Lompat ke isi

Jemari Laurin

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Jemari Laurin
oleh Sulung Siti Hanum

JEMARI LAURIN

Sulang Siti Hanum

SMAN 1 Padang

LAMPU-lampu padam dan alunan musik pun diperdengarkan. Spotlight menerangi sesosok tubuh di atas panggung yang tengah asyik dengan pianonya. Jemarinya yang panjang begitu lihai menari di atas tuts hitam putih itu. Gedung yang tadinya bising oleh suara-suara orang yang penuh sesak, mulai terasa sunyi. Para pendengar hening seketika menghayati nada demi nada seolah terhanyut dalam melodinya, menikmati sambil memejamkan mata dan teringat pada kenangan lamanya. Ada juga yang menatap takjub tanpa sempat berkedip, bahkan secara tak sadar meneteskan air mata. Mereka terkesima dengan kepiawaian seorang gadis 14 tahun memainkan sonata gubahannya sendiri. Musik tersebut seolah membawa penonton ke dunia lain dengan nuansa kedamaian, jauh dari kehidupan kota yang hiruk-pikuk. Tak satu pun suara terbersit dari bangku penonton hingga lagu terakhir dimainkan.

Persembahan terakhir ini berbeda dari sebelumnya. Ia memainkan simfoni yang lebih riang dan menantang dengan melodi yang bukan lagi jalur musik klasik. Iringan biola, cello, saxophone, fluete, dan harpa yang membentuk pola nan harmonis, mempertajam makna yang tersirat pada musik yang dibawakannya. Saat mencapai klimaks, jemarinya semakin cepat "bergulat" di atas tuts, membuat suasana semakin tegang. Followspot berlalu-lalang menyorot latar panggung dengan cahaya gemerlapan dan terkesan penuh warna.

Cahaya lampu pun akhirnya kembali mengisi gedung itu pertanda konser usai. Gemuruh tepuk tangan menghujani gadis remaja tersebut. Dengan lantunan melodi pianonya, ia berhasil "menghipnotis" penonton untuk masuk ke dunia maya yang ia ciptakan sendiri. Laurin, begitu ia dipanggil, berdiri anggun sembari membungkukkan badan ke arah penonton. Di bibirnya tersungging senyum merekah penuh kepuasan dan matanya yang cokelat memancarkan sinar cerah. Wajah bak cahaya itu diimbangi dengan balutan gaun hitam dengan siluet keperakan menutupi tubuhnya yang terkesan agak berisi dan tinggi.

Laurin mengucap syukur seraya menutup mata. Konsernya hari itu sukses besar. Perasaan bahagia diliputi kebanggaan tak bisa ditutupi lagi. Dia memang sangat mengimpikan saat-saat seperti ini. Semua orang memberi tepuk tangan dan terus mengelu-elukannya.

Dia kembali membuka matanya. Seketika semuanya sirna dan sunyi. Penglihatannya sedikit buram, tetapi ia dapat melihat tiga sosok berdiri tak jauh darinya. Mereka adalah ibu, ayah, dan saudaranya yang menatap dengan wajah muram.

Kepala Laurin terasa pusing dan tulang-tulangnya sedikit nyeri. Matanya mulai menerawang memperhatikan situasi di sekitar. Langit-langit dengan lampu neon bergantung di tengah. Peralatan medis yang dihubungkan dengan kabel-kabel kecil berada di sekelilingnya. Kemudian ia menatap perban putih membalut tangan kanannya, sedangkan di tangan kiri tertambat sebuah jarum yang menusuk kulit. Apa yang terjadi? pikir Laurin kemudian.

Ibu Laurin perlahan menghampiri dan duduk di samping tempat tidur. Bulatan hitam tampak melingkar di bawah matanya. Jelas sekali bahwa ia terus mencemaskan keadaan Laurin sehingga lupa tidur. Di belakang ibu, berdiri ayah dan abangnya, Tio, yang juga kelihatan sangat lelah.

"Di... di mana Laurin, Bu?" tanya Laurin serak.

"Ssst! Jangan banyak bicara dulu, Nak! Kamu ada di rumah sakit," bisik ibunya.

