Hingga Senja di Gunung
Hingga Senja di Gunung
Kemmy Yonaniko
SMAN 2 Payakumbuh
Fjar jingga menyeruak pagi. Menamparan dua sisi fenomena alam yang sudah umum di kaki gunung mendung berkabut. Segulung cahaya mentari menyembul di celah awan padat, mengukir seberkas sinar perak di pucuk-pucuk cemara yang segar. Bau khas rerumputan yang diresapi embun menyebar di atas tanah.
Rogan, pemuda itu, menghampiri jendela dan menyeka sekilas dengan lengan jaketnya sehingga jendela yang tadinya kabur oleh uap dingin hujan menjadi bening sebahagian. Ditatapnya semak mawar liar di halaman samping rumah melalui celah tersebut. Sepasang kupu-kupu tengah bermain pada belukar berdurinya.
“Kakak tidak sarapan dulu?”
Rogan berbalik dan mendapati Allen sedang menuang susu ke gelasnya penuh-penuh. Beberapa tetesnya bergenangan di meja kayu kecil itu, yang bahkan diabaikan saja oleh Allen.
“Sandwich?” tanya Rogan menata hasil kerja adiknya di atas meja makan.
“Ya! Sandwich!”
“Menurutmu, apa aku harus sarapan dulu, Allen? Masalahnya aku....”
Allen keburu menariknya hingga jatuh terduduk di atas kursi makan. Kemudian, menyodorkan padanya tumpukan Sandwich dan gelas susu.
“Kalau bicara terus, memang pasti telat.”
“Baiklah.”
“Semalam kakak pulang larut lagi, ya?”
“Tahu dari mana?” Rogan tak menoleh.
“Jawab aku dulu!”
“Hm...mungkin!”
“Kenapa?”
Rogan berhenti mengunyah potongan sandwich di mulutnya.
“Kita sepakat kan untuk tidak tanya-tanya tentang Pekerjaanku di malam hari. Lagipula kau tahu jawabnya. Aku cari uang, Allen.” Gadis kecil itu berpaling dan menggumam kesal pada piring di depannya.
“Kudengar pagi ini Anny mengajakmu berkuda, benar?” Rogan mengalihkan pembicaraan.
“Benar!”
“Kau bisa berkuda?”
“Pertanyaan konyol! Tentu saja aku bisa! Mudah- mudahan kakak belum lupa aku sudah tiga belas tahun,” Rogan mengakhiri sarapannya dan melangkah cepat menuju pintu.
Beberapa langkah kemudian ia menoleh lagi ke belakang.
“Allen, kalau kau ingin ajak Anny menginap malam ini jangan lupa kunci semua pintu. Malam ini aku pulang sedikit telat.” “Sedikit?”
Rogan tak mengacuhkan. Dipacunya langkah menye- berangi halaman rumah yang berkerikil. Melewati jalan setapak menurun yang dipagari cemara-cemara rindang. Pada akhirnya sebuah bus desa membawanya ke pabrik tempat ia bekerja.
Bus melaju kencang di atas aspal yang basah dan licin. Bunyi ban-ban besar berdecit mengisi ruang dengar Rogan. Tiba-tiba ia ingat janjinya untuk membelikan sweater baru di hari ulang tahun Allen bulan depan.
Langit pagi bulan November yang basah mengembang. November....
Perapiannya padam, Allen!”
“Ah! Mungkin kayu bakarnya habis. Gelap sekali di sini. Anny, ada korek api di dekatmu?”
“Sebentar! Nah, ini dia! Aw!”
“Ada apa?”
“Kepalaku terbentur meja, Allen!”
Korek api di tangan Anny menyala. Segera gadis itu memasang lampu minyak yang menggantung di dinding sambil mengusap dahinya. Allen mendesah panjang. Hujan deras sekali di luar sana. Angin ribut mengetuk-ngetuk jendela dan berisik bukan main, Allen membelit lehernya dengan sepotong syal yang sama sekali tidak menghangatkan tubuhnya.
“Menurutmu, ke mana kakakku malam-malam begini?”
Anny mendongak. Sedari tadi ia tengah berkutik dengan bulu-bulu lembut Pruce, kucing Persia gemuk miliknya.
“Ha?”
“Rogan! Menurutmu, ada di mana dia?”
“Dia bilang apa padamu?”
“Kerja.”
“O...mungkin dia ambil kerja part time, kali!”
