan penuh dengan kapal-kapal bangsa Asing jang melakukan djual-beli perdagangan. Soal lada dan hasil bumi sangat mendjadi perhatian para pedagang bangsa Asing jang sebagian terdiri dari bangsa Inggeris, Portugis dan bangsa Deen, sedang pihak Belanda hampir tidak ada.

 Rupanja telah mendjadi tabiat atau memang sudah mendjadi adat kebiasaan bangsa Belanda jang selalu iri-hati dalam persaingan dagang jang banjak menderita kekalahan, tiba-tiba dalam tahun 1634 Kompeni Belanda mengirim 6 buah kapal perang ke Bandjarmasin dibawah pimpinan Gysbert van Lodensteyn jang kemudian ditambah lagi dengan beberapa buah kapal dibawah pimpinan Antonie Seep dan Steven Berent untuk memusnahkan semua kapal dagang asing jang berada dipelabuhan Bandjarmasin. Dan setelah berhasil pekerdjaannja itu, lalu mereka mengadakan perdjandjian dagang langsung dengan Sultan Rachmatullah jang ditandatangani pada tahun 1635, dengan ketentuan bahwa pendjualan lada dan lain -lain hasil bumi hanja dapat dilakukan kepada Kompeni Belanda.

 Setelah perdjandjian dagang tersebut selesai dibikin, maka dalam tahun 1636 Kompeni Belanda mendirikan sebuah kantor dagang dikota Bandjarmasin dibawah pimpinan Wollebrant Geleynsen. Dengan adanja kantor dagang bangsa Belanda itu, keadaan penghidupan rakjat sangat tertekan, hasil buminja selalu diikat dan harus didjual kepada Belanda dengan harga jang ditentukannja sendiri, sedangkan kalau kedapatan mendjual kepada orang lain, diantjam hukuman berat.

 Keadaan jang sematjam itu tidak dapat dirasakan oleh rakjat dengan hati sabar, achirnja dalam tahun 1638 terbitlah kemarahan rakjat terhadap perbuatanperbuatan Belanda itu, sehingga timbul suatu pemberontakan jang membakar semua harta-benda Belanda bahkan dua buah kapalnja jang berada di Kotawaringin dibakar dan dihantjurkan serta orang-orangnja semua dibunuh. Dalam pembunuhan ini terdapat sebanjak 64 orang Belanda jang mati dan diantaranja terdapat 24 orang bangsa Djepang. Kedjadian jang sehebat ini memaksa pihak Kompeni Belanda untuk tidak tinggal diam dan akan melakukan pembalasan jang sehebat-hebatnja, tetapi oleh karena beberapa sebab, maka penjerangan pembalasannja itu tidak dilangsungkan, karena dirasanja tjukup diadakan tindakan dilautan, dimana banjak perahu-perahu Bandjar jang membawa barang-barang dagangannja untuk ditahan dan dirampas oleh Belanda.


Perbuatan Kompeni Belanda jang sematjam itu membawa hasil jang dapat dikatakan baik dalam perasaannja sendiri. Banjak perahu-perahu jang mendjadi kurbannja, diantaranja 27 perahu lajar jang sarat dengan muatan. Jang mendjadi kurban, bukan sadja barang-barang perdagangan tetapi djuga anak-buah perahu itu.


Kompeni Belanda merasa tidak puas dengan perbuatan-perbuatan jang sematjam itu sadja dan dalam tahun 1640 ia mentjoba hendak mengadakan penjerangan pembalasan kepada keradjaan Sultan Rachmatullah, tetapi berhubung dalam tahun itu terdjadi keonaran dibenuanja sendiri jaitu dinegeri Belanda, maka serangannja jang untuk kedua kalinja tidak djadi dilangsungkan.


Dalam tahun 1642 Sultan Rachmatullah meninggal dunia dan diganti oleh Sultan Hidajatullah sebagai radja hingga pada tahun 1650 beliau meninggal dunia.


Semendjak tahun 1650 hingga tahun 1678 Keradjaan Bandjarmasin dibawah pemerintahan Gusti Katjil jang bergelar Sultan Mustainullah alias Raden Senopati.


Sedjak terdjadi pemberontakan rakjat hingga sampai meninggalnja Sultan Rachmatullah dan Sultan Hidajatullah, hubungan dagang dengan Belanda telah putus, sedangkan hubungan dagang dengan Djawa hanja dilakukan dengan perahu lajar, maka dengan demikian pedagang bangsa Inggeris perlahan-lahan mendekati Sultan Bandjar untuk mentjari hubungan dagang.


Setelah Kompeni Belanda mengetahui keadaan perdagangan bangsa Inggeris jang kian hari bertambah madju dan baik itu, mereka kuatir kalau bangsa Inggeris akan menetap dan membuka kantor dagangnja di Bandjarmasin, maka pada tahun 1660 Kompeni Belanda mengirimkan dua buah kapal perangnja ke Bandjarmasin jang dipimpin oleh Dirck van Lier dengan maksud untuk mengadakan hubungan dan perdjandjian dagang dengan Sultan.


Maksud Belanda tadi dapat diterima oleh Sultan dengan perdjandjian, bahwa Kompeni tidak akan melakukan pembalasan dan tuntutan kerugian peristiwa pemberontakan jang lalu, dan hendaknja Belanda sendiri jang mengambil lada dan lain-lainnja ke Bandjarmasin. Achirnja perdjandjian dagang dengan sjarat-sjarat sematjam itu ditanda tangani djuga oleh pihak Kompeni Belanda dengan Sultan Mustainullah.


Berhubung dengan banjaknja bangsa Eropah lainnja jang djuga mengadakan hubungan dagang dengan Sultan, maka dalam tahun 1663 Kompeni Belanda mengirimkan pula 5 kapalnja, jang selandjutnja pada tahun 1664 seorang utusan Kompeni Belanda jang bernama Anthony Hurdt dikirim ke Bandjarmasin untuk mengadakan perdjandjian dagang jang baru dengan Sultan, serta akan mendirikan kantor dagangnja jang diurus oleh 2 atau 3 orang penolongnja. Untuk sementara waktu permintaan Kompeni Belanda tadi dikabulkan , tetapi pada tahun 1666 atas permintaan Sultan, kantor dagang Kompeni Belanda tadi ditutup, tetapi tentang pengiriman barang-barang dagangan masih tetap berlaku.

Kemudian pada tahn 1678 Sultan Mustainullah meninggal dunia dan diganti oleh Sultan Inajatullah sebagai radja hingga pada tahun 1685. Ketika Sultan Mustainullah masih memerintah, beliau mengutus anaknja ke Kotawaringin untuk memegang keradjaan disana jang kemudian dilantik serta bergelar Ratu Bagawan, dan radja inilah jang mula-mula mengembangkan agama Islam didaerah keradjaan tersebut.

Dalam tahun 1685 Sultan Inajatullah meninggal dunia dan diganti oleh Sultan Saidillah jang semasa mudanja bernama Kusuma Alam serta oleh rakjat digelari Ratu Anum, Sultan Saidillah duduk sebagai Sultan hingga pada tahun 1700.

Pada tanggal 2 Pebruari 1689 tiba-tiba datang seorang pendeta Katholik bernama Peter Ventimiglia dengan menumpang kapal Portugis jang bermaksud akan mengembangkan agama Kristen, tetapi usahanja itu tidak membawa hasil. Pada tanggal 30 Djanuari 1691, ia datang kembali mengulangi pertjobaannja, sekali ini terus mudik disepandjang sungai Barito, tetapi jang djuga menemui kegagalan dan pendeta Peter tersebut meninggal dunia di Barito.

* * *

Benteng Inggeris. Dalam tahun 1698 tiba-tiba kompeni Inggeris datang ke Bandjarmasin untuk mengadakan perdjandjian dagang dengan Sultan dengan memonopoli dalam hal perdagangan lada. Setelah perdjandjian tersebut mendapat persesuaian, maka Inggeris lalu mendirikan sebuah kantor dagang dan benteng jang menutup segala sungai-sungai sampai di Martapura dengan maksud sebagai suatu pengawasan jang serapi-rapinja.

Keadaan dan perbuatan Inggeris itu selama Sultan Saidillah masih memegang keradjaan, semuanja berdjalan baik dan tidak ada suatu gangguan apa -apa, tetapi dalam tahun 1700 setelah Sultan Saidillah meninggal dunia dan diganti oleh Sultan Tahlilullah, terbitlah suatu hura-hara terhadap Inggeris atas kelakuan dan perbuatannja itu. Achirnja dalam tahun 1707 kantor-kantor dan benteng-benteng jang menutup sungai -sungai kepunjaan kompeni Inggeris serta kapal-kapalnja habis dirusak binasakan oleh Sultan dan rakjatnja.

Melihat keadaan jang demikian itu, kompeni Belanda sangat bergembira dan dengan demikian Belanda tidak usah mendirikan kantor dagangnja lagi di Bandjarmasin untuk mengganti kepunjaan bangsa Inggeris sebab mereka jakin, bahwa sesudah rusaknja urusan dagang bangsa Inggeris, tentu Sultan akan mengirimkan dagangannja ke Djakarta, djadi tjukuplah menunggu di Djakarta sadja. Dugaan kompeni Belanda itu memang tepat, sehingga tidak usah pajah-pajah buat mengeluarkan ongkos banjak, tetapi djuga bisa mendapat lada jang sangat memuaskan banjaknja.

Kepuasan kompeni Belanda itu tidak hingga sampai disitu sadja, bahkan dalam tahun 1711 Belanda mengirimkan kapal-kapalnja ke Bandjarmasin untuk membeli lada dan lain-lain dagangan. Dalam tahun itu hasil- hasil jang ditjapainja sangat besar sekali, sehingga pada tahun 1712 diperbanjak lagi pengiriman kapal-kapal ke Bandjarmasin untuk mengangkat barang-barang dagangan, tetapi betapa ketjewanja ketika berpuluh-puluh kapal Belanda datang di Pelabuhan Bandjarmasin, ternjata semua barang-barang perdagangan, baik lada maupun lain-lainnja telah habis bersih diangkut oleh kapal-kapal kepunjaan bangsa Tionghoa. Achirnja dalam tahun 1713 kompeni Belanda mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dagang dengan Sultan Bandjarmasin.

Tiga belas tahun kemudian, jaitu dalam tahun 1726 kompeni Belanda mengirimkan pula beberapa buah kapalnja untuk mentjari barang -barang dagangan, dan sedjak itu nampaknja hubungan dagang antara kompeni Belanda dengan Sultan baik kembali, sehingga dalam tahun 1733 kompeni bermaksud membikin perdjandjian dagang jang baru. Perdjandjian dagang tersebut berlangsung dan disahkan dalam tahun 1734. Tetapi oleh karena dalam tahun itu pengeluaran lada agak kurang, hubungan dagang agak sunji pula, sehingga dalam tahun 1736 perhubungan itu dapat dikatakan hampir tidak ada sama sekali. Kesunjian hubungan dagang antara Belanda dan Sultan ini mempengaruhi para pedagang bangsa lain. sehingga dalam tahun 1743 datanglah sebuah kapal dagang kepunjaan bangsa Perantjis untuk mentjari barang-barang dagangan. Akan tetapi oleh karena kelakuan dan perbuatan-perbuatan anak buah kapal Perantjis sangat biadab, maka kapal bersama anak buahnja diserang dan dihantjurkan oleh rakjat sendiri.

Pada tahun 1745 Sultan Tahlilullah meninggal dunia dan diganti oleh anaknja jang bernama Sultan Kuning. Tetapi beberapa hari setelah Sultan Kuning dilantikkan mendjadi radja tiba-tiba meninggal dunia , lalu diganti pula untuk sementara oleh Sultan Tamdjidillah, menunggu putera Almarhum Sultan Kuning jang bernama Pangeran Muhammad tjukup dewasa.

Dalam tahun 1755, setelah Pangeran Muhammad telah dewasa, dimintanja kembali kerajaan ajahandanja itu, tetapi Sultan Tamdjidillah tidak suka menjerahkannja, bahkan mengangkat dirinja sendiri mendjadi Sultan dan bergelar Sultan Sepuh. Kepada Pangeran Muhammad didjandjikan akan mengganti kedudukannja kalau ia sudah meninggal dunia.

Sewaktu Sultan Sepuh memerintah Negeri, maka dalam tahun 1747 kompeni Belanda mengirimkan 7 buah kapalnja dibawah pimpinan Van den Heyden ke Bandjarmasin untuk memperbaiki perdjandjian perdagangan jang telah lalu. Kemudian pada tanggal 18 Mei 1747 oleh kompeni Belanda itu diadakan perdjandjian dagang baru dengan Sultan, jang maknanja bersamaan dengan perdjandjian dagang dalam tahun 1733. Hanja agak sedikit aneh, karena dalam perdjandjian jang baru itu tertjantum djuga maksud untuk memperluas kantor perdagangannja, sehingga karena perluasan itu kompeni Belanda mendirikan sebuah kantor dagang jang diurus oleh seorang Residen , dan dua orang Assisten Residen dan 47 pegawainja jang katanja sebagai pertahanan.

Selandjutnja pada tahun 1756 mereka mendirikan bentengnja di Bandjarmasin, jang bermaksud untuk mendjaga djangan sampai bangsa Inggeris berpengaruh lagi di Bandjarmasin sebagaimana jang pernah terdjadi dalam tahun 1698.

Diantara tahun 1766 dan tahun 1711, Sultan Sepuh membikin satu bangunan Keraton Keradjaan jang baru di Martapura dan keradjaan di Bandjarmasin dipindahkan ke Martapura. Dalam usaha pembangunan tersebut, Sultan Sepuh mendatangkan beberapa orang tukang ukir dari Djawa untuk mengukir kaju-kaju tiang dan lain-lainnja dalam istana.

Pada tahun 1778 Sultan Sepuh meninggal dunia dan diganti oleh Pangeran Muhammad anak dari Sultan Kuning dan bergelar Sultan Tamdjidillah II, tetapi antara 7 tahun kemudian Sultan Tamdjidillah II meninggal dunia. Sultan Tamdjidillah II ada berputera tiga orang jang semuanja masih dibawah umur, jaitu Pangeran Rahmad, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Sebagai amanat dari Sultan, maka jang harus memangku djabatan sebagai pengganti ialah anak jang ke 2 jaitu Pangeran Abdullah. Oleh karena Pangeran Abdullah masih ketjil maka sebagai wali atau wakilnja ialah Pangeran Nata, ipar dari almarhum Sultan Tamdjidillah II.

Berebut tachta.

Oleh karena Pangeran Nata ingin tetap mendjadi Sultan, lalu timbullah niatan jang kurang baik jaitu memerintahkan untuk membunuh Pangeran Rahmad dan Pangeran Abdullah. Pangeran Amir rupanja telah mendengar desas-desusu tentang maksud Pangeran Nata ini, lalu ia minta diri untuk pergi hadji ke Mekkah dan permintaan ini diluluskan.

Pangeran Rahmad dan Pangeran Abdullah tidak sempat kemana-mana, mereka mendjadi kurban pamannja sendiri, sedang Pangeran Amir jang tadinja permisi untuk pergi hadji, padahal jang sebenarnja tidak demikian, melainkan lari pergi ke Pegatan untuk meminta pertolongan kepada Sultan Pegatan jang bernama Arung Trawe untuk merebut keradjaan almarhum ajahnja. Pangeran Nata setelah tetap mendjadi radja jang bergelar Sultan Tamdjidillah III, digelari oleh rakjat sebagai Penambahan Batu. Sementara itu saudara Sultan Tamdjidillah III jang bernama Pangeran Suria, setelah melihat siasat saudaranja jang demikian, hingga dapat menduduki keradjaan, maka timbullah pikirannja untuk membunuh saudaranja itu. Niatnja itu sajang, dapat ditjium oleh Sultan Tamdjidillah III, jang kemudian mengantjam hendak membunuh Pangeran Suria. Pangeran Suria sempat melarikan diri bersama-sama saudaranja jang lain jang bernama Pangeran Ahmad kedjurusan bagian Batang Alai serta mengumpulkan beberapa orang jang suka membantu mentjapai maksudnja.

Pada waktu itu Sultan Tamdjidillah III mempunjai sepuluh orang Menteri di Amuntai jang sangat setia kepadanja. Nama-nama mereka itu ialah: Datu Timbul, Abu, Kiaji Maja Tjitra, Bamail, Sutaperang, Subal, Wiralaksana, Masakat, Dipati dan Djulang. Kesepuluh Menteri tersebut mengusir pemberontak jang dipimpin oleh Pangeran Suria bersama Pangeran Ahmad sehingga sampai ketepi bagian Pasir.

Selandjutnja sebagai tanda terima kasihnja, maka Sultan memerintahkan anak tjutju dan turunan dari kesepuluh Menteri tersebut dibebaskan dari segala padjak negeri dan turunan dari Menteri-menteri itulah jang disebut anak-tjutju orang sepuluh. Kemudian sesudah itu oleh Sultan Tamdjidillah III lalu diadakan peraturan pembajaran uang kepala Rp. 1,- untuk tiap-tiap orang laki-laki jang dewasa dalam setahunnja.

Pada tahun 1787 Pangeran Amir jang lari ke Pegatan datang menjerang keradjaan Sultan Tamdjidillah III dengan membawa balatentaranja kira-kira 3000 orang Bugis. Pangeran Nata alias Sultan Tamdjidillah III mendengar adanja serangan jang tiba-tiba itu sangat takut, lalu minta bantuan kepada kompeni Belanda. Oleh Residen Walbeck, seorang Residen jang mula-mula mengurus kantor dagang, lalu mengirimkan bala bantuannja jang berupa beberapa ratus serdadu lengkap dengan sendjatanja dibawah pimpinan Kapten Christoffel Hofman untuk menghalaukan balatentera Amir tersebut, jang achirnja dalam peperangan ini Pangeran Amir dapat ditangkap dan dibuang ke Ceylon, sedangkan tenteranja banjak jang mati dan melarikan diri. Dengan dibuangnja Pangeran Amir ke Ceylon itu menjebabkan adanja turunan bangsa Indonesia berada di Ceylon hingga saat ini.

Setelah peperangan dengan Amir sudah selesai, jaitu dalam tahun 1787 bagi kompeni Belanda merasa mendapat suatu kesempatan jang baik, ialah karena djasa-djasanja dalam hal menolong Sultan Tamdjidillah III , lalu kompeni Belanda mengadakan tuntutan pembalasan budinja dengan mengadakan perdjandjian baru.

Dalam perdjandjian baru ini diantaranja Sultan diharuskan menjerahkan tanah keradjaannja kepada kompeni Belanda dan sebagian akan diberikan kembali sebagai pindjaman. Adapun jang tetap mendjadi milik kompeni Belanda ialah di Tanah Bumbu, Pegatan, Kutai, Berau, Bolongan dan Kotawaringin.

Dalam tahun 1790 hingga tahun 1792 satu kompeni Belanda dibawah pimpinan F. J. Hartman berlajar keudik-udik untuk memeriksa Martapura, Negara dan Barito hingga sampai ke Muara Teweh, tetapi sesampainja dikampung Mentalat rombongan tadi diserang oleh penduduk.

Selandjutnja pada tahun 1797 perhubungan antara Sultan Tamdjidillah III dengan kompeni Belanda tampak agak renggang, karena adanja tuntutan kompeni Belanda untuk menjerahkan tanah keradjaan kepada mereka. Dalam perundinganperundingan jang diadakan, achirnja semua tanah keradjaan jang diambil oleh kompeni Belanda diserahkan kembali kepada Sultan jang sifatnja hanja dipindjamkan sadja.

Beberapa tahun kemudian pengiriman lada jang dilakukan oleh Sultan agak kurang, sehingga Belanda di Djakarta mengirimkan orang -orangnja lagi ke Bandjarmasin untuk mengadakan perdjandjian dagang baru dengan Sultan, tetapi perundingannja itu tidak membawa hasil jang memuaskan, lalu pada tahun 1805. kompeni Belanda mempunjai niatan untuk meninggalkan Bandjarmasin.

Dalam tahun 1808 Sultan Tamdjidillah III meninggal dunia dan diganti oleh puteranja sendiri jang bernama Sultan Sulaiman, dan 1 tahun sesudah pelantikan Sultan Sulaiman, maka atas putusan Daendels di Djakarta supaja kompeni Belanda harus meninggalkan Bandjarmasin karena perdagangan jang dilakukan antara Sultan dan Kompeni selalu mendapat kerugian. Achirnja pada tahun 1809 tanggal 29 Mei kompeni Belanda berangkat meninggalkan Bandjarmasin, sedangkan benteng-bentengnja jang berada di Tatas dan Tabaniau diserahkan kepada Sultan jang ditukarkan dengan intan.

Setelah kompeni Belanda meninggalkan Bandjarmasin, kemudian antara tahun 1810 dan 1811 datang seorang bangsa Inggeris jang bernama Alexander Hare ke Bandjarmasin dan meminta kepada Sultan sebuah tanah jang didjadikan miliknja jaitu jang melingkungi Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai dan sedjak permintaan itu dikabulkan, maka pada tahun 1811 bangsa Inggeris mulai tetap tinggal di Bandjarmasin. Setahun kemudian jaitu dalam tahun 1812 pemerintah Inggeris mengangkat A. Hare mendjadi Residen di Bandjarmasin dan semendjak itu pula Hare lalu mengadakan perdjandjian dagang dengan Sultan dengan keterangan, bahwasanja Berau, Kutai, Pasir, Pegatan dan Pulau Laut diserahkan mendjadi djadjahan kompeni Inggeris.

Pada tahun 1815 tanggal 24 April, tanah eigendom Maluka dan lain-lainnja diserahkan oleh Sultan Sulaiman kepada Residen Hare dengan persetudjuan Letnan Djenderal Raffles, jang kemudian tanah-tanah tersebut diisi dengan para pekerdja terdiri dari suku Djawa dengan keluarganja sebanjak 4000 orang, untuk mengerdjakan tanaman kopi, lada dan sajur-sajuran, diantaranja djuga mengerdjakan pembikinan kapal-kapal jang beratnja sampai 400 ton.

Tiba-tiba pada tahun 1816 jaitu sesudah puluhan tahun kompeni Inggeris mengangkat kekajaan pulau Kalimantan, kompeni Belanda di Djakarta mengeluarkan pernjataan, bahwa mereka tidak mengakui hak-hak Residen Hare di Bandjarmasin. Dan selandjutnja untuk menghindarkan sesuatu sengketa antara kompeni Belanda dan Inggeris, maka pada tanggal 25 Nopember 1816 sebelum kompeni Belanda datang di Kalimantan, kompeni Inggeris lebih dahulu telah meninggalkan Bandjarmasin. Adapun para pekerdja di Maluka dan lain-lain tempat setelah diadakan pemeriksaan oleh badan komisi kompeni Belanda, achirnja 1104 orang dibolehkan kembali ketempat asalnja dan jang lainnja dibolehkan pula meneruskan pekerdjaannja ditanah Maluka.

* * *

Pendjadjahan Belanda.

Sesudah kompeni Inggeris meninggalkan Bandjarmasin, lalu bendera keradjaan Sultan Bandjarmasin dikibarkan ditengah-tengah kota Bandjarmasin, tetapi kirakira bulan Desember 1816 Pemerintah Belanda mengirimkan serdadunja kembali ke Bandjarmasin dibawah pimpinan J. D. J. Arnand van Boekhols jang setelah melihat bendera Sultan tadi berkibar-kibar ditengah-tengah kota, lalu Boekhols mengadakan perdjandjian baru dengan Sultan Sulaiman bertempat di Karang Intan jaitu pada tanggal 1 Djanuari 1817, jang didalam perdjandjian tersebut diterangkan bahwa Sultan Bandjarmasin menjerahkan tanah daerahnja di Dajak, Mendawai, Kotawaringin, Sintang, Lawai, Djelai, Bakumpai, Tanah Laut, Pegatan, Pulau Laut, Pasir, Kutai dan Berau kepada Gubernemen Belanda.

Pada tahun 1825 didaerah bagian Bakumpai dan Dusun terbit keributan jang sedikit mengchawatirkan Belanda dan untuk mengatasi kesulitan maka oleh pemerintah Belanda diadakan perdjandjian tambahan baru dengan Sultan, bahwa daerah tersebut didjadikan milik pemerintah Belanda.

Setelah terdjadi penjerahan kedua daerah tersebut, maka keadaan didaerah ini semakin genting dan katjau jang kemudian terbit pemberontakan dikepalai oleh Kentet, kepala daerah tersebut. Tetapi tidak lama kemudian pemberontakan itu dapat dikalahkan oleh kompeni Belanda dan Kentet ditangkap serta dibunuh. Setelah kedjadian itu lalu kompeni Belanda mendirikan benteng pertahanannja di Bakumpai dan selandjutnja Bakumpai mendjadi kota pelabuhan dagang jang sangat besar artinja pada masa itu. Kemudian pada tahun 1825 Sultan Sulaiman meninggal dunia dan diganti oleh Sultan Adam Alwasik Billah. Selagi hidupnja Sultan jang meninggal ini, sempat djuga ia menaikkan uang kepala mendjadi Rp. 2.60 setahun bagi orang jang sudah kawin dan jang belum kawin sebanjak Rp. 1.30, sedangkan bagi pedagang-pedagang diperahu dikenakan tjukai.

Setelah Sultan Adam mendjadi radja maka dilantiknja djuga anaknja jang bernama Pangeran Abdurrahman mendjadi Radja Muda, jaitu untuk mengganti kedudukannja kalau meninggal dunia. Begitu djuga permaisurinja turut pula tjampur tangan dalam urusan keradjaan dan berpengaruh besar terhadap suaminja, hingga dengan demikian padjak rakjat dinaikkan mendjadi 2 kali lipat.

Pada tanggal 4 Mei 1826 utusan pemerintah Belanda jang bernama M. H. van Halewijn mengadakan perdjandjian baru dengan Sultan Adam, jang menjatakan bahwa segala keradjaan Bandjarmasin didjadikan hak pemerintah Belanda, ketjuali daerah Hulu Sungai, Martapura dan bagian-bagian dari Bandjarmasin, artinja melulu dikota Bandjarmasin sadja.

Dalam tahun 1833 tiba-tiba terdjadi suatu peristiwa dalam keraton jaitu dalam keluarga Sultan Adam sendiri, sehingga mendjadi buah bibir rakjat. Peristiwa itu ialah atas kematiannja Pangeran Ismail, putera kedua dari Sultan Adam jang akan dilantik mendjadi Mangkubumi untuk mengganti pamannja Mangkubumi Nata kalau beliau meninggal dunia. Kematian Pangeran Ismail itu oleh sebagian besar rakjat diduga perbuatan Pangeran Nuch, saudara muda Pangeran Ismail jang iri hati dan menghendaki supaja ia jang diangkat mendjadi Mangkubumi.

