Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/Bab 3
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I. No. 63
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA. TATA-TERTIB PERATURAN. Penetapan peraturan tentang Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonsia
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA
Surat Keputusan No. 30/K/1950.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA,
Setelah membaca: rancangan "Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat Sernentara Republik Indonesia" yang dimajukan oleh Panitia Tata-tertib:
Setelah membicarakan: dalam rapat pleno terbuka tanggal 20, 21 dan 27 September 1950:
1. Rancangan Peraturan Tata-tertib tersebut, terkecuali :
a. Bab II § 1 pasal 5 s/d 18, yang telah ditetapkan dengan Keputusan No. 5/k/1950 tertanggal 18 Agustus 1950;
b. Bab III seluruhnya, yang telah ditetapkan dengan Keputusan No. 14/K/1950 tertanggal 23 Agustus 1950;
c. Bab IV § 1 dan Bab VII § l, § 2, dan § 3, yang telah ditetapkan masing-masing dengan Keputusan No. 12/K/1950 dan No. 13/K/1950 tertanggal 22 Agustus 1950;
2. Usul-usul Amandemen yang dimajukan oleh beberapa anggota;
Mengingat: Pasal 76 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat No. 3/K/1950 tertanggal 15 Agustus 1950 dan No. 4/K/1950 tertanggal 18 Agustus 1950;
Memutuskan:
A. Mencabut Keputusan-keputusan No. 5/K/1950 tertanggal 18 Agustus 1950 No. 12/K/1950 dan No. 13/K/1950 tertanggal 22 Agustus 1950 dan No. 14/K/1950 tertanggal 23 Agustus 1950 tersebut di atas;
PERATURAN TATA-TERTIB
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
BAB I.
Tentang Perneriksaan Surat Kepercayaan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 1.
Pemeriksaan surat-surat kepercayaan dari para Anggota diserahkan kepada suatu Panitia Pemeriksa Surat-surat Kepercayaan yang diangkat oleh Ketua (Ketua Sementara termaksud dalam pasal 5) dan terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota dan empat anggota.
Pasal 2.
(1) Setiap Anggota DPR menyerahkan surat kepercayaannya kepada Panitia Perneriksa Surat-surat Kepercayaan termaksud dalam pasal 1.
(2) Yang dimaksud dengan Surat Kepercayaan dalam ayat 1 ini, ialah Surat Keterangan mengenai angkatan Anggota tersebut.
Pasal 3.
(1) Panitia Pemeriksa Surat-surat Kepercayaan sesudah selesai melakukan perneriksaan termaksud dalarn pasal 1, memberikan laporannya kepada DPR secara tertulis atau dengan lisan.
(2) Surat-surat Kepercayaan disimpan pada Sekretariat DPR dan disediakan bagi para Anggota.
Pasal 4.
Setelah Panitia Pemeriksa Surat-surat Kepercayaan memberikan laporannya, maka Ketua (Ketua Sementara) mengumumkan nama-nama Anggota DPR vang telah diterima.
BAB II.
Tentang Ketua clan Wakil-vakil Ketua,
Sekretaris Jenderal dan Sekretaris-sekretaris Kepala Bagian.
§ 1. Ketua dan Waki1-wakil Ketua.
Pasal 5.
Selama Ketua belum dipilih clan disyahkan oleh Presiden. DPR diketuai untuk sementara oleh Anggota yang tertua umurnya, sebagai termaksud dalam ayat 2 pasal 62 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Pasal 6.
(1) Secepat-cepatnya, akan tetapi sesudah Iebih dari separuh dari jumlah Anggota seluruhnya diterima dan hadir maka DPR memilih Ketua dan tiga orang Wakil Ketua.
(2) Rapat untuk mengadakan pem.ilihan ini adalah terbuka kecuali apabila rapat karena keadaan luar biasa memutuskan lain. (3) Ketua Sementara menetapkan tempat dan saat diadakan rapat ini dan hal ini diberitahukan olehnya kepada Anggota-anggota.
Pasal 7.
(1) Pencalonan Ketua dilakukan dengan mengisi dan Jllenyamp;Ukan daftar calon kepada Ketua Sementara.
(2) Setiap daftar calon memuat nama seorang yang dicalonkan untuk Ketua.
(3) Dalam daftar calon diterangkan, bahwa yang dicalonkan menerima pencalonan itu,
Pasal 8.
(1) Setiap daftar yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 7 berisi nama dan apabila ada, keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu atau sebaiknya ditambahkan tentang calon itu,
(2) Setiap daftar itu harus ditanda-tangani oleh sekurang-kurangnya 10 Anggota DPR.
(3) Di sebelah tanda-tangan itu disebutkan nama-nama sekalian penanda-tanganan dan apabila ada, keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu atau sebaiknya ditambahkan, tentang mereka itu masing-masing.
(4) Setiap Anggota tidak boleh menanda-tangani lebih dari satu daftar.
Pasal 9.
(1) Daftar sebagai dimaksud dalam pasal 7 disampaikan sendiri oleh seorang atau lebih dari mereka yang menandatanganinya, yaitu selambat-lambatnya satu jam sebelum rapat yang dimaksud dalam pasal 2, dimulai.
(2) Apabila Ketua Sementara berpendapat, bahwa suatu daftar tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 7 dan 8 per- aturan ini, maka ia memberitahukan hal itu kepada yang menyampaikannya supaya syarat-syaratnya dipenuhi; apabila dalam hal demikian yang menyampaikannya itu tidak memenuhi petunjuk-petunjuk Ketua
71
Sementara, maka Ketua Sementara berkuasa menyatakan daftar itu
tidak sjah.
(3) Ketua Sementara menyuruh mcmperbanyak secepat mungkin daftar-daftar yang sjah yang diterimanya untuk <libagi-bagikan kepada Anggota yang hadir dalam rapat yang dimaksud dalam pasal 6.
Pasal 10.
(1) Pemungutan suara berlangsung secara rahasia dengan jalan mengisi segi-empat yang terdapat di muka nama-nama setiap calon yang disusun menurut abjad dalam surat pemungutan suara.
(2) Pemungutan suara tidak sjah, apabila surat pemungutan suara yang masuk lcbih banyak daripada orang yang bersuara. Dalam hal itu dengan segera pemungutan diulang.
Pasal 11.
(1) Setiap Anggota berhak mengeluarkan hanva satu suara.
(2) Apabila dalam suat rapat pemungutan suara lebih dari satu segi-empat diisi, maka surat itu tidak sjah, demikian juga tidak sjah surat pemungutan suara yang ditanda-tanga.ni.
(3) Suara yang dikeluarkan atas orang yang tidak rnasuk dalam daftar calon, dinyatakan tidak syah.
(4) Jika timbul keragu-raguan tentang syah atau tidaknya sesuatu surat pemungutan suara, maka rapat memutuskan; apabila jumlah sama banyaknya, maka Ketua Sementara mcmutuskan,
(5) Surat pemungutan suara yang tidak diisi, demikian juga surat pemungutan suara yang dinyatakan tidak syah, tidak dihitung surat pernungutan suara yang syah sebagai dimaksud dalam pasal 13 untuk menetapkan jumlah suara terbanyak mutlak.
Pasal 12.
