Juadah
JUADAH
Sri Anggeny Marta Fiona
SMPN 1 Pariaman
Minangkabau namanya, suatu kampung yang sangat unik. Di sana tempat aku dilahirkan. Minangkabau adalah kampung halaman yang sangat kucintai. Mengapa aku bilang Minangkabau adalah kampung yang unik, inilah sebabnya.
Dia adalah seorang perempuan yang sudah lama melajang. Namun dia memiliki seorang kekasih yang sudah lama ia pacari. Dia adalah saudara parempuanku yang paling tua, Dewi. Karena itu mama dan papaku berencana untuk menikahkan kakakku itu dengan kekasihnya. Walaupun telah lama menjalin hubungan, namun pelaksanaan prosesi pernikahan tetap melalui adat istiadat yang ada di daerah Minangkabau, khususnya di kampungku ini. Awalnya ada istilah manapiak bandua, acara ini diadakan menyampaikan niat ingin melamar calon mempelai laki-laki yang akan dijodohkan dengan kakakku. Acara ini hanya dilakukan oleh kedua orang tua mempelai laki-laki dan kedua orang tua mempelai wanita. Ibarat kata pepatah, ‘bajalan babuah batih malenggang babuah tangan.’
Itulah kebiasaan orang Minangkabau ini, sama halnya yang dilakukan oleh kedua orang tuaku, mereka jugal membawa makanan ke rumah mempelai laki-laki pada saat manapiak bandua.
Menjelang diadakan, kami sekeluarga dan sanak famili mengadakan musyawarah untuk menentukan kapan diadakannya. Pertunangan tentu diadakan jauh sebelum dilangsungkannya pernikahan. Di Minangkabau, di saat pertunangan itu diadakan acara tukar cincin. Acara ini menurut adat disebut bagalek anak daro. Dan pada saat tukar cincin tersebut, kakakku sebagai mempelai perempuan membawa makanan ke rumah keluarga calon mempelai laki-laki. Makanan itu akan disuguhkan pada saat tukar cincin diadakan. Tapi anehnya, pada saat tukar cincin dilaksanakan, kedua mempelai belum diperbolehkan untuk saling bertemu. Yang akan mempertukarkan cincinnya hanyalah kaum kerabat dari kedua belah pihak.
Setelah beberapa hari diadakannya pertunangan, kami sekeluarga dan sanak famili kembali mengadakan musyawarah. Kali ini yang kami bicarakan bukanlah tentang pertunangan, namun kapan diadakannya pesta besarnya atau baralek. Maka dari itu, kesepakatan yang telah diambil, baralek akan diadakan pada hari Senin, 9 Mei 2011 dan akad nikahnya sehari sebelumnya.
Menjelang prosesi pernikahan keluarga kami sibuk sekali, apalagi yang nama nya patang bungkuih, pada malam hari menjelang pesta. Semua dipersiapkan untuk menanti kedatangan marapulai, pengantin laki-laki. Selesai magrib, tamu, para undangan, sanak famili, handai tolan sudah mulai berdatangan. Bagiku ada satu hal yang tidak luput dari perhatianku yaitu persiapan untuk menjemput marapulai. Dari awal telah dipersiapkan kampia siriah, tempat sirih, yang diisi lengkap mulai dari sirih, kapur sadah, pinang, gambir, dan tembakau. Kampia siriah yang sudah diisi dengan kelengkapan sirih, dililit dengan kain kuning yang lebarnya kurang lebih empat jari orang dewasa. Namun ada yang paling menarik bagiku, yaitu mamaku sibuk sekali memasukkan tembakau ke dalam sebuah tempat yang disebut salapah. Bentuknya bulat seukuran bola pimpong, diisi dengan tembakau sepadat mungkin. Melihat hal itu ada sebuah pertanyaan yang timbul di benakku, dan aku langsung bertanya pada mama.
"Ma..., kenapa salapahnya harus diisi padat?" Tanyaku.
"Nana..., ini merupakan tanda keperawanan seorang anak daro, pengantin perempuan, yang nantinya akan menikah dengan mempelai laki-laki. Salapah yang sudah diisi dengan padat disimpan di bawah bantal kamar pengantin perempuan yang nantinya akan dicari oleh marapulai. Jika salapah nya tidak lagi padat berarti anak daro nya tidak lagi perawan."
Aku terperangah mendengar jawaban mama, ternyata walaupun salapah itu berukuran kecil, tapi maknanya besar. Bukan itu saja, ada lagi syaratnya yaitu, sebuah bungkusan yang terdiri dari sebuah keris kecil, kampia siriah, cincin tiga jenis, emas, perak, imitasi beserta dengan uang jemputan senilai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Nilai uang jemputan tergantung pada kesepakatan yang telah diambil oleh kedua belah pihak.