Dalam tahun 1835 oleh Sultan Adam dikeluarkan beberapa Undang-undang, diantaranja soal pengadilan, hal-hal jang berhubung dengan agama, perkawinan, hak tanah dan lain-lain jang sampai sekarang seringkali terdengar dan mashur dengan nama „Undang -undang Sultan Adam", karena Sultan inilah jang pertama mengadakan peraturan jang teratur.

Dalam bulan Mei 1835 tiba -tiba datang seorang pendeta Zending ke Bandjarmasin untuk mempeladjari adat dan keadaan-keadaan didaerah tanah Dusun dan Pontianak jang sesudah itu pulang kembali ke Djawa. Selandjutnja pada tanggal 3 Desember 1836 datang pula seorang pendeta bernama Branstein bersama 3 orang temannja ke Bandjarmasin, serta dimulaikannja mengerdjakan urusan Zending, jaitu mengembangkan agama Kristen kedaerah udik dan sedjak itu perkembangan Zending mendjadi baik dan pemberita-pemberita Indjilpun bertambah banjaknja.

Pada tahun 1841 Pangeran Mangkubumi meninggal dunia dan diganti oleh Ratu Anum Mangkubumi Kentjana, putera dari Sultan Adam sendiri.

Disamping itu rupanja pemerintah Belanda merasa sangat perlu untuk menguatkan kedudukannja didaerah Bandjarmasin agar tidak kalah pengaruhnja dengan Inggeris jang telah biasa menduduki Bandjarmasin. Oleh Belanda lalu diangkat seorang Gubernur jang bernama Weddik. Dalam tahun 1845 Gubernur Weddik mengadakan perundingan dengan Sultan untuk memperbaharui perdjandjiannja serta menambah perdjandjian jang telah dibikinnja pada tahun 1826 jang lalu.

Dalam perdjandjian jang baru ini ditetapkan batas-batas keradjaan jang baru, jaitu mulai dari tepi sungai Kuwin dan Barito sampai ke Kuala Mengkatip dan dari situ merupakan suatu garis pula menudju Utara Timur Laut sampai kegunung Laang, dan dari situ menudju ke Selatan menurut sepandjang pegunungan Maratus sampai disungai Banju Irang dan terus menudju ke Tambak Linik hingga sampai dipertemuan sungai Martapura dengan sungai Kuwin. Selandjutnja Gubernur Weddik mendapat izin pula untuk mengerdjakan tambang batu arang di Distrik Riam.

Tanah-tanah keradjaan jaitu ditanah Bumbu jang dahulunja oleh Sultan diberikan kepada Gubernur Belanda, tetap diperintah oleh kepalanja masing- masing dengan mendapat surat keangkatan dari Gubernemen bersama-sama dengan instruksi-instruksinja.

Pada tanggal 28 September 1849 tambang arang di Pengaron dibuka oleh pemerintah Belanda dengan memakai nama „Oranje Nassau". Pada tahun itu djuga tiba-tiba datang surat rahasia dari Pemerintah Belanda di Djakarta, jang mengandjurkan supaja daerah Riam dimasukkan mendjadi daerah langsung pemerintah Belanda serta diandjurkan pula supaja Ibu-negeri jaitu Kaju Tangi Martapura dipindahkan ke Negara, tetapi andjuran -andjuran dalam surat tersebut rupanja tidak mendapat sambutan dari Sultan.

Dalam tahun 1851 Ratu Anum Mangkubumi Kentjana meninggal dunia dan diganti oleh tjutju dari Sultan Adam jang bernama Pangeran Tamdjid, jaitu anak dari Radja Muda Abdurrahman jang didapatnja dengan isteri selir jang bernama Njai Aminah. Selandjutnja Perabu Anum putera dari Sultan Adam jang ke-4 merasa tidak senang atas keangkatan ini, karena ia merasa dilalui haknja.

Sebenarnja Sultan Adam memang akan mengangkat Perabu Anum, akan tetapi karena ada surat laporan Belanda jang mengatakan bahwa Perabu Anum itu perbuatannja sangat kedjam dan tidak disukai rakjat, maka maksud itu dibatalkannja.

Dalam tahun 1852 Sultan Muda Pangeran Abdurrahman meninggal dunia jang menurut dugaan ialah atas perbuatan Perabu Anum pula dan sebagai penggantinja ialah Pangeran Hidajat, putera dari Sultan Muda Pangeran Abdurrahman jang didapatnja dengan isterinja dari turunan radja jang bernama Ratu Sitti, puteri dari Pangeran Mangkubumi Nata jang telah meninggal dunia dalam tahun 1842 jaitu saudara dari Sultan Adam sendiri.

Pengangkatan terhadap Pangeran Hidajat ini ialah didasarkan atas perdjandjian bersama antara Sultan Adam dengan Pangeran Abdurrahman ketika dilangsungkan perkawinan antara Ratu Sitti dengan Pangeran Abdurrahman, perdjandjian mana ditegaskan akan mengangkat puteranja jang tertua untuk menggantikan Pangeran Abdurrahman bilamana ia meninggal dunia. Demikian pula putera Sultan Adam jang bernama Perabu Anum diangkat mendjadi Mangkubumi.

Pengangkatan Pangeran Tamdjid mendjadi Mangkubumi sebenarnja sangat tidak disetudjui oleh Sultan Adam, karena selain ia tergolong keturunan seorang isteri jang bukan bangsawan, djuga Pangeran Tamdjid sangat menghina kepada agama Islam. Sultan Adam memandang Tamdjid sebagai duri dalam daging.

Tjita-tjita Sultan Adam untuk mengangkat Pangeran Hidajat sebagai pengganti Radja Muda itu sangat tidak disetudjui oleh Residen van Hengst jang ketika itu mendjadi Kepala Daerah Borneo Selatan. Residen memandang bahwa Pangeran Hidajat itu tidak tjakap dan tidak pernah datang ke Bandjarmasin untuk bergaul dengan golongan bangsa Belanda dan tidak pernah memberi pertolongan kepada Pemerintah Belanda dalam soal perdagangan. Oleh karena Residen menganggap bahwa Pangeran Hidajat sebagai musuh Pemerintah Belanda maka memaksa kepada Sultan Adam supaja mentjabutkan usulnja dan diganti dengan Pangeran Tamdjid.

Sebenarnja Pangeran Hidajat memang pada waktu itu mengasingkan dirinja untuk menetap di Martapura, sedang pekerdjaannja pada tiap-tiap hari ialah berburu dan gemar sekali bergaul dengan rakjat kebanjakan. Sifatnja dan adatnja sangat rendah dan ramah-tamah dengan rakjat dan djuga sangat disajangi oleh rakjat. Dan karena rapatnja dengan rakjat, maka tidak salah kalau Residen menganggap Pangeran Hidajat adalah musuh dari Pemerintah Belanda, karena kuatir akan mengadakan pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda.

Salandjutnja oleh karena Pangeran Tamdjid bisa membawa diri dan selalu merendahkan diri terhadap Residen van Hengst dan seringkali bergaul dengan golongan bangsa Belanda serta seringkali memberi pertolongan kepada Belanda dalam soal perdagangan, maka dipandangnja tepat untuk diangkat mendjadi radja Muda pengganti Pangeran Abdurrahman. Demikian djuga Residen tidak dapat menjetudjui Perabu Anum untuk diangkat mendjadi Mangkubumi. Andjuranandjuran itu telah mendapat persetudjuan dari pemerintah Belanda di Djakarta.

Peristiwa dan andjuran Residen van Hengst jang mengenai diri Pangeran Hidajat tersebut dapat didengar oleh Administrateur tambang arang di Pengaron, dimana ia telah merasa banjak pertolongan dari Pangeran Hidajat dan telah mengetahui keadaan diri Pangeran Hidajat sendiri dari dekat. Pemandangan Residen tersebut diadjukan oleh Administrateur kepada pemerintah Belanda di Djakarta, sambil mengemukakan keadaan Pangeran Hidajat jang sebenarnja. Residen van Hengst dipanggil ke Djakarta dan tidak didjadikan Residen lagi, sebagai gantinja dikirim A. v.d. Ven sebagai Residen jang baru. Penggantian Residen ini berlaku pada tahun 1853, tetapi usul dari Residen van Hengst tadi tetap tidak berubah.

Setelah terdjadi peristiwa jang sematjam ini, dimana pemerintah Belanda menduga tentu dari pihak Pangeran Hidajat merasa kurang senangnja terhadap perbuatan Residen dahulu, pemerintah Belanda merasa kuatir dan lalu menambah kekuatan bala tentaranja di benteng Tatas dengan 81 orang, Marabahan 40 orang, Tahaniau 24 orang, Mantuil 18 orang dan di Pengaron 32 orang.

Dalam bulan Mei 1853 Sultan Adam mengirim utusan ke Djakarta dengan tidak meminta izin atau perantaan dari Residen, jang maksudnja untuk meminta supaja Pangeran Tamdjid dipetjat sebagai Mangkubumi dan Pangeran Hidajat diangkat serta ditetapkan mendjadi Radja Muda, serta Perabu Anum didjadikan Mangkubumi. Utusan tersebut tidak dapat diterima oleh Gubernur Djenderal, bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertemu hanja tjukup dengan Sekretarisnja sadja dengan tidak membawa hasil apa-apa, sebab pemerintah Belanda menganggap bahwa utusan itu bukan dikirim atas kemauan Sultan Adam, tetapi atas desakan dan kemauan permaisurinja, jaitu Njai Ratu Kumala Sari dan dari Perabu Anum sendiri. Dalam tahun 1854 benteng kompeni Belanda di Tabaniau ditinggalkan. Sementara itu Residen van der Ven memadjukan usul kepada pemerintahnja di Djakarta agar Pangeran Tamdjid diberhentikan mendjadi Mangkubumi dan diganti dengan Pangeran Hidajat. Usul Residen ini bertentangan dengan Sultan Adam jang menghendaki Pangeran Hidajat diangkat mendjadi Sultan Muda.

Usul Residen itu didasarkan atas pandainja Pangeran Tamdjid bergaul dengan Residen, serta dipandang tidak tjotjok kalau seorang Mangkubumi sebagai Pangeran Tamdjid jang seharusnja berada disisi Sultan, tetapi tidak berani ke Martapura jaitu mendekati Sultan. Sebabnja Pangeran Tamdjid tidak berani ke Martapura itu, karena ia takut dengan rakjat disana jang tidak menjukainja; itulah sebabnja maka Pangeran Hidajat jang kedudukannja sangat rapat dengan Sultan Adam diusulkan sebaiknja mendjadi Mangkubumi dan tetap disisi Sultan. Tetapi usul Residen tersebut , oleh pemerintah Belanda di Djakarta djuga ditolak.

Selain dari itu, Sultan Adam telah meminta kepada Residen, supaja Pangeran Perabu Anum diakui sjah sebagai Radja Muda , tetapi permintaan Sultan tadi tidak dikabulkan. Kemudian dalam tahun 1855, sekalipun Residen tidak mengabulkan permintaan Sultan untuk mengakui sjah Perabu Anum sebagai Radja Muda, dengan tidak banjak bitjara Sultan Adam lalu melantik Pangeran Perabu Anum untuk didjadikan Radja Muda. Dengan demikian, Perabu Anum lalu mendapat penghargaan dan penghormatan dari rakjat seluruhnja sebagai Radja Muda.

Setelah peristiwa ini terdjadi dan Residen mengetahui keadaan jang sematjam itu, lalu Residen meminta keterangan kepada Sultan Adam, jang oleh Sultan ditegaskan, bahwa sekalipun tidak ada persetudjuan atau izin dari Pemerintah Belanda untuk mengangkat Pangeran Perabu Anum mendjadi Radja Muda, tetapi oleh karena soal ini adalah urusannja sendiri jang mendjadi hak Sultan, maka izin itu tidak dikehendaki.

Keterangan Sultan Adam jang demikian itu membikin marahnja Residen dan mengambil tindakan agar Perabu Anum diasingkan, tetapi usul jang sematjam itu oleh pemerintah di Djakarta ditolak, bahkan dalam bulan Nopember 1855 Residen tersebut dipindahkan kelain tempat. Dalam bulan Desember 1855 Sultan Adam membikin suatu surat wasiat 4 helai, satu diantaranja diberi bersegel dan dilak serta diserahkan kepada Mufti di Martapura dengan permintaan dan perdjandjian, djanganlah surat tadi dibuka sebelum Sultan meninggal dunia.

Sultan Adam berpendapat, bahwa dengan tjara memakai surat wasiat itulah jang dapat mengabulkan maksudnja, jaitu hendak mengangkat Pangeran Hidajat sebagai penggantinja bilamana ia telah meninggal dunia. Kepada anaknja sendiri jaitu Pangeran Perabu Anum serta kepada tjutjunja jang bernama Pangeran Tamdjid akan diantjam mati bilamana menghalang-halangi maksudnja itu. Selandjutnja kepada siapapun djuga jang tidak menuruti maksud Sultan Adam itu, disumpahkan agar mendapat kutuk dari Tuhan Jang Maha Esa.

Surat wasiat tersebut sangat besar pengaruhnja terhadap rakjat, karena Sultan Adam sangat ditjintai dan ditaati karena kerasnja dalam soal agama, bahkan dipandang sebagai seorang ulama besar jang tinggi ilmunja. Pada tanggal 10 Maret 1856 tibalah seorang Residen jang baru bernama Van de Graaf di Bandjarmasin. Tindakannja jang pertama ialah mempeladjari perselisihan-perselisihan tentang pengganti Sultan. Tetapi selama Residen jang baru tadi belum datang, sebagai wakilnja seorang Sekretaris, telah mengirim seputjuk surat kepada Sultan jang memperingatkan perdjandjian-perdjandjian tentang hal-hal jang berhubungan dengan keradjaan jang harus dilaksanakan oleh Mangkubumi, tetapi oleh Sultan didjawabnja bahwa Pangeran Tamdjid telah dipetjat dan tidak diakui sebagai Radja Muda atau Mangkubumi.

* * *

Pemberontakan Rakjat.

Pada tanggal 13 Mei 1856 sebuah kapal jang bernama „De Admiral van Kingsbergen" tiba di Bandjarmasin jang dikirim oleh pemerintah Belanda di Djakarta dengan membawa surat-surat diantaranja: surat pengesahan pengangkatan Pangeran Tamdjid sebagai Radja Muda; surat perintah jang menentukan Bandjarmasin sebagai tempat tinggal Perabu Anum dan surat Sultan Adam sendiri, dan surat-surat tersebut pada tanggal 18 Mei tahun itu djuga diserahkan dengan resmi kepada Sultan Adam.

Didalam surat jang untuk Sultan Adam tadi, pemerintah Belanda memaksa supaja mengakui Pangeran Tamdjid sebagai Radja Muda dan melarang menghalang-halangi terhadap kepadanja, dan selandjutnja akan mengangkat Mangkubumi jang baru.

Pada tanggal 23 Mei 1856 Perabu Anum tiba di Bandjarmasin dan tidak dibolehkan meninggalkan kota itu oleh pemerintah Belanda dan segala gerakgeriknja diamat-amati. Peristiwa jang demikian itu sangat melukai hati rakjat hingga hampir terdjadi pemberontakan kalau tidak lekas -lekas Sultan Adam ke Bandjarmasin untuk melihat anaknja jaitu Perabu Anum. Sultan Adam tidak dapat tinggal di Bandjarmasin berlama-lama karena ia sangat gemar menunggang kuda, sedangkan lapangan untuk itu di Bandjarmasin sangat sempit, kembalilah ia ke Martapura.

Pada tanggal 24 Mei 1856 Sultan Adam memadjukan usul untuk mengangkat Pangeran Hidajat mendjadi Mangkubumi dan pada tanggal 25 Agustus 1856 dilakukan pelantikannja. Keangkatan Pangeran Hidajat sebagai Mangkubumi ini adalah siasat dari Sultan Adam jang perlunja untuk mendinginkan hati rakjat dari perbuatan-perbuatan kompeni Belanda jang seolah-olah melakukan Pangeran Perabu Anum sebagai tawanan.

Sesudah melantik Pangeran Hidajat mendjadi Mangkubumi, tidak lama kemudian Sultan Adam mendapat sakit jang kian hari bertambah keras, achirnja pada tanggal 1 Nopember 1857 ia meninggal dunia di Martapura. Pada saat meninggalnja Sultan Adam ini, Perabu Anum memaksa dengan kekerasan sekalipun tidak diizinkan oleh Residen untuk ke Martapura, menjelenggarakan pemakaman Sultan Adam. Disitu hampir terdjadi bentrokan antara Residen dan Perabu Anum. Achirnja dengan tidak mengindahkan perintah Residen, Perabu Anum berangkat djuga ke Martapura. Melihat keadaan jang sematjam itu , Residen agak kuatir kalau-kalau Perabu Anum tidak akan kembali lagi ke Bandjarmasin, lalu Residen memerintah kepada Mangkubumi Pangeran Hidajat agar melakukan penangkapan kepada Perabu Anum pada hari itu djuga .

Perintah Residen itu seolah-olah ditaati oleh Pangeran Hidajat, tetapi setelah Pangeran Hidajat tiba di Martapura, maka dibiarkannja sadja Perabu Anum berada di Martapura dan tidak dilakukan penangkapan, apapula waktu itu majat Sultan Adam masih dalam Istana dan belum dimakamkan.

Pada tanggal 3 Nopember 1857 Pangeran Tamdjid dilantik oleh Residen Belanda mendjadi Sultan pengganti almarhum Sultan Adam, dengan tidak mendapat halangan-halangan dari Pangeran Hidajat, Perabu Anum dan lain-lainnja. Setelah selesai pelantikan Pangeran Tamdjid, lalu atas perintahnja supaja mengelilingi rumah Perabu Anum untuk menangkapnja, tetapi sebelum penangkapan terdjadi Perabu Anum sudah melarikan diri.

Perbuatan Kompeni tersebut sangat melukai hati rakjat, karena baru majat Sultan Adam diselenggarakan, lalu ditjemari dengan perbuatan jang menjolok mata, sekalipun maksudnja hanja untuk menangkap Perabu Anum.

Pada tanggal 11 Nopember 1857 Residen van de Graaf dipindahkan ke Djawa, dan pada tanggal 19 Nopember 1857 datang Residen baru sebagai penggantinja jaitu E. F. van Bontheim Tecklenberg Rhede.

Oleh karena beberapa hari Pangeran Hidajat tidak dapat menangkap Perabu Anum maka pemerintah Belanda mengirimkan komisinja jang terdiri dari Pangeran Suria Winata , Hoofd -Djaksa Bandjarmasin ke Martapura jang mana bersama-sama djuga dengan Pangeran Hidajat. Komisi tersebut kembali ke Bandjarmasin dengan tangan hampa. Selandjutnja karena tegoran dari pemerintah Belanda , Pangeran Hidajat berdjandji akan menjerahkan Perabu Anum kepada pemerintah sebelum tanggal 22 Nopember 1857.

Pangeran Hidajat suka berdjandji akan membawa Perabu Anum karena menurut keterangan Residen, Perabu Anum akan dikembalikan kepadanja, djadi tidak ada suatu sjak-wasangka apa-apa. Tetapi setelah tanggal 21 Nopember 1857, waktu Pangeran Hidajat datang bersama-sama dengan Perabu Anum menghadap Residen, tiba -tiba Residen memerintahkan kepada serdadunja agar membawa Perabu Anum kedalam benteng Tatas untuk ditawan.

Peristiwa jang sematjam itu menimbulkan kemarahan Pangeran Hidajat karena ia merasa ditipu Belanda dan ia minta kepada Belanda supaja membebaskan kembali Perabu Anum .

Rakjat menganggap bahwa pemerintah Belanda tidak adil dan tidak djudjur. djuga rakjat berpendapat bahwa jang berchianat atas perbuatan itu tidak lain hanja Tamdjid-lah jang menghasut kepada Residen untuk menangkap Perabu Anum. Kebentjian rakjat karena itu semakin besar kepada pemerintah Belanda.

Pada tanggal 23 Pebruari 1858, Perabu Anum diasingkan ke Bandung jang diantar oleh ibunja dan iparnja jang bernama Ratu Kumala Sari dan Pangeran Sarif Husin, dalam mana ia akan mendesak kepada pemerintah Belanda supaja Perabu Anum dimerdekakan.

Selandjutnja mengenai ketegangan antara Pangeran Hidajat dan Sultan Tamdjidillah, maka untuk mengatasinja Residen melakukan siasat litjinnja jaitu diusahakannja untuk mengawinkan putera Sultan Tamdjidillah jang bernama Amin dengan puteri dari Pangeran Hidajat jang bernama puteri Bulan.

Dalam upatjara perkawinan tersebut, jaitu bulan Oktober 1858 Sultan Tamdjidillah selalu memberikan suatu kekuasaan kepada Pangeran Hidajat sebagai Mangkubumi, jang pada saat itu djuga lalu dilantik.

Sebenarnja pemberian kekuasaan kepada Pangeran Hidajat oleh Sultan Tamdjidillah itu mempunjai tudjuan untuk mengambil dan mempergunakan pengaruh Pangeran Hidajat, karena sebelum peristiwa penjerahan kekuasaan berlaku, pada bulan Agustus 1858 telah terbit pemberontakan di Benua Lima (Negara, Alabiu, Sungai Besar, Amuntai dan Kelua) jang dipimpin oleh Djalil.

Atas permintaan Residen jang sangat kepada Pangeran Hidajat untuk mendamaikan pemberontakan tersebut, terpaksalah Pangeran Hidajat bertindak setjara bidjaksana, jaitu setelah didatangi dan diadakan pemeriksaan di Benua Lima oleh Pangeran Hidajat, achirnja diputuskan olehnja untuk memetjat Kiai Adipati Danu Radja Kepala didaerah Benua Lima dan diganti dengan saudara muda dari Sultan Tamdjidillah jang bernama Pangeran Aria Kesuma. Keputusan Pangeran Hidajat jang serupa itu sangat disetudjui oleh Sultan Tamdjidillah dan dengan demikian pemberontakan dapat didamaikan.

Sekalipun keputusan tersebut telah mendapat persetudjuan dari Sultan Tamdjidillah dan pemberontakan telah aman dan damai, tetapi bagi Kiai Adipati Danu Radja tidak demikian, dia selalu berusaha sekeras- kerasnja agar mendapat kedudukannja kembali, sekalipun dengan djalan apa sadja. Suatu akal baginja ialah menghasut-hasut dan memfitnah- fitnah dan menjembah-njembah dihadapan Sultan Tamdjidillah, jang achirnja dengan demikian, maka pada bulan Djanuari 1859 Sultan Tamdjidillah membatalkan segala keputusan-keputusan jang diambil oleh Pangeran Hidajat, dan mengangkat kembali Kiai Adipati Danu Radja mendjadi Kiai di Batang Balangan dan puteranja Adipati Danu Radja didjadikan Kiai untuk memerintah dibagian Tabalong Kiwa dan Tabalong Kanan, sedang Pangeran Aria Kesuma dilarang pergi ke Benua Lima.

Sesudah keputusan Sultan Tamdjidillah jang demikian itu, pada hakekatnja memberi kesempatan kepada rakjat untuk memberontak terhadap Belanda. Pemberontakan rakjat mulai lagi dengan hebatnja, bahkan lebih hebat dari jang lalu.

Pangeran Hidajat diperintahkan untuk memadamkan pemberontakan tersebut, tetapi ditolaknja mentah-mentah. Bukan sadja perintah itu jang ditolaknja, bahkan djabatan sebagai Mangkubumi diserahkannja kembali kepada Sultan Tamdjidillah. Pangeran Hidajat merasa dihina atas perlakuan Sultan Tamdjidillah tersebut, malahan merasa pula bahwa pada saat itu bukan sadja bermusuhan dengan Kiai Adipati Danu Radja sadja tetapi djuga dengan Sultan Tamdjidillah. Selandjutnja pemberontakan semakin berkembang, dalam pada itu Pangeran Hidajat tidak mendapat persetudjuan untuk meletakan djabatannja.

Tetapi pada suatu hari, pada tanggal 22 Maret 1859 tersiar kabar bahwa di Muning (Margasari dan Rantau) ada seorang tani jang bernama Aling menamakan dirinja sebagai ,,Nabi" dan akan mengangkat dirinja sebagai Penembahan, dan kepada anak-anaknja dan keluarganja akan diberinja gelaran Kesuma sebagai jang terdapat pada anak-anak radja. Anaknja jang bernama Sambang diberinja bergelar Sultan Kuning, serta banjak orang-orang jang mendjadi pengikutnja. Lagi pula Aling alias Penembahan meramalkan, bahwa pada tanggal 17 April 1859 Sultan Tamdjidillah akan diturunkan dari tahtanja dan ia akan melantik dirinja mendjadi Sultan Bandjarmasin jang baru.

Dalam pada itu Pangeran Antasari, putera dari Pangeran Masuhut, tjutju dari Pangeran Amir jang dibuang ke Ceylon turut serta pula dalam pemberontakan dan bersatu dengan kelompok-kelompok rakjat jang memberontak di Muning; mereka semuanja akan melawan Sultan Tamdjidillah dan Belanda. Sedangkan Pangeran Hidajat tidak mau diperintahkan untuk mendamaikan huru-hara tersebut, takut kalau-kalau keputusan-keputusannja akan dibatalkan pula oleh Sultan Tamdjidillah.

Sultan Tamdjidillah jang selamanja hanja tinggal bersenang-senang di Bandjarmasin, tiba-tiba pada tanggal 27 Maret 1859 mendapat perintah dari Residen untuk berangkat ke Martapura untuk menjelidiki keadaan jang telah terdjadi disekitar keradjaannja.

Pada tanggal 3 April 1859 Sultan Tamdjidillah telah kembali ke Bandjarmasin dengan membawa laporan-laporan jang menjatakan, bahwa didekat Kraton Martapura telah terdjadi pembakaran-pembakaran jang dilakukan oleh orangorang djahat jang disengadja lebih dulu. Djuga Pangeran Antasari telah mengepalai sebanjak 3000 orang sedang bergerak melalui Pengaron untuk mengepung kota Martapura dan mengadakan serangan. Dan berhubung dengan itu, Sultan Tamdjidillah minta bantuan kepada Residen supaja mendapat pendjagaan serdadu Belanda, tetapi oleh Residen tidak diberikan. Oleh karena itu Sultan Tamdjidillah kembali ke Bandjarmasin selekas-lekasnja.

Sementara serangan-serangan dari kaum pemberontak belum dilakukan, lebih dulu Residen diberi kabar kepada administrateur tambang batu arang di Pengaron dan Komandan serdadu Belanda di Marabahan jaitu pada tanggal 6 April 1859, jang menjuruhnja supaja berhati-hati.