(1) Pada setiap pemungutan suara Ketua Sementara menunjuk empat anggota sebagai pengumpul suara,
(2) Sesudah Ketua Sementara memberitahukan jumlah Anggota yang tel ah menandatangani daftar hadir, maka pembacaan surat-surat pemungutan suara itu dilakukan oleh seorang pengumpul suara yang ditunjuk oleh Ketua Sementara. Tiga orangpengumpul suara lainnya mencatat suara-suara itu.
Pasal 13.
Siapa yang mendapat jumlah suara terbanyak mutlak, ialah yang
dinyatakan terpilih.
72
Pasal 14.
(1) Apabila hanya seorang calon yang dimajukan, maka Ketua Sementara memberitahukan hal itu kepada rapat dan calon itu dinyatakan terpilih.
(2) Apabila hanya dua calon dimajukan, dan sesudah diadakan pemungutan suara ternyata seorang calon mendapat jumlah suara terbanyak mutlak, maka ia dinyatakan terpilih.
Dalam hal kedua calon itu masing-masing mend.apat suara sama banyaknya, maka pemungutan suara diulangi, Apabila dalam pemungutan suara ulangan ini, kedua calon itu mendapat suara sama banyaknya Iagi, maka diadakan undian antara dua calon tersebut.
(3) Apabila ada tiga atau empat calon dimajukan dan sesudah diada- kan pemungutan suara tidak seorangpun mendapat jumlah suara terbanyakmutlak, maka pernungutan suara diulangi dengan menghapuskan seorang calon yang mendapat suara paling sedikit, Cara pemungutan suara sedemikian itu diteruskan, sampai salah seorang calon mendapat jumlah suara terbanyak mutlak, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam ayat 2.
(4) Apabila lebih dari em pat orang calon dimajukan · dan sesudah diadakan pemungutan suara, tidak seorangpun mendapat jumlah suara terbanyak mutlak, rnaka pemungutan suara diulangi dengan menghapuskan dalam tiap-tiap pengulangan dua calon yang mendapat suara paling sedikit, hingga jumlah cal on tinggal tiga atau empat orang. Dalam hal ini ulangan pemungutan suara diteruskan menurut ketentuanketentuan dalam ayat 3.
(5) Apabila dari hasil pemungutan suara ternyata, bahwa caloncalon yang mendapat jumlah suara paling sedikit, jumlahnya melebihi jumlah yang harus dihapuskan menurut ketentuan-ketentuan dalam ayat 3 dan 4 karena ada calon-calon yang mendapat suara sama banyaknya, maka dalam hal itu antara calon-calon yang mendapat suara sama banyaknya, diadakan undian untuk turut dalam ulangan pemungutan suara sebanyak jumlah yang diperlukan.
Pasal 15.
(1) Sesudah seorang dari pada calon-calon memperoleh jumlah suara terbanyak mutlak, maka Ketua sementara mengumumkan hasil pemungutan suara itu.
(2) Tentang pemilihan itu dibuat satu pemberitahuan yang ditanda-
tangani oleh Ketua Sementara dan Anggota-anggota yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 12.
Pasal 16
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai seorang Vakil Ketua I, seorang Wakil Ketua II dan seorang Wakil Ketua III, yang masingmasing dicalonkan dan dipilih segera sesudah pemilihan Ketua selesai. Untuk pcncalonan dan pemilihan Wakil-wakil Ketua berlaku ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini yang berlaku bagi pencalonan dan pcmiIihan Ketua,
Pasal 17.
Hasil pemilihan yang tersebut dalam pasal 6 ayat (1) segera disampaikan kepada Presiden untuk disyahkan sebagai dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Pasal 18.
(1) Apabila Ketua berhalangan, maka kewajibannya dilakukan oleh Wakil Ketua I; apabila yang akhir ini berhalangan ia diganti oleh Wakil II. Apabila Wakil Ketua II juga berhalangan, maka ia diganti oleh Wakil Ketua III, dan apabila yang terakhir inipun berhalangan, maka Anggota yang tertua umurnya melakukan kewajiban sebagai Ketua,
(2) Apabila jabatan Ketua atau jabatan salah seorang Wakil Ketua menjadi lowong, maka DPR secepat-cepatnya mengadakan pemilihan Ketua atau Wakil Ketua yang lain; pasal-pasal 6 sampai 17 berlaku juga bagi pemilihan ini.
Pasal 19.
Kewajiban Ketua yang terutama, ialah :
- merancang daftar pekerjaan,
- mengatur dan mernimpin pekerjaan DPR.
- menjaga kerertiban dalam rapat,
- memperhatikan dan menjaga,
- supaya Peraturan Tata-tertib ini diturut dengan seksama.
- memberi ijin untuk berbicara.
- menyimpulkan persoalan yang akan diputuskan oleh DPR.
- memberi kesempatan kepada pembicara untuk mengucapkan pidatonya dengan tidak terganggu.
- memberitahukan hasil pemungutan suara.
- menjalankan putusan yang diambil oleh rapat.
Pasal 20.
(1) Selama perundingan Ketua hanya dapat berbicara untuk menunjukkan duduk perkara yang sebenarnya atau untuk mengembalikan perundingan itu kepada pokok pembicaraan, apabila ia menyimpang.
(2) Apabila Ketua hendak turut berbicara tentang soal yang sedang diperbincangkan, maka ia untuk sementara meninggalkan ternpat duduknya, dan tidak kembali sebelum perundingan tentang soal itu berakhir; dalam hal demikian jabatan Ketua dalam rapat untuk sernentara -liatur menurut cara yang disebut dalam pasal 18.
§ 2. Sekretaris Jenderal dan Sekretaris-Sekretaris Kepala Bagian
Pasal 21.
(1) DPR mengangkat seorang Sekretaris j enderal clan beberapa orang Sekretaris-Sekretaris Kepala Bagian atas anjuran Panitia Rumah Tangga.
(2). Sekretaris Jenderal dan Sekretaris-Sekretaris Kepala Bagian tidak boleh merangkap ke-Anggotaan DPR.
Pasal 22.
Apabila Sekretaris Jenderal berhalangan, maka ia diwakili oleh salah seorang Sekretaris Kepala Bagian.
Pasal 23.
(l) Sekretaris Jenderal mengurus segala sesuatu yang termasuk urusan Rumah Tangga DPR, membantu Ketua dalam melakukan pekerjaannya dan memimpin segenap Pegawai yang bekerja pada DPR.
(2) Kepala Bagian mernimpin Bagian Sekretariat dan membantu Sekretaris Jenderal,
Pasal 24.
Selama belum dilakukan pengangkatan Sekretaris Jenderal maka jabatan Sekretaris Jenderal dilakukan oleh seorang Pegawai yang ditunjuk oleh Ketua Sementara.
BAB III.
Tentang Panitia Permusvawaratan, Panitia Rumah Tangga, Seksi-Seksi,
Bahagian-bahagian dan Panitia Khusus.
§ 11. Panitia Permusyawaratan
Pasal 25.
(l) DPR membentuk diantara Anggota-anggotanya suatu Panitia
Permusyawaratan, yang terdiri dari Ketua DPR sebagai Anggota me-
rangkap Ketua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Wakil Ketua III dan sekurang-kurangnya 7 orang lainnya sebagai anggota, yang atas usul Ketua ditunjuk oleh DPR.