Pintu ruangan terbuka dan seorang dokter masuk diikuti oleh dua orang perawat berpakaian serba putih. Dia berbicara dengan orang tua Laurin seperlunya dan kemudian ibu, ayah, serta Tio keluar meninggalkan Laurin bersama perawat dan dokter itu. Mereka memeriksa kondisi Laurin, mulai dari tekanan darah sampai pada perban yang melekat di kepala dan tangannya.

"Baguslah. Kamu sudah siuman, Nak. Tekanan darahmu juga normal. Banyak istirahat, ya, Laurin," pesan dokter itu yang diikuti dengan anggukan lemah Laurin. Dokter dan dua perawat pun berlalu dan kemudian abangnya masuk seraya tersenyum.

"Apa yang terjadi pada Laurin, Bang?" tanyanya.

"Hmm, kamu sudah terbaring tak sadarkan diri selama empat hari di sini. Waktu itu kamu mendapat kecelakaan mobil. Tapi, lebih baik kamu jangan pikirkan itu dulu. Kamu harus cepat sembuh. O ya, ada salam dari teman-temanmu kemarin, spesial dari Vini dan Gito."

"Tapi, apakah lukaku parah hingga aku pingsan berhari-hari? Lalu konser itu..."

Tio tidak menjawab pertanyaan itu. Kesedihan mulai terpancar dari wajahnya. Dia tidak tega menjelaskan kenyataan yang menimpa adiknya. Dan, akhirnya terucap dua kata dari mulutnya. "Konsermu batal." Kemudian Tio memalingkan wajahnya dan beranjak ke luar ruangan meninggalkan Laurin seorang diri.

Jawaban singkat itu menyisakan seribu tanda tanya di benak Laurin. Ia tahu abangnya menyembunyikan sesuatu darinya. Perasaannya kalut, ditambah lagi pikiran yang bercabang-cabang. Berbagai dugaan buruk datang bergantian dari otaknya. Laurin kembali melihat tangan yang kaku karena dililit perban. Apa yang... Oh, tidak. Konserku? pikirnya. Sekarang ia mengangguk paham, kebahagiaan menggelar konser tunggal yang baru saja dialami hanya sebuah kesenangan semu. "Nggak. Nggak mungkin. Tadi itu nggak mungkin mimpi. Konser itu nyata. Nggaaaaakkk...

Air mata kini mengalir membasahi pipinya. Konser yang selama ini telah dipersiapkan sedemikian rupa, tiba-tiba batal karena kecelakaan. "Tapi... tunggu dulu. Kalau memang penyakitku tidak parah, seharusnya konser itu ditunda hingga aku sembuh. Bukan dibatalkan seperti ini. Apa maksudnya?" ujar Laurin dalam hati.

Rasa penasaran terus menghinggapi Laurin beberapa hari kemudian. Keluarganya selalu mengalihkan pembicaraan, jika Laurin bertanya perihal dirinya. Suatu keadaan yang mencurigakan, pikirnya. Sampai pada akhirnya, ketika dokter mengganti perban di tangannya, Laurin melihat ada sesuatu yang aneh. Ia tidak dapat menggerakkan jarinya, dan yang lebih parah lagi tidak sedikit pun ia merasakan nyeri pada tangannya padahal bekas luka akibat kecelakaan kemarin belum kering.

"Mengapa tanganku begini, Dok?" tanya Laurin tiba-tiba. Dokter menghela napas panjang mendengar pertanyaan yang memang sudah diduganya keluar dari mulut Laurin. Ia pun duduk di samping tempat tidur.

"Seharusnya kami sudah memberi tahu kondisimu dari awal. Tetapi, orang tuamu melarang karena takut kamu akan bertambah shock..."

Penjelasan dokter memang sangat mengejutkan. Laurin menatap lekat-lekat dokter itu, memperhatikan apakah terdapat sinar jenaka dari matanya.

"Dok..., dokter bercanda, kan?" sahutnya terbata bata yang diikuti anggukan sang dokter.