Selandjutnja Residen meminta buah pikiran dan nasehat kepada Pangeran Hidajat untuk mendamaikan pemberontakan tersebut. Pangeran Hidajat menjanggupi untuk meredakan pemberontakan, asal mendapat perintah langsung dari Residen, djadi bukan dari Sultan Tamdjidillah, dan keangkatannja sebagai Mangkubumi hendaklah dikuatkan dengan tanda tangan Residen.

Setelah permintaan Pangeran Hidajat dikabulkan oleh Residen maka berangkatlah ia menudju Martapura, tetapi dalam perdjalanan ia mendapat suatu surat jang berasal dari Sultan Tamdjidillah sendiri jang menjatakan, bahwa pemberontakan itu asalnja dari beliau sendiri untuk mendjatuhkan musuh-musuhnja, jaitu Pangeran Hidajat, Njai Ratu Kumalasari dan lain-lainnja. Setelah Pangeran Hidajat memahami isi dan maksud surat tersebut, tidak lagi meneruskan perdjalanannja ke Martapura tetapi kembali ke Bandjarmasin.

Beberapa hari kemudian, pada tanggal 7 April 1859 Pangeran Muhammad Aminullah memberi kabar kepada Residen bahwa pemberontakan jang dipimpin oleh Penembahan Aling dari Muning akan berangkat ke Martapura untuk menurunkan Sultan Tamdjidillah pada tanggal 5 Mei 1859 dari keradjaannja dan kemudian akan melantik dan mengangkat Pangeran Hidajat atau Pangeran Antasari mendjadi Sultan, tetapi Pangeran Antasari sendiri menghendaki supaja Pangeran Hidajat didjadikan Sultan.

Setelah Residen mendengar kabar jang demikian itu, ia minta bantuan serdadu kepada pemerintahnja di Djakarta, jang kemudian pada tanggal 5 April 1859 lalu tiba sebuah kapal partikulir jang dilengkapi dengan sendjata dibawah pimpinan kapten Mensing, tetapi beberapa hari kemudian kapal itu dikembalikan, setelah didengar kabar bahwa pemberontakan agak berkurang.

Kabar jang disampaikan oleh Pangeran Mohd. Aminullah kepada Residen sangat menggembirakan hati Sultan Tamdjidillah, karena pada saat itulah suatu kesempatan jang baik untuk mendjatuhkan Pangeran Hidajat. Dengan demikian ditjarinja akal untuk mendatangi Pangeran Hidajat, serta menjatakan bahwa Residen sedang minta bantuan serdadu dan sendjata dari Djakarta untuk menangkap Pangeran Hidajat, dan diharapnja agar Pangeran Hidajat selekas mungkin melarikan dirinja dan meninggalkan Bandjarmasin.

Pada tanggal 28 April 1859 tiba-tiba terbitlah suatu pemberontakan jang dipimpin oleh Pangeran Antasari mengurung Pengaron jang selalu dipertahankan oleh Letnan Beekman, tetapi sekalipun serangan-serangan pasukan Pangeran Antasari tidak berhasil merebut benteng Pengaron, maka tjukuplah menggelisahkan hati orang-orang Belanda jang bekerdja pada tambang batu arang disitu. Pada penjerangan Antasari jang lam jaitu pada tanggal 29 April 1859 digunung Djabuk, pasukannja dapat menjerbu pada onderneming gubernemen jang baru dibukanja ditempat itu dan membunuh semua pegawai-pegawai bangsa Belanda.

Selandjutnja pada tanggal 30 April 1859 pemerintah di Djakarta mengirimkan sebuah kapal perang jang bernama „Ardjuno" dengan satu kompi serdadu Belanda dan Indonesia, lengkap dengan sendjatanja dibawah pimpinan Kolonel A. J. Andressen.

Setelah Kolonel Andressen berada di Bandjarmasin, Pangeran Hidajat mengirimkan surat-surat bukti jang didapatnja ditengah djalanan tempo hari jaitu surat dari Sultan Tamdjidillah, bahwasanja untuk membuktikan perlawanan rakjat kepada pemerintah itu, adalah perbuatan dan andjuran Sultan Tamdjidillah sendiri.

Pada tanggal 1 Mei 1859 para pekerdja bangsa Eropah pada tambang batu arang Juliana Hemine "dikampung Kalangan Sungai Durian dekat BanjuIrang telah habis dibunuh rakjat, hanja tinggal perempuan-perempuan dan anakanak jang dapat melarikan diri dan dengan pertolongan Pangeran Hidajat mereka itu dapat kembali ke Bandjarmasin dengan selamat.

Pada hari itu djuga jaitu tanggal 1 Mei 1859, datang pula sebuah kapal perang Belanda bernama „Tjipanas" dibawah pimpinan Kapten Ullman bersama 100 orang serdadu ke Martapura dengan maksud untuk mematahkan perlawanan rakjat. Tetapi malang bagi kapal tersebut karena kemudian mendapat kerusakan, sedangkan rakjat di Martapura sudah siap sedia dengan sendjata lengkap ditepi sungai untuk menggempur kapal Tjipanas itu. Pendaratan serdadu tersebut ke Martapura tidak dapat dilangsungkan, achirnja kapal itu mundur kembali dengan serdadu-serdadunja ke Bandjarmasin. Tambahan pula pendaratan waktu itu tidak mungkin dilakukan, pada saat rakjat sangat memuntjak amarahnja. Oleh karena suasana semakin memuntjak achirnja Sultan Tamdjidillah menjerahkan urusan pemerintahannja kepada Kolonel Andressen dan memberi kuasa untuk mendjalankan pemerintahan menurut sekehendaknja didalam bagian keradjaannja. Setelah Kolonel menerima kekuasaan itu, ia mempeladjari surat menjurat tentang apa jang terdjadi didalam keradjaan Martapura maka achirnja dapat dipahami bahwa Pangeran Hidajat harus didjadikan Sultan atau sahabat.

Usaha kolonel Andressen berhasil untuk bersahabat dengan Pangeran Hidajat sehingga kekuatan pasukan Antasari di Pengaron dan Martapura mulai kurang, tetapi dibagian Marabahan dan Pulau Petak terantjam oleh bahaja serangan dari suku Dajak dibawah Temenggung Suropati, dibantu oleh pasukan dari Benua Lima jang dipimpin oleh Djalil, jaitu musuh dari Kiai Adipati Danu Radja. Agak untung sedikit karena salah seorang suku Dajak jang bernama Soeta Ono dengan beberapa orang kawannja di Balai Sihong tetap memberi pertolongan kepada bangsa Belanda, sehingga beberapa orang pendeta Belanda tetap selamat. Sebaliknja pertolongan jang diberikan Soeto Ono dengan kawan-kawannja itu, karena mereka telah terpengaruh dan termakan propaganda para pendeta-pendeta tadi.

Pada tanggal 5–7 Mei 1859 kapal Tjipanas jang bertahan di Bandjarmasin meneruskan perdjalanannja ke Pulau Petak untuk mengambil para pendeta jang berada dikampung Balai Sihong, jang hanja sempat membawa empat orang sadja, karena kapal tersebut tidak berani bertahan agak lama. Sementara itu, tiga orang pendeta bersama anak-isterinja jang masih tinggal di Tanggohan habis dibunuh oleh pasukan Temenggung Suropati, hanja seorang perempuan dengan dua orang anaknja sadja jang dapat dihindarkan.

Kapal Tjipanas dikirim kembali ke Pulau Petak untuk mendjemput pelarian tersebut, tetapi malang baginja, Marabahan telah dikurung oleh pasukan Djalil.

Kolonel Andressen berteriak meminta tolong kepada Pangeran Hidajat dan mengharap agar pada tanggal 15 Mei 1859 datang ke Bandjarmasin. Undangan ini diterima oleh Pangeran Hidajat dengan baik, sementara itu pada tanggal 24 Mei 1859 Kolonel Andressen diangkat oleh Pemerintahnja di Djakarta sebagai Komisaris pemerintah di Bandjarmasin, sedangkan Residen Houthem dipindahkan dan diganti oleh Residen Bosch.

Pada tanggal 4 Djuni 1859 datang pula bantuan dari Djakarta beberapa pasukan laut dan darat dibawah pimpinan Kapten J.A.K. van Haselt. Keradjaan Bandjarmasin dengan mengetjualikan Negara dan tanah-tanah Gubernemen Tanah Dusun, Pulau Petak, Tanah Dajak dan Tanah Laut dipandang dan didjalankan aturan perang.

Pada tanggal 13 Djuni 1859 serdadu-serdadu Belanda didaratkan di Martapura dibawah pimpinan Kol. Andressen. Pangeran Hidajat jang pada mulanja atas permintaan Pangeran Antasari menghindarkan dirinja ke Karang Intan, tiba-tiba datang kembali ke Martapura menemui Kol. Andressen. Kepadanja oleh Kol. Andressen diminta bantuan.

Oleh karena banjaknja serdadu-serdadu jang baru tiba di Martapura, maka Martapura dan Pengaron jang telah dikurung selama 50 hari oleh pasukan Antasari dilepaskan kembali. Oleh karena keadaan semakin genting. maka pada tanggal 25 Djuni 1859 Sultan Tamdjidillah diturunkan dari keradjaannja, jang sebaliknja Sultan Tamdjidillah sendiri menjerahkan keradjaannja kepada Belanda. Achirnja pada tanggal 16 Djuli 1859 dikirim ke Djawa untuk diasingkan dan sementara Sultan jang baru masih belum ada, maka keradjaan Bandjarmasin diserahkan urusannja kepada para komisi jang terdiri dari Pangeran Suria Mataram dan Pangeran Muhd, Tambak Anjar sedangkan Kolonel Andressen mengharap agar Pangeran Hidajat diangkat untuk mendjadi Sultan, supaja keamanan dan kesentausaan keradjaan Bandjarmasin pulih kembali.

Pasukan Penembahan Aling dengan puteranja jang bergelar Sultan Kuning achirnja mendjadi lemah dan kurang pengikutnja, karena Pangeran Hidajat jang mendjadi pokok pangkalnja pemberontakan itu bersahabat dengan Belanda, Pasukan Penembahan Aling tidak lagi berpusat di Martapura tetapi Jalu terpentjar kemana-mana.

Selandjutnja antara bulan Djuni dan Djuli, pasukan Temenggung Suropati dan Djalil jang selama itu menguasai Pulau Petak, dapat direbut kembali oleh serdadu angkatan laut dan darat jang dipimpin oleh pembekal Suling jang sangat setia kepada kolonel Andressen.

Pada tanggal 30 Djuli 1859 tiba-tiba terdjadi serangan jang agak hebat dari rakjat di Martapura, jaitu ketika serdadu-serdadu Belanda sedang diperiksa persendjataannja, lalu diserang oleh takjat bersama-sama dengan pengikut Pangeran Antasari.

Dijalanan-djalanan bagian Martapura, Mataraman dan Pengaron diduduki oleh serdadu Belanda. Pertempuran-pertempuran jang sengit terdjadi dimana-mana utamanja didekat Gunung Sawak dan Banju Irang antara serdadu Belanda dengan pasukan Kiai Demang Lehman, jaitu seorang pengikut Pangeran Hidajat jang setia.

Pada tanggal 26 Agustus 1859 ketika Kol. Andressen mengirimkan serdadunja ke Tabaniau untuk merebut benteng Tabaniau, tiba-tiba penduduk kampung Kuwin menjerang benteng Belanda di Mantuil dan Bandjarmasin, tetapi kepala pasukan penduduk Kuwin tersebut dapat ditangkap oleh Hoofd-djaksa P. Suria Winata. Demikian djuga benteng Tabaniau dapat dirampas kembali oleh serdadu Belanda, sedang pasukao Kiai Demang Lehman jang dibantu oleh Hadji Bajasin mengundurkan diri ke Tanah Laut. Sesudah itu dalam bulan Agustus dan September 1859, Kol. Andressen tidak lagi mengadakan serangan-serangan tetapi memakai siasat menunggu, karena suasana di Bandjarmasin dan Martapura telah agak reda kembali, Pertempuran-pertempuran hanja berpusat disekitar daerah Tanah Laut, Gunung Lawak dan Pulau Petak.

Pangeran Hidajat sendiri telah beberapa kali mengambil keputusan untuk pergi ke Bandjarmasin memenuhi permintaan Kol. Andressen tetapi selalu dibatalkan. karena disangsikan kalau-kalau nasibnja menemui nasib sebagai Perabu Anum. Berhubung dengan itu Kol. Andressen mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Pangeran-pangeran dan Alim Ulama di Martapura, jang achirnja memutuskan untuk mengirim 20 orang utusan menghadap kepada Pangeran Hidajat untuk melaksanakan wasiat almarhum Sultan Adam dan menjerahkan keradjaan Bandjarmasin serta mengangkat Pangeran Hidajat sebagai Sultan. asalkan mau kembali dan tinggal di Bandjarmasin. Sebaliknja, kalau Pangeran Hidajat tidak mau menerimanja, maka tidaklah lagi kutuk Almarhum Sultan Adam, seperti jang tersebut dalam surat wasiatnja didjatuhkan kepada penduduk Martapura dan Bandjarmasin, tetapi Pangeran Hidajat sendirilah jang menanggungnja, sehingga mendjadi sebab- musababnja keradjaan Bandjarmasin musnah dan porak-peranda.

Pada tanggal 4 Nopember 1859 utusan tersebut berangkat menghadap Pangeran Hidajat di Amuntai , tetapi kembali dengan tangan hampa karena Pangeran Hidajat tidak menerimanja disebabkan karena besarnja pengaruh pasukan -pasukan Antasari dan lain-lainnja agar tidak menerima djabatan tersebut diatas. Melihat siasat Andressen jang demikian itu rupanja pemerintah di Djakarta tidak suka, dianggap sikap Andressen terlalu lembek, mereka menghendaki jang keras dan kedjam. Achirnja pada tanggal 4 Nopember 1859, Kol. Andressen dipindahkan kelain tempat dan diganti oleh F.N. Nieuwenhuizen, dan sebagai Residennja diangkat Major G.M. Verspyck.

Pada tanggal 4 Desember 1859 Nieuwenhuizen mengadakan pertemuan dengan Pangeran dan Alim Ulama di Martapura untuk membitjarakan sumpah dan kutuk jang mengantjam runtuhnja keradjaan Bandjarmasin, sebagai jang tersebut dalam surat wasiat almarhum Sultan Adam, jang achirnja diputuskan bahwa segala kutuk dan sumpah itu dianggap tidak terdjadi sebab semuanja bertentangan dengan Agama Islam.

Selandjutnja Nieuwenhuizen memadjukan permintaan kepada pemerintahnja di Djakarta, supaja Pangeran Hidajat diberi tempoh untuk menjerah diri dan kalau tempoh jang diberikan itu telah lewat maka keradjaan Bandjarmasin akan diambil dan dihapuskan oleh Gubernemen. Tetapi sebelum permintaan tersebut sampai di Djakarta, pemerintah Belanda di Djakarta sudah mengambil keputusan, bahwa keradjaan Bandjarmasin akan dihapuskan dan diambil oleh pemerintah Belanda . Demikianlah dengan beslit pemerintah Belanda di Djakarta tanggal 17 Desember 1859 , kęradjaan Bandjarmasin didjadikan hak Gubernemen.

Sesudah pengambilan hak keradjaan Bandjarmasin pihak Belanda mengadakan pengepungan- pengepungan dan pembersihan jang dipimpin oleh Major Verspyck kepada pasukan-pasukan jang dipimpin oleh Pangeran Muhd. Aminullah, Kiai Demang Lehman dan Pangeran Antaludin, tetapi mereka sempat mengundurkan diri menudju Amandit dan Padang Batung.

* * *

Kekedjaman Belanda.

Pada tanggal 27 Desember 1859 sebuah kapal perang dikirim oleh Djakarta ke Bandjarmasin (,,Ontrust") lengkap dengan serdadu dan persendjataannja, dan setibanja di Bandjarmasin terus dikirim ke Barito untuk mendapati Temenggung Suropati jang telah berdjandji setia sehidup-semati dengan Belanda serta berdjandji akan menangkap Pangeran Antasari. Tetapi sebelum kapal tersebut sampai pada tudjuannja, dikampung Lontu Four kapal Ontrust diserang dan dihantjurkan oleh pasukan Temenggung Suropati sendiri sehingga tenggelam kedasar sungai Barito. Peristiwa sematjam itu tidak dibiarkan sadja oleh pemerintah Belanda dan pada permulaan Pebruari 1860 dikirim lagi serdadu angkatan laut dan darat untuk membalas perbuatan Temenggung Suropati, sehingga benteng Suropati di Lahai dapat direbut Belanda. Bukan itu sadja, tetapi Belanda selalu tidak puas dan sebagai pembalasan dendamnja, maka semua kampung-kampung jang terdapat dipinggir sungai Barito dibakar habis-habisan.

Pada tanggal 5 Pebruari 1860 diumumkan, bahwa Pangeran Hidajat sebagai pemangku djabatan Mangkubumi telah tidak laku lagi , serta diumumkan pula bahwa segala kutuk-kutuk dan sumpah-sumpah dalam surat wasiat almarhum Sultan Adam tidak djuga berlaku. Selandjutnja pada hari itu djuga dikirim pula serdadu- serdadu Belanda dibawah pimpinan Major Verspyck jang dibantu oleh Kiai Adipati Danu Radja ke Negara dan Amuntai melalui Barito dan Negara untuk menjerang pasukan Djalil jang mendjadi musuh Adipati Danu Radja dan dengan demikian rakjat Amuntai banjak jang memberi pertolongan kepada Belanda , jang achirnja pasukan Djalil dapat dikalahkan , tetapi Djalil sendiri tidak tertangkap. Atas kemenangan itu Adipati Danu Radja diangkat mendjadi Kiai di Benua Lima.

Adapun serdadu-serdadu Belanda jang dikirim ke Padang Batung dan Munggu Tajuh untuk menjerang pasukan Kuning dan pasukan Pangeran Antaludin, dapat bertemu dengan jang ditjarinja. Pertempuran terdjadi dengan seru dan hebat, tetapi oleh karena dalam pertempuran tersebut Sultan Kuning dan Pangeran Antaludin gugur sebagai Kesuma-bangsa, maka pasukannja kutjar-katjir melarikan diri. Dan serdadu- serdadu Belanda jang dikirim ke Taal untuk merebut benteng Kiai Demang Lehman, dapat dihantjurkan oleh pasukan Kiai Demang Lehman.

Pada tanggal 7 Maret 1860 Nieuwenhuizen mengirimkan seputjuk surat kepada Pangeran Hidajat, agar dalam tempoh 12 hari ia harus sudah menjerahkan diri kepada pemerintah Belanda, dan kalau tidak maka dianggap sebagi musuh dan pemberontak.

Surat tersebut didjawab oleh Pangeran Hidajat dengan kata-kata jang bersahadja, tetapi tjukup djelas dan tegas, bahwa pemerintah Belanda boleh menganggap apa sadja terhadap dirinja, dan apabila ia telah mendjadi bangkai, akan menjerah.

Djawaban Pangeran Hidajat itu bukan sadja tidak menjenangkan pemerintah Belanda, bahkan djuga menggelisahkan . Dan semendjak itu dikirim beberapa ratus serdadu-serdadu Belanda kesegenap daerah, jaitu satu pasukan ke Margasari dan Kalumpang dan satu pasukan lagi ke Munggu Tajuh menudju Rantau untuk mengedjar pasukan Demang Lehman jang pada saat itu berada di Rantau. Benteng-benteng jang didirikan oleh Kiai Demang Lehman dapat dihantjurkan oleh serdadu-serdadu Belanda, tetapi daerah-daerah lain tetap mengadakan perlawanan hebat seperti di Kandangan, Barabai, Tandjung dan seluruh tanah Laut. Dibagian Tanah Dusun pasukan Temenggung Suropati mengamuk dengan hebatnja, tetapi serdadu - serdadu Belanda mendapat bantuan dari Suta Ono jang sangat setia kepada Belanda.

Pada tanggal 11 Djuni 1860 pemerintah Belanda mengumumkan jatuh dan hapusnja kerajaan Bandjarmasin dan bersamaan dengan pengumuman itu tak henti-hentinja serdadu -serdadu Belanda dikirim ketempat-tempat dimana masih ada sarang pemberontakan dan dengan demikian sedikit demi sedikit perasaan Belanda agak aman.

Bersama dengan hapusnja keradjaan Bandjarmasin, ditegaskan pula bahwa keradjaan Bandjarmasin telah dibagi mendjadi 3 afdeling jaitu Kuwin, Martapura dan Amuntai, masing-masing dibagi-bagi pula dengan beberapa distrik.

Uang rodi dan padjak kampung diadakan dan didjalankan. Segala hak atau harta-benda kepunjaan rakjat jang tidak turut tjampur dalam pemberontakan dilindungi oleh pemerintah Belanda, tetapi dengan beslit pemerintah Belanda di Djakarta tanggal 10 Agustus 1863 No. 29 dan tanggal 20 Nopember 1863 No. 35 semua harta-benda dan hak keradjaan dihapuskan dan kepada rakjat jang harta-bendanja tersangkut kedalam keradjaan akan diberi kerugian.

Demikian djuga pemerintah Belanda mengadakan djuga beberapa benteng pertahanan di Batu Tungku dan Tanah Laut untuk memadamkan perlawananperlawanan jang masih berpusat ditempat tersebut.

Djalanan jang menghubungkan Tabaniau ke Pleihari terus ke Martapura Munggu Tajuh Amawang - Pantang Hambawang - Barabai - Lampihong dan Amuntai diperbaiki dan diperluas.

Sewaktu Nieuwenhuizen dipindahkan ke Djawa pada bulan Djuli 1860 keadaan daerah Bandjarmasin dan sekelilingnja mulai aman dan damai.

Pemerintah didjalankan oleh Major Verspyck jang terus-menerus mengadakan pengedjaran terhadap para pemberontak, tetapi sekalipun demikan, Pangeran Hidajat dan Pangeran Antasari masih sadja belum dapat dikalahkan atau ditangkap.

Apa jang dikatakan mulai aman dan damai oleh pemerintah Belanda itu, sebenarnja bertentangan dengan kenjataan karena Pangeran Antasari mengadakan serangan-serangan jang hebat di Tabalong dan Tandjung, tetapi pasukannja mengundurkan diri menudju ke Udik. Bertepatan waktunja dengan itu maka di Martapura terdjadi pemberontakan jang seru sehingga mengurbankan beberapa puluh serdadu Belanda, tetapi dengan segera bantuan didatangkan dari Bandjarmasin dan para pemberontak dapat dikalahkan , sedangkan para pemimpinnja dapat ditangkap dan diberi hukuman gantung jang dilakukan ditanah-lapang dibuatnja sebagai tjontoh kepada rakjat, terhadap siapa sadja jang melakukan pemberontakan akan diperlakukan pula demikian.

Demikian djuga berkenaan dengan kedjadian -kedjadian itu, lalu Residen mengumpulkan semua Bupati untuk diberi peringatan dan pertanggungan-djawab agar dikemudian hari tidak terdjadi lagi.

Selandjutnja pada bulan September 1860 terdjadi lagi serangan-serangan jang hebat dibagian Pleihari, Gunung Madang dan dibagian Amuntai sehingga kedua belah pihak mendapat kerugian tidak sedikit djumlahnja.

Dalam bulan Oktober 1860 pasukan Pangeran Antasari mendirikan sebuah benteng di Batumandi tetapi dapat direbut oleh serdadu Belanda jang menjerang dari dua djurusan , jaitu dari Barabai dan Amuntai. Achirnja Pangeran Antasari mengundurkan diri kedaerah Teweh.  Tak diduga, bersamaan waktunja dengan itu, tiba-tiba Radja Pegatan dengan 300 orang suku Bugis telah memihak kepada pemerintah Belanda, lalu mengadakan serangan dari dua djurusan pula, jaitu dari Asam-asam dan Batu Tungku untuk memusnakan pasukan Hadji Bajusin jang berpusat di Sabuhur.

 Daerah jang dikuasai oleh Hadji Bajusin tidak hanja di Sabuhur dan sekitarnja tetapi hingga Riam Kanan, semuanja dapat dipetjah-belahkan oleh pasukan Belanda jang djauh lebih kuat persendjataan dan orangnja, sedang Hadji Bajusin dapat mengundurkan diri kearah Barito.

 Sebaliknja sesudah itu, pada bulan Nopember 1860 terbit pula pemberontakan antara serdadu-serdadu Belanda dengan pasukan pembekal Bungur jang achirnja pembekal Bungur gugur dalam pertempuran.

 Dalam bulan Maret 1861 pertempuran jang sengit terdjadi pula di Tabaniau antara serdadu-serdadu Belanda dengan pasukan Kiai Demang Lehman. Dalam pertempuran itu beratus-ratus serdadu Belanda jang mati, tetapi Kiai Demang Lehman dapat ditangkap oleh pasukan Belanda. Pimpinan pasukannja kemudian dipegang oleh putera Radja jang meneruskan perjuangan.

 Pada tanggal 30 Djanuari 1862, atas usaha dan tipu-daja Kiai Demang Lehman jang dipakai sebagai alat dan perisai oleh pemerintah Belanda, maka Pangeran Hidajat bersama para pengiringnja dapat pula ditangkap. Pangeran Hidajat dipaksa agar menerima apa-apa jang didjandjikan oleh Residen Verspyck, dengan perdjandjian bahwa Pangeran Hidajat akan diasingkan ke Djawa dan sebelumnja berangkat hendaklah lebih dahulu mengadakan pengumuman jang ditudjukan kepada rakjat seluruhnja agar meletakkan sendjata dan djangan mengadakan perlawanan lagi.

 Sekalipun penangkapan Pangeran Hidajat tersebut usaha Demang Lehman, tetapi bagi Kiai Demang Lehman sendiri tidak mengerti kalau akan kedjadian sematjam itu, karena pada permulaannja Residen Verspyck mengatakan bahwa Pangeran Hidajat akan diserahi kembali keradjaannja, maka dengan demikian Kiai Demang Lehman merasa ketjewa dan tertipu seolah-olah berchianat terhadap diri Pangeran Hidajat.

 Demikianlah, dalam bulan Pebruari 1862 ketika pemerintah Belanda membawa Pangeran Hidajat dari Martapura ke Bandjarmasin untuk diasingkan ke Djawa,Kiai Demang Lehman telah mengatur siasat lebih dahulu, jaitu dikerahkannja rakjat Martapura dan Bandjarmasin disepandjang djalanan dengan bersendjata lengkap untuk merebut dan membawa lari Pangeran Hidajat. Dalam pertempuran jang terdjadi, rakjat berhasil membawa Pangeran Hidajat lari ke Riam Kanan.