Sambil menunggu kedatangan marapulai kami sengaja mengundang orang-orang yang bisa bermain alat musik rabab. Orang-orang yang bisa memainkan alat musik rabab disuruh memperlihatkan kepiawaiannya dalam memainkan rabab, agar tamu-tamu yang hadir merasa terhibur. Tentu aku juga menonton orang-orang ini. Ternyata orang yang memainkan rabab adalah seorang laki-laki yang disebut tukang rabab dan dia juga dibantu oleh seorang perempuan yang bernyanyi atau berdendang dan disebut tukang dendang. Kulihat tukang rabab duduk bersila sedangkan tukang dendangnya duduk bersimpuh.
Di saat aku tengah asyik menonton tukang rabab dan tukang dendang ini, ternyata rombongan mempelai laki-laki yang dijemput telah datang. Aku ingin tahu siapa saja yang datang, rupanya mamak, paman, dan rombongan pihak mempelai laki-laki. Kedatangannya disambut dengan baik dan dijamu dengan makanan. Sambil duduk bersila di bawah tirai dengan mamak pihak mempelai laki-laki dan mamak pihak mempelai wanita. Selesai makan, kedua mempelai segera dinikahkan. Tentu saja yang menikahkannya adalah papaku.
Tapi aku heran juga, tadi kakakku sebelum marapulai datang ia duduk di pelaminan, tapi sekarang saat marapulai datang kakakku malah disembunyikan di kamar anak daro.
Jadi aku langsung bertanya kepada mamaku.
"Ma..., kenapa kakak disembunyikan?" Tanyaku.
"Nana..., kakak belum diperbolehkan untuk keluar," jawab mama.
"Kenapa begitu Ma?"
"Itu sudah merupakan ciri khas adat istiadat kita."
"Jadi kapan kakak boleh keluar?”
"Nanti setelah ijab kabul selesai diucapkan oleh mempelai laki-laki, baru kakak boleh keluar," jelas mama.
"Oh begitu," sahutku.
Sekarang aku sudah mulai tahu akan ciri khas adat istiadat Minangkabau. Aku bingung sekarang aku harus melakukan apa. Lalu aku berpikir sejenak, mungkin aku harus menemani kakakku yang hanya sendirian di kamar, lebih baik aku segera ke sana. Aku tersenyum sambil menyapa nya.
"Hai Kak...!" Sapaku. „Hai juga Na,“ jawab nya.
„Sendirian aja Kak?“
"Iya neh Na.“
„Mau ditemanin nggak tu Kak?“
„Boleh kalau Nana mau.“
„Tentunya Nana mau donk kak, buat kakak apa sih yang nggak.“
"Bisa aja kamu, ayo duduk sini di samping kakak!“
Akhirnya aku menemani kakakku yang sedang kesepian itu. Sepertinya kakakku ini sedang cemas, entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia sedang membayangkan calon suaminya yang sedang berusaha keras untuk mengucapkan ijab kabul di depan papaku, penghulu, dan yang lainnya. Aku sudah berusaha untuk menghiburnya agar ia tidak terlalu cemas. Tetapi walaupun begitu, senyumannya masih belum terlihat. Karena ia yang tak kunjung senyum, terpaksa aku diam saja duduk di sampingnya. Mungkin karena kakakku yang terlalu cemas jadi aku juga ikutan cemas. Aku juga bingung kenapa aku juga ikut-ikutan cemas. Di sini aku bisa melihat akan kesakralannya pernikahan. Akhirnya ijab kabul selesai diucapkan oleh mempelai laki-laki. Hatiku sekarang sudah mulai lega seperti perasaan kakakku yang juga telah lega. Setelah itu kakak diperbolehkan keluar dari kamarnya dan segera dinasehati oleh penghulu dan papaku. Kemudian kami berfoto-foto dengan sanak famili yang hadir. Kami hanya tinggal mempersiapkan hari esok untuk pestanya.
Esok harinya aku terbangun dari tidur yang pulas. Aku langsung pergi ke kamar mandi untuk mandi dan segera mempersiapkan diri. Menjelang para undangan datang, kulihat mempelai laki-laki dan mempelai wanita sedang berdandan. Setelah berdandan mempelai wanita disandingkan di pelaminan tentunya dengan mempelai laki-laki. Hari telah mulai siang, para tamu undangan juga sudah mulai berdatangan.
Tanpa dirasakan, ternyata hari sudah menunjukkan pukul dua siang, para tamu undangan juga semakin banyak. Hingga malam hari rumahku terus ramai oleh para tamu undangan yang masih terus berdatangan. Tengah malam telah datang, rumahku sudah mulai sunyi. Ini tanda nya sudah saatnya untuk tidur. Seharian ini sungguh melelahkan, namun aku juga memiliki sejuta pengalaman yang sungguh berarti.
Besok harinya, setelah pesta perkawinan selesai. Anak daro pergi ke rumah marapulai, acara ini disebut dengan manjalang. Saat manjalang ini anak daro diiringi oleh pasumandan. Dan sebagai buah tangan pihak anak daro, membawa lumbung yang digotong oleh empat orang laki-laki yang telah dihias dan berisi juadah.