“Tapi aku lihat dia bersama teman-temannya.”
Kali ini Anny angkat bahu. Sebenarnya tidak berguna juga bertanya pada putri pemilik peternakan itu. Ja sama sekali tidak bersekolah. “Rogan juga tidak mengizinkan aku melanjutkan sekolah di kota,” keluh Allen pelan. Dipermainkannya ujung selimut tidurnya. Lama ia mengira-ngira apa yang sebenarnya disembunyikan kakaknya sehingga ia, adik perempuan satu-satunya, tepatnya cuma Allen yang dimilikinya, tidak diberitahu.
Sering Allen memergokinya pulang sekitar pukul dua pagi dan ia tidak berbau alkohol, seperti perkiraan Allen. Rogan pulang dengan wajah tenang, memperbaiki selimut Allen, lalu seperti orang tidur lelah di sofa. Allen jadi kehabisan kemungkinan untuk mencurigai kakaknya.
Di pojok kamar, di atas bantal besar yang empuk dan hangat, Anny dan Pruce sudah terlelap, Cahaya remang lampu minyak bergoyang-goyang ditiup angin. Allen menyibak gorden jendela. Hujan mulai reda. Deru udara kini berpadu dengan gerimis-gerimis kecil. Lagi-lagi angin seolah sedang mengetuk jendela.
“Cukup, tidak?”
“Apanya?”
“Uangnya, goblok!”
“Buat aku, sih, cukuplah. Yang kuhidupi cuma Allen. Kau Sendiri...., jadi melamar pacarmu itu?”
Galih diam saja, sementara Rogan malah gencar meledekinya.
“Sepertinya, kau memang butuh banyak uang.”
“Semua orang memang butuh banyak uang. Uang yang banyak.”
Galih menyebar beberapa carik kertas di atas meja besar. Sebuah lampu neon enam puluh watt menggantung di langit-langit. Ruangan itu cukup luas walau yang ada cuma dua pemuda itu dan seorang pria tiga puluhan yang tengah mendengar berita radio di pojok. Asap rokoknya mengepul di ruangan itu.
“Aku akan ada di P,” ujar Galih.
“Kau di Q, aku di P.”
“Baiklah! Kira-kira ada berapa banyak?”
“Sekitar dua ratus.” “Wah! Kerja besar! Bisa dapat duit segepok kita.”
“Aku akan ajak Allen ke utara setelah ini. Ia mesti jadi gadis terpelajar. Kalau tidak, bisa dikutuk ayah, aku ini.”
Kemudian Rogan terdiam. Ada sebuah impian terbersit di matanya yang legam.
“Kau lihat Paman Bernie?” tanya Galih tiba-tiba.
“Ada apa di gudang. Memperbaiki Alpha 18.”
“Bukannya kita pakai Rho 7. Lebih keren! Dasar genius! Kurang kerjaan.”
Keduanya berhenti mengobrol ketika seorang pria mendehem dan melangkah ke arah mereka. Beberapa kali Galih menggelar kertas lain di atas meja. Beberapa kali pula Rogan ikut mengamatinya. Sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sore terakhir di bulan Desember...Rogan menepati janjinya. Udara masih cukup hangat ketika Allen mengikuti Rogan memasuki sebuah toko pakaian di ujung sebuah jalan besar di kota. Kebetulan, pemilik tokonya ramah sekali sehingga Allen diperbolehkan memilih sendiri sweater sesuka hatinya.
“Cocok sekali dia memakai sweater. Dia adikmu?" tanya wanita pemilik toko dengan basa basi yang dibuat-buat. Kelihatan saja.
“Betul!” sahut Rogan singkat.
“Kalian tinggal di desa?” Sekali lagi Rogan mengangguk.
“Nah! Yang itu pas sekali!” seru wanita pemilik toko begitu Allen muncul dengan sebuah sweater biru muda yang rajutan wolnya cukup menarik. Setelah membayar, keduanya segera meninggalkan toko tersebut. Bel pintu berdenting nyaring ketika mereka melewatinya. Allen mengintip sweater itu dari balik kertas pembungkusnya.
“Keren.'
“Ya, keren! Boleh kau pakai kalau sekolah diutara nanti.'