 Usaha Residen Verspyck selandjutnja tidak sia-sia. Dikerahkannja seluruh serdadunja mengepung daerah jang ditempati Pangeran Hidajat dengan lainlainja jang bersembunji. Serdadu- serdadu Belanda dalam pengepungannja itu bukan untuk mengadakan serangan-serangan tetapi tjukup mengadakan pembelokan-pembelokan dan melarang keras segala bahan makanan dibawa masuk kedaerah tersebut. Achirnja karena pasukan Kiai Demang Lehman dan Pangeran Hidajat kekurangan makanan, maka pada tanggal 28 Pebruari 1862 Pangeran Hidajat dapat ditangkap kembali, sedang Kiai Demang Lehman tetap mengadakan perlawanan-perlawanan.  Pada tanggal 3 Maret 1862 Pangeran Hidajat dibawa dengan kapal-api untuk diasingkan di Djawa.

 Kepergian Pangeran Hidajat jang diasingkan ke Djawa itu bukan merupakan suatu hambatan perjuangan rakjat Kalimantan dalam mentjapai tjita-tjitanja, bahkan peristiwa itu dianggapnja sebagai suatu dorongan djiwanja untuk tetap terus berdjuang sebelum djiwanja melajang.

 Begitu djuga Kiai Demang Lehman, pada tiap-tiap saat mengamuk dan menggempur serdadu- serdadu Belanda jang tidak sedikit membawa korban. Siasat Kiai Demang Lehman sekalipun tidak bersendjata lengkap sebagaimana serdaduserdadu Belanda tetapi dengan sebilah keris pusakanja, ia pimpin pasukan gerilja. Sesudah menaburkan djasa-djasanja terhadap Nusa dan Bangsanja maka pada tanggal 18 Pebruari 1863 tertangkaplah ia dan dihukum bunuh.

 Dengan diasingkannja Pangeran Hidajat dari Kalimantan, maka hilanglah tjorak kekuasaan keradjaan Bandjarmasin selama-lamanja, tetapi djiwa kesatryaan para pahlawan itu diikuti dan diwarisi oleh keturunannja.

 Pemerintah Belanda menjatakan bahwa pada tahun 1905 suasana di Kalimantan Selatan sudah aman dan tenteram, karena dilihatnja perlawanan dari rakjat dan anak-tjutju keturunan radja-radja dahulu telah sunji-sepi, dingin dan melempem.

 Sekalipun keradjaan Bandjarmasin telah lama musna rata, tetapi pemerintah Belanda tidak dapat djuga membelenggu djiwa dan semangat keturunan radjaradja dahulu, bahkan pemerintah Belanda sendiri jang hilang-musna dari permukaan bumi Indonesia karena api revolusi putera-putera Indonesia jang menghendaki lenjapnja djadjahan.

* * *

Pangeran Muda Arifinbillah.

 Sebelum Pangeran Hidajat jang pertama dan kedua kalinja, sementara itu Pangeran Muda Arifinbillah telah mengadakan perundingan dengan pemerintah Belanda di Bandjarmasin, dalam mana ia menawarkan djasa-djasa baiknja untuk menangkap Pangeran Hidajat. Dalam perundingan itu ia menawarkan kesanggupannja untuk mengerahkan sebanjak 2700 orang untuk menghadapi pasukan Pangeran Hidajat. Pangeran djuga telah minta kepada Belanda supaja selama usahanja menangkap Pangeran Hidajat, djangan diganggu dengan tindakan lain dan mengharap agar saudaranja Pangeran Sjarif Abdurrachman ditahan untuk sementara waktu di Bandjarmasin, supaja ia mengetahui betapa kesanggupan Pangeran Muda untuk menangkap Pangeran Hidajat.

 Pada waktu itu untuk mengumpulkan orang sebanjak 2700 orang bukanlah pekerdjaan jang mudah, apalagi karena diketahui, bahwa pengumpulan orang itu semata-mata adalah tindakan untuk mengchianati Pangeran Hidajat. Oleh karena itu Pangeran Muda hanja dapat mengumpulkan sebanjak 1000 orang jang telah lebih dahulu disuapi dengan mata uang dan mas serta diberi djandji apabila Pangeran Hidajat telah tertangkap dan ia diangkat mendjadi Sultan maka djandjinja itu akan dilaksanakannja. Pihak Belanda jang mengetahui, bahwa Pangeran Muda hanja dapat mengerahkan 1000 orang sadja, sedang menurut anggapannja tenaga sebanjak itu belum tjukup untuk menghadapi pasukan Pangeran Hidajat, dengan serta merta menolak penawaran Pangeran Muda.

 Tawaran Pangeran Muda itu tidak sadja ditolak oleh Belanda, akan tetapi djuga berita tentang penjerangan telah diketahui oleh pasukan Pangeran Hidajat dan oleh karena itu menjiapkan alat tentaranja untuk menghadapi segala kemungkinan. Walaupun Belanda telah menolak tawaran itu tetapi Pangeran Muda tidak berputus asa, ia selalu berusaha mentjari tempat persembunjian Pangeran Hidajat, dan achirnja ia mengetahui dimana Pangeran Hidajat bersembunji. Dengan tipu muslihatnja ia dapat mengundjungi tempat persembunjian Pangeran Hidajat. Dibawanja djuga alat-alat persendjataan dan sendawa jang diberinja kepada Pangeran Hidajat, supaja Pangeran Hidajat tidak tjuriga terhadap maksudnja.

 Pada waktu itu memang pasukan Pangeran Hidajat berada dalam kesukaran, terutama kekurangan alat-alat persendjataan. Sudah barang tentu tawaran dari Pangeran Muda dapat diterimanja dengan segala senang hati, bahkan tidak timbul ketjurigaan dalam hatinja dengan maksud tudjuan Pangeran Muda jang sebenarnja. Usaha Pangeran Muda hampir sadja berhasil untuk menangkap Pangeran Hidajat, akan tetapi digagalkan oleh suatu tindakan dari Belanda sendiri dengan pernjerbuan jang tiba-tiba terhadap pertahanan Pangeran Hidajat, diwaktu ia sedang berunding dengan Pangeran Muda. Belanda rupanja tidak mengetahui, bahwa Pangeran Muda berada ditempat itu, karena pada sangkaannja tentulah Pangeran Muda masih sedang mengusahakan pasukan jang didjandjikannja dahulu.

 Penjerbuan Belanda ke Amandit itu, jaitu suatu tempat persembunjian Pangeran Hidajat tidak membawa hasil sama sekali, bahkan mendatangkan ketjurigaan terhadap Pangeran Muda, dan karena itu ketika penjerbuan terdjadi, Pangeran Muda telah hilang lenjap, mungkin menggabungkan dirinja dengan pasukan Belanda. Pangeran Hidajat jang mengetahui perbuatan busuk dari bangsanja sendiri berdjandji didalam hatinja untuk membalas dendam, dan sedjak itu pasukannja dikerahkannja siang dan malam untuk menjerbu pasukan-pasukan pengchianat. Belanda melihat, bahwa penjerbuannja telah gagal, telah menjalahkan Pangeran Muda jang kurang hati-hati mendjalankan tugasnja.

 Oleh karena itu ia diberi peringatan oleh Belanda dan untuk kedua kalinja ia diberi kesempatan untuk membuktikan kesetiaannja terhadap Belanda, jaitu mentjari dan menangkap Pangeran Hidajat. Sedjak itu Pangeran Muda mendjalankan tugasnja dengan memasuki hutan belukar, masuk rawa dan sebagainja untuk mentjari Pangeran Hidajat.

 Perintah Belanda jang didjalankannja itu selain dari menangkap Pangeran Hidajat dan orang-orangnja, tetapi djuga untuk memadamkan api pemberontakan dan sikap perlawanan jang diorganiseer oleh Pangeran Hidajat terhadap Belanda.

 Sekalipun demikian, Pangeran Muda masih dapat menempatkan dirinja dalam djiwa kebesaran Pangeran Hidajat untuk dipertjajai, dan demikian djuga Pangeran Hidajat agaknja masih dapat mempertjajai Pangeran Muda.

 Oleh karena itu kedua Pangeran itu selalu mengadakan hubungan suratmenjurat, dalam mana dimintanja kepada Pangeran Hidajat supaja menjerah sadja, daripada mengadakan perlawanan jang sia-sia sadja. Pangeran Hidajat dalam suratnja djuga mengatakan bahwa mereka tidak akan menjerah, ketjuali kalau penjerahan itu dilakukan setelah menemui beberapa majat dari anakbuahnja sendiri. Tegasnja ia menentang, dan tidak hendak menjerah kalah kalau ia sendiri belum hantjur.

 Kaki tangan Belanda jang bernama Pangeran Muda itu terlalu banjak tjampur tangan dalam soal penjelesaian pemberontakan jang dilakukan Hidajat terhadap Belanda, sedangkan ia sendiri tidak dapat mengusahakan dengan djalan bagaimana agar supaja Hidajat dapat dipengaruhi dan achirnja menjerah kepadanja. Hanja ia telah mengetahui tempat persembunjian anak-anak buah Hidajat jang terdiri dari 40 orang banjaknja, jang diwaktu achir-achir ini dapat membunuh banjak orang Belanda diantaranja Controleur Fuiek.

 Residen Belanda Verspyck telah memberitahukan, bahwa pembunuhan atas dirinja Controleur Fuiek bukanlah sikap peperangan, akan tetapi hal itu akan diurus sendiri oleh pengadilan negeri, dan mengandjurkan kepada siapa jang dapat memberi tahukan tentang pembunuhan itu akan diberi ampun dan dibebaskan dari segala matjam tuntutan. Demikianlah pada tanggal 8 Desember 1861 Pangeran Muda jang selama beberapa hari mentjari tempat persembunjian Pangeran Hidajat tidak djuga berdjumpa, kemudian kembali ke Bandjarmasin.

 Agaknja pengumuman Belanda itu membawa hasil, karena beberapa hari kemudian datanglah seorang dari pasukan Pangeran Hidajat jang bernama Tuha, jang sebenarnja paman dari Pangeran Muda. Pangeran Tuha inilah jang telah melakukan pembunuhan terhadap Controleur Fuiek.

 Pangeran Tuha bersumpah tidak mau menentang pemerintah lagi, bahkan bersedia menjerahkan tenaganja untuk melawan musuh-musuh Belanda. Dan ia berdjandji pula, djika ia mendapat ampun dari Belanda, segala kaum pemberontak akan dikumpulkannja dan diserahkannja kepada Belanda. Peristiwa itu membangkitkan keinginan Belanda untuk mengetahui lebih landjut, sampai dimana kesanggupan Pangeran Tuha itu, apakah ia hanja ingin dibebaskan sadja ataukah diperalat oleh Pangeran Hidajat untuk mengetahui tentang kekuatan tentara Belanda di Bandjarmasin. Oleh karena itu Belanda sangat hati-hati menerima djandji Pangeran Tuha, dan apabila djandji tersebut tidak ditepati, maka ia sendiri harus menanggung segala akibatnja.

 Beberapa hari kemudian ternjata, bahwa kesanggupan Pangeran Tuha dapat dibenarkan, karena pada tanggal 6 Djanuari 1862 ia telah dapat menjerahkan beberapa orang kepala pasukan Pangeran Hidajat. Mereka itu ialah pembekal Palong, Bilal Gapur dan Gusti Ibrahim serta beberapa orang kawannja lagi, Mereka semua telah mengakui kesalahan mereka melakukan penjerangan terhadap Belanda, tetapi mereka minta supaja dibebaskan dari segala tuntutan sebagaimana jang didjandjikan oleh pemerintah Belanda sendiri.

 Berhubung dengan itu Belanda tidak dapat berbuat lain daripada membebaskan mereka dari tuntutan, untuk sekedar menjembunjikan maksud mereka jang sebenarnja maka permohonan jang dimadjukan kepadanja itu diterimanja, dengan perdjandjian pula supaja mereka kembali kekota dan djangan tinggal lagi dalam hutan.  Selandjutnja Pangeran Muda jang datang dari patroli telah dapat menangkap sedjumlah 135 orang anak buah Pangeran Hidajat jang ditangkapnja didaerah Margasari pada tanggal 12 Djanuari 1862. Pangeran Muda telah mengandjurkan kepada segenap orang jang melawan Belanda menjerah dirinja dengan membawa alat-alat sendjatanja, jang nantinja akan mendapat pengampunan. Akan tetapi ternjata Belanda berkeberatan memberi pengampunan kepada mereka. Belanda mungkir djandji, ia tidak bersedia memberikan ampun kepada orang-orang tawanan itu, bahkan tidak memberi tanda djasa kepada Pangeran Muda, karena Belanda beranggapan setiap pemberontak harus digantung.

 Semua mereka jang ditangkap itu akan dituntut dalam pengadilan menurut besar ketjilnja kesalahan mereka. Pada hari mereka dihadapkan dalam ruangan pengadilan hampir sadja terdjadi pertempuran, karena penjerahan mereka itu ternjata dichianati oleh kaki tangan Belanda. Mereka lalu mentjoba melakukan perlawanan dan beberapa orang diantaranja sempat merampas keris, kelewang dan tombak pendjaga-pendjaga, akan tetapi perlawanan itu segera dapat dipatahkan oleh serdadu-serdadu Belanda jang dengan segera mengurung gedung pengadilan dan meredakan keadaan. Tetapi walaupun demikian, beberapa orang diantaranja telah mendjadi kurban sedang ada pula jang sempat lari, menggabungkan dirinja dengan pasukan Pangeran Hidajat. Diantara mereka jang dibebaskan Belanda ialah Gusti Kasan dan Gusti Katjil, bahkan keduanja diangkat mendjadi Pangeran.

 Sekalipun hasil jang ditjapai oleh Pangeran Muda dapat melegakan hati Belanda, namun usaha Pangeran Muda untuk mendapat gelar atau pangkat jang lebih tinggi senantiasa merupakan impian sadja, karena pemerintah Belanda belum sekali djuga merundingkan hal itu dengan dia. Begitupun ia bermaksud, kalau semua kaum pemberontak dapat diselesaikan dengan djalan damai, maka ia madjukan sjarat jang mengikat kepada Belanda, ialah supaja Belanda menjerahkan pemerintahan sipil ketangannja. Ia berani membangkit-bangkit tentang sikap Belanda jang memberikan gelar kepada Gusti Kasan dan Gusti Katjil sebagai Pangeran, sedang jang menangkap kedua gusti itu ialah ia sendiri.

 Untuk memperlihatkan kesetiaannja kepada Belanda maka ia djuga telah berusaha untuk memberatkan padjak, sedang kerdja paksa ditimpakan djuga kepada rakjat. Tindakan ini semata-mata untuk mentjari muka terhadap Belanda, dengan tidak mengindahkan betapa besar penderitaan rakjat. Daerah Margasari jang penduduknja terkenal bentji kepada Belanda, tidak dapat menerima perintah Pangeran Muda, karena mereka tahu, bahwa Pangeran Muda hanja sebagai alat sadja. Oleh karena itu Pangeran Muda, dengan melalui kepala kampung dan Kiai memerintah supaja penduduk taat kepada kerdja pembikinan benteng jang akan didirikan didaerah Margasari. Kiai dan kepala kampung tidak dapat mengerahkan penduduk, selama Pangeran Muda berada disana. Karena gagalnja maksud Belanda untuk mendirikan benteng pertahanannja di Margasari lalu memerintahkan untuk memanggil pulang Pangeran Muda ke Bandjarmasin.

 Pihak Belanda mengetahui, bahwa Pangeran Muda tidak disenangi oleh rakjat dan untuk menghindarkan pertumpahan darah maka ia disuruh pulang ke Bandjarmasin. Tetapi Pangeran Muda jang nampaknja seakan-akan mementingkan diri sendiri, adakalanja merugikan sangat kepada Belanda, bahkan bertentangan dengan kehendak Belanda sendiri. Oleh karena itu ia kurang dipertjaja lagi dengan sendirian mengadakan perundingan dengan orang -orang dari Pangeran Hidajat. Dua orang tawanannja jang sekarang telah bergelar Pangeran, jaitu Gusti Kasan dan Gusti Katjil senantiasa tunduk atas segala perintahnja dan dapat dipengaruhinja untuk mendjalankan sesuatu pekerdjaan.

 Kapal Belanda jang bernama .,Bone" dengan kaptennja seorang Fd. Controleur Reuter pada suatu hari didatangi oleh sedjumlah lanun jang dengan paksa masuk kedalam kapal itu akan tetapi tidak diperkenankan oleh Reuter karena ia tjuriga akan maksud mereka. Mereka menerangkan maksudnja ialah diperintahi oleh Pangeran Muda untuk mengundjungi kapal itu akan melihat perlengkapannja. Sudah barang tentu Kapten Reuter amat tjuriga, sekalipun jang mengutus mereka itu adalah Pangeran Muda sendiri.

 Tindakan-tindakan dari Pangeran Muda tambah lama tambah mentjurigakan Belanda, apalagi setelah Pangeran Muda melarang kepada Sultan Pasir supaja djangan menanda-tangani kontrak baru, ketjuali kalau sifat dari kontrak baru itu hanja bersifat persahabatan sadja. Sultan Muda memperingatkan kepada kontrak pada tanggal 25 Oktober 1844 untuk Sultan Adam, sebagai dasar dari kontrak itu dan mempersilakan Sultan untuk mempertimbangkannja. Dahulu Pangeran Muda telah pula diserahi untuk menanda-tangani kontrak persahabatan jang termaktub dalam sebuah akte jang isinja sama dengan jang dibuat oleh wakil pemerintah pada tanggal 25 Djuni 1860. Adapun isi kontrak itu, ialah bahwa Sultan mengaku bahwa pemerintah Hindia-Belanda sebagai pemerintahan jang tertinggi dan harus takluk kepadanja, dan Sultan berdjandji akan membasmi perdagangan budak, membasmi badjak-laut, menolak penerimaan surat-surat atau hadiah-hadiah dari keradjaan bangsa lain dan melarang orang asing lainnja datang kedaerah landschap jang diperintahnja.

 Pangeran Muda berkeras tidak mau menanda-tangani kontrak baru mendjengkelkan hati Belanda, karena sebenarnja kontrak jang akan dibikin itu adalah terlalu mengikat jang tidak memberi kemungkinan hidupnja perekonomian didaerah itu. Pada waktu itu Residen Verspyck tidak menduga akan terdjadi hal jang demikian itu djustru datangnja dari Pangeran Muda jang dalam anggapannja masih samar-samar sikapnja. Sekarang telah diketahui, bahwa Pangeran Muda jang mendjadi sebab merintangi Sultan Pasir, mengertilah Residen bahwa penolakan itu hanja ditjari-tjari sadja, sedangkan alasan sebenarnja tidak ada.

 Berhubung dengan peristiwa itu maka Residen Verspyck memperingatkan kepada Pangeran Muda tentang sikapnja jang demikian itu jang dianggapnja ,,berkepala dua", sedangkan Belanda sudah terlalu banjak memberikan kelonggaran kepadanja, ketika menaklukkan Gusti Kasan dan Gusti Katjil. Dengan sikapnja jang demikian itu berarti ia menjatakan sikap perlawanan dan menentang kepada Pemerintah. Oleh karena itu Belanda akan mengambil tindakan seperlunja terhadap Pangeran Muda dengan maksud supaja ia sebagai Pangeran. Sementara itu Gubernur Djenderal Belanda jang diberitahukan tentang kedjadian itu telah memerintahkan kepada Residen supaja mengambil langkah-langkah dan memberikan kekuasaan sepenuhnja supaja djangan terdjadi lagi hal jang serupa itu jang pada hakekatnja memalukan kepada bangsa Belanda.  Dengan kekuasaan jang ada padanja itu maka Residen telah memperingatkan tentang bahaja-bahaja jang akan diterima oleh Sultan dan Pangeran, apabila menolak kontrak jang dimintanja. Antaranja ialah, ia dapat menurunkan tachta Keradjaan Sultan Pasir, dapat mengasingkan Sultan dan dapat merampas keradjaan Pasir. Oleh karena itu ia memberi kesempatan 24 djam kepada Sultan dan Pangeran untuk mengadakan perundingan.

 Sekalipun antjaman-antjaman jang dikemukakan Belanda itu amat tadjamnja, namun masih tidak dapat merobah pendirian dan sikap Pangeran Muda, bahkan dengan sikap menentang ia menjatakan dengan memukul medja: „Apakah Landschap saja kepunjaan pemerintah Belanda atau hak mutlaq dari orang tua saja?” Residen dengan sabar dan hati-hati mendjawab, bahwa ia menduduki Landschap Tjengel, Manunggul dan Bangkalan dengan tjara jang tidak sah. Bukankah pada waktu Sultan meninggal dunia, pemerintah tidak diberitahukan, sedang Pangeran Muda dengan sewenang-wenang mengangkat dirinja sebagai Pangeran dari Landschap tersebut?

 Karena sikap Pangeran Muda jang demikian tegas, maka Belanda tidak dapat mentjari djalan lain selain dari memetjatnja dari djabatan Pangeran, sedang kepadanja diperintahkan tidak boleh meninggalkan Bandjarmasin dengan tidak terlebih dahulu memberitahukan kepada Pemerintah. Sedjak saat itu Pangeran Muda, kemenakan dari Sultan Pasir dan ipar dari Radja Pegatan, didjaga keras oleh sepasukan pulisi sampai naik kekapal „Admiral Kingsbergen" diantarkan oleh Adjudant Onder Officier de Russy berangkat dari Bandjarmasin ke Surabaja pada tanggal 1 Djuli 1862.

 Setelah ia menudju ketempat pembuangannja di Djawa barulah Belanda dapat mengetahui bahwa sebenarnja Pangeran Muda adalah mendjalankan politik jang disalurkan oleh Pangeran Hidajat dan kerdjasama dengan Belanda itu hanja sekedar untuk menipu Belanda sadja. Tetapi perbuatannja itu oleh sebagian besar rakjat dikira sebagai suatu perbuatan pengchianat. Tindakan keras terhadap Pangeran Muda membawa akibat lunaknja sikap Sultan Pasir, Sjarif Hassim jang kemudian diangkat sebagai pengganti Pangeran Muda untuk memerintah keradjaan Tjengel, Manunggul dan Bangkalaan dan sedjak saat itu ditanda-tanganilah kontrak baru antara dia dengan Belanda.

* * *

Keradjaan Sambas.

 Dalam zaman purbakala tanah Berunai jaitu bahagian sebelah utara dari pulau Kalimantan, sudah terdapat kerajaan jang besar dan kenamaan, jang menjebabkan dimasa itu pulau Kalimantan, disebut orang djuga pulau Berunai. Selain daripada itu mendjadi kenjataan pula, bahwa negeri Berunai itu adalah termasuk satu-satunja negara jang tertua diantara negeri-negeri lainnja di Indonesia. Pada mulanja negeri itu diperintah oleh seorang Radja jang bernama Sultan Muhammad. Menurut perkembangan sedjarah, Sultan Muhammad tersebut mempunjai seorang puteri sadja, jang kemudian dikawinkannja dengan seorang mualaf berasal keturunan Tionghoa bernama Wong Sin Tong, jang diberi gelar dengan nama Sultan Ahmad, jang kemudian menggantikan mertuanja Sultan Muhammad. Dari perkawinan ini Sultan Ahmad mendapat seorang puteri djuga jang dikawinkannja dengan seorang bangsawan Arab jang baru sadja datang dari Thaif atau Mekkah jang bernama Sjarif Ali. Menurut tjerita, Sjarif Ali adalah keturunan dari Amir Hasan nama lengkapnja Sjarif Ali Ibnu Abu Namin bin Albarkat, jang digelar oleh Sultan Barkat. Sultan ini melahirkan pula Sultan Sulaiman, Sultan ini melahirkan pula Sultan Balkia, selandjutnja turun-temurun dari Sultan Balkia terus Sjaifulridjal, Sjah Berunai, Sultan Husin, dan Sultan Akbar.

Sultan jang kemudian melahirkan dua orang putera, jang tua bernama Radja Abdullah jang memerintah didaerah Berunai dengan gelar Sultan Abduldjalil Akbar, dan jang muda bernama Radja Tengah jang kemudian mendjadi Radja didaerah Serawak. Menurut sepandjang sedjarah kedjadian itu dalam abad ke 16, sedang Radja Tengah ketika itu masjhur tentang gagah-beraninja, sukar mentjari bandingnja disekitar Serawak dan Berunai, sehingga dengan kebidjaksanaan serta persatuan jang teguh, maka keradjaan Berunai Serawak, semakin terkenal dan bertambah luas daerahnja, banjak negeri jang takluk dibawah kekuasaannja sampai kenegeri Sulu Philipina.

Lain-lain usahanja selainnja memperluas pemerintahannja, maka ia djuga memperkembangkan agama Islam, membangun batin manusia kedjalan ketauhidan, mendirikan mesdjid-mesdjid, menggerakkan orang-orang supaja giat mempeladjari Kur'an. Dengan djalan jang demikian ia ditjintai dan disajangi, bukan dari kaum keluarganja sadja, melainkan djuga oleh rakjatnja, sekaliannja merasa segan terhadap Radja, karena pribadinja jang tinggi dan terpudji.

Sewaktu Radja Tengah memerintah negeri Serawak itu, ia selalu bertamasja diiringi oleh pengawal-pengawalnja dengan beberapa buah sekunar mengundjungi negeri Djohor, akan menghadap ibu mudanja permaisuri dari Radja Djohor jang bernama Abduldjalil. Lebih-kurang dua tahun lamanja Radja Tengah berdiam di Djohor, maka iapun berangkat pulang kembali kenegeri Serawak, tetapi ditengah pelajaran pulang itu, haluan perahunja berubah dipukul angin ribut, sehingga ta' dapat diperbaiki lagi dan terdampar dipantai negeri Sukadana.

Pada ketika itu jang mendjadi Radja dinegeri Sukadana bernama „Penambahan Giri Mustika" jang biasa djuga disebut ,,Ratu Milian". Kedatangan Radja Tengah diterima dengan baik, serta dimuliakan disambut dengan gembira, dihormati dengan upatjara alat kebesaran setjara radja-radja. Nasib baik bagi Radja Tengah di Sukadana ini, ia diangkat oleh Penambahan selaku Wazir Keradjaan jang diberi tugas jang chusus mengenai urusan peribadatan" untuk mengambil langkah pertama kearah djihad fisabilillah.

Dengan perantaraan seorang Sjeh jang baru tiba dari Mekkah bernama Sjamsuddin, maka Penambahan Sukadan itu oleh Radja Mekkah diberi gelaran Sultan dengan nama Sultan Muhammad Sjafiudin serta diberi hadiah sebuah Kur'an ketjil dan sebentuk tjintjin permata zamrud. Kedatangan Sjeh Sjamsuddin ini, sebagai satu-satunja kesempatan bagi Radja Tengah untuk mempeladjari dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Bagi Sultan sudah mendjadi kenjataan, bahwa pribadi Radja Tengah itu seorang jang djudjur dan berasal-usul dari keturunan bangsawan, ternjata pula mempunjai sifat kesanggupan dan ketjakapan bekerdja, pandai bergaul dikalangan masjarakat, dapat menarik perhatian dan kepertjajaan orang, sehingga orang merasa kasih-sajang kepadanja. Karena peribadinja jang demikian baik, sehingga ia semakin disajangi dan dipertjajai oleh Sultan, jang achirnja ia dikawinkan Sultan dengan adiknja jang muda bernama Ratu Suria Kusuma.