(2) Anggota-anggota Panitia Permusyawaratan sedapat-dapatnya mewakili pelbagai aliran, yang terdapat dalam DPR.
(3) Sesudah diberitahukan lebih dahulu Kepada Ketua, tiap-tiap Anggota Panitia Permusyawaratan berhak menunjuk seorang Anggota DPR lain untuk mewakilinya dalam rapat-rapat Panitia Permusyawaratan.
Pasal 26.
(1) Panitia Permusyawaratan bermusyawarah dengan Pemerintah apabila hal itu dianggapnya perlu atau apabila dianggap perlu oleh DPR atau diminta oleh Pemerintah.
(2) Panitia Permusyawaratan memberikan pertimbangan kepada Ketua DPR apabila hal itu dianggap perlu atau apabila Ketua DPR meminta pertimbangan itu.
Menurut IP. 1953 No. 205 hal. 1198 pasal 26 ayat 3 diubah, serta pula ayat 4 yang baru ditambah, dua-dua sebagai di bawah ini.
(3) Panitia Permusyawaratan menetapkan acara pekerjaan DPR, di mana perlu setelah mendengar Ketua-ketua Seksi, untuk suatu masa Sidang atau sebagian dari masa-sidang, dengan tidak mengurangi hak DPR untuk mengubahnya, dan dengan ketentuan, bahwa Panitia Permusyawaratan tidak menetapkan sifat rapat pleno (tertutup atau terbuka).
(4) Apabila ada usul untuk mengubah sifat rapat (dari terbuka menjadi tertutup), maka usul itu dapat juga dibicarakan dalam rapat pleno yang membicarakan usul-usul perubahan mengenai acara pekerjaan DPR.
§ 12. Panitia Rumah Tangga.
Pasal 27.
(2) Panitia Rumah Tangga melakukan pengawasan tertinggi atas pengurusan yang dimaksud dalam pasal 23.
(3) Panitia Rumah Tangga mengangkat dan memberhentikan Pegawai-pegawai DPR kecuali Sekretaris Jenderal dan Sekretaris-sekretaris.
(4) Panitia Rumah Tangga menyusun setiap tahun anggaran belanja DPR yang harus disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
(5) Panitia Rumah Tangga memutuskan apabila timbul perselisihan faham tentang isi laporan penulis-cepat.
(6) Panitia Rumah Tangga menunjuk tiga orang dari Anggotanya untuk memperhatikan kepentingan para Anggota DPR.
§ 3. Seksi-seksi,
Pasal 28.
(1) DPR mempunyai Seksi-seksi sebanyak jumlah Kementerian.
(2) Tiap-tiap Seksi terdiri dari sebanyak-banyaknya 11 orang Anggota termasuk seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih oleh Seksi masing-masing di antara Anggota-anggotanya untuk satu masa sidang. Anggota-anggota lain dapat menghadiri rapat Seksi sebagai peninjau.
(3) Tiap-tiap Anggota Seksi atas usul Ketua DPR ditunjuk oleh DPR dengan memperhatikan keinginan Fraksi-fraksi.
(4) Seksi-seksi boleh mengadakan rapat gabungan untuk memecahkan hal-hal dan tugas yang bersangkutan satu sama lain.
(5) Fraksi-fraksi yang bersangkutan boleh mengusulkan pemindahan atau penukaran Anggota-anggota yang duduk dalam Seksi.
Pasal 29.
Kewajiban Seksi ialah:
- Memelihara dan memperat hubungan antara DPR dan Pemerintah dengan jalan antara lain mengadakan rapat-kerja bersama dengan Pemerintah.
- Memperhatikan beleid Pemerintah dan penglaksanaannya dalam hal-hal yang masuk urusan Seksinya.
- Memperhatikan kesulitan-kesulitan Pemerintah dalam menjalankan Undang-undang; di mana perlu memberikan bantuan kepada Pemerintah.
- Mendengar suara rakyat dalam hal-hal yang tersebut pada b (antara lain menerima orang pada hari yang tertentu dan memperhatikan
- Melakukan penyelidikan atas peristiwa-peristiwa penting, baik dengan kehendak Seksi maupun atas putusan DPR.
- Memajukan usul-usul dan laporan-laporan kepada DPR tentang soal-soal yang termasuk urusan Seksi.
- Melakukan pemeriksaan terhadap usul-usul rancangan Undang-undang ataupun usul-usul lain yang oleh Panitia Permusyawaratan diserahkan kepada Seksi untuk diperiksa sebagai termaksud dalam pasal 37.
- Mengusulkan hal-hal kepada Panitia Permusyawaratan untuk dimasukkan dalam acara DPR.
§ 4. Bahagian-bahagian
Pasal 30.
(1) Dewan Perwakilan Rakyat segera sesudah pemilihan Ketua dan Wakil-wakil Ketua disahkan oleh Presiden, dibagi dalam delapan Bahagian yang sedapat-dapatnya sama banyak jumlah Anggotanya.
(2) Panitia Permusyawaratan menentukan pembagian Anggota-anggotanya dalam Bahagian-bahagian tersebut dalam ayat 1 dengan mengingat keinginan Anggota, sehingga terdapat dalam tiap-tiap bahagian sedikit banyaknya perwakilan berbagai-bagai aliran yang terdapat dalam DPR.
(3) Ketua DPR tidak menjadi Anggota salah satu Bahagian.
Pasal 31.
(1) Dalam rapatnya yang pertama dalam satu masa-sidang Bahagian-bahagian memilih seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua untuk satu masa-sidang itu.
(2) Selama belum diadakan pemilihan Ketua begitu pula apabila Ketua atau Wakil Ketua tidak ada atau berhalangan, maka rapat-rapat untuk sementara diketuai oleh Anggota yang tertua umurnya.
(3) Hasil Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Bahagian diberitahukan kepada Ketua DPR yang kemudian memberitahukan lagi hal itu kepada DPR.
Pasal 32.
(2) Rapat tersebut dalam ayat I dengan memberitahukan alasan-alasan dapat mengundang Menteri ataupun kuasa-kuasanya untuk menghadiri rapat.
Pasal 33.
(1) Tiap-tiap Bahagian memilih seorang Anggota dari Bahagiannya sebagai Pelapor untuk tiap rancangan yang harus dirundingkan.
(2) Ketua Bahagian tidak dapat merangkap Pelapor.
Pasal 34.
(1) Para Pelapor bersama-sama merupakan Panitia Pelapor dan menunjuk di antara mereka seorang Ketua merangkap Pelapor umum.
(2) Panitia Pelapor mengatur rapat-rapatnya setelah bermusyawarah dengan Ketua DPR.
§ 5. Panitia Khusus,
Pasal 35.
(1) DPR atau Panitia Permusyawaratan, jika menganggap perlu, membentuk suatu Panitia Khusus untuk melakukan pemeriksaan persiapan tentang suatu usul rancangan Undang-undang ataupun suatu usul lain; hal itu diberitahukannya kepada DPR.
(2) Panitia Khusus terdiri dari sebanyak-banyaknya 7 orang anggota, termasuk seorang Ketua, seorang Wakil Ketua dan seorang Pelapor.
BAB IV.
TENTANG PEMERIKSAAN PERSIAPAN
§ 1. Ketentuan Umum.
Pasal 36.