Laurin tertegun. Jantungnya mencelos. Bulu romanya merinding dan otot-ototnya mengejang. Tanpa disadari air matabergulir membasahi pipinya. Jadi ini yang disembunyikan semua orang darinya. "Nggak. Ngak mungkin Dok. Nggak mungkin. Hik...hik...hik..." "Tenanglah. Lebih baik kamu banyak berdoa, ya. Jangan menangis. Menangis tidak akan memecahkan masalah. Orang tua akan bertambah sedih melihat anaknya seperti ini. Saya tinggal dulu, ya. Ingat! Banyak berdoa," kata dokter sambil berlalu.

Laurin mengangguk dan menyeka air matanya dengan sebelah tangan. Angan dan harapannya pupus sudah. Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini? desahnya dalam hati.

***

Laurin akhirnya diizinkan pulang dua minggu kemudian, tetapi ia harus menggunakan kursi roda karena keseimbangan tubuhnya masih belum stabil. Sendi-sendi kakinya sangat kaku. Dengan dua atau tiga kali terapi, kaki Laurin akan pulih kembali.

"Nah, welcome home, Laurin. Kangen, kan? Tapi, kamu pasti lebih kangen lagi dengan bau kamarmu. Sini, Abang antar, ya."

Perlahan Tio mendorong kursi roda Laurin ke arah kamarnya, Ketika melewati ruang tengah, tak sengaja Laurin melihat piano terletak di sudut dekat lemari tempat ia memajang seluruh penghargaan dan prestasi yang pernah ia raih. Rasa rindu langsung menghinggapinya. Tetapi, sekejap kerinduan itu sirna, berganti dengan perasaan sedih dan ketidakberdayaan, begitu ia ingat dengan keadaan tangannya dalam balutan perban putih.

Tanpa memperhatikan reaksi adiknya, Tio terus berjalan mengantarkan Laurin ke kamarnya hingga mereka sampai ke sebuah ruangan dengan dinding berwarna biru muda. Tempat tidur dengan bedcover kuning cerah bergambar bunga matahari serta teddy bear kesayangannya telah duduk manis menyambut kedatangan Laurin. Mau tidak mau, Laurin tersenyum juga menatap boneka itu. Kemudian tatapannya beralih pada meja belajar dengan buku-buku berjajar rapi di atasnya. Lembaran kertas berisi sonata gubahannya yang biasa berserakan, kini sudah tidak ada, sedangkan kumpulan MP3 musik-musik klasik tersusun di rak. Di sisi lain kamar, angin berembus masuk melalui jendela kamar dengan tirai putih bermotif yang sengaja dibuka agar sirkulasi udara dapat bertukar.

“Ini, nih, kamarmu. Ibu sudah merapikannya tadi pagi.

Kelihatan lebih nyaman, kan? Nikmati saja, ya. Abang mau pergi dulu.”

Seiring dengan berlalunya Tio, Laurin hanya duduk melamun, tenggelam dalam pikirannya. Kenyataan bahwa ia tidak bisa lagi memainkan alunan musik nan selaras dan indah membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan. Ia meraba jemari tangan kanannya di balik perban putih. “Sekarang kalian tidak bisa kugunakan lagi,” ujarnya sedih. Isakan tangisnya mulai terdengar. Sampai saat ini, ia belum bisa menerima bahwa dirinya cacat akibat kecelakaan mobil yang ia alami lebih kurang tiga minggu lalu. Mobil yang mengantarnya ke gedung tempat ia akan menggelar konser, tiba-tiba tergelincir melewati tikungan tajam sehingga arah dan kecepatan mobil tak terkendali. Tangan kanannya berusaha menggapai pegangan pintu dan membukanya. Tetapi malang, pintu kembali menutup dengan keras menjepit Jari-jarinya, yang diiringi pekik tangis menggema menahan pedih hingga kepalanya membentur sebuah benda runcing dan ia pun pingsan.

Peristiwa naas itu meninggalkan trauma berat dalam hidup Laurin. Kerusakan pada tulang dan jaringan saraf yang Putus menyebabkan kelumpuhan pada sebelah tangannya. Jemarinya yang dulunya panjang, kelihatan kokoh dan kuat, Sekarang tinggal jemari yang menjuntai, tidak lagi peka terhadap apa pun, terasa lembek di setiap buku-bukunya. Di USia yang masih belia, wajarlah jika Laurin tidak dapat Menerima cacat fisik yang dideritanya. Perjalanan hidupnya masih panjang. Tak terbayang bahwa ia akan bermain piano dengan satu tangan. Itu tidaklah cukup. Simfoninya tidak akan terdengar sempurna. Hal itu pun berarti ia harus Memulai dari awal lagi.