Sewaktu Radja Tengah masih berada di Djohor, ia pernah mendapat keterangan dari ibu suri Sultan Djohor jang mentjeriterakan tentang keadaan negeri Sambas, jang terkenal dengan negeri sumber emas, djuga tentang adilnja pemerintahan dinegeri Sambas. Hal ini dapat diketahui oleh ibu surinja itu dengan djelas, sebab negeri Sambas itu dibawah kekuasaan negeri Djohor , jang setiap tahunnja mengantar upeti dengan menjembahkan emas urai dan djamur kerang.

Radjanja pada masa itu menganut agama Buddha. Dari perkawinan Radja Tengah dengan Ratu Suria Kusuma ini, mereka memperoleh tiga orang putera dan 2 orang puteri, diantaranja jang sulung bernama Raden Sulaiman, kedua Raden Baharuddin jang ketiga Raden Abulwahab. Selama Radja Tengah tinggal di Sukadana tidak teringat dihatinja lagi untuk pulang ke Serawak, tetapi dalam niat hatinja jang selalu membawa kegelisahannja , ialah ingin untuk mengetahui dan menindjau negeri Sambas dari dekat. Maksudnja ini sesudah didapat persetudjuan dari isterinja lantas diberitahukannja kepada Sultan.

Maka dengan persetudjuan dari iparnja Sultan Muhammad Sjafiuddin itu, dimana satu ketika jang baik berangkatlah rombongannja tjukup dengan para pengiringnja dengan beberapa buah Sekunar, dari Sukadana menudju kenegeri Sambas. Jang memerintah negeri Sambas pada zaman itu ialah seorang Ratu Sepudak berasal dari keturunan Betara Modjopahit, berkedudukan Sambas Kota Lama ini, sekarang di Kota Lama. Adapun ibu negeri adalah sebuah kampung didalam wilajah Teluk Keramat kira- kira 36 Km disebelah Barat-daja dari ibu negeri Sambas. Ratu Sepudak ini ada mempujnai 2 orang puteri jang sulung sudah dikawinkannja dengan anak kemenakannja sendiri bernama Pangeran Perabu Kentjono, jang kemudian ditetapkan akan mendjadi pengganti Ratu diatas singgasana Keradjaan, apabila ia telah meninggal.

Sedang puteri jang seorangnja lagi Pangeran Mas Aju Bungsu masih mudabelia. Seorang lagi kemenakan Ratu, adik oleh Pangeran Perabu Kentjono bernama Pangeran Mangkurat. Kedatangan Radja Tengah sekeluarga ini, disambut dengan rasa gembira dan meriah dihormatkan dengan upatjara adat kebesaran Radja-radja jang lazim seperti ditanah Djawa. Selama Radja Tengah berdiam di Sambas dengan pribadinja jang baik itu, mudah sekali orang-orang bertjampur-gaul dan menurut kata-katanja jang manis dan baik untuk didjadikan pedoman hidup lahir dan batin.

Dengan serba sederhana ia mulai menjiarkan agama Islam, dari dalam keraton dan kota, sehingga kepelosok desa-desanja. Tidak lama antaranja Radja Tengah berada di Sambas, maka Ratu Sepudakpun sakit dan meninggal dunia. Maka oleh kaum keluarganja ia dinobatkan mendjadi pengganti Pangeran Perabu Kentjono dengan gelaran Ratu Anum Kesuma Judo, dan Pangeran Mas Aju Bungsu dikawinkan dengan putera sulung Radja Tengah Raden Sulaiman. Setahun lebih dari perkawinan tersebut, maka Raden Sulaimanpun mendapat seorang putera jang diberinja nama Raden Bima. Menurut tjeritera tidak lama dari lahirnja Raden Bima atau tjutju dari Radja Tengah, maka Radja Tengahpun berlajar pulang kembali ke Serawak, rindu untuk berdjumpa dengan kaum keluarganja disana jang sudah sekian lama tidak berdjumpa, sehingga ia meninggal disana dan dimakamkan dipinggir Sungai Bedil jang sekarang disebutkan Kuching, ibu negeri Serawak. Tentang pemerintahan negeri ketika itu adalah semata-mata menurut adat-istiadat keradjaan jang sudah-sudah, orang-orang besar bekerdja dibawah Radja, boleh dikatakan orang-orang besarnja bekerdja bersama-sama dengan Radja. Dalam susunan pekerdjaan, Pangeran Mangkurat diberi tugas untuk menjelenggarakan perbendaharaan negeri, dengan mewakili Radja bilamana Radja dalam bepergian . Raden Sulaiman sebagai wazir kedua dalam pemerintahan jang dibantu oleh 3 orang Menteri Keradjaan jang diberi tugas luar dan dalam negeri, ialah Kiai Djoko Sari, Kiai Dopo Negoro dan Kiai Setia Bakti.

Disamping Ratu dan lain-lainnja ada pula pangkat dan gelaran jang disebut Sida-sida, Bentara dan Hulubalang jang kerdjanja sebagai pengawal Radja didalam lingkungan Keraton. Sewaktu mengangkat orang-orang besar dan pegawai tersebut, diadakan sumpah dengan setjara minum air dari rendaman keris pusaka negeri, jang maksudnja dengan setjara ringkas, djika pegawai itu mendurhaka, maka keris itulah nanti jang menuntut tanggung-djawab atas perbuatannja. Beberapa tahun kemudian sedjak dari penobatan Ratu Anum Judo ini, maka timbullah perselisihan jang mulanja ketjil dari pihak Pangeran Mangkurat adik Ratu dengan pihaknja Raden Sulaiman jang sangat kurang menjenangkan hati Pangeran Mangkurat.

Perselisihan ini makin mendalam dengan beberapa antjaman, sehingga menjebabkan matinja Kiai Setia Bakti, sebagai kurban dari perselisihan itu dibunuh oleh kaki-tangan Pangeran Mangkurat. Hal ini oleh Pangeran Mangkurat dibitjarakannja dengan Ratu untuk mengambil tindakan terhadap Raden Sulaiman. Dalam perselisihan itu, rupanja tinggal tenang, sedang Ratu hanja dapat bertindak sebagai pihak ketiga dengan tidak menjebelah salah satu pihak, tetapi Ratu mentjari djalan lain ialah dengan menjelidiki sendiri pokok-pokok perselisihan kedua keluarganja itu. Sepandjang penjelidikan Ratu, bahwa banjak perbuatan dan pekerdjaan jang salah dan bertentangan dengan perikemanusiaan dan bertentangan dengan adjaran agama Islam jang sebenarnja. Oleh sebab itu Ratu tidak mau dan tidak dapat bertindak dengan tepat, untuk mengatasi peristiwa jang sudah terdjadi dan maha sulit itu, terutama sekali jang berkenaan dalam lapangan agama. Sungguhpun demikian tidak kurang usaha Ratu untuk menghilangkan kechawatiran hatinja, supaja djangan sampai terdjadi kantjah peperangan saudara jang tidak diinginkannja.

* * *

Radja Perantau.

Untuk menghindarkan peperangan Saudara itu dari pihak Reden Sulaiman dan pengikut-pengikutnja djuga sudah dipikirkannja dengan semasak-masaknja hingga achirnja mereka sekeluarga dengan bersama-sama pengikutnja Kiai Djoko dan lain-lain - karena sudah ternjata mereka tidak mau saling mengerti dan tidak kerdja-sama antara pihak―lantas berangkat mengungsi meninggalkan Ibu-negeri Sambas, untuk menjingkirkan diri dalam suasana jang genting meruntjing itu. Mereka meninggalkan Ibu-negeri sampai di Kotabangun masuk kedalam sungai ketjil langsung kehulu, tibalah rombongan Raden Sulaiman kesuatu tempat jang merupakan pertemuan dari 3 tjabang sungai, jaitu sungai Sambas ketjil, sungai Subah dan sungai Teberau, lazim disebut Muara Ulakan.

Sudah mendjadi keputusan dan satu pertjobaan bagi seorang ummat Islam jang mempunjai perasaan tawakkal dan menerima kadar untung baik dan djahat jang didatangkan Allah. Demikianlah perasaan jang terlukis dihati Raden Sulaiman ketika hendak meninggalkan ibu negeri, dan jakin bahwa nasib seseorang itu hanja terletak pada dirinja sendiri. Dengan persetudjuan keluarga dan pengiring-pengiringnja, didirikanlah tempat kediaman jang baru untuk sementara, jaitu sebelah timur dari Muara Ulakan. Tempat sementara jang baru ini diketahui rakjat jang mentjintai Raden Sulaiman jang kemudian menjertai Radja untuk membuat perkampungan baru sedjak itu penduduk Kota Lama, berpindah dan lama-kelamaan Kota Lama ditinggalkan dan sekarang hanja merupakan satu perkampungan sadja.

Ditempat jang baru inilah Kota Sambas dibangunkan. Dengan permufakatan keluarganja serta Kiai Djoko Sari dan lain-lain orang jang terkemuka, maka dinobatkanlah Raden Sulaiman mendjadi Radja, dengan tjukup upatjara kebesaran menurut adat-istiadat radja-radja oleh para Menteri, pembesar dan rakjat dari negeri jang baru lalu itu, dengan pangkat dan gelaran Sultan Muhamad Sjafiuddin I, demikian djuga kepada kedua saudaranja Raden Baharuddin dan Raden Abdulwahab digelar Pangeran Bendahara Seri Maharadja dan Pangeran Temanggung Djaja Kusuma, sebagai Wazir jang pertama-tama dalam sedjarah keradjaan Sambas. Raden Bima putera sulung dari baginda jang sudah dewasa diutus dan diperintahkan untuk berlajar ke Sukadana mendjumpai kaum keluarganja dari sebelah pihak ibunja Ratu Suria Kusuma itu. Kedatangan disambut dengan gembira, oleh Sultan Zainuddin jang masa itu mendjadi radja di Sukadana, kota diperhiasi dan rakjat berkumpul, semua alat kebesaran negeri diperlihatkan. Dalam istana dipertundjukkan kesenian tari-tarian menurut adat lamanja 7 hari dan 7 malam. Selesai perajaan, maka dengan persetudjuan dan permufakatan jang baik untuk mengawinkan Raden Bima dengan saudara radja jang bungsu, bernama Puteri Indera Kusuma. Dalam perkawinan ini Raden Bima mendapat seorang putera jang diberi nama Raden Melian, karena puteranja ini dilahirkan dalam lingkungan sungai Melian, jaitu sungai jang kenamaan di Sukadana.

Timbullah hasrat hatinja ingin kembali ke Sambas, untuk mendjumpai kembali ajah-bundanja berserta akan memperkenalkan isterinja dan puteranja jang baru lahir itu. Dengan mendapat persetudjuan dari Sultan, maka berangkatlah Raden Bima sekeluarga kembali ke Sambas,jang pada dewasa itu puteranja baru berumur satu setengah tahun. Bagaimana kegirangan hati ajah dan bundanja setibanja Raden Bima ke Sambas, ia disambut dan dielu-elukan oleh para menteri dengan pajung kebesaran dan sampainja diserambi istana oleh dajang-dajang, bitibiti dan sida-sida dihamburkan beras kuning kepada Raden Bima 3 beranak itu. Betapa girang hatinja melihat wadjah-muka anaknja, menantu dan tjutjunja itu.

Sekali lagi Raden Bima mesti meninggalkan negeri untuk mendjundjung perintah ajahnja, jaitu pergi berlajar ke Berunai sebagai landjutan pemergiannja ke Sukadana untuk mendjumpai kaum keluarganja disana dari fihak ajahnja . Sambutan atas kundjungan dan kedatangan Raden Bima ini, bersamaan dengan sambutan kedatangannja di Sukadana tempo hari, 7 hari dan 7 malam diperlihatkan kesenian dan tari-tarian Berunai. Dalam perajaan ini, maka oleh Sultan Berunai, ia digelar serta dinobatkan mendjadi Sultan dengan nama gelaran Sultan Muhammad Tadjuddin. Sesudah beberapa lamanja Sultan Muhammad Tadjuddin ini beristirahat di Berunai, maka iapun meminta diri kepada Sultan Berunai untuk kembali ke Sambas, jang mana permintaan dari ini tidak dihalangi oleh Radja Berunai. Sekembalinja dari Berunai, maka ia mendapat anugerah beberapa barang alat-alat Kebesaran Keradjaan Berunai jang sepatutnja dipunjai oleh keturunannja itu djuga. Barang-barang itu berupa pajung uburubur, pajung keemasan, tombak tjanggah, tombak bertatah emas, keris, tempat getar dan dian, puan keemasan djuga satu gendang nobat, alat-alat bunji-bunjian seperti gong keromong, serunai nafsiri, gambang jang lengkap beserta orangorang pemainnja.

 Sampai dimasa sekarang alat-alat itu masih dipergunakan lengkap atau sebahagiannja bila masa berkenaan dengan peristiwa upatjara dan perkawinan, kematian, penobatan dan lain-lainnja dikalangan kaum bangsawan kerajaan Sambas. Lain daripada itu Keradjaan Sambas ada djuga menerima warisan dari peninggalan Ratu Sepudak jaitu sebuah meriam ketjil jang berbuntut pandjang dengan nama Raden Sambir, sebuah meriam ketjil berbentuk pendek gemuk tidak berbuntut bernama Raden Mas, can sebuah meriam jang paling ketjil tidak berbuntut bernama Raden Kadjang. Semuanja barang- barang peninggalan ini dipelihara dan disimpan baik-baik didalam istana, sebagai lambang kedjajaan Keradjaan Sambas dimasa purbakala. Kemudian setelah Sultan Muhammad Sjafiuddin I menerima kesan-kesan dan hasil-hasil perkundjungannja dari Berunai ia merasa girang hatinja, maka tidak lama antaranja iapun melantik puteranja mendjadi Sultan untuk menggantikannja dengan menurut gelaran jang didapatnja dari Radja Berunai, jaitu Sultan Muhammad Tadjuddin.

 Untuk mendjadi Wazirnja maka diangkat pula Raden Abdulwahab jang bernama Raden Ahmad mendjadi Pangeran Bendahara. Djustru karena itu maka sudah mendjadi kebiasaan selandjutnja, apabila pada setiap ada penggantian seorang Sultan dalam keradjaan Sambas, selalu djuga diadakan penggantiandan pengangkatan menteri atau Wazirnja dengan segala adat istiadat upatjara Kebesaran Keradjaan Sambas. Dari sedjak dahulu sampai sekarang untuk menentukan pengganti Radja hanja tjukup dalam lingkungan Radja dan suarasuara dari kaum keluarga- bangsawan dengan tiada mengadjak rakjat turuttjampur, melainkan rakjat wadjib menerima ketetapan jang ada, harus menta'ati semuanja. Artinja pengganti Radja itu, pertama mesti dari keturunan Radja jang lurus, tidak dengan pemilihan dari Rakjat hanja tjukup ditentukan oleh Radja dengan persetudjuan kaum keluarga serta Wazir-menterinja sadja. Sifatsifat jang demikian atau sifat asli jang berhubung dengan perdjalanan sedjarah jang dikandung oleh adat-istiadat sedjak dari abad ke abad itu, djuga dihormati oleh pemerintah pendjadjahan, dipegang teguh oleh Rakjat, lebih-lebih lagi oleh Suku Dajak dinegeri ini. Tjukup hanja dengan menundjukkan atau membawa barang apa sadja jang dikenal mereka kepunjaan Radja umpama tjap Radja, mereka patuh dan menurut segala perintah. Dalam pemerintahan Sultan Muhammad Tadjuddin ini keadan dalam sekitar Keradjaan Sambas penduduknja semakin berkembang biak, negeri bertambah makmur dan madju. Perdagangan dan pertanian bertambah ramai. Disebabkan ia mendjalankan roda pemerintahan dengan adil, giat memadjukan perkembangan dalam segala lapangan, menurut pengalamannja sendiri, lebih-lebih perkembangan jang berkenaan dalam agama. Didirikannja mesdjid djami didalam kota, dikampung-kampung diadakan surau, jang pada tiap hari dikala waktu bersembahjang berdengung suara azan menjebut Allah, jang menjatakan perkembangan didalam pendidikan masjarakat Islam, dalam arti pendidikan rohani dan djasmani kearah mengenal dan menjembah Tuhan Jang Maha Kuasa.

Karena itulah dalain perkembangan selandjutnja negeri Sambas masjhur terkenal dan nama Sultan mendjadi harum sampai keluar negeri, sehingga para saudagar dan kaum pelaut banjak berdatangan ke Sambas untuk berdjual-belikan segala barang-barang perniagaannja. Perhubungan silaturrachim antara negerinegeri lainpun bertambah erat dengan perkembangan pergaulan rakjat dengan rakjat kerajaan lain, karena dihubungkan oleh soal-soal perniagaan, tetapi tak kurang pula negeri-negeri lain mengirimkan utusannja sambil membawa bingkisan jang berupa barang kesenian tangan dan barang hasil hutan negerinja sebagai tanda menambah eratnja perhubungan persahabatan dan persaudaraan.

Sesudah Raden Sulaiman meninggalkan ibu negeri Sambas, serta Ratu Anum Kusuma Judo melihat dan memperhatikan keadaan dalam negerinja dapat menentukan siapa jang bersalah dalam perselisihan tempo hari adalah jang mendjadi biang-keladinja suadaranja Pangeran Mangkurat sendiri jang menjebabkan anak negeri meninggalkan Kota Lama, maka berkenaan dengan itu hilanglah sama sekali pengharapannja lalu timbul sesalan jang tak berkeputusan merasakan sedih menjajat hulu hatinja, mengenangkan peristiwa-peristiwa jang mulanja diluar dugaannja sama sekali. Oleh karena itulah ia sekeluarga memutuskan pindah dari Kota Lama ketempat jang lain,jakni ke Sungai Barangan dihulu Sungai Selakau, tempat jang achir ini, sebenarnja terlebih dahulu sudah dipilih serta terkandung niat olehnja, supaja disitu kelak akan dibangunkan sebuah negeri baru, jang diberi nama Kota Balai Pinang.

Tidak berapa lama sesudah Ratu pindah kesana menjusul pula perpindahannja Pangeran Mangkurat dengan keluarganja, karena ia merasa insjaf atas segala kezalimannja, karena segala perintahnja tidak dita'ati rakjat, jang masih tinggal disana. Kemudian sesudahnja Ratu dan Pangeran Mangkurat meninggal dunia, dilantik oleh keluarganja untuk mendjadi Ratu, jaitu putera Ratu jang bernama Raden Bekut dengan gelaran Penambahan Kota Balai dengan permaisurinja Raden Mas Aju Kerontiko, ialah puteri dari Pangeran Mangkurat, mendapat seorang putera jang bernama Raden Mas Dungun.

Diwaktu Penambahan Balai Pinang itu meninggal dunia, maka oleh Sultan Sambas, Muhamad Tadjuddin, diperintahkan kepada beberapa menteri dan Kiai untuk pergi kekota Balai Pinang mendjemput Raden Mas Dungun sekeluarga, supaja tinggal bersama-sama di Sambas. Berhubung dengan itu maka dengan sendirinja ibu negeri Sambas jang bermula dan Kota Balai Pinang itu dalam peristiwa Sultan Muhammad Tadjuddin memerintah dikeradjaan Sambas, keduaduanja tidak berarti lagi dan lenjap ditelan oleh arus masa akibat dari perselisihan faham. Tempat-tempat ini hanja tinggal sebutannja sadja lagi, hingga sekarang masih didapati pada kedua tempat itu, pusara-pusara dari almarhum Ratu-ratu dan Pangeran-pangeran sekeluarga jang hanja merupakan pusara-pusara biasa tidak dipelihara sebagaimana mestinja. Setelah beberapa tahun lamanja Sultan Muhammad Tadjuddin memegang tampuk pemerintahan di Keradjaan Sambas, jang senantiasa adil dan bidjaksana, maka karena umurnja sudah landjut, iapun meninggal dunia. Untuk menggantinja sebagai adat kebiasaan telah dinobatkan puteranja jang sulung, jaitu Raden Milian dengan gelaran Sultan Umar Akamauddin I, jang mendjalankan pemerintahan negerinja dengan adil, karena namanja dikenal oleh sekalian penduduk negeri Sambas, dengan sebutan Marhum Adil. Seorang Radja jang dapat memegang teguh sifat-sifat dan adjaran agama Islam jang tulen, bersifat penuh perikemanusiaan, maka dengan dasar-dasar ini, ia dapat mengendalikan pemerintahan dengan sebaik-baiknja. Sebab ia jakin dan takut akan balasan Tuhan dihari achirat.

Demikianlah menurut riwajat perdjalanan hidupnja. Setelah ia mangkat lalu dilantik untuk menggantikannja puteranja sendiri jang bernama Bungsu dengan gelaran Sultan Abubakar Kamaluddin. Seterusnja dengan mangkatnja Sultan jang ke IV ini, maka dilantik pula puteranja jang bernama Raden Djamak dengan gelaran Sultan Umar Kamaluddin II dalam susunan Sultan jang ke V. Dalam pemerintahan Sultan jang ke V ini, sedjarah dapat mentjatat dengan dua kali timbulnja hal jang genting. Pertama dari perkumpulan tambang emas kongsi Tionghoa jang berpusat di Lara, Lumar dan Menterado jang termasuk dalam daerah Bengkajang, dengan serentak mengadakan pemberontakan akan menjerang ibu negeri Sambas.

Kedua telah terdjadi perselisihan jang tegang antara keradjaan Sambas dengan Keradjaan Mempawah mengenai tapal batas. Tetapi dengan kebidjaksanaan Sultan hal-hal tersebut dapat ditjari penjelesaiannja dengan berachir keduaduanja hal itu tidak kedjadian, dapat dipadamkan dan diatasi oleh Sultan dengan perdamaian jang amat memuaskan.

* * *

Pahlawan Sambas.

Mengingat tingkat susunan dari pelantikan-pelantikan Sultan ataupun Wakilwakilnja dalam keradjaan Sambas, bahwa keturunan dari Sultan jang ke-5 adalah Sultan Umar Akamuddin II, jang diakui penuh dan disjahkan sebagai keturunan jang lurus berhak turun-temurun mendjadi Sultan dan mempusakai keradjaan Sambas . Sultan Umar Akamuddin II itu ada mempunjai 3 orang permaisuri dan beberapa orang gundik dan dari ke 3 permaisuri itu ia mendapat 5 orang putera, jang selandjutnja berhak mendjadi Sultan berganti-ganti dalam keradjaan Sambas.

Diantara mereka itu, tiga orang mewarisi Sultan, sedang jang dua orangnja lagi mendjadi Wakilnja, jaitu Sultan Muda Ahmad Tadjuddin, Sultan Abubakar Tadjuddin I, Sultan Muhammad Ali Sjafiuddin, sedang Raden Samba dan Raden Semar sebagai wakil Sultan dengan masing-masing gelaran Sultan Kamaluddin dan Umar Akamuddin III. Sedjarah terus-menerus berdjalan. Pada masa Sultan jang ke 5 itu memerintah, maka telah dilantik puteranja jang sulung untuk menggantikannja dengan digelar Sultan Muda Ahmad Tadjuddin. Kemudian sesudahnja Sultan ke 5 mangkat, maka dilantik pula puteranja jang kedua dengan gelaran Sultan Abubakar Tadjuddin I dan ia ini hanja ada mempunjai seorang putera jang bernama Raden Atung.

Oleh Sultan Abubakar Tadjuddin ini, dilantiknja Raden Atung mendjadi Putera Mahkota dengan sebutan Sultan Muda Ahmad dan ketika itu djuga diangkat saudaranja Raden Pasu mendjadi Wazir dengan gelaran Pangeran Bendahara Seri Maharadja. Akan tetapi ia selalu menjebutkan dirinja dengan nama Pangeran Anum. Sedang seorang saudaranja lagi Raden Semar digelar Pangeran Temanggung Djaja Kusuma. Sultan Abubakar Tadjuddin merasa bersedih hati, karena puteranja jang mendjadi putera Mahkota itu telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan seorang putera, hanja beberapa orang puteri sadja.

Berhubung dengan itu maka Sultan lalu mengandjurkan kepada sidang para keluarganja dengan menundjuk Pangeran Anum itu supaja diangkat mendjadi putera Mahkota jang nanti mendjadi penggantinja, sungguhpun pada masa itu ia masih ada mempunjai saudara seibu-seajah ialah Raden Samba, tetapi ia setudju untuk menjerahkan angkatan itu kepada saudaranja, jaitu Pangeran Anum.

Pangeran Anum jang digelar Putera Mahkota dari Keradjaan Sambas, seorang keluarga jang lurus dari bangsawan, mempunjai lain gerak peribadi dari jang lain. Ia disebut oleh lembaran sedjarah sebagai seorang jang gagah-berani, seorang pahlawan tanah-air, ulet didalam segala tindakannja, bidjaksana mengatur siasat dalam perlawanan menghadapi lawan. Dalam djiwanja tertjantum satu sifat satria jang djarang dipunjai oleh lain keturunannja, baik jang sudah-sudah ataupun diwaktu jang akan datang sukar untuk mendapat persamaannja. Dari sedjak dulu sampai disaat matinja, namanja selalu disebut- sebut jaitu ,,mahum Anum" jang dapat memberikan pimpinan bagi tiap putera Sambas. Nama ketjilnja ialah Raden Pasu. Sewaktu ajahandanja Sultan Akamuddin II masih hidup dan masih kuat mendjalankan kewadjibannja, ia telah diangkat dan digelar oleh ajahnja dengan nama Pangeran Anum. Dalam hidupnja diwaktu mudaremadja gemar dengan pergaulan dan sengadja mentjampurkan dirinja dalam kalangan orang-orang pelaut, selainnja dari itu ia suka pula bergaul dalam segala lapangan dan lapisan masjarakat.

Dengan pergaulan itulah dapat beladjar berbagai-bagai ilmu pengetahuan, baik dunia maupun achirat, djuga ilmu gaib-gaib seperti ilmu sihir, magnetisme, ilmu gagah, kebal, silat dan lain-lain. Oleh karena itu namanja terkenal sebagai seorang ahli pelaut, djuga sebagai seorang pahlawan jang tangkas dan ulung jang setiap masa dan waktu sedia mengorbankan djiwa-raganja untuk kepentingan dan keluhuran nusa, bangsa dan agama serta kemakmuran bagi tanah tumpah-darahnja. Selain daripada itu ia mendjalankan siasat peperangan jang selamanja didjalankan dengan setjara terus terang.