(1) Semua usul Pemerintah, baik berupa rancangan Undang-undang maupun bukan, ataupun usul lain yang disampaikan kepada DPR, setelah oleh Sekretariat diberi nomor urutan diperbanyak dan dibagikan kepada Anggota DPR.
§ 2. Pemeriksaan dalam Seksi-seksi.
Pasal 37.
(1) Jika dianggap perlu, Panitia Permusyawaratan dapat menyerahkan suatu usul kepada salah satu Seksi untuk diperiksa, dengan menentukan bilamana pemeriksaan itu harus selesai.
(2) Keputusan Panitia Permusyawaratan tersebut dalam ayat 1 diberitahukannya kepada DPR.
(3) Untuk keperluan tersebut dalam ayat 1, Seksi memilih seorang Pelapor di antara Anggota-anggotanya.
Pasal 38.
Perundingan dalam rapat Seksi bersifat rahasia.
Pasal 39.
(1) Dalam tempo yang ditetapkan oleh Seksi, para Anggota DPR berhak menyampaikan dengan tertulis kepada Seksi yang bersangkutan pendapatnya tentang sesuatu usul yang sedang dibicarakan dalam Seksi itu.
(2) Tempo yang ditetapkan itu diberitahukan kepada Ketua DPR, yang kemudian meneruskan pemberitahuan itu kepada para Anggota.
Pasal 40.
(1) Seksi harus mengadakan rapat selambat-lambatnya 7 hari sesudah sesuatu usul diterimanya untuk diperiksa, Di dalam rapat itu diumumkan catatan-catatan yang diterimanya.
(2) Apabila Seksi dalam rapat tersebut dalam ayat 1 berpendapat, bahwa usul itu belum dapat dibicarakan lebih lanjut maka rapat diundurkan sampai waktu yang ditetapkan dalam rapat itu.
Pasal 41.
Para Anggota DPR yang bukan Anggota Seksi yang bersangkutan berhak menghadiri rapat-rapat Seksi itu, dan memajukan usul-usul, akan tetapi tidak berhak memutuskan.
Pasal 42.
Pasal 43.
(1) Seksi secepat-cepatnya membuat satu laporan, yang memuat ikhtisar dari perundingan-perundingan yang telah diadakan itu, hasil-hasil dari pemeriksaannya dan apabila dilakukan perundingan dengan Pemerintah secara surat-menyurat atau secara lisan, pula satu laporan tentang perundingan itu.
(2) Dalam laporan yang termasuk dalam ayat 1 mengenai usul itu, Seksi dapat mengemukakan pula usul-usul perubahan yang dipandang perlu.
(3) Apabila dianggap perlu, maka dalam laporan dikemukakan pula pendapat Anggota Seksi yang menyimpang dari pendapat sebagian besar.
Pasal 44.
(1) Laporan itu diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota DPR, dan disampaikan kepada Pemerintah untuk memberikan kesempatan kepadanya memberikan jawaban dengan tertulis.
(2) Jawaban Pemerintah diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota.
Pasal 45.
Setelah pemeriksaan oleh Seksi selesai, Panitia Permusyawaratan memutuskan, apakah usul yang bersangkutan perlu dibicarakan dahulu dalam rapat Bahagian-bahagian atau dapat dikirimkan langsung kepada rapat pleno.
Pasal 46.
Apabila menurut putusan Panitia Permusyawaratan akan diadakan pemeriksaan dalam Bahagian-bahagian, maka para Anggota Bahagian-bahagian mengadakan rapat untuk membicarakan usul-usul yang bersangkutan, selekas-lekasnya 2 hari sesudah usul-usul itu dibagikan, kecuali apabila Panitia Permusyawaratan menentukan lain.
Pasal 47.
Pasal 48.
Setiap Pelapor membuat catatan tentang pembicaraan dalam Bahagiannya dan nama-nama Anggota yang hadir.
§ 3. Pemeriksaan dalam Bahagian-bahagian,
Pasal 49.
Tiap Anggota yang hadir dalam rapat Bahagiannya, berhak menyampaikan nota-nota tertulis yang ditanda-tanganinya tentang sesuatu usul yang sedang dirundingkan. Nota-nota itu dibacakan di dalam rapat Bahagian yang bersangkutan dan kemudian diserahkan kepada Pelapor, yang menyampaikannya kepada Panitia Pelapor. Panitia Pelapor selanjutnya melampirkan nota-nota itu pada laporannya.
Pasal 50.
Perundingan dalam rapat-rapat Bahagian-bahagian bersifat rahasia.
Pasal 51.
Sesudah perundingan dalam Bahagian-bahagian selesai, maka Panitia Pelapor mengadakan rapat untuk menyusun laporan-gabungan.
Pasal 52.
(1) Panitia Pelapor membuat laporan-gabungan yang memuat kesimpulan perundingan dalam rapat-rapat Bahagian mengenai usul yang sedang dirundingkan; hal-hal yang dianggap tidak berguna oleh Panitia Pelapor tidak dimasukkan dalam laporan-gabungan.
(2) Setelah bermusyawarat dengan Ketua DPR, maka Panitia Pelapor dapat menambahkan dalam laporan gabungan keterangan, yang menurut pendapatnya dapat menjelaskan pendirian Anggota-anggota tentang usul itu.
Pasal 53.
(1) Apabila dalam menyusun laporan-gabungan ternyata, bahwa dalam suatu Bahagian atau lebih dibicarakan pelbagai soal yang penting, sedangkan dalam Bahagian-bahagian lainnya hal itu tidak dilakukan, maka Panitia Pelapor dapat meminta kepada Ketua DPR untuk memanggil Bahagian yang dimaksudkan terakhir supaya dalam laporannya soal-soal tadi dibicarakan juga.
Pasal 54.
Dengan memberitahukan alasan-alasannya Panitia Pelapor dapat mengundang dengan perantaraan Ketua DPR, Menteri atau Menteri-menteri yang memajukan usul, untuk mengunjungi satu atau beberapa rapat; dalam hal ini Menteri (Menteri-menteri) dapat membawa Pegawai-pegawai. Dengan perantaraan Ketua DPR Panitia Pelapor dapat bertukar pikiran dengan surat-menyurat dengan Menteri (Menteri-menteri) yang bersangkutan.
Pasal 55.
(1) Apabila Panitia Pelapor berhubung dengan surat-surat yang diterimanya dari Pemerintah ataupun karena sesuatu hal lain, menganggap perlu diadakan pembicaraan lagi dalam Bahagian-bahagian, maka hal itu diusulkannya kepada Ketua DPR.
(2) Untuk perundingan yang kedua itu berlaku juga ketentuan-ketentuan tentang perundingan pertama.
Pasal 56.
(1) Apabila Panitia Pelapor berpendapat, bahwa laporan-gabungan tetap belum mungkin dibuat, maka Panitia membuat laporan-gabungan sementara.
(2) Panitia Pelapor membuat laporan-gabungan sementara atau laporan-gabungan tetap dalam tempo selambat-lambatnya 1 minggu sesudah laporan Bahagian-bahagian selesai.
(3) Apabila dibuat laporan-gabungan sementara, maka laporan gabungan tetap harus dibuat dalam tempo selambat-lambatnya 1 minggu sesudah jawaban Pemerintah diterimanya.
Pasal 57.