Bagi Laurin, piano merupakan bagian terpenting dalam hidupnya. Sejak kecil ia telah lihai bermain piano karena ajaran ayahnya. Ketika ia mulai mengerti mengenal sangga Nada dan seluk-beluknya, Laurin pun belajar mengubah musik dan memainkannya tanpa kesulitan. Bakatnya itu semakin berkembang dengan menggelar konser di berbagai tempat yang disponsori langsung oleh rekan ayahnya dan perusahaan rekaman. Sejak itu ia menjadi sosok yang cukup dikenal di kotanya sehingga membuat ia tumbuh sebagai anak yang mandiri dan lebih percaya diri.

Tetapi, keadaannya saat ini berbeda. Semua orang akan memandangnya sebagai anak cacat tak berdaya yang pantas dikasihani. Apa yang harus ja perbuat sekarang? Ia tidak sanggup melihat pianonya “menganggur” menantinya untuk “bekerja sama” kembali. Tidak untuk saat ini.

Angin sore masuk menyibakkan poninya dan tampaklah guratan bekas luka di keningnya. Wajahnya masih kelihatan pucat dengan rona hitam di bawah mata yang merah karena terus menangis. Tiba-tiba terdengar sebuah suara di belakangnya.

Awan bergulung memutar angin
Kusapa di balik mata berkaca
Terempas, terjatuhku tanpa sayap
Tertumpah pedih dalam napan duka
Gunggunglah aku hingga batas langit
Biar terbakar amarah mentari
Dan kulawan tarikan bumi
Kan kuciduk dan kumandikan
Semua bersaksi di nadi alam.

Laurin memutar tubuhnya dan tampak Vini serta Gito berdiri di samping pintu kamarnya. Laurin segera menghapus air mata dan merapikan rambut yang berantakan. Kata-kata yang baru saja terucap dari mulut Vini tidak membuat keadaannya menjadi lebih baik.

“Buat apa kalian datang kemari, jika hanya ingin menghinaku. Kukira kalian lupa denganku,” ujar Laurin.

“Lho, kok, kamu jutek gitu, sih? Kami datang untuk menjengukmu. Kami, kan, temanmu,” jawab Gito kecewa dengan respon Laurin yang begitu sinis.

“Gimana kabarmu? Nih, kami bawain buah-buahan seger, biar wajahmu cerah kembali. Lihat aja, tuh, kerutan di dahimu udah mencapai dua puluh lipatan,” ledek Vini.

Gito menyikut lengan Vini agar tidak terlalu banyak mengoceh.


66

"Hmm, Rin, kita jalan-jalan keluar, yuk. Kulitmu butuh udara sore yang segar biar nggak kelihatan pucat lagi?" ajak Vini.

"Iya, nih. Sini aku bantu dorong kursi rodamu." Gito mendorong kursi roda Laurin ke luar kamar. Lanrin langsung berpaling ketika melewati ruang tengah. Terlalu menyakitkan baginya kembali menatap pianonya. Vini dan Gito menyadari hal itu. Mereka saling berpandangan dan mengangguk paham apa yang sedang terjadi pada sahabat mereka.

Kebun belakang rumah Laurin terhampar luas dan ditumbuhi berbagai macam tanaman. Di sinilah tempat yang paling tenang untuk memperoleh inspirasi dalam menggubah musik terbarunya. Untuk menghibur suasana hati Laurin, Vini dan Gito mengajaknya bermain melupakan kesedihannya. Mereka bagi kisah yang terjadi di sekolah selama Laurin tidak masuk. Vini juga banyak menceritakan buku-buku baru yang dibacanya. Mau tidak mau Laurin tertawa juga dengan ocehan teman-temannya itu. Dia mulai menyingkirkan semua pikiran negatif di benaknya. Ia biarkan dirinya hanyut dalam keakraban mereka. Laurin merasakan ada sebuah melodi nan indah yang berasal dari suatu kolaborasi menakjubkan antara keresek dedaunan, riak air, kicau burung, dan berbagai suara hewan di sekitamya.