Dengan lain perkataan, bahwa ia dalam melaksanakan pemerintahan negerinja, bersedia membuka pintu kuala negerinja untuk kemadjuan negeri dan rakjatnja, agar ekonomi dengan selekas mungkin berkembang, perhubungan negeri makin meluas, penduduk bertambah ramai. Untuk mentjapai apa jang mendjadi idamidaman ini, maka pada achir abad ke 17 maka bertolaklah beberapa buah sampan dari Sambas, jang dikepalai oleh Pangeran Anum, dengan maksud mengarungi lautan Tjina, samudera Djawa, selat Malaka dan lain-lain. Dalam pada itu ada pula rentjana lain, ialah untuk mengetahui seluk-beluk lautan, agar diketahui tempat-tempat mana jang baik akan didjadikan pertahanan supaja bersembunji djangan mudah musuh-segala perampok laut atau lamun atau masuk kedalam kuala sungai Sambas umumnja.

Sudah mendjadi tabi'atnja, apabila ada hal-hal jang dirasa penting, djarang sekali ia pulang kerumahnja. Djustru apabila ia merasa lelah didalam melakukan siasatnja itu, beristirahatlah ia diteluk-teluk jang ditumbuhi oleh kaju-kaju jang rimbun daunnja, tetapi jang paling disukainja ialah dipulau Lemukutan jang dianggapnja sebagai benteng pertahanan, karena duduknja jang strategis untuk mengintai-intai perahu musuh, djuga oleh udara lautnja jang amat njaman dan segar. Dipulau itulah ia mengaso dan beristirahat sampai berbulan-bulan lamanja, untuk menghimpun segala kesanggupan diri dan kepertjajaan jang teguh jang selalu bergelora untuk melawan badai hidup, terutama ditengahtengah badjak-laut jang bersimaharadjalela dengan sewenang-wenang itu. Pada tahun 1789 Pangeran Anum pergi ke Bandjarmasin untuk menjerang negeri itu, karena untuk menuntut dan menjampaikan amanat dari ajahnja jang dahulu Radja dari Bandjarmasin itu melakukan kesalahan dan pembunuhan kepada utusan dari Sambas jang bernama Imam Ja'kub.

Imam Ja'kub jang oleh Sultan Umar Akamuddin II diperintahkan pergi berlajar ke Djawa ada membawa banjak emas jang akan ditempa untuk didjadikan djamang pada pandai- pandai emas disana. Sekembalinja ia dan teman-temannja dari Djawa, perahunja dipukul angin ribut, sehingga terdampar dikuala sungai Bandjarmasin. Disitulah Imam Ja'kub kepala agama jang diutus oleh Sultan Sambas dibunuh dan perhiasan djamang emas jang dibawanja dirampas dengan kekerasan oleh pasukan-pasukan dari Radja Bandjarmasin. Inilah jang mendjadi pendorong Pangeran Anum untuk membalas dendam menjerang ke Bandjarmasin.

Tetapi ditengah lautan hampir mendekati pelabuhan Bandjarmasin, kapalnja bertemu dengan sebuah kapal perang kepunjaan Inggeris jang bernama „Tjendana“, dengan tidak diberikan kesempatan lagi lantas diserang dengan setjepat kilat, maka dengan keadaan sedemikian terpaksa komandan dari kapal tersebut menjerah bertekuk-lutut.

Kapal Inggeris itu dapat ditenggelamkannja, sekalipun perlengkapan persendjataannja lebih lengkap . Sekembalinja ke Sambas, maka diperbatasan perairan Sambas - Mempawah kapal Pangeran Anum diserang oleh kapal dari Keradjaan Mempawah dan dalam pertempuran itu tentera Mempawah dapat dikalahkan dan sedjak itu dilakukan perdjandjian tidak serang-menjerang antara Keradjaan Sambas dan Mempawah. Dalam tahun 1799 dikala Pangeran Anum pulang ke Sambas untuk beristirahat, maka datanglah angkatan dari negeri Siak Seri Inderapura menjerang kenegeri Sambas, jang dipimpin oleh Radja Ismail. Atas serangan ini maka terdjadilah pertempuran jang amat hebat dan sengit, sehingga banjak membawa kurban para Panglima diantara kedua belah pihak jang tiwas djiwanja dimedan pertempuran. Achirnja serangan jang hebat ini dapat dipukul mundur oleh Angkatan Sambas jang dipimpin dan dikepalai oleh Pangeran Anum itu, dan jang menjerang mendapat kekalahan besar.

Dua tahun kemudian setelah penjerangan pertama itu, maka masuklah pula angkatan jang kedua kalinja dari negeri Siak, jang lebih besar dan kuat dari angkatan pertama, dengan dikepalai oleh Sultan Siak sendiri bernama Said Ali. Pertempuran kembali pula jang amat lama mengambil waktu, karena kedua belah pihak ternjata sama-sama kuatnja dan berani. Walaupun Panglima-panglima dari negeri Siak itu luar-biasa ketjakapan dan keberaniannja, namun pasukan-pasukan Pangeran Anum dapat mempertahankan keradjaan Sambas dan dapat menghalaukan pasukan Radja Siak. Kemudian datang lagi bantuan dari Siak jang dibawah pimpinan Said Mustafa dan permaisurinja jang gagah-berani , ikut dalam angkatan jang ketiga ini, mesti mendapat kemenangan. Djuga telah ikut bersama dalam angkatan ini, sengadja didjemputnja dari negeri Atjeh, seorang panglima jang gagah-berani bernama Panglima Aru. Menurut riwajatnja hampir setiap hari Panglima Aru itu berdjuang dengan Panglima Sambas jang bernama Lawang Tendi'. Achirnja dalam peperangan ini Panglima Aru tiwas dan mati dibunuh oleh Lawang Tandi' dan pada waktu itu timbullah bintang kemenangan bagi pihak Sambas.

Apabila permaisuri Siak melihat Panglima Aru telah mati, maka dengan tidak membuang tempoh dengan setjepat kilat, ia menjerbukan diri kegelanggang perdjuangan dengan laku seperti seekor singa lepas dari tangkapan. Pertempuran mendjadi hebat dan seru gemerintjing bunji sendjata pedang berdjumpa pedang, tangkis-menangkis, tikam-menikam, banjak diantara kedua belah pihak mendjadi kurban. Meskipun pihak Sambas mempertahankan kedudukannja dengan matimatian, namun serangan permaisuri Siak jang gagah - berani itu tak dapat dipatahkan oleh kekuatan panglima-panglima dari Sambas, karena diantaranja banjak Panglima dari pihak Sambas jang gugur, angkatan mendjadi kutjar- katjir serta melarikan diri undur kekubu pertahanannja.

Melihat peristiwa itu, Pangeran Anum bukan main panas hatinja lantas seketika itu djuga ia tembakan sebuah peluru „Petunang“ penaka petir menjambar, dengan djitu dan tepat mengenai Permaisuri itu, jang achirnja gugur dalam pertempuran itu. Ketika Permaisuri itu telah meninggal dunia, para Panglima dan sekalian angkatan dari Siak jang datang menjerang itu terpetjah - belah hambur dan mereka banjak lari mengikut radjanja, jaitu Said Ali dan Said Mustafa pulang kenegerinja.

Diantaranja ada jang tinggal di Sambas, jaitu Panglima Tengku Sambo' dan para pengikutnja karena ia menjerah kepada Pangeran Anum untuk tinggal menetap di Sambas. Didjelaskan disini, bahwa jang disebut petunang, jaitu peluru buah tjiptaan dari Pengaran Anum sendiri, dilaksanakannja dengan mu’akal, menggambarkan suatu djisim halus - Djin jang bernama Budjang Danor - sampai sekarang masih disebut-sebut nama Budjang Danor itu oleh masjarakat Sambas.

* * *
Perang melawan Tionghoa dan Inggeris.

Dalam abad 17 dimasa Sultan Tadjuddin I memegang tampuk pemerintahan negeri Sambas, pada peristiwa itu perusahaan dari kongsi Tionghoa tambang emas berpusat didistrik Lara, Lumar dan Menterado bernama „Thai Kong“ dan Sam-To-Kiu berpusat di Pemangkat, Seminis dan Sebawi. Perusahaannja ini semakin bertabah madju dan besar djuga, tambah meluas, sehingga hasil produksinja- pun naik dengan berlipat-lipat ganda.

Bahkan bukannja perbandingan ukuran hasilnja sadja jang bertambah pesat dan naiknja, akan tetapi pembangunan perusahaan-perusahaan jang barupun semakin banjak, seperti djamur tumbuh dimusim hudjan. Berhubung dengan keadaan jang demikian keuntungan upeti jang diterima oleh Sultan dari kongsikongsi Tionghoa itu mendjadi bertambah tinggi. Dari sumber-sumber emasnja ini Keradjaan Sambas mendjadi kenamaan, dan menarik perhatian Radja-radja didaerah lain. Diantaranja ialah kepala dari badjak laut jang termasjhur gagah beraninja, bernama Datuk Tjemerlang, Datuk Thuma dan Datuk Akub telah mentjoba datang ke Sambas dari negeri Sulu.

Maksudnja mau menjerang negeri Sambas karena ingin menguasai hasilnja, tetapi hasrat dan tjita-tjitanja gagal , karena mereka sendiri merasa takut dan segan untuk berhadapan dengan Pangeran Anum, jang terkenal keberaniannja. Pada achir tahun 1795 dengan tiba-tiba muntjul suatu peristiwa genting antara Kongsi Thai Kong dengan Sam To Kiu. Kedua belah fihak sudah siap sedia akan bertempur, hanja tinggal menunggu perintah dari kepalanja masing-masing. Pokok-pokok soalnja, disebabkan kongsi Sam To Kiu dengan sengadja telah melakukan perbuatan tjurang , mengerdjakan pertambangan emas pada suatu tempat jang penting dan banjak emasnja didalam perwatasan kongsi Thai Kong. Kesudahannja api persengketaan ini berkobar dan menjala-njala mendjadi perang saudara.

Perlawanan dari Sam To Kiu, dapat dikalahkan oleh Thai Kong karena kekuatannja tidak seimbang, Thai Kong lebih rapi dan banjak mempunjai alat persendjataan. Kemudian pergempuran ini berekor pula, karena Sam To Kiu kembali melawan pada musuhnja itu, setelah mereka minta bantuan kepada Pangeran Anum dan mengikat perdjandjian, bahwa Kongsi Sam To Kiu tidak akan mendurhaka terhadap rakjat Sambas dan keluarganja. Menurut perdjalanan sedjarah dalam tahun 1795-1796, maka setelah angkatan perang Kongsi Sam To Kiu bergabung mendjadi satu dengan angkatan perang Pangeran Anum jang dipimpin oleh Pangeran Anum sendiri, terus menerdjang musuhnja. Kedua belah fihak sama-sama kuat dan berani, hingga lapangan pertempuran meluas sampai kelembah sungai Singkawang.

Disekitar Singkawang, Pangeran Anum dapat merebut dan menduduki beberapa kubu pertahanan musuh. Tengku Sambo' meninggal dunia, ketika sedang melakukan gerakan pembersihan di Menterado. Kehilangan Panglima itu tidak sekali-kali melemahkan semangat perdjuangan angkatan jang dipimpin oleh Pangeran Anum. Achirnja Kongsi Thai Kong dapat dikalahkan oleh Pangeran Anum dan takluk kepadanja. Konon kabarnja, bahwa sewaktu Tengku Sambo' meninggal dunia, kepalanja diambil oleh musuh dan disimpan dalam kelentengnja di Menterado , disembah dan dipudjanja serta didjadikannja sebagai berhala. Pada tanggal 24 Djuli 1812 dengan tergesa -gesa datang ke Sambas beberapa orang nelajan, jang setia kepada Radja dan negeri masuk menghadap Sultan Abubakar Tadjuddin I, mereka mempersembahkan, bahwa dengan sekonjongkonjong telah tiba dikuala sungai Sambas, kapal perang bangsa asing dengan kenjataan kepunjaan East Indian Company, jang maksudnja tidak lain, ialah akan menjerang Sambas, sebagai akibat serangan terhadap kapal Inggeris dahulu diperairan dekat Bandjarmasin. Kabar itu diterima oleh Sultan dan segera memerintahkan kepada Panglima dan rakjat supaja bersedia dan bersikap untuk menangkis serangan itu.

Waktu itu Pangeran Anum tidak berada dinegeri Sambas, ia sekeluarga pergi beristirahat dan bertamasja kenegeri Kuching. Djuga disana Pangeran Anum dengan tiba-tiba mendapat sakit, jaitu penjakit bengkak pada kakinja, dan diserang demam malaria jang keras. Karena menderita sakit jang demikian, maka ia belum akan kembali ke Sambas, menunggu sakitnja agak sembuh, karena ia tidak berada didalam negeri, maka ketika itu para panglima merasa ketjewa, kurang bersemangat menghadapi musuh untuk mempertahankan negeri dari serangan Inggeris. Dengan rasa menjesal mereka, karena kehilangan pemimpin jang sudah mereka kenal itu. Ia djauh dinegeri orang.

Tetapi hal ini dapat diatasi, karena untuk penggantinja ditundjuk puteranja sendiri bernama Pangeran Muda, djustru memang Pangeran Muda ini ada mempunjai bakat dan menurut langkah-langkah dan faham ajahnja. Menurut riwajat, maka mula-mula komandan dari pasukan Inggeris itu, sudah mentjoba beberapa kali akan mendaratkan tentara dan alat- alat persendjataannja, dengan djalan mengambil masuk mengikuti sungai Sambas Ketjil, akan tetapi selalu gagal dan terpaksa mengundurkan kapalnja keluar kuala, sebab dihambat dan mendapat pukulan jang hebat dari darat, pukulan dari sebelah-menjebelah sungai oleh pasukan Pangeran Muda.

Tetapi perdjuangan akan mengalami kerugian, karena ada orang jang mendjadi pengchianat negerinja sendiri, kaum pengchianat ini memberikan petundjuk djalan kepada pihak musuh, bahwa ada djalan lain jang lebih dekat untuk memasuki negeri Sambas. Haluan mereka berubah menudju sungai Sambas Besar, sampai disatu tempat jang sekarang disitu disebut kampung Kartiasa, hanja 4 kilometer dari Sambas. Dari sini dapatlah dengan mudahnja komandan itu mendaratkan tentara dan alat sendjatanja, dan selandjutnja menembus sungai Beung madju ke Selatan, bertemu dengan tepi sungai Sambas Ketjil. Sekarang ditempat ini berdiri rumah Pemerintahan. Sebelumnja pasukan Inggeris ini sampai ditepi rumah kepala Pemerintahan, mereka sudah disambut oleh pasukan-pasukan rakjat Sambas, dibawah pimpinan Pangeran Muda. Terdjadi pertempuran jang sengit dan hebat dalam hutan dan sepandjang sungai. Pangeran Muda sendiri turut dalam pertempuran itu, jang memaksa pasukan Inggeris mundur dengan teratur kebenteng pertahanannja jang semula. Berhubung dengan banjaknja Panglima jang gugur dalam pertempuran tersebut, Pangeran Muda lalu merubah taktik peperangan dengan menggunakan perang- gerilja.

Perang gerilja ini memakan waktu beberapa bulan lamanja. Meskipun mengadakan perlawanan sekuat tenaga, namun pasukan Inggeris tidak dapat dipatahkan sebab Inggeris mempunjai tentara jang lebih kuat dan pandai mengatur siasat peperangan jang mutunja lebih tinggi, djuga sendjatanja lebih banjak, achirnja dalam pertempuran jang sengit ini, Pangeran Muda dapat terkepung dalam lingkungan musuh, sehingga menemui adjalnja, sesudah mempertahankan diri dengan keberanian jang luar biasa. Kemudian para pahlawan dan para Panglima terus mengundurkan diri masing -masing kedalam kubu pertahanan jang terletak disebelah Timur Daja dari kampung Pendawan jang ada sampai sekarang ini.

Dalam negeri mendjadi gempar dan kalut, pasukan-pasukan Inggeris bergerak terus madju ke Timur mengikuti sungai Sambas Ketjil hingga sampai kemuara Sungai Teberau. Disini dibakarnja sebuah kampung hingga angus mendjadi abu. Dari sini musuh itu bergerak pula madju kesebelah Barat Laut dan terus mengepung kubu pertahanan pasukan Sambas. Achirnja dalam awal tahun 1813, diatas kubu ini dinaikkan bendera putih sebagai tanda menjerah. Sampai sekarang masih kelihatan bekas -bekas kubu itu dan kampung jang dibakar musuh itu disebut kampung Angus. Kedjadian demikian ialah satu-satunja kedjadian jang luar biasa hebatnja selama negeri Sambas terkepung.

Kemudian masuklah komandan Inggeris itu kedalam kubu untuk mendjumpai Sultan, antara lain dalam pembitjaraannja, mereka ingin berkenalan dengan putera Mahkota Pangeran Anum jang namanja kenamaan gagah berani. Kemudian dinjatakan pula penjesalannja atas kedjadian peristiwa jang lampau, jang tidak diinginkannja, dan segala peristiwa itu akan diusulkannja dengan selekas mungkin kepada pemerintahannja di Djakarta. Setelah komandan itu berangkat pulang ke Djakarta, lalu Sultan memerintahkan kepada 4 orang Kiai dengan beberapa orang pengiringnja pergi ke Kuching untuk mendjemput Pangeran Anum sekeluarga , supaja ia dengan segera kembali ke Sambas.

Dari Inggeris ke Belanda.

Dua tahun berselang sedjak pertempuran dalam tahun 1815 sewaktu Sultan Abubakar Tadjuddin I mangkat, untuk menggantinja , maka dinobatkan Putera Mahkota, Pangeran Anum, mendjadi Sultan dengan gelaran Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin. Berkenaan dengan penobatan tersebut dalam tahun 1815, maka datang sebuah kapal kepunjaan Inggeris bernama „Borneo“ ke Sambas, membawa surat resmi dari Pemerintah Tinggi di Djakarta dalam mana terlampir surat pengakuan, pengesahan dan pengangkatan Pangeran Anum sebagai Putera Mahkota.

Dalam pada itu disebut pula putera Mahkota jang mempunjai hak warisan Keradjaan Sambas turun-temurun. Tetapi ketika kapal „Borneo" hendak kembali, maka kapal itu telah melanggar batu hingga tenggelam. Kerangka kapal itu masih ada kelihatan dalam sungai Sebatu sampai sekarang. Berhubung dengan pertukaran pemerintahan antara Inggeris dengan Belanda dalam tahun 1816, jaitu Lt. G. G. Stanford Raffles, berpindah dari tanah Djawa ke Semenanjung Malaka digantikan oleh Pembesar Belanda, G.G. Pieter Both, dan oleh sebab itu dalam tahun 1819 Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin itulah jang pertama sekali mengikat perdjandjian perdagangan dari hasil-hasil bumi kepada Gubernur Belanda.

Di Sambas oleh Gubernur Belanda didirikannja sebuah lodji, terletak pada sebuah tandjung jang menghubungkan pada sebuah pinggir sungai Sambas Ketjil dengan muara sungai Teberau diseberang Istana Sultan. Bekas mendirikan lodji itu sampai sekarang disebutkan orang kampung Tandjung Belanda. Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin dengan permaisurinja jang bernama Mas Keraton mempunjai 2 orang putera, Raden Ishak dan Raden Ruai. Raden Ishak disebut atau digelar dengan nama Pangeran Ratu Nata Kusuma.

Pada achir tahun 1828 Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin mangkat. Berhubung dengan Pangeran Ratu Nata Kusuma itu masih ketjil baru berumur 6 tahun, belum dapat mendjadi pengganti ajahnja, maka atas persetudjuan pemerintah Belanda, agar djangan terdjadi gezagsvacuum, maka sementara menunggukan Pangeran Ratu Nata Kusuma berumur 18 tahun, diangkat mendjadi wakil Sultan Sambas, atau Pangeran Bendahara Seri Maharadja, dengan gelaran Sultan Usman Kamaluddin. Pelantikan Wakil Sultan tersebut dengan bentuk badan commissie bernama Madjelis Wali, ditetapkan dengan besluit Gubernement tanggal 8 Mei 1819, terdiri dari beberapa orang bangsawan dari keluarga Sultan, jaitu: Assisten Residen Sambas, ketua umum, seorang ketua, jaitu Sultan Usman Kamaluddin, dan anggauta-anggauta Pangeran Temanggung Djaja Kesuma dan Pangeran Kusuma Dilaga.

Pada tanggal 11 Djuli 1831 karena sakit dan agak tua, Sultan Usman Kamaluddin mangkat, jang kemudian diangkat sebagai penggantinja mendjabat wakil Sultan, saudaranja bernama Pangeran Temanggung Djaja Kusuma dengan sebutan Sultan Umar Akamuddin. Sultan dengan permaisurinja jang bernama „Hadji Bunda“ mendapat seorang putera bernama Raden Toko', kemudian digelar Pangeran Ratu Mangkunegara.

Setelah Putera Mahkota Pangeran Ratu Nata Kusuma agak besar tjukup umurnja, maka kepadanja diangkat dan digelar Sultan Muda dan saudaranja Raden Ruai digelar Pangeran Temanggung Djaja Kusuma. Pada tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin mangkat, dengan umur 75 tahun dan 15 tahun lamanja memegang djabatan wakil Sultan. Lantas diangkat Sultan Muda mendjadi Sultan dengan gelaran Sultan Abubakar Tadjuddin II. Dari permaisurinja jang bernama Ratu Sabar, ia mempunjai 2 orang putera bernama Raden Safiuddin dan Raden Abdulkahar. Dengan Besluit Gubernemen tanggal 17 Djanuari 1848 maka Raden Sjafiuddin ditetapkan mendjadi Putera Mahkota dengan gelaran Pangeran Adipati.

* * *

Perang dengan Tionghoa.

Dalam pemerintahan Sultan Abubakar Tadjuddin II, dalam tahun 1850 timbullah suatu pemberontakan jang besar dari kongsi- kongsi parit tambang emas bangsa Tionghoa bergabung mendjadi satu terdiri dari Thai Kong, Sam-To-Kiu, Mang-Kit-Tiu dan Long Fong akan mendurhaka kepada Sultan. Pada mulanja mereka tidak mau lagi mengantarkan upeti sebagaimana biasanja kepada Radja, meskipun hal ini telah beberapa kali diberikan peringatan kepada mereka itu.

Kemudian mereka dengan serentak mengadakan serangan kepada Sultan jang pada hakekatnja akan merampas negeri, sehingga terdjadilah pertempuran antara kedua belah fihak. Achirnja Sultan merasa tidak tertahan dengan serangan jang sangat kuat dari kongsi-kongsi Tionghoa itu, untuk mempertahankan negeri, karena itu dengan persetudjuan Wazir dan orang-orang besar keradjaan, meminta bantuan kepada Belanda. Dalam tahun 1851 datanglah ke Sambas beberapa pasukan tentara jang dipimpin oleh overste Zorg untuk menjerang dan mematahkan perlawanan dari kongsi-kongsi itu. Dalam penjerbuan untuk merebut benteng pertahanan dari Sam To Kiu di Pemangkat, maka overste Zorg gugur dan ditanam diatas Bukit Penibungan. Dalam tahun 1854 api pemberontakan itu makin meluas diseluruh negeri. Oleh sebab itu oleh Belanda didatangkan lagi pasukan pembelaan jang dipimpin oleh Luitenant Kolonel Andressen, jang berachir dengan kongsi-kongsi itu tidak berdaja lagi untuk meneruskan perlawanannja dan menjerah.

Sedjak dari peristiwa dan kekalahan kongsi-kongsi itulah, maka oleh Sultan bangsa Tionghoa jang berdiam didalam wilajah Keradjaan Sambas, diserahkan masuk mendjadi rakjat Hindia Belanda. Dalam tahun 1855 baginda Sultan Abubakar Tadjuddin II berangkat ke Djakarta, jang mendjadi wakil Sultan ialah Pangeran Ratu Mangku Negara, Raden Toko', jang disebut Sultan Umar Kamaluddin sudah mangkatnja disebut Marhum Seberang. Ringkas sadja, bahwa dalam tahun 1855 itu djuga Pangeran Adipati, Raden Sjafiuddin turut pergi bersama-sama dengan ajahnja serta keluarganja ke Djakarta, karena oleh Belanda ia diterima akan diberi pendidikan setjukupnja dalam ilmu pengetahuan jang chusus baginja, sebagai studie opdracht.

Di Djakarta ia menginap dirumahnja Pangeran Sjarif Abdulkadir, Djuru mendjabat tamu-tamu pemerintah, sedang ajahnja dan keluarganja tinggal menetap di Tjiandjur. Setelah beberapa tahun lamanja Pangeran Adipati di Djakarta, oleh Belanda ia dipindahkan kekabupaten Galuh, Tjiamis, diserahkan kepada Bupati Galuh, Raden Adipati Kusumadiningrat, untuk mendidik dalam ilmu pengetahuan pemerintahan. Disamping itu ia mempeladjari djuga bahasa, kebudajaan dan kesenian Sunda kepada seorang jang ahli tentang hal itu, ialah Mas Suma Sudibja, Djurutulis Bupati tersebut.

Dalam tahun 1861 Pangeran Adipati itu dipindahkan lagi ke Djakarta untuk menambah pengetahuan dan pengalamannja. Dengan besluit Belanda tertanggal 5 April 1861, ia dilantik mendjadi Sultan Muda. Kemudian pada tanggal 23 Djuli 1861, disediakan sebuah kapal perang „Ardjuna“ jang sepesial untuk mengantarkannja bersama-sama dengan ramanja Pangeran Temenggung Djaja Kusuma pulang ke Sambas. Oleh karena Pangeran Bendahara, dengan besluit tertanggal 6 Agustus 1866, ia digelar dan dinobatkan mendjadi Sultan Sambas, dengan gelaran Sultan Muhamad Sjafiuddin II. Dalam tahun 1879 ia dan keluarganja semua, akan dibawa kembali ke Sambas, jang sudah sekian lama tinggal diam dikampung Bondjong Maron daerah Tjiandjur.

Dalam tahun 1872 ia membangunkan sebuah sekolah partikelir dan sebuah mesdjid jang baru di Kota Sambas dengan ongkosnja sendiri. Atas initiatiefnja, maka dengan besluit tanggal 29 September 1903 di kota Sambas didirikan sebuah sekolah Bumiputera klas II. Dalam sekolah ini beberapa orang puteri dari keluarga Sultan jang pertama kali duduk dibangku sekolah, sebagai perintis djalan menuntut ilmu pengetahuan sekedarnja dan untuk membuka pintu bagi kaum wanita chususnja dan masjarakat Sambas. Selandjutnja pada tanggal 1 Desember 1910 didirikan sekolah Speciale School kemudian dalam tahun 1915 sekolah ini dirobah mendjadi H.I.S. Dalam tahun 1916 Sultan mendirikan lagi sebuah sekolah jang berdasarkan agama Islam dengan belandjanja sendiri bernama Madrasahtu'l Sulthaniah.