(1) Rancangan laporan-gabungan sebelum diperbanyak, disediakan pada Sekretariat selambat-lambatnya 2 x 24 jam untuk diselidiki dan di mana perlu diadakan perubahan oleh para anggotanya.
(2) Laporan-gabungan dan surat-surat lampirannya yang termaksud dalam pasal 52 diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota dan dikirimkan kepada Pemerintah.
Pasal 58.
(1) Jawaban Pemerintah yang diterima atas laporan-gabungan diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota. Usul perubahan disampaikan kepada Panitia Pelapor,
(2) Panitia Pelapor dapat memutuskan, bahwa surat-surat lampiran jawaban Pemerintah tidak diperbanyak, melainkan disediakan pada Sekretariat untuk dibaca dalam tempo 2 x 24 jam dan dalam tempo yang ditetapkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 59.
(1) Setelah pemeriksaan persiapan terhadap sesuatu usul selesai, Panitia Permusyawaratan menentukan hari pembicaraan usul itu dalam rapat pleno.
(2) DPR berhak mengubah hari yang sudah ditentukan oleh Panitia Permusyawaratan.
Pasal 60.
Jika dianggap pcrlu, Panitia Permusyawaratan dapat menyerahkan sesuatu usul untuk diperiksa kepada suatu Panitia Khusus yang dibentuk menurut ketentuan dalam pasal 35 ayat (1).
Pasal 61.
Ketentuan-ketentuan dalam pas al 3 7 sampai pasal 45 bcrlaku juga untuk perneriksaan yang dilakukan olch Panitia Khusus.
TENTANG RAPAT-RAPAT
§ 1. Ketentuan Umum tentang Rapat Terbuka.
Pasal 62.
(1) Ketua DPR mengundang para Anggota untuk menghadiri rapat pleno.
(2) Rapat pagi dimulai jam 09.00 clan rapat malam dimulai jam 19.30 kccuali jika Ketua atau DPR menentukan waktu lain.
Pasal 63.
(1) Sebelum menghadiri rapat, setiap Anggota menanda-tangani daftar hadir. (2) Apabila daftar hadir, telah ditanda-tangani oleh lebih dari separuh jumlah Anggota Sidang, maka Ketua membuka rapat.
(3) Daftar hadir yang dimaksudkan dalam ayat 1 diletakkan di atas meja Sekretaris untuk ditanda-tangani oleh Anggota-anggota yang datang kemudian.
Pasal 64.
(1) Jikalau setengah Jam sesudah waktu yang ditetapkan untuk pembukaan rapat jumlah anggota yang diperlukan belum juga hadir, maka Ketua membuka pertemuan dan menyuruh membaca nama-nama Anggota yang hadir. la dapat mengumumkan surat-surat yang masuk.
(2) Kemudian rapat diundurkan oleh Ketua sampai saat yang akan ditentukan lagi,
Pasal 65.
(1) Sesudah, rapat dibuka, Ketua memberitahukan dengan singkat tentang surat-surat yang masuk sejak rapat yang terakhir, kecuali surat-surat yang mengenai urusan Rumah-Tangga DPR.
(2) Surat-surat, baik yang diterima dari Pemerintah maupun dari pihak lain dibacakan dalam rapat, apabila dianggap perlu oleh Ketua atau oleh DPR setelah mendengar pemberitahuan singkat yang dimaksud dalam ayat 1.
(3) Ketua menentukan, apa yang harus diperbuat dengan surat-surat yang masuk itu dan meneruskannya kepada Seksi-seksi atau Panitia yang bersangkutan, kecuali apabila DPR mengenai sesuatu surat menentukan lain.
§ 2. Permusyawaratan
Pasal 66.
Dalam rapat-rapat dipergunakan bahasa Indonesia.
Pasal 67.
(1) Pembicaraan mengenai sesuatu soal dilakukan dalam dua babakan, kecuali apabila DPR menentukan lain.
(2) Dalam babakan kedua hanya boleh berbicara Anggota yang sudah meminta bicara dalam babakan pertama.
(3) Anggota tidak boleh berbicara, sebelum meminta dan mendapat ijin dari Ketua.
Pasal 68
(1) Anggota berbicara di tempat yang disediakan untuk itu.
(2) Pembicara tidak boleh diganggu selama ia berpidato.
Pasal 69
(1) Ketua memberi kesempatan untuk bicara menurut urutan permintaan; jika perlu untuk kepentingan perundingan, ia boleh menyimpang.
(2) Penyimpangan dari urutan tersebut di atas dapat dilakukan apabila seorang Anggota yang meminta bicara untuk soal-soal perseroangan atau untuk memajukan usul tata-tertib mengenai perundingan soal yang sedang dibicarakan. Ketua tidak memberikan kesempatan berbicara tentang soal-soal perseorangan sebelum diberikan penjelasan tentang soal tersebut.
(3) Agar supaya dapat menjadi pokok perundingan suatu usul mengenai tata-tertib, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 2, jika dikemukakan dengan tertulis harus dimajukan oleh sekurang-kurangnya 4 Anggota yang hadir.
(4) Ketentuan dalam ayat 3 (berlaku juga bagi usul untuk menunda perundingan).
Pasal 70.
(1) Untuk kepentingan perundingan, Ketua dapat menetapkan sebelum perundingan mengenai sesuatu hal dimulai, para pembicara harus mencatatkan nama terlebih dahulu alam waktu yang ditentukan oleh Ketua.
(2) Sesudah waktu yang ditetapkan itu lewat, Anggota yang belum mencatatkan namanya sebagai dimaksud dalam ayat 1 tidak berhak untuk ikut berbicara mengenai hal yang termaksud dalam ayat tersebut, kecuali jika menurut pendapat Ketua ada alasan-alasan yang dapat diterima.
Pasal 71.
(1) Apabila seorang pembicara menyimpang dari pokok pembicaraan, maka Ketua memperingatkan dan meminta supaya pembicara kembali kepada pokok pembicaraan.
(2) Apabila seorang pembicara dalam rapat mempergunakan perkataan-perkataan yang tidak layak atau menghina, mengganggu ketertiban atau menganjurkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak syah, maka Ketua memberi nasehat dan memperingatkan supaya jalan perundingan tertib kembali,
Dalam hal demikian Ketua memberi kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk menarik kembali perkataan-perkataan yang menyebabkan ia diberi peringatan. Jikalau ia mempergunakan kesempatan ini, maka perkataan-perkataan tersebut tidak dimuat dalam Risalah Resmi tentang perundingan itu.
Pasal 72.
Apabila seorang pembicara yang dimaksud tidak memenuhi yang tersebut dalam pasal 71, atau mengulangi pelanggaran atas ketentuan tersebut, maka Ketua dapat melarang ia berbicara terus tentang yang sedang dirundingkan dalam rapat tersebut.
Pasal 73.
(1) Jika dianggap perlu, Ketua dapat melarang pembicara yang dimaksud dalam pasal 72 terus menghadiri rapat.
(2) Anggota lain yang melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam ayat 2 pasal 71 oleh Ketua dapat dilarang terns menghadiri rapat, dalam mana hal ini terjadi.
(3) Seorang Anggota yang berdasarkan ayat 1 dan 2 dalam pasal ini oleh Ketua dilarang menghadiri sesuatu rapat atas usul Ketua oleh rapat dapat dilarang mengunjungi rapat DPR selama waktu yang ditetapkan; terhadap usul itu tidak diadakan perundingan.