Dituntunnya Allen menelusuri trotoar yang ramai pejalan kaki. Orang kota selalu tergesa melakukan apa saja. Sering kali mereka ditabrak oleh beberapa pejalan kaki berjas yang memang sangat terburu-buru. “Hei! Lihat!” Allen celingukan memandang penuh tanda tanya pada jalan tak jauh di depan mereka. Keduanya berlari kecil menuju kerumunan besar di tempat parkir sebuah gedung. Ada api berkobar di banyak tempat. Aspalnya retak di sana sini. Kaca depan gedung yang ternyata sebuah hotel itu berhamburan di mana-mana.
“Ada apa?” tanya Rogan kepada seorang karyawati di dekatnya. Gadis itu pucat pasi, kelihatan saja dari pemerah pipinya yang memudar. Ia seperti ingin mengungkapkan suatu rasa prihatin yang mendalam.
“Siang tadi ada bom meledak disini. Ah! Masa kau tidak tahu! Tapi aku takut sekali kalau ada bom berikutnya. Untunglah polisi bilang lokasinya sudah aman,” jelasnya tak beraturan.
“Lalu..., ada korban?”
“Kau ini! Tentu saja ada korban! Gedung ini hotel berbintang, Bung! Lebih dari dua ratus orang luka-luka dan yang tewas juga tidak satu atau dua. Banyak diantara mereka adalah anak-anak,” ujarnya tampak emosi.
“Kalau saja kita tahu siapa biadab yang melakukannya.”
Allen tidak berminat ikut campur pembicaraan mereka. Ia menyusup ke sela-sela kerumunan dan melihat sendiri sejumlah ambulans yang sedang mengemasi korban-korban yang menjerit kesakitan. Sebagian besar kulit mereka sudah melepuh mengelupas. Bahkan, mereka kehilangan wajahnya. Allen juga melihat hamparan kantong yang berisi mayat anak-anak. Di sepanjang perparkiran beradu raungan sirine ambulans, mobil polisi, pemadam kebakaran, dan tangis orang-Orang. Belum lagi pengapnya asap yang mengepul di udara.
Rogan menarik Allen untuk menjauh. Mereka menepi di sebuah phone box.
“Mau menelepon siapa?" tanya Allen.
“Diam di sana!” Rogan memencet nomornya dengan cepat.
“Galih?”
“Ya, aku di sini,” sahut suara di seberang.
“Apa-apaan kau ini? Sudah kubilang P itu bagianku! Dan waktunya juga bukan sekarang.” “Rogan, semalam rencananya berubah. Dia tidak memberi tahu? Oh, mungkin tak sempat. Katanya, dia ada urusan ke luar negeri.”
“Aku tidak mau tahu. Nanti malam aku ke markas!” Rogan membanting gagang telepon. Pekerjaannya tak beres dan ja sangat tidak puas.
“Aku nguping pembicaraanmu tadi,” ujar Allen jujur saat mereka turun dari bus desa yang nyaris kosong itu. Lalu, mereka mendaki jalan setapak di antara cemara. Senja mulai menggelar mega di ufuk barat. Sekawanan unggas pulang berbondong-bondong dan terbang rendah ke arah hutan di lembah sana.
“Kebiasaan buruk, Allen!”
“Aku...aku masih penasaran dengan pekerjaanmu di malam hari. Ayolah, Kak! Kasih tahu,” Rogan menarik napas panjang. Ia masih melangkah dengan santai sambil membenamkan kedua tangannya dalam-dalam ke saku jaketnya. Sekepulan uap gunung yang dingin mengalir dari mulutnya.
“Pekerjaan yang rumit,” gumamnya.
“Bukannya kerja di pabrik kertas lumayan?”
“Pabrik kertas? Tidak, Allen. Pekerjaan yang ini jauh lebih baik. Uang kita melimpah di bank kalau sudah tinggal di utara nanti.”
Allen terdiam untuk sejenak.
“Apa itu Alpha 18?”
“Tahu dari mana?”
“Dari saku bajumu.”
“Benda itu...semacam peledak. Bom.”
“Lalu ..., kau namakan apa pekerjaanmu itu?”
Rogan hanya angkat bahu. Sungguh jawaban yang tidak menyenangkan Allen. Dibiarkannya Rogan melangkah lebih cepat mendahuluinya. Rumah kecil mereka di puncak bukit sudah kelihatan cerobong asapnya.
Senja memudar di kaki gunung. Meninggalkan sisa- sisa pendaran berwarna jingga di langit yang mulai gelap.