Karena sifatnja jang amat dermawan banjaklah pekerdjaan jang dibangunkannja untuk kemadjuan, kemakmuran negeri dan mendjadi kesenangan bagi rakjatnja dalam segala lapangan usaha untuk mentjahari mata penghidupan, antara lain, diperintahkan kepada rakjat menggali beberapa terusan dan saluran air ialah misalnja terusan-terusan: Kartiasa, Sebangkau, Simpalik, Semangau, Sagu, Parit Baru, Parit Sebuk, dan lain-lainnja. Setelah terusan-terusan dan parit-parit itu siap dikerdjakan, kemudian dikerahkannja supaja dikiri dan kanan dari terusan-terusan dan parit-parit itu diusahakan dengan tanaman jang mendatangkan hasil bagi penghidupan rakjat. Dalam tahun 1918 — 1923 Sultan perintahkan membuat djalan-djalan dalam kota dan djalan-djalan diluar kota Sambas, jaitu djalan dari Sambas ke Pemangkat, Singkawang, Bengkajang dan lain-lainnja. Belum pernah seorang Sultan dalam keradjaan Sambas jang dapat menjamainja, baik tentang adil dan murahnja dan maupun tentang lamanja memerintah negeri. Siapa sadja jang datang menjatakan kesukarannja padanja, tidak pernah pulang dengan tangan hampa, beginilah Radja jang bersifat Radja. Untuk mendjadi kenjataan pada masa ini menurut riwajat, ialah hasil dari perdjuangan Sultan Muhamad Sjafiuddin II dan lain-lainnja jang masa itu sebagai lambang kemegahan Keradjaan Sambas. Sifatnja suka akan perubahan dan sifat inilah pula lebih mendekatkannja dengan rakjat. Bilamana ada waktu jang terluang, seringkali ia melakukan darmawisata ke Pegong Sebedang, tempat pemandian, pada waktu terlepas dari segala fikiran jang memberatkan penanggungan hidup dan menghanjutkan dirinja dalam arus perasaan jang nikmat, karena disana ada diperbuatnja suatu tempat peristirahatan jang indah permai dan sehat bagi kaum keluarganja.

Sultan Sambas seorang radja jang senantiasa menudju kearah kemadjuan negeri dan rakjatnja, banjak kemurahan jang dilimpahkan kepada masjarakat umum. Anak dagang dan rakjat tidak dibeda-bedakannja, baik kepada orang jang hina dina sekalipun. Sedjak ia mengendalikan negerinja hingga sampai dimasa ia meletakkan djabatannja, karena telah landjut usianja, tidak berhenti mentjahari daja upaja untuk memadjukan dan memakmurkan negeri dan rakjatnja, baik dalam perkara dunia maupun achirat. Sultan Muhamad Sjafiuddin II dengan isterinja jang bernama Ratu Anom Kusuma Ningrat memperoleh putera bernama Raden Achmad Raden Busu dengan isterinja entjik Nana atau Mas Sultan ada mendapat putera jang bernama Muhamad Arya Diningrat setelah Raden Achmad tersebut sampai umurnja, ia diangkat dan digelar Pangeran Adipati serta ditentukan sebagai Putera Mahkota.

Berhubung dengan mangkatnja Putera Mahkota dan masih ketjilnja Raden Mohamad Mulia Ibrahim, Pangeran Ratu Nata Widjaja, sedang Sultan Mohamad Sjafiuddin II telah landjut usianja, maka pada tanggal 4 Desember 1922 ia diangkat dan dinobatkan untuk penggantinja puteranja Raden Mohamad Arya Diningrat mendjadi wakil dengan gelaran Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin II, dan saudaranja seajah Raden Muhamad Thajib mendjabat Pangeran Sri Maharadja. Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin II dengan permaisurinja bernama Ratu Zohra, mendapat putera 2 orang, jaitu Raden Munziri Aria Diningrat dan Raden Abubakar Aria Diningrat. Sultan Muhamad Sjafiuddin II meninggal pada tanggal 12 September 1924.

Pada tanggal 9 Oktober 1926 karena lama menderita sakit Sultan Muhamad Ali Sjafiuddin II mangkat, dimakamkan ditanah kepunjaan sendiri terpisah dari makam-makam Radja-radja jang terlebih dahulu dari padanja. Menurut sepandjang adat jang berabad-abad hingga sekarang, dalam Keradjaan Sambas, maka sebelumnja djenazah seorang Sultan dimakamkan, terlebih dahulu untuk penggantinja dilantik, ketjuali buat penggantinja itu masih ketjil belum akil baliq, dengan pengertian, bahwa selama Sultan itu masih berdiri, maka putera Sultan djuga jang mendjadi Sultan menurut adat jang lazim - Patah tumbuh hilang berganti, tetapi sekali ini - Patah rebah hilang lenjap karena Djepang dengan kebuasannja membunuh seluruh radja-radja di Kalimantan Barat.

* * *

Keradjaan Pasir.

Pada zaman duhulu-kala sebelum didaerah Pasir mempunjai seorang radja, maka disebelah kampung dipedalaman - sekarang kampung Batu Botuk tinggal seorang tua bersama seorang isterinja jang oleh penduduk tidak diketahui dari mana asalnja atau namanja. Orang tua tersebut pekerdjaannja hanja berladang dan ada memelihara seekor kerbau putih. Kerbau putih itu dinamainja „Ukop” dan dipelihara dengan baik sebagai memelihara seorang anak lajaknja. Oleh tetangganja orang tua itu diberi nama Kakah Ukop artinja Nenek dari kerbau jang dipeliharanja nama Ukop . Pada waktu itu penduduk daerah Pasir pernah mendengar beberapa tjeritera tentang sesuatu negeri jang diperintahkan oleh seorang radja sangat makmur, baik serta aman negerinja.

Oleh sebab itu penduduk menghadjatkan benar supaja daerah Pasir djuga mempunjai seorang radja. Tetapi siapakah jang diangkat oleh mereka mendjadi radja, tidak dapat diketahuinja. Oleh sebab itu penduduk disekitar kampung, dimana Kakah Ukop tinggal lalu datang kepada Kakah Ukop membitjarakan maksud dan keinginan mereka supaja daerah Pasir bisa mempunjai seorang radja. Kakah Ukop sangat bersetudju dan mengandjurkan supaja bersama-sama mentjari seorang radja diluar daerah Pasir, umpamanja sadja berlajar sampai kepinggir langit dan minta bantuan kepada penduduk disana supaja diantara mereka suka memberikan seorang penduduk dari tepi langit untuk mendjadi radja di Pasir.

Setelah selesai perundingan, maka Kakah Ukop diutus mereka untuk mentjari radja tersebut. Kakah Ukop berkemas menjediakan alat pelajaran membuat perahu jang besar. Demikianlah pelajaran pertama dimulai oleh Kakah Ukop, sesudah 3 tahun dalam perdjalanan, kembali ia kenegeri Pasir dengan tidak membawa hasil sedikit djuapun. Lantaran desakan dari penduduk untuk mentjari radja, maka perdjalanan Kakah Ukop dilangsungkan sampai 7 kali . Perdjalanan jang ketudjuh kali itu sampai kepinggir langit dan sempat bertemu dengan penduduk disana. Kakah Ukop mentjeriterakan maksud perdjalannja untuk mentjari seorang jang patut didjadikan radja didaerah Pasir. Kakah Ukop mendapat djawaban dari salah seorang penduduk dipinggir langit, bahwa orang jang patut djadi radja di Pasir telah dikirim kesana dan baiklah Kakah Ukop segera kembali ke Pasir.

Untuk bukti dalam pembitjaraan ini maka Kakah Ukop telah diberikan oleh pembitjara tadi barang- barang: tjeret, tempat air, nama pinggan melawen, batil dari tembaga, barang-barang tersebut ada disimpan oleh Adji Lambat, gong tembaga ada di Batu Botuk, sumpitan akek, kipas emas, sangkutan badju, dan sebuah peti dari batu. Barang-barang ini adalah akan mendjadi barang keradjaan bilamana di Pasir nanti akan diadakan seorang radja. Dengan barangbarang tersebut diatas Kakah Ukop berlajarlah kembali masuk di Kuala Pasir, maka pada malamnja ia bermimpi: ,,Barang apa sadja jang terdapat ditengah djalan mesti diambil dan djangan dibuang"; pada keesokan harinja ketika Kakah Ukop pergi kehaluan perahunja, maka dilihatnja dimuka perahu ada tersangkut satu ruas betung jang besar, maka teringatlah Kakah Ukop akan mimpinja semalamnja dan lalu mengambilnja. Demikianlah seruas betung itu bersama-sama barang dibawa kerumahnja, tetapi betung itu ditaruhnja diatas salajan dapur tempat kaju api. Atas kedatangan Kakah Ukop, maka penduduk bergembira dan menanjakan hasil perdjalannja. Kakah Ukop mendjawab, bahwa menurut pembitjaraan dan perdjandjian dari salah seorang jang diketemuinja dipinggir langit, bahwa jang bakal mendjadi radja di Pasir sudah mereka kirim kemari.

Barang-barang bukti untuk kerajaan Pasir diperlihatkannja sesudah itu disimpan baik-baik dirumahnja. Kemudian ternjata, bahwa sepeninggal Kakah Ukop tidak ada seorang djuapun jang datang didaerah Pasir. Mendengar demikian lalu Kakah Ukop bermaksud akan berlajar untuk kedelapan kalinja guna mentjari radja. Sepeninggal Kakah Ukop dalam perdjalanan, maka isterinja jang bernama Itak Ukop, berhubung dengan banjaknja turun hudjan sehingga kaju api untuk persediaan memasak, diatas salajan dapur habis sama sekali, hanja tinggal seruas betung jang besar dibawa Kakah Ukop dalam pelajarannja jang ketudjuh kali. Dengan tidak berpikir pandjang, maka Itak Ukop mengambil seruas betung tersebut untuk didjadikan kaju api dan dibelahnja. Sesudah betung itu dibelah, maka terdapatlah sebutir telur jang agak besar dan dengan sangat heran ia ambil telur tersebut dan ditaruhnjalah didalam sebuah pinggan melawen. Pinggan itu diletakkannja didekat tempat tidurnja.

Tepat pada tengah malam, maka terdengarlah olehnja telur menetas dengan diiringi oleh tangis anak ketjil sedang menangis. Seisi rumah semua bangun untuk menjaksikan kedjadian jang adjaib itu, anak itu diambil dan dimandikan oleh Itak Ukop serta diselimuti dengan kain tjindai dan dipelihara dengan sebaik-baiknja. Anak itu adalah seorang perempuan dan lalu diberi nama Puteri Betung, karena asalnja didapat dari dalam belahan betung. Kebetulan si Ukop, kerbau putih kepunjaan Kakah Ukop sedang beranak djuga dan mengeluarkan air susu jang baik, maka dengan air susu itu Puteri Betung dipelihara dari bulan ketahun sehingga besar. Puteri Betung telah berusia 14 tahun, parasnja sangat elok, sehingga tersiar kemana-mana tentang hal ketjantikannja. Pada suatu waktu jang tidak disangka- sangka Kakah Ukop kembali dari pelajarannja dengan tidak pula membawa hasil jang dimaksudkan.

Ketika tiba di Muara Pasir , maka ia mendapat kabar bahwa isterinja mendapat seorang anak perempuan jang sangat tjantik sepeninggalnja dalam pelajaran. Mendengar kabar itu timbul marahnja sebab disangkanja isterinja telah membuat perhubungan dengan laki -laki lain, sehingga mendapat seorang anak. Dengan hati jang marah ia mendapatkan isterinja dan hendak dibinasakannja, tetapi hal ini oleh tetangganja dapat ditjegah dan memberikannja keterangan jang sebenarnja jang terdjadi sepeninggalnja. Dengan adanja keterangan-keterangan itu maka Kakah Ukop ingat akan djandji orang jang dipinggir langit, sehingga masuk kepada akalnja bahwa boleh djadi anak inilah jang dimaksudkan oleh orang jang dipinggir langit jang akan mendjadi radja di Pasir. Kakah Ukop lalu injsaf dan sebaliknja turut bergirang dan turut menjajangi terhadap anak angkatnja itu. Sesudah itu teringat pula olehnja akan barang-barang jang dibawanja dari pinggir langit, dan lalu diserahkannja kepada Puteri Betung. Demikianlah Puteri Betung diangkat dan diakui penduduk Pasir sebagai radja dalam daerah Pasir. Setelah Puteri Betung dewasa, ia dikawinkan dengan radja dari daerah lain, tetapi tidak sedjodoh achirnja ia kawin dengan seorang radja dari tanah Djawa (Giri) , bernama Pangeran Indera Djaja , datang dengan kapal lajar dan sesudah perkawinan itu , maka batu jang dibawanja dari Giri lalu dibongkarnja, sehingga sekarang ini batu tersebut masih ada disimpan dikampung Pasir (Benua) jang dikenal oleh penduduk ,,Batu Indera Giri" dan dianggap sebagai ,,keramat".

Dari perkawinan dengan Indera Djaja ia mendapat seorang putera dan seorang puteri jang masing-masing bernama Adji Patih dan puteri Adji Meter. Adji Patih kemudian mendjadi radja menggantikan Puteri Betung. Puteri Adji Meterdikawinkan dengan seorang Arab keturunan Ba'alwi dari Mempawah - Kalimantan Barat - dan ia inilah jang menjebarkan Agama Islam didaerah Pasir, 300 tahun jang lampau. Dari perkawinan Puteri Adji Meter ini mereka beroleh 2 orang anak: Imam Mustafa dan Puteri Ratna Berana. Puteri Ratna Berana dikawinkan dengan Adji Anum anak Adji Patih. Dari sini selandjutnja menurunkan radja-radja Pasir jang achir.

Pada ketika itu pula Keradjaan Makassar mentjapai tingkatan kedjajaannja dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan memperluas keradjaannja dengan. Banjak radja-radja dan keluarga menaklukan keradjaan Wadjo Bugis bangsawan jang tidak mau takluk pada Sultan Hasanuddin, melarikan diri dan berpindah ke Kalimantan Timur bersama-sama dengan rakjat jang setia padanja. Dalam perpindahan ini, tidak djarang menemui perselisihan dengan radja-radja di Kalimantan Timur jang mengakibatkan peperangan dan pertempuran, sebagai halnja di Keradjaan Kutai, dimana rombongan Bugis jang dipimpin oleh Daing Sitebba jang lebih dikenal dengan nama Pua Ado, menjerang kerajaan Kutai di Kutai Lama, jang membawa pertempuran sengit disatu tempat jang bernama Bungka-bungka jang mengakibatkan ibu-kota Keradjaan Kutai dipindahkan lebih djauh masuk sungai Mahakam, jakni Tenggarong sekarang.

Setelah peperangan berachir antara Kutai dan Bugis, maka oleh orang Bugis dibentuk pemerintahan di Samarinda - Samarinda Seberang - dimana dipilih Pua Ado' sebagai kepala Pemerintahnja. Oleh karena pemerintahan Bugis tersebut hanja dikendalikan oleh orang -orang pendatang, jakni orang-orang Bugis dan tidak ada salah seorang Bangsawan Kutai, maka oleh orang Kutai menamakan ibukota pemerintahan Bugis itu Samarinda. jang berarti pemerintahan jang dikendalikan oleh orang-orang sesama rendahan. Demikinlah pula didaerah Keradjaan Pasir, rombongan Bugis inipun datang dan mendarat disatu tempat jang bernama Tandjung Aru, jang dipimpin oleh seorang anak bangsawan jang bernama Andi Baso mendirikan keradjaan ditempat tersebut, akan tetapi oleh karena keradjaan ini mau tetap bersatu dalam lingkungan Keradjaan Pasir, maka tidak pernah terdjadi pertempuran antara Pasir dan Bugis , bahkan diperkuatnja dengan hubungan perkawinan dan kepala Pemerintah di Tandjung Aru diberi gelar Pangeran. Demikian pula halnja dengan Tanah Bumbu dan Pegatan dimasa Sultan Sulaiman adalah mendjadi satu dalam lingkungan Keradjaan Pasir.

Didalam hubungan perkawinan ini antara radja-radja dari Bugis dan radjaradja Pasir, maka terdapat seorang anak bangsawan Bugis jang berketurunan dari Arab bernama Andi Taha Alyrus, kawin dengan seorang puteri dari Keradjaan Pasir jang bernama Adji Renik - anak Sultan Sulaiman sedang Andi Taha diangkat mendjadi Menteri Keradjaan Pasir dengan diberi gelar Pangeran Sjarif Taha. Kemudian anak dari Pangeran Sjarif Taha bernama Sjarifah Adji Muznah kawin dengan seorang saudagar Arab dari Semarang bernama Saijid Hamid Alsegaff, jang kemudian djuga diangkat mendjadi menteri Keradjaan Pasir dengan gelar Pangeran Sjarif Hamid Alsegaff.

Demikianlah keturunan bangsawan Pasir, mempunjai pertjampuran darah antara Pasir, Bugis dan Arab jang membawa djuga pertjampuran adat-istiadat serta gelar-gelar dari ketiga golongan itu. Ketika Kerajaan Pasir dibawah pimpinan Sultan Adam, maka ketika itu Keradjaan Pasir dapat mentjapai tingkatan jang sebaik-baiknja dan mempunjai perhubungan dagang dengan luar Benua negeri, banjak kapal-kapal dagang asing jang masuk pelabuhan Pasir sekarang - diantaranja orang- orang Portugis, Sepanjol, Tionghoa dan Belanda.

Dimasa Sultan Adam inilah, keradjaan Pasir mengadakan perdjandjian jang pertama dengan pihak Belanda jang sifatnja hanja mengenai soal-soal hubungan perdagangan. Setelah wafatnja Sultan Adam, berhubung oleh karena anaknja jang laki-laki masih belum ada jang besar, maka pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri dengan dinobatkan mendjadi Sultan Sepuh. Dalam masa pemerintahan Sultan Sepuh, pemerintahan dapat berdjalan baik sebagaimana dimasa Sultan Adam sendiri , hanja sadja setelah wafatnja Sultan Sepuh, maka terdjadi perebutan kekuasaan untuk mendjadi Sultan , jaitu antara Adji Mohamad Ali dengan Pangeran Abdurrachman . Oleh karena Abdurrachman lebih banjak disukai oleh rakjat, maka iapun dinobatkan di Benua untuk mendjadi Sultan dari Keradjaan Pasir. Sedangkan Adji Mohamad Ali jang ketjewa dengan peristiwa itu meminta bantuan pada Belanda, hingga ia dinobatkan di Muara Pasir. Demikianlah pada ketika itu terdjadi dua Sultan di Keradjaan Pasir, jaitu Sultan Abdurrachman jang dinobatkan rakjat di Benua dan Sultan Adji Mohamad Ali jang dinobatkan Belanda di Muara Pasir.

Berhubung dengan keadaan ini , senantiasa timbul pertempuran ketjil antara pengikut Sultan Adji Mohamad Ali dengan pengikut Sultan Abdurrachman, tetapi achirnja pihak Sultan Adji Mohamad Ali mendapat kemenangan dan Sultan Abdurrachman meninggal dunia dengan tiba-tiba. Demikianlah pada tahun 1874 pemimpin-pemimpin dari pihak Sultan Abdurrachman jang dikepalai oleh Saijid Taha Alsegaff gelar Pangeran Polisi ditangkap oleh alat kekuatan Sultan Adji Mohamad Ali jakni Belanda dan diasingkan kepulau Laut. Akan tetapi Sultan Adji Mohamad Ali hanja sempat mendjadi Sultan dari seluruh Keradjaan Pasir selama satu tahun dan dengan tjerdik busuk dari Belanda memfitnah Sultan Adji Mohamad Ali , mengatakan bahwa Sultan tersebut telah merentjanakan pemberontakan terhadap Belanda . Demikianlah Sultan Adji Mohamad Ali sekeluarga dan sedjumlah pengikutnja pada tahun 1876 ditangkap dan diasingkan ke Bandjarmasin.

Sementara itu Belanda mentjoba memerintah langsung daerah Keradjaan Pasir akan tetapi ternjata tidak dapat, oleh karena dimana-mana timbul pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda, oleh sebab rakjat Pasir berpendapat haram diperintah oleh orang kafir atau bukan Islam. Setelah Belanda melihat keadaan jang demikian ini, lalu berusaha mendirikan Pemerintah guna mengatasi keadaan dengan mentjari salah seorang keluarga Radja jang dianggapnja mempunjai Demikianlah salah seorang keluarga Radja turunan Bugis jang mempunjai pengaruh besar lagi hartawan bernama Adji Medje diangkat dan dinobatkan mendjadi Sultan dari Keradjaan Pasir dengan gelar Sultan Ibrahim Chaliluddin .

Mengenai pengangkatan Sultan Ibrahim Chaliluddin mendapat reaksi dari sedjumlah keluarga bangsawan Pasir, oleh karena Sultan tersebut hanja turunan dari ibunja sedangkan ajahnja bukanlah seorang Sultan dan hanja salah seorang turunan bangsawan Bugis dari Sulawesi. Akan tetapi walaupun mendapat reaksi jang demikian namun berkat kebidjaksanaan Sultan itu , ditambah pula banjak pengikutnja orang-orang Bugis jang terkenal pemberani, segala reaksi jang menjulitkan dapat diatasinja.

Akan tetapi walaupun demikian, bagi pihak Belanda belum djuga merasa puas dengan Sultan jang baru itu dan tetap mempunjai keinginan untuk mendjadikan Keradjaan Pasir mendjadi daerah langsung jang diperintah oleh Belanda, apa pula sikap dan tjara Sultan tidak begitu mudah dipengaruhi dan diperalat Belanda, karena Sultan Ibrahim Chaliluddin mempunjai pengaruh besar dan fanatik pada agama Islam, maka Belanda dengan mempergunakan akal busuknja mengadu-dombakan kalangan anak-anak bangsawan Pasir, sehingga timbul seakan-akan hendak terdjadi perebutan kekuasaan. Keadaan jang demikian ini dipergunakan Belanda seakan-akan mempertundjukkan sikap dan budi baiknja untuk mengatasi keadaan, dengan djalan membudjuk Sultan serta Bangsawanbangsawan lainnja untuk sementara waktu menjerahkan kekuasaannja pada Pemerintah Belanda dan sementara itu diberi pengganti kerugian kepada Sultan dan beberapa anak bangsawan lainnja sedjumlah f. 375.000, - ((tiga ratus tudjuh puluh lima ribu rupiah) , jang terdjadi pada tahun 1906 , dimana kemudian oleh pihak Belanda dikatakan, bahwa Keradjaan Pasir telah dibeli oleh Pemerintah Belanda .

Akan tetapi meskipun Sultan Ibrahim Chaliluddin telah turun dari tachtanja dan tidak memerintah lagi, namun pihak rakjat sendiri adalah masih tetap menganggapnja sebagai radja dan dihormati sebagaimana biasa. Demikianlah pada tahun 1914 waktu Sarikat Islam (S.I.) berdiri di Pasir, maka jang dipilih mendjadi Presiden ialah Sultan Ibrahim Chaliluddin sendiri sedangkan para pengurus lainnja sedjumlah besar terdiri dari bekas-bekas pembesar Keradjaan. Perlu pula ditjatat, bahwa sedjak Sultan Ibrahim Chaliluddin tidak memerintah lagi di Pasir, maka sedjak itu pula ibu negeri Pemerintahan Pasir berpindah dari Benua ke Tanah Gerogot. Pada permulaan tahun 1915 serombongan patroli tentera Belanda datang dibagian Pasir Hulu, menangkap seekor kerbau -luku kepunjaan rakjat dan dipotongnja dengan tidak memberikan pengganti kerugian, maka oleh jang empunja kerbau itu dilaporkan kepada Sultan Ibrahim, akan tetapi oleh karena Sultan tersebut tidak berkuasa lagi , maka Sultan menjampaikan protes kedjadian itu pada pihak Belanda. Oleh karena Sultan Ibrahim Chaliluddin memandang kedjadian ini suatu perkosaan terhadap rakjat dan bertentangan dengan hukum Islam, maka diperintahkannja kepada jang empunja kerbau itu, untuk datang pada Pangeran Singa Maulana di Modang - Pasir Utara - guna meminta pertolongan dan mengatur perlawanan terhadap tentera Belanda jang ada di Tanah Grogot.

Demikianlah pada bulan Djuli 1915 Pangeran Singa Maulana memulai serangannja terhadap tangsi pertahanan Belanda di Tanah Grogot jang membikin korban tidak sedikit. Sementara itu Sultan senantiasa mempertundjukkan sikap pura-pura baik terhadap tentera Belanda dan ada kalanja memberi bantuan, akan tetapi disamping itu selaku Presiden dari Sarikat Islam meninstruksikan pada segenap anggauta S.I. untuk mengadakan perang djihad terhadap Belanda.

Perang Pasir melawan Belanda berdjalan selama 1½ tahun atau jang dikenal dengan pemberontakan S.I. jang langsung dibawah pimpinan Sultan Ibrahim sendiri jang dapat bantuan dari permaisurinja jang bernama Dajang Ringgong. Dalam pemberontakan S.I. di Pasir itu tidak sedikit Belanda menderita kerugian, karena dalam seminggu kira -kira 1 gerobak sepatu Belanda jang diangkut kembali dari pedalaman ke Tanah Grogot. Terlebih lagi hebatnja pertempuran antara rakjat Pasir dengan Belanda dikala Pasir mendapat bantuan dari orang-orang Bandjar dari Hulu Sungai. Dalam perang Pasir ini, terkenal beberapa orang pahlawan jang sangat ditakuti oleh pihak Belanda, jaitu selain dari Pangeran Singa Maulana djuga terkenal nama-nama Panglima Sentik, Panglima Sebaja dan lain-lain jang senantiasa tidak merasa takut-takut dan ngeri menjerbu tentera Belanda, walaupun hanja dengan Mandau terhunus.

Tetapi pada achir tahun 1916 ditengah malam buta, istana Sultan Ibrahim Chaliluddin dikepung oleh sedjumlah tentera Belanda dan memaksa Sultan dan keluarganja keluar dari istana dan diangkut dengan kapal perang dari Benua ke Tanah Grogot, begitu pula sedjumlah keluarga Radja jang ditjurigai masuk komplotan Sultan dan beberapa orang pengurus S.I. ditangkap.

* * *

Keradjaan Kutai.