(4) Lama waktu larangan hadir dalam rapat-rapat DPR tidak dapat melebihi sisa masa sidang,
Pasal 74.
(l) Anggota, yang baginya berlaku ketentuan dalam ayat 1 dan 2 pasal 73 diharuskan dengan segera keluar dari ruangan rapat DPR.
(2) Anggota yang baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal 73, tidak boleh memasuki ruangan-ruangan rapat DPR sebelum berakhir tempo larangan menghadiri rapat-rapat.
(3) Ketua berkewajiban, jika perlu untuk memaksa Anggota yang dilarang hadir itu meninggalkan ruangan rapat dan juga untuk mengeluarkannya dari ruangan rapat, apabila waktu larangan belum habis, ia menginjak ruangan rapat tersebut.
Pasal 75.
(1) Apabila Ketua menganggap perlu, maka ia boleh menunda atau mengundurkan rapat.
(2) Lamanya penundaan biasa tidak lebih dari satu jam sedang pengunduran biasa paling lama sampai hari kerja yang berikut.
Pasal 76.
Permusyawaratan tentang suatu usul berupa rancangan Undang-undang dilakukan dalam dua bagian:
- pemandangan umum mengenai rancangan Undang-undang seluruhnya.
- pembicaraan pasal demi pasal.
Pasal 77.
Pada pemandangan umum tentang suatu soal hanya dibicarakan tujuan umum dan garis besar soal itu. DPR dapat juga menetapkan permusyawaratan tersendiri mengenai tiap-tiap Bahagian pokok usul itu.
Pasal 78.
(1) Pembicaraan tentang pasal demi pasal dilakukan menurut urutannya sedemikian rupa, hingga pada setiap pasal diperbincangkan juga usul-usul perubahan yang bersangkutan, kecuali bilamana isinya atau hubungannya dengan lain-lain pasal dan perubahan memerlukan aturan yang lain.
(2) DPR dapat memutuskan supaya pembicaraan tentang suatu pasal dibagi-bagi, bilamana pasal itu memuat berbagai paragrap, ayat atau kalimat.
Pasal 79.
Selain dari anggota yang mengajukan usul yang sedang dibicarakan, seorang anggota tidak boleh berbicara lebih dari dua kali tentang usul itu, kecuali apabila DPR mengijinkannya.
Pasal 80.
(1) Para Menteri atau para kuasanya mempunyai tempat duduk yang tertentu dalam ruangan rapat DPR.
(2) Ketua mempersilahkan mereka berbicara, apabila dan setiap kali mereka menghendakinya, akan tetapi tidak boleh sebelumnya seorang pembicara yang sedang berbicara selesai berpidato.
(3) Dalam rapat-rapat mereka dapat dibantu oleh Pegawai-pegawai yang ditunjuk oleh mereka untuk itu.
Pasal 81.
(1) Pada permulaan atau selama permusyawaratan tentang suatu usul, DPR dapat mengadakan ketentuan mengenai lamanya pidato para Anggota.
(2) Bilamana lamanya pidato yang ditetapkan sebagai maksimum telah lampau, maka Ketua mempersilahkan pembicara berhenti. Pembicara dengan segera memenuhi permintaan itu.
Pasal 82.
(1) Apabila Ketua berpendapat, bahwa sesuatu pokok pembicaraan telah cukup ditinjau dari beberapa sudut, maka ia mengusulkan kepada DPR supaya permusyawaratan ditutup. Usul ini diputuskan dengan tidak diadakan perundingan.
(2) Penutupan pennusyawaratan dapat pula diusulkan oleh paling sedikit sepuluh orang Anggota yang hadir dalam rapat.
(3) Sebelum usul menutup sesuatu pennusyawaratan diputuskan, maka Ketua menanyakan kepada Menteri-menteri atau kepada kuasa-kuasanya yang hadir, apakah mereka ingin berbicara lagi tentang soal yang sedang diperbincangkan.
(4) Dalam keadaan istimewa Ketua dapat mengijinkan, bahwa seorang Anggota setelah permusyawaratan ditutup, memberikan keterangan singkat yang tidak boleh bersifat pengulangan dari yang telah dikemukakannya, dalam waktu yang dibatasi oleh Ketua.
§ 3. Risalah-Resmi
Pasal 83.
Untuk setiap rapat terbuka dibuat Risalah-Resmi yakni laporan penulis-cepat yang selain daripada laporan dari semua pengumuman dan perundingan yang telah dilakukan dalam rapat memuat juga:
- acara rapat.
- nama-nama Anggota yang telah menanda-tangani daftar hadir yang dimaksudkan dalam pasal 63.
- nama-nama Wakil Pemerintah yang hadir.
- nama-nama Anggota yang dalam pemungutan suara menyatakan setuju atau tidak setuju.
Pasal 84.
Sesudah rapat selesai, maka selekas-lekasnya kepada Anggota demikian pula kepada Menteri-menteri yang bersangkutan dikirimkan Risalah-Resmi sementara.
Pasal 85.
(1) Dalam tempo 2 x 24 jam, setiap Anggota mendapat kesempatan untuk mengadakan perubahan dalam laporan tentang pidatonya, akan tetapi hal itu tidak. boleh mengubah maksud pidatonya.
(2) Sesudah tempo yang dimaksudkan dalam ayat 1 lewat, maka Risalah-Resmi selekas-lekasnya ditetapkan oleh Ketua.
§ 4. Rapat Tertutup.
Pasal 86.
(2) Penghapusan sifat rahasia itu dapat dilakukan terhadap seluruh pembicaraan-pembicaraan atau sebahagiannya.
(3) Rahasia itu harus dipegang oleh semua orang yang hadir dalam rapat tertutup itu, serta juga oleh mereka yang berhubung dengan pekerjaannya kemudian mengetahui apa yang dibicarakan itu.
Pasal 87.
(1) Apabila dalam rapat tertutup tidak dibuat laporan tulisan-cepat, maka dibuat laporan singkat tentang perundingan itu.
(2) DPR dapat memutuskan bahwa sesuatu hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup, tidak dimasukkan dalam laporan.
BAB VI.
TENTANG PEMUNGUTAN SUARA
§ 1. Ketentuan Umum.
Pasal 88.
(1) Jika dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang tidak ditetapkan lain, maka segala keputusan diambil dengan jumlah suara terbanyak mutlak dari suara yang dikeluarkan, sebagai dimaksud dalam pasal 75 ayat 1 dan 2 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
(2) Dengan mengingat yang ditentukan dalam ayat 3 pasal ini, pemungutan suara adalah syah, apabila jumlah suara yang dikeluarkan lebih dari pada separuh jumlah Anggota Sidang.
(3) Jika jumlah suara yang dikeluarkan kurang dari separuh jumlah Anggota sidang, maka permungutan suara juga syah, apabila jumlah suara "setuju" atau "tidak setuju" merupakan jumlah terbanyak mutlak daripada separuh jumlah Anggota Sidang.
§ 2. Pemungutan Suara mengenai Soal.
Pasal 89.
(1) DPR mulai memungut suara, setelah dinyatakan, bahwa permusyawaratan tentang sesuatu soal telah ditutup.
(2) Sebelum pemungutan suara dimulai, Anggota diberi kesempatan untuk memajukan alasan terhadap suara yang akan dikeluarkannya.