Sejenak aku teringat saat ibu membawaku ke Balai Baru, Sungai Sariak untuk memesan juadah. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk juadah itu, jangankan bentuknya mendengarkan kata juadah saja baru kali ini. Karena penasaran, dalam perjalanan menuju Balai Baru, Sungai Sariak aku bertanya kepada mamaku.
"Ma..., juadah itu apa sih?" Tanyaku pada mama.
"Nana..., juadah itu merupakan makanan ciri khas Minangkabau yang sengaja dibuat oleh pihak anak daro dan dibawa saat manjalang, bentuknya bulat, bahannya dari beras pulut dan cara pembuatannya adalah digoreng," jelas mama.
"Juadah itu terbuat dari apa Ma?"
"Juadah itu terbuat dari beras pulut, gula, air, vanile, dan santan."
"Oh..., bagaimana cara pembuatannya Ma?"
"Beras pulut yang telah menjadi tepung dicampur dengan gula, air, santan, vanile sehingga menjadi sebuah adonan dan siap untuk digoreng. Adonannya itu seperti kue sapik. Nana tahu kan?"
"Iya tahu ma. O... ya, bagaimana cara penggorengannya Ma?"
"Adonan tadi diletakkan pada tempurung yang sudah dilubangi. Lubangnya harus berjumlah ganjil sekitar tiga dan lima. Tempurung yang sudah dilubangi diberi dua tangkai, yang satunya sebagai pemegang, dan yang satunya lagi untuk diikatkan ke atas. Lubang tersebut berfungsi untuk cetakan tempat keluarnya adonan. Sambil diputar-putar dan digoreng, maka jadilah sebuah juadah."
"Oh..., begitu."
Setelah sampai di tempat tujuan, kami langsung menemui pedagang yaitu Ibu Shinta yang sedang membuat juadah. Di sana aku melihat langsung bagaimana cara pembuatan juadah. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh mamaku bahwa membuat juadah memang menggunakan tempurung. Di sana juga sudah banyak juadah yang telah selesai dibuat hingga bertumpuk-tumpuk. Ternyata juadah itu juga punya anak, ada pinyaram, nasi aru, aluwo, kipang, dan kanji, tetapi secara keseluruhannya disebut juadah. Tentu cara pembuatannya pun juga berbeda-beda. Rasanya kalau tidak minum setelah makan juadah pasti kerongkongan terasa kering, soalnya rasanya pada sangat manis. Tapi kalau tidak mencicipi yang namanya juadah pasti akan sangat menyesal. Cara pembuatannya pada umumnya hanya digoreng.
Karena kami ingin membeli, jadi kami menanyakan harga juadah itu, tentunya kepada Ibu Shinta.
"Bu, berapa harga juadahnya?" Tanya mamaku.
"Harganya sekitar dua juta Bu."
"Tidak bisa kurang ya Bu?"
"Itu sudah harga yang normal Bu, jadi tidak bisa kurang."
"Ayolah Buk kurangi sedikit, satu setengah juta bisa tidak?"
"Itu terlalu rendah Bu. Kalau satu juta sembilan ratus ribu bagaimana Bu?”
"Tidak bisa kurang ya Bu? Supaya lebih adil bagaimana kalau satu juta delapan ratus ribu?"
"Bagaimana ya? Ya sudahlah tidak apa-apa Bu." "Kalau begitu saya jemput dua minggu lagi Bu?"
"Baik."
Karena pemesanan juadahnya sudah selesai, kami langsung beranjak pulang.
Biasanya kalau laki-laki yang belum pernah menikah mendapatkan sebelas buah juadah dalam sebuah lumbuang, tapi jika sudah pernah menikah atau duda mendapatkan tujuh juadah dalam sebuah lumbuang. Di Minangkabau, khususnya di kampungku seorang ibu jika melahirkan anak laki-laki akan merasa sangat bahagia karena kelak jika ia sudah menikah dengan perempuan Minangkabau akan mendapatkan juadah, tapi sebaliknya jika laki-laki itu menikah dengan perempuan luar Minangkabau tidak akan mendapatkan juadah.
Tersentak aku dari lamunan yang panjang, saat aku mendengar suara gong sebagai sambutan dari pihak marapulai. Kamipun disambut dengan baik dan disuguhkan dengan makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah itu kami berfoto-foto dengan sanak famili pihak marapulai. Sebelum pulang, anak daro diberi berupa emas yang disebut pahimpik juadah.
Itulah sebabnya Minangkabau aku bilang sebuah kampung yang sangat unik. Karena adat istiadatnya yang sangat berbeda dengan budaya lain. Tapi walaupaun begitu, setiap adat istiadatnya tidak dibuat asal-asalan saja, namun memiliki sebuah makna yang mendalam. Meski demikian, sekarang adat istiadat Minangkabau yang sangat unik itu sudah mulai pudar. Mungkin hal itu disebabkan oleh pengaruh globalisasi, namun aku sebagai anak Minangkabau ingin sekali melestarikan budaya ini.