Dalam riwajat Keradjaan Kutai jang watu itu lazim disebut Keradjaan Martapura, menurut sepandjang tjeritanja jang turun-temurun telah terdjadi suatu peperangan antara Petali Putera dengan Kalingga seorang Bangsa Keling ditanah India. Dalam peperangan itu Maharadja Kalingga menjerah kalah, sehingga diantara putera-puteranja lari meninggalkan negerinja, dan membuat negeri pula di Kota Perak, jang kemudian negeri itu disebut negeri Gemilang Katja. Radjanja jang pertama ialah Maharadja Selendera Radjendera Warman.

Keradjaan Kota Perak ini ada kemungkinannja terletak di Semenanjung Melaju, mengingat nama negeri itu Kota Perak, Keturunan radja tersebut, ialah anak-anaknja jang bernama Maradja Mulawarman Naladewa jang mendirikan Keradjaan Kutai-Martapura. Sedang anaknja jang kedua mendjadi radja di Keradjaan Taruna Negara, namanja Maharadja Gunawarman. Anak jang paling bungsu , Maharadja Djajawarman mendjadi radja Kota Perak, Champa dan Kambodja. Keturunan Gunawarman jang mengendalikan Keradjaan Taruna Negara kemudian memakai nama Maharadja Purmawarman.

Sepandjang riwajat dalam Keradjaan Gunawarman banjak kedapatan sematjam daun jang berfaedah bagi obat-obatan dan dapat memberikan warna nila jang agak kelabu , jang lazim disebut Tarum. Tumbuh-tumbuhan itu sampai sekarang masih disebut dalam daerah Kutai, Tarum, karena banjaknja daun seperti itu, maka keradjaan itu diberi nama Taruma Negara . Barangkali sungai jang ada di Djawa-Barat sekarang ini, diambil dari Tarum itu, hingga mendjadi nama Tjitarum . Keturunan radja Kota Perak, menamakan dirinja serta keluarganja Maharadja Diradja Salendera.

Radja Mulawarman Naladewa jang mendirikan Keradjaan di Kutai Martapura disebut Mulawarman, dan hingga dewasa ini nama Kota itu tetap ada, hanja sebutannja sadja jang agak berubah jaitu Muara Kaman daerah Kalimantan Timur. Sedang nama ibu- negerinja disebut Martapura - Marta di Pura jang menurut sepandjang kisah mengandung „makna istana jang dapat mengawasi daerahnja tiap saat, istana pengharapan“.

Bekas-bekas peninggalan Keradjaan tersebut hingga kini masih terdapat, antaranja ialah tiang batu pemudjaan, jang menurut kata ahli jang sudah memeriksanja, huruf jang terdapat ditiang itu adalah huruf Pallawa, jang berasal dari daerah India Selatan Champa dan lain-lain jang umurnja kira 400 tahun.

Melihat kenjataan diatas , teranglah sudah , bahwa Keradjaan didirikan dalam abad kedua atau ketiga, karena Keradjaan ini hubungannja dengan Keradjaan Tiongkok, tetapi djuga para kok berdagang ke Martapura, membawa piring, mangkok, tembikar dan manik-manik.

Pernah pula kedapatan didaerah Muara Kaman sekarang ini tali kapal jang terpendam dalam tanah, perkakas kapal lajar dan petjahan tembikar, piring dan lain-lain jang semuanja berasal dari Tiongkok, jaitu peninggalan Keradjaan Tiongkok zaman purba. Demikian djuga masih terdapat tiang batu bekas pemudjaan, sebuah lesung dari batu jang senantiasa mendapat kundjungan ramai dari penduduk daerah sekitarnja, karena menganggap tempat itu, sebagai suatu tempat jang keramat, tempat mereka melepaskan kaul hadjatnja.

Pada ketika itu benda-benda perhiasan dan pakaian sutera didatangkan oleh saudagar Tionghoa, jang sampai sekarang mendjadi sebutan dalam dongeng, ketika puteri Indra Perwati Tungga Dewa turun mengasah gigi dengan upatjara memakai kain kuning sutera Tjina. Kebiasaan jang demikian ini terdapat djuga dalam suku Dajak didaerah Kalimantan Timur, dimana tempajan dan gutji - gutji tua dipandang keramat dan berharga dalam abad mereka sebagai sumpahan atau mas kawin waktu mereka kawin, dan tempat air jang dipandang sutji. Semua benda keramat itu mereka sebut ,, molo " , ialah benda-benda jang banjak terdapat dalam tjerita jang dibawa oleh saudagar-saudagar Tionghoa dizaman keluarga Maharadja Tang . Nama Kutai diberikan atau disebut dengan sebutan Tionghoa dengan Kho Thay, jaitu suatu Keradjaan jang besar dipulau Kalimantan. Tetapi nama Kalimantan dalam zaman Salendera, jaitu Naladwipa jang masih disebut Pudjangga dalam bahasa Kutai kuno. Kekuasaan radja Salendera hingga abad ke- 16, sebenarnja sudah musnah dalam pertengahan abad ketiga . Menurut sepandjang riwajat keturunan Maharadja Salendera Radjendera Warman Dewa mempunjai tiga orang anak, jaitu Maharadja Mulawarman, Seriwarman dan Marawidjaja Warman, sedang keturunannja jang bernama Singa Wargala Warman Dewa mempunjai pula tiga orang anak.

Ketjuali anaknja jang sulung dan jang kedua masing-masing mendjadi radja dalam Keradjaan Sriwidjaja dan Djawa, maka anaknja jang bungsu jang bernama Maharadja Tjendera Warman mendjadi radja pada Keradjaan Kutai Martapura. Dalam abad kedelapan bagian dari Keradjaan ini selalu mendapat serangan dari radja-radja lain, dan karenanja kedudukan radja Kutai Martapura bertambah lemah. Dalam keadaan demikian itu, maka oleh golongan revolusioner dilakukan perebutan kekuasaan tidak berhasil-jang dilakukan oleh Adji Batara Agung Dewa Sakti, jang berhasil mendirikan keradjaan baru buat menjaingi keradjaan tersebut, jang diberinja nama Kutai Lama jang letaknja dikatjamatan Samarinda Seberang Kawedanan Kutai Timur, daerah Kalimantan Timur.

Radja dari Keradjaan Kutai Lama ini adalah keluarga dari Sendjaja, karena mengingat keturunannja, jaitu Adji jang berarti ilmu. Besar kemungkinan radja Kutai Lama berasal keturunan Adji Soko dari Djawa. Karena kekuasaan keluarga Salendera sudah punah, hilang tenggelam dilautan Samudra Raja, maka kesempatan jang terbuka itu dipergunakan oleh keluarga Sendjaja untuk membalas dendam terhadap radja Salendera diseluruh Nusantara, sebagai pembalasan Prabu Sendjaja jang di Medang Kemulan sampai pindah ke Djawa Timur, mendirikan Keradjaan Mataram ketiga.

Tetapi agaknja dalam Keradjaan Salendera di Kutai Martapura tidak pula ketinggalan dalam perhatian radja-radja keluarga sendiri, maka dengan demikian lalu mendirikan keradjaan keluarga Sendjaja di Kutai Lama, dan sebagai radja jang pertama menduduki tachta keradjaan ialah Adji Batara Agung Dewa Sakti. Djika diperhatikan letak tempat kedua pusat kerajaan itu, nampak djelas betapa pentingnja kedudukan keradjaan Sendjaja di Kalimantan pada ketika itu. Sedang letak keradjaan Salendera di Kutai Lama agak masuk kedalam sungai Mahakam dewasa ini.

Djadi teranglah dengan siasat pengepungan oleh kerajaan Kutai Lama, maka keradjaan Kutai Martapura tidak dapat lagi mengatur perhubungannja dengan djalan lautan pada kerajaan Tiongkok, Kembodja dan Sriwidjaja. Dengan siasat blokkade keradjaan Martapura sudah tidak berkuasa lagi. Lebih dalam achir abad ketiga-belas terdjadi peperangan jang pertama antara keradjaan Martapura dengan keradjaan Kutai Lama, dan dalam peperangan tersebut, radja Martapura terpaksa menjerah kalah, karena radjanja Maharadja Seri Langka Dewa bersama puteranja Guna Perana Tungga gugur.

Dalam peperangan itu pula seorang puteri keluarga Salendera, Perwati Dewi, jaitu putera dari Maharadja Guna Perana Tungga dilarikan oleh radja Kutai ke Bengalon. Kemudian puteri ini diambil mendjadi permaisuri oleh Adji Batara Agung, dan setelah kawin permaisuri itu diganti namanja dengan Mahasuri, karena tempat kawin mereka didesa Bengalon . Maka dengan terdjadinja perkawinan ini, mulailah pertjampuran darah antara dua keluarga besar diseluruh Nusantara jang mendjadi keturunan pada radja Kutai dewasa ini. Keturunan radja Selendera jang ke- 19 kawin dengan keluarga Sendjaja radja Kutai Kartanegara jang kedua.

Sedjak waktu itu peperangan antara dua keradjaan terus-menerus berlangsung sampai beberapa tahun lamanja. Sekalipun demikian keradjaan Martapura masih tetap utuh dan dapat mempertahankan kotanja dari serangan-serangan musuhnja. Meskipun daerah keradjaannja masih jang telah direbut oleh Radja Kutai Lama radja Martapura tidak hendak menjerah. Dalam abad ke- 16 keradjaan Martapura diperintah oleh radja Guna Perana Tungga, adik kandung Indra Perwati. Karena radja itu masih dibawah umur, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Madjelis Keradjaan. Para pemangku Keradjaan itu terdiri dari Nala Duta, Nala Pati, Nala Pardana, dan Nala Donjang. Akan tetapi antara mereka jang memimpin madjelis keradjaan itu telah timbul perselisihan dan perpetjahan jang membawa akibat buruk bagi rakjat. Pertentangan dan perpetjahan itu dapat dihindarkan, dan karenanja tidak membawa akibat jang merugikan pada kedudukan mereka, tapi rakjat merasakan akibat pertentangan itu dan perpetjahan di kalangan rakjat sendiri tidak dapat dihindarkan. Pihak pertama mengakui kekuasaan Nala Duta , sebagai pemangku kerajaan jang utama, sedang jang lainnja mengakui kekuasaan Puteri Indra Perwati, karena dialah jang berhak mendjadi radja, setelah orang tuanja meninggal dunia. Akan tetapi oleh karena ia seorang perempuan, maka sikapnja itu ditentang oleh sebagian anggauta Madjelis dan sebagian oleh golongan-golongan dalam masjarakat.

Pertentangan jang penuh mengandung politik ini agaknja diatur sendiri oleh Adji Batara Agung, Sultan Keradjaan Kutai Lama, dan ialah jang mempengaruhi Puteri Indra Perwati, isterinja sendiri untuk merebut kekuasaan itu. Tetapi ia ditentang oleh Madjelis Keradjaan, terutama oleh Nala Duta sendiri jang tidak ingin melihat kerajaan Martapura djatuh ditangannja Adji Batara Agung, sekalipun ia mengetahui, bahwa Puteri Indra Perwati adalah anak dari radja Martapura . Kekatjauan -kekatjauan mulai terasa, karena bukan sadja diantara kaum radja-radja jang berselisih, melainkan djuga rakjatnja terpetjah-belah, dan karenanja banjak jang pindah kedalam keradjaan Kutai Lama dimana Adji Batara Agung duduk bertachta.

Makin lama makin sengit dan hebat pertentangan dan kekatjauan itu. Madjelis Keradjaan sudah tidak sanggup mengendalikan keadaan lagi, karena masing-masing pihak diantara mereka sendiri menuntut dan mendakwa, bahwa dialah jang sebenarnja berhak untuk menduduki singgasana Keradjaan Martapura. Demikian djuga seorang Kepala Daerah bagian, seorang Adipati telah berani menamakan dirinja radja dalam daerah pemerintahannja sendiri. Perebutan kekuasaan itu tidak sadja terdjadi dalam keradjaan Martapura, akan tetapi djuga dalam keradjaan Kutai Lama . Dengan tidak diketahui asal mulanja keradjaan ini telah diombang - ambing oleh sementara golongan jang ingin pula merampas kekuasaan Adji Batara Agung . Diluar pengetahuannja beberapa golongan jang berpengaruh telah membentuk sebuah Dewan Menteri jang terdiri dari lima orang keluarga radja, jaitu Adji Maharadja Sakti, Adji Suradewangsa, Indra Wangsi, Derwangsa dan Maharadja Sultan, jang umumnja berketurunan Adji dan Maharadja.

Salah seorang dari mereka ini, ialah Maharadja Sultan jang lebih dahulu memaklumkan dirinja selaku radja dari keradjaan Martapura, karena hak mahkota Martapura adalah hak kekuasaan jang langsung dari ibunja Mahasuri Bengalon. Pendakwaan dan tuntutan terhadap mahkota kerajaan Martapura ini tidak sadja berupa tuntutan, melainkan djuga sanggup menghadapi peperangan djika dianggap perlu. Tuntutan lainnja ialah menghendaki supaja adik kandung radja sendiri dimintanja kawin. Apabila tuntutan kawin ini tidak dikabulkan, maka serangan akan dimulai. Keluarga radja jang merasa bingung menghadapi keadaan jang demikian runtjingnja, maka ia terpaksa menjerahkan kaponakannja untuk dikawinkan dengan penuntut, jaitu Maharadja Sultan.

Tindakan jang diambilnja itu semata-mata untuk menghindarkan pertumpahan darah, sekalipun ia mengetahui, bahwa perakwinan jang demikian itu ada latar belakangnja, jaitu ingin merebut setjara legaal kerajaan Martapura.

Dalam kelandjutan tjeritanja disebutkan djuga, bahwa karena ketjintaannja jang meluap-luap hendak berbakti kepada kerajaan Kutai Lama seorang putera radja jang bernama Puntjan Karna telah memberanikan diri melalui daerah tapal batas antara keradjaan Martapura - Kutai Lama jang amat berbahaja bagi keselamatan djiwanja. Kapergiannja itu sebenarnja dilarang oleh saudaranja di Tandjung, namun ia tetap djuga berangkat, sehingga ketika ia hendak meninggalkan tanah Tandjung Djangkat, jang artinja Tundjung Tinggi, Pantjan Karna lalu membuangkan sebuah batu , sambil berdjandji dalam hatinja „djika timbul batu ini , maka aku akan tetap tinggal di Tundjung ini“.

Hingga sampai sekarang ini mendjadi suatu sumpah jang turun-temurun dari Sultan-sultan Kutai, tidak boleh melalui Sendawar - dihulu Melak - suatu tempat dimana Puntjan Karna membuang batu, dalam mana ia berdjandji kepada dirinja sendiri dan keluarganja untuk berbakti kepada keradjaan Kutai Lama. Ketika ia tiba di Kutai Lama , iapun dikawinkan, dan mulai dari waktu itu dalam kerajaan Kutai Lama diadakan suatu sidang Madjelis jang dihadiri oleh Adji Sapta dan Adji Ketudjuh jang bertindak selaku Ketua dan wakil Ketua, sedang anggauta-anggautanja terdiri dari Adji Maharadja Sakti, Suradewangsa, Indera Dewangsa, Radja Puteri Dewa Puteri dan Puntjan Karna, jang semuanja bergelar Adji dan Maharadja. Dalam sidang itu Ketua hanja memberikan rentjana dalam pemerintahan dan tjara penglaksanaannja, sedang jang berhak memutuskan ialah Adji Maharadja Sultan dengan keempat orang saudaranja jang mendjadi pemangku sjah dari Keradjaan Kutai.

Sementara itu saudaranja Puntjan Karna jang ada di Tundjung bersumpah pula tidak akan melalui Kutai Lama jang berarti pula ia melalui kekuasaan Puntjan Karna jang telah ada disana. Hingga dewasa ini, suku Tundjung jang masih berketurunan Puntjan Karna tidak pula boleh melalui Kutai Lama dihilir Samarinda - karena menurut faham mereka ialah sumpah keturunan mereka sendiri.

Berhubung dengan terdjadinja perkawinan politik antara Puntjan Karna dengan Adji Radja Puteri, maka kekuasaan Keradjaan Martapura sudah tidak ada lagi, hanja radjanja jang masih berkuasa dalam kotanja sadja, dan senantiasa berdaja upaja untuk mempertahankan ibu -kota Keradjaannja . Pada waktu itu keradjaan Martapura masih utuh dan dibiarkan sadja oleh kerajaan Kutai, karena kerajaan ini sedang mengatur perhubungan dengan keradjaan-keradjaan diluar daerahnja, seperti Madjapahit, Tiongkok dan lain-lain. Menurut riwajat keradjaan Madjapahit, mengakui kerajaan Pontjo Prabu di Kutai Lama dengan Adji Maharadja Sultan sebagai radjanja, dan sedjak waktu itu tetap bersahabat dan tetap utuh kekuasaannja sebagai keradjaan tetangga dari keradjaan Madjapahit.

Riwajat pernah pula mentjeriterakan, bahwa keradjaan Kutai lama mendjadi perantaraan dalam perhubungan antara keradjaan Tiongkok dan Kambodja, Djangka Gadjah, dan pernah pula keradjaan ini bertindak sebagai pihak ketiga. dalam perdamaian antara Madjapahit dengan keradjaan Champa, jaitu mengenai salah seorang Putera Madjapahit jang tidak diterima oleh Radja Champa sebagai menantu, dan karena njaris terdjadi peperangan antara kedua keradjaan itu. Perhubungan baik antara kedua keradjaan itu berlangsung terus, sedang keradjaan Kutai pernah mengirimkan beberapa orang puteranja untuk mempeladjari tjara pemerintahan dalam keradjaan Madjapahit. Demikian djuga dipeladjari tata - kerama, kesenian dan kebudajaan. Ia berbuat demikian ialah untuk menghilangkan segala kebudajaan dan peninggalan tjara-tjara bekerdja jang tidak teratur selama keradjaan Kutai diperintah oleh radja Salendera dan Sendjaja, sekalipun kedua keturunan radja itu mempunjai darah keturunan pada anak tjutjunja jang memerintah dalam keradjaan Kutai sekarang ini.

Sebenarnja sedjak zaman Kediri, Radja Kutai-Martapura pernah mengirimkan puteranja ke Kediri untuk mempeladjari gurindam dan sjair, jang ketika itu dalam sebuah sjair sumana - sentana - dan kresnadjaja adalah nama dari Ratu Seberang, Ratu Indraparuta. Dalam sjair itu dikatakan, bahwa kebimbangan Ratu Tjindra Kirana, putera Nata Djenggala memilih bakal suaminja diantara kedua satrya, jaitu Pandji Waning Pati dan Kuda Kartapura Ratu Seberang Indraparuta, putera Maharadja Martapura. Dalam perkawinan jang diramaikan oleh sjair Ganda Kesuma ada disebut dalam tjeritera Galuh meminang, jaitu:

    Kuda Karta banjak budinja,
    Pandji putera djadi kasihnja,
    Pajah memilih antara keduanja,
    Satrya muda agung geraknja.
Dalam bimbang puteri meminang,
Melihat satrya jang dua orang,
Jang mana diambil jang mana dibuang,
Laksana kembang rupa sepasang .
    Akan satrya Kuda Karta,
    Putera Nara Pati Indera Paruta,
    Sangnata Sugih bertumpukan harta,
    Sukar dibandingnja sedjagat nata.

Maka berdasar atas sjair-sjair ini, teranglah sudah, bahwa sedjak kerajaan Martapura dahulu sudah ada perhubungannja jang baik dengan keradjaan Kediri. Dan sampai sekarang masih terdapat peninggalan tarian topeng, wajang gedok, jang lazim disebut topeng Kutai, jang mentjeriterakan raden Putera atau Satrya Pandji Waning Pati memimpikan Galuh meminang. Topeng ini masih diadakan dalam istana dan keraton djika ada upatjara.

Tari-tarian jang ada hingga dewasa ini dalam daerah Kutai, ialah tari Ngedjiak, Ngedjek, Ngewai, Ngeridjot, Ngantar dan lain-lain, dan dalam upatjara di Keraton ada pula sematjam tari, Kandjar, Gandjur, jang ditarikan oleh keluarga bangsawan dan orang-orang hartawan, Menilik sifat dan tari-menari, maka tampaklah persamaannja dengan tari-tarian daerah di Sumatera, karena tjara dan iramanja tidak djauh bedanja. Seperti tari Ngewai tidak berapa bedanja dengan tari randai di Sumatera Barat. Tari orang Nias, orang Kubu dan Redjing bersamaan pula dengan tari- tari orang Dajak Bahau didaerah Kutai jang bernama tari Ngedjiak.

Dalam bahasa sehari-hari, orang Kutai bertutur kata, baik tentang ragam lagunja, maupun kata-katanja dari golongan atas dan oleh golongan bawahan tidak bedanja dengan bahasa didaerah Sumatera dan Semenanjung Malaka. Demikian djuga bahasa Kutai kuno, misalnja djika membatja do'a, bahasa belian, pudjangga, taki banjak persamaannja dengan bahasa jang terdapat di Sumatera Barat seperti dalam tjeritera Tjindur Mata. Bahasa Kutai kuno banjak kata perumpamaan, amsal, pepatah, peribahasa jang sering satu perkataan disebutkan dua kali , tapi jang berlainan sebutannja, djustru mempunjai arti jang sama. Dalam ragam bahasanja, naik bertangga, turun berdjendjang, jang lebih banjak mempergunakan kata- kata sadjak jang berirama, madah bergurindam.

Sudah sedjak dalam abad ke-17 bahasa Kutai telah bertjampur dengan bahasa Bugis dan bahasa Melaju, djuga dengan bahasa Djawa kromo. Tetapi jang lebih populair ialah bahasa Melaju , sedang bahasa Kutai kuno djarang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari, hanja dalam upatjara-upatjara diistana sadja. Adat dan tjara dalam pergaulan sehari-hari banjak pula persamaannja dengan suku Djawa. Demikian djuga raut dan bentuk paras muka, sedang pakainja mengiring zaman sekarang. Tetapi dalam tjara mematut diri, berdandan dan berpakaian kaum wanitanja hampir sama sadja dengan dandanan dari kaum wanita Solo dan Jogja pada beberapa tahun jang lalu.

Dan Kutai sekarang dalam perkembangan kebudajaannja, baik seni tari, maupun seni-seni lainnja, mengukir dan melukis, sekalipun belum sempurna telah mendjelma pula dalam masjarakat suku Dajak, sebagian besar adalah bekasbekas peninggalan dari pertjampuran kebudajaan radja Salendra dan Sendjaja. Bersamaan itu lebih dekat lagi, apabila diperhatikan lagu-lagu mereka dengan gong dan rebananja, maka seakan -akan orang melihat sendiri gamelan jang terdapat di Djawa Tengah. Dalam hubungan ini riwajat jang lebih tua dan pandjang menjebutkan, bahwa Adji Maharadja Sultan dengan saudaranja Adji Maharadja Sakti pergi ke Djawa dalam zaman pemerintahan Radjanegara - Hajam Wuruk jang lazim djuga disebut keradjaan Brawidjaja, dengan demikian njatalah sudah, bahwa Radja-radja dalam daerah Kutai adalah radja-radja dari keturunan Djawa. Dalam kisahnja radja Kutai mendjadi tamu dari Rakrian Mapatih Gadjah Mada, dan mempeladjari ilmu pengetahuan tentang adat-istiadat tata-kerama keradjaan jang akan dibawanja pulang kedaerahnja. Tetapi karena keradjaan Madjapahit hanja mengakui keradjaan Kutai Lama, dan tidak kepada keradjaan Martapura, maka kepergiannja ke Djawa itu sia-sia belaka. Dalam anggapan Gadjah Mada sudahlah tjukup bilamana radja Martapura menerima segala peraturan, adat-istiadat dan tata-kerama pemerintahan dari Keradjaan Kutai sadja. Dengan terdjadinja peristiwa itu, maka radja Martapura kembali kedaerahnja dengan hati sedih dan masjgul. Agaknja Radja Madjapahit hanja mengakui kekuasaan radja Adji Maharadja Sultan atas daerah Kutai dan Martapura, sekalipun sebenarnja radja Martapura masih sanggup mendjalankan pemerintahannja. Tetapi keadaan jang demikian itu tidak dibiarkan oleh keturunan radja-radja di Martapura, mereka tetap mempertahankan status keradjaannja, tidak ingin didjadjah oleh radja keradjaan Kutai, walaupun diantara kedua keradjaan itu masih tersangkut-paut darah familie.

Dalam perkembangan selandjutnja, setelah beberapa turunan jang mengendalikan kedua keradjaan itu terus-menerus berselisih faham, maka achirnja datang kepada suatu kepastian ialah melakukan peperangan sebagai salah satu djalan jang terachir. Dalam peperangan itu keradjaan Martapura terpaksa kalah, sedang radjanja gugur. Sedjak waktu itu kedua keradjaan itu digabungkan mendjadi satu keradjaan jang disebut keradjaan Kutai Kartanegara Ing Martapura, sedang radjanja bernama Pangeran Sinum Pandji Mendapa jang lebih agak sempurna mendjalankan pemerintahan dengan satu undang-undang jang mempunjai 164 fasal. Undang-undang itu mengatur dengan tjara bagaimana seorang radja harus berbuat dengan kekuasaannja dan batas keradjaan. Adapula kedapatan suatu tulisan dengan huruf-huruf Djawa kuno, jang terdapat didaerah Kutai Lama dan Kutai Martapura. Tulisan-tulisan itu masih ada hingga sekarang ini.


KETURUNAN RADJA-RADJA KUTAI MARTAPURA DAN KUTAI LAMA.

1300 - 1325 : Adji Batara Agung Dewa Sakti -1-
1325 - 1360 : Batara Agung Paduka Nira -2-
1360 - 1420 : Maharadja Sultan -3-
1420 - 1475 : Radja Mandarsjah -4-
1475 - 1525 : Pangeran Temenggung Baja-baja -5-
1525 - 1600 : Radja Makuta Mulia Islam -6-
1600 - 1605 : Adji Dilanggar -7-
1605 - 1635 : Pangeran Sinum Pandji Mendapa -8-
1635 - 1650 : Pangeran Dipati Agung -9-
1650 - 1686 : Pangeran Dipati Modjokasuma -10-
1686 - 1700 : Ratu Agung -11-
1700 - 1730 : Pangeran Dipati Tua -12-
1730 - 1732 : Pangeran Dipati Anum -13-
1732 - 1739 : Sultan Muhammad Idris -14-
1739 - 1780 : Sultan Muhammad Muslihuddin -15-
1780 - 1850 : Muhammad Shalihuddin -16-
1850 - 1899 : Muhammad Sulaiman -17-
1899 - 1915 : Sultan Muhammad Alimuddin -18-
1915 - ...... : Sultan Muhammad Parikesit -19-