(3) Pemungutan suara dilakukan dengan memanggil nama seorang demi seorang apabila Ketua atau salah seorang Anggota menghendakinya. Dalam hal demikian, maka terlebih dahulu ditetapkan dengan undian pada nomor mana dalam daftar hadir panggilan nama itu akan dimulai; seterusnya panggilan nama dilakukan menurut daftar hadir, Ketua memberikan suaranya paling akhir.
(4) Pada waktu nama seorang demi seorang dipanggil, maka setiap Anggota memberikan suaranya dengan lisan, yakni dengan perkataan "setuju" atau "tidak setuju", dengan tiada tambahan.
(5) Apabila tak ada seorang Anggota menghendaki pemungutan suara dengan memanggil nama seorang demi seorang, maka pemungutan suara mengenai pelbagai soal dapat pula dilakukan dengan berdiri. Mereka yang tetap duduk, baik dalam panggilan "setuju", namun dalam panggilan "tidak-setuju", dianggap tidak mengeluarkan suara. Apabila dalam hal itu terdapat keragu-raguan tentang hasil pemungutan suara, maka atas permintaan Ketua, atau salah seorang Anggota, hasil itu ditetapkan lagi dalam pemungutan suara dengan memanggil nama Anggota seorang demi seorang.
(6) Apabila tidak diadakan panggilan nama Anggota seorang demi seorang, maka setiap Anggota berhak untuk meminta dicatat, bahwa ia dianggap tidak setuju, dengan tiada mengemukakan alasan-alasan.
Pasal 90.
(1) Tiap kali setelah diadakan pemungutan suara, Ketua mengumumkan hasil pemungutan itu kepada rapat.
(2) Apabila, pada waktu mengambil keputusan, jumlah suara sama banyaknya dan rapat itu lengkap anggotanya, maka usul itu dianggap ditolak; jika rapat itu tidak lengkap, keputusan ditangguhkan sampai rapat yang berikut.
Apabila jumlah suara sama banyaknya lagi, maka usul itu dianggap ditolak.
§ 3. Pemungutan Suara mengenai orang.
Pasal 91.
Kecuali jika DPR memutuskan lain, setiap pemungutan suara mengenai orang, dilakukan dengan tertulis menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 10 sampai 15.
BAB VII.
TENTANG HAK-HAK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
§ 1. Hak memajukan Usul Rancangan Undang-undang.
Pasal 92.
(1) Semua Usul Undang-undang yang dimajukan oleh para Anggota berdasarkan pasal 90 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia kepada DPR, disampaikan kepada Ketua dengan tertulis.
(2) Suatu Usul Undang-undang seperti termasuk dalam ayat 1 berbentuk rancangan sementara, disertai memori penjelasan dan harus ditanda-tangani oleh sekurang-kurangnya 10 orang Anggota.
Pasal 93.
(1) Suatu Usul Undang-undang seperti termaksud dalam pasal 92 secepat mungkin diperbanyak dan dibagikan kepada para Anggota.
(2) Usul Undang-undang termaksud dalam ayat 1 dikirimkan juga kepada semua Menteri,
Pasal 94.
(1) Tentang sesuatu Usul Undang-undang seperti termaksud dalam pasal 92 oleh Ketua diberitahukan kepada DPR pada rapat yang berikut.
(2) Dalam rapat yang akan ditetapkan dalam rapat tersebut dalam ayat 1 oleh Ketua diberikan kesempatan kepada para pengusul untuk menjelaskan usulnya dengan lisan.
Pasal 95.
(1) Apabila DPR memutuskan menerima usul Undang-undang termaksud dalam pasal 92, maka usul Undang-undang itu diteruskan kepada Panitia Permusyawaratan untuk ditentukan lebih lanjut tentang pemeriksaannya.
(2) Dalam hal itu berlaku pasal 36 sampai 61, dengan pengertian, bahwa apa yang ditetapkan dalam pasal 42 dan 54 tentang perundingan dengan para Menteri, dalam hal itu berlaku pula terhadap perundingan dengan para pengusul.
Pasal 96.
Seorang pengusul tidak dapat menjadi Anggota Panitia Pelapor; apabila ia menjadi Anggota sesuatu Seksi atau Panitia Khusus dan usul Undang-undang itu dikirimkan kepada Seksi atau Panitia Khusus itu untuk diperiksa terlebih dahulu, maka ia untuk sementara tidak bertindak sebagai Anggota Seksi atau Panitia Khusus itu.
Pasal 97.
(1) Dalam perundingan sesuatu usul, salah seorang pengusul berhak menjawab para pembicara.
Pasal 98.
Selama sesuatu usul Undang-undang seperti termaksud .dalam pasal 98 belum diputuskan oleh DPR, maka usul Undang-undang itu dapat ditarik kembali oleh para Pengusul. Pemberitahuan demikian disampaikan dengan tulisan kepada Ketua clan harus ditanda-tangani oleh semua penanda-tangan usu! Undang-undang itu.
Pasal 99.
Selama sesuatu usul Undang-undang dari DPR belum disyahkan oleh Pemerintah, maka usul itu oleh DPR dapat ditarik kembali.
Pasal 100.
(1) DPR dapat membentuk suatu Panitia Khusus yang diberi tugas untuk. membuat suatu rancangan Undang-undang mengenai sesuatu hal, sebagai termaksud dalam pasal 90 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
(2) DPR dapat juga menyerahkan tugas termaksud dalam ayat 1 kepada suatu Seksi.
(3) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 92 sampai 99, berlaku juga dalam hal-hal tersebut dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.
Pasal 101.
(1) Sekurang-kurangnya lima Anggota dapat mengajukan usul interpelasi kepada DPR untuk keterangan kepada Pemerintah mengenai suatu soal yang tidak termasuk acara.
(2) Sesuatu usul interpelasi yang dimaksudkan dalam ayat 1 harus disusun dengan singkat dan tegas dan harus disampaikan dengan tertulis kepada Ketua; usul itu harus ditanda-tangani oleh mereka yang mengusulkan.
Pasal 102.
Panitia Permusyawaratan dapat meneruskan sesuatu usul interpelasi kepada salah satu Seksi atau Panitia Khusus untuk. meminta pertimbangannya, sebelum usul interpelasi itu dibicarakan dalam rapat DPR.
Pasal 103.
(2) Kemudian Menteri yang bersangkutan diundang supaya hadir dalam rapat pada hari yang ditentukan itu.
(3) Dalam rapat yang ditetapkan dalam ayat 1, pengusul interpelasi menjelaskan interpelasinya.
(4) Menteri yang bersangkutan menjawab interpelasi itu dalam rapat itu juga atau dalam rapat lain.
(5) Sesudah jawaban Ment eri yang bersangkutan, maka Anggota DPR lain yang bukan pengusul interpelasi boleh turut berunding.
(6) Atas permintaan pengusul interpelasi, maka rapat DPR mengadakan pemungutan suara tentang jawaban Menteri yang bersangkutan itu.
Pasal 104.
(1) Apabila sesuatu soal harus diselesaikan secepat-cepatnya dan Menteri yang bersangkutan hadir, maka dengan segera dapat dimajukan pertanyaan-pertanyaan, bilamana DPR menganggap hal itu perlu.