"O ya, Rin, kami punya sesuatu untukmu. Pinjam saputangan, dong, Vin," ujar Gito seraya mengedipkan mata pada Vini.

Vini pun merogoh sakunya dan memberikan sehelai kain kecil bergambar ranting-ranting gersang kepada Gito. Kemudian Gito melingkarkan sapu tangan itu di mata Laurin.

"Sorry, ya, Rin. Jangan ngintip, lho!"

Laurin mengangguk pasrah. Entah apa lagi yang direncanakan sahabatnya.

Pelan-pelan Gito mendorong kursi roda Laurin masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Vini. Di tempat tujuan, Gito segera melepaskan saputangan dari mata Laurin.

"Silakan dibuka."

Laurin tercengang melihat sesuatu yang ada di had pannya. Piano berwarna kecokelatan dengan tuts tuts hitam putih berjajar rapi. Tuts tersebut seakan tak sabar menunggu sentuhan jemari halus Laurin siap dimainkan. Tetapi, Laurin hanya menatap saja. Pikirannya kembali kacau.

“Laurin, puncak Beethoven berkarya, justru pada masa ketuliannya kian parah. Tapi, ia tidak pernah putus asa. Ia terus berkarya menggubah musik, padahal ia berada di dunia yang tak bersuara. Lihat aja dari karya Simfoni IX yang terkesan perkasa, kini telah menjadi mahakarya darinya. Kamu mengerti, kan, maksudku?” kata Gito.

Laurin tetap bergeming. Emosinya semakin memuncak. Vini cemas dengan reaksi Laurin tersebut.

Nggaaakkk...” teriak Laurin tiba-tiba. “Kalian mau menghinaku, ya? Apa maksud semua ini? Kalian tahu jari-jariku lumpuh, tapi tetap saja... kalian... Ah, teman macam apa kalian?”

“Maaf, Rin. Kami tahu itu menyakitkan bagimu. Ayolah, Rin. Kamu masih bisa menggunakan tangan kirimu untuk bermain piano. Aku yakin, kamu pasti bisa. Yang lalu biarlah berlalu, tak ada gunanya kamu sesali terus. Itu tidak akan mengubah keadaan.”

Laurin mengempaskan tangan Gito dari bahunya. Dengan satu tangan, ia langsung membelokkan kursi roda hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi, dengan sigap Vini menggamit lengan Laurin.

“Tunggu! Kamu kenapa, sih?” tanya Vini.

“Aah!” Laurin mengenyahkan genggaman Vini.itu. Tanpa peduli, ia terus menjauh dari ruangan itu. Tubuhnya gemetar karena marah, napasnya tidak stabil, dan keringat dingin mengucur dari permukaan kulitnya. Dia benci piano. Dia benci teman-temannya. Dia benci dirinya sendiri.

Di tengah kemarahannya, terdengar suatu alunan musik. Laurin berhenti. Itu... itu musik pertama gubahannya. Musik itu seketika mengingatkannya pada kenangan masa kecil yang penuh tawa. Jauh berbeda dengan hari ini.

Laurin membalikkan kursi rodanya dan terlihat Gito sedang duduk memainkan piano dengan penuh penghayatan. Laurin terhenyak. Dia tidak bisa berkata-kata lagi.

Dengan ragu-ragu, Vini menghampiri Laurin seraya berkata lembut, “Rin, kamu tahu, nggak, Veronica Shafstall pernah berkata bahwa kita belajar membangun semua jalan kita hari ini, karena tanah hari esok sangat tak pasti, sulit direncanakan. Kamu barus bisa mengangkat kepala dan membuka mata dengan kelapangan dada seorang dewasa, bukan kesedihan seorang anak kecil, Nanti kamu akan mengerti sebenarnya kamu bisa bertahan, Kamu itu kuatdan berharga. Kamu harus sadari itu.”

Laurin hanya bungkam. Tidak tahu respon apa lagi yang harus dilakukannya. Ia menengadah menatap langit-langit, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai berkaca.




69