(2) Dalam hal ini Menteri yang bersangkutan dapat memberikan jawaban dalam rapat itu juga.
Pasal 105.
(1) Setiap Anggota berhak merajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Pemerintah.
(2) Pertanyaan-pertanyaan itu harus disusun singkat dan jelas dan disampaikan kepada Ketua dengan tertulis.
(3) Apabila dipandang perlu, Ketua dapat merundingkan dengan penanya tentang bentuk dan isi pertanyaan itu.
(4) Ketua meneruskan pertanyaan-pertanyaan yang dimajukan itu kepada Menteri yang bersangkutan.
Pasal 106.
(1) Apabila jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang dimajukan menurut ketentuan dalam pasal 105 oleh Menteri yang bersangkutan disampaikan dengan tertulis, maka tidak diadakan pembicaraan dengan lisan.
luas tentang soal yang terkandung di dalam pertanyaan itu. Anggota-anggota lain tidak diberi kesempatan berbicara, Pasal 107.
Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan dalam pasal 105 bersama dengan jawabannya dibuat sebagai lampiran risalah resmi, dengan cara yang ditetapkan oleh Ketua.
§ 4. Hak Angket
Pasal 108.
(1) Sekurang-kurangnya lima orang Anggota dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan (angket) oleh DPR mengenai soal yang tertentu seperti termaksud dalam pasal 70 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
(2) Sesuatu usul seperti termaksud dalam ayat 1 harus mempunyai bentuk dan isi yang tegas tentang soal, yang harus diselidiki; usul itu disertai sesuatu penjelasan. (3) Usul itu disampaikan kepada Ketua dengan tertulis dan harus ditanda-tangani oleh para pengusul,
Pasal 109.
(1) Usul seperti termaksud dalam pasal 108 dan penjelelasannya diperbanyak dan dibagikan kepada para anggota.
(2) Usul-usul serta penjelasannya termaksud dalam ayat 1 dikirimkan juga kepada semua Menteri.
Pasal llO.
(1) Apabila Panitia Permusyawaratan berpendapat, bahwa tentang usul itu sebelum dirundingkan dalam rapat pleno harus diadakan pemeriksaan terlebih dahulu, maka ia menyampaikan usul itu kepada salah satu seksi atau suatu panitia khusus.
(2) Keputusan yang termaksud dalam ayat 1 oleh Ketua diberitahukan kepada para anggota DPR.
Pasal lll.
Ketentuan dalam pasal 37 sampai pasal 45 berlaku juga bagi pemeriksaan sesuatu usul yang dimaksud dalam pasal 108.
Pasal 112.
(2) Segala pemeriksaan oleh Panitia Angket hanya dapat dilakukan oleh sedikit-sedikitnya 3 orang Anggota.
Pasal 113.
(1) Tiap keputusan untuk mengadakan angket menentukan juga waktu pemeriksaan seharusnya telah berakhir.
(2) Waktu yang dimaksud dalam ayat 1, atas permintaan Panitia dapat diundurkan oleh DPR.
Pasal 114.
(1) Apabila Panitia mempunyai sangkaan terhadap saksi-saksi bahwa mereka dalam keterangannva yang diberikan atas sumpah, memalsukan suatu perbuatan-perbuatan atau menguraikan hal-hal yang bertentangan dengan kenyataan maka tentang hal itu, dibuat pemberitaan tersendiri, yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi itu dan uraian alasan-alasan yang menjadi dasar persangkaan tentang kepalsuan itu.
(2) Sehelai salinan pemberitaan itu yang ditanda-tangani oleh Ketua DPR disampaikan kepada Jaksa yang berkuasa menuntut hal itu.
Pasal 115.
(1) Semua pemberitaan saksi-saksi atau ahli-ahli begitu pula pemberitaan tersendiri yang dimaksud dalam pasal 114 ditanda-tangani oleh Anggota-Anggota Panitia yang hadir, dan oleh Ketua DPR.
(2) Semua akte dan surat lainnya yang dikeluarkan oleh Panitia, ditanda-tangani oleh Ketuanya dan Sekretaris Jenderal DPR.
Pasal 116.
(1) Setelah Panitia Angket selesai membuat laporannya, maka laporan itu diperbanyak serta dibagikan kepada Anggota-Anggota dan kemudian dibicarakan alam rapat pleno terbuka, kecuali apabila DPR memutuskan lain.
(2) Pemberitaan-pemberitaan pemeriksaan dan surat-surat lainnya dari angket disimpan di Sekretariat DPR.
§ 5. Hak Amandemen.
Pasal 117.
(1) Sebelum perundingan diadakan tentang pasal-pasal atau bahagian-bahagian sesuatu rancangan Undang-undang, maka mengenai usul itu oleh sekurang-kurangnya 5 orang Anggota dapat dimajukan kepada Sekretaris Jenderal Usu! Perubahan (amandemen) dan usul perubahan atas usul perubahan itu (sub. amandemen) yang ditandatangani.
Dalam hal itu para pengusul amandemen dan sub. amandemen dapat menambahkan keterangan yang singkat. Amandemen dan sub. amandemen serta keterangan singkat, selekas-lekasnya diperbanyak dan dibagikan kepada Anggota-anggota.
(2) Perubahan-perubahan yang diusulkan sesudah perundingan termaksud dalam ayat 1 dimulai, dimajukan dengan tulisan kepada Ketua; usul-usul perubahan itu dengan selekas-lekasnya diperbanyak dan dibagikan kepada Anggota-anggota.
Pasal 118.
(1) Setiap perubahan yang diusulkan dapat dijelaskan oleh salah seorang pengusul.
(2) Perubahan-perubahan yang diadakan oleh pengusul yang dimaksudkan dalam ayat l dalam perubahan yang telah diusulkan, tidak memerlukan lagi tanda-tangan mereka yang turut mengusulkan kecuali jika DPR memutuskan lain.
Pasal 119.
(1) Atas usul Ketua Panitia Pelapor, Ketua Seksi atau Ketua Panitia Khusus yang bersangkutan atau sekurang-kurangnya lima orang Anggota, DPR dapat menunda perundingan tentang setiap perubahan yang diusulkan atau meneruskan usul mengubah itu baik kepada Bahagian-bahagian, kepada Seksi-seksi maupun kepada suatu Panitia Khusus, agar supaya diberikan laporan dengan lisan atau dengan tertulis mengenai usul mengubah itu.
(2) Apabila laporan-gabungan, laporan Seksi atau laporan Panitia Khusus mengenai sesuatu usul sudah disampaikan dan Pemerintah kemudian mengadakan perubahan dalam usul tersebut, maka menunda perundingan atau meneruskan usu! sebagai termaksud dalam ayat 1 dengan akibat-akibatnya, dapat dilakukan atas usul Ketua atau sekurang-kurangnya 5 orang Anggota.
Pasal 120.
(2) Kemudian diadakan pemungutan suara yang berturut-turut dimulai dengan perubahan pada usul perubahan, kemudian usul perubahan yang bersangkutan dan akhirnya pasal atau bagian lainnya dengan diubah atau tidak.
(3) Pemungutan suara tentang perubahan yang menurut pendapat Ketua mempunyai akibat yang paling "jauh " didahulukan.
Pasal 121.
(1) Dengan mengingat ayat 2 pasal ini, maka sesuatu usul perubahan, setelah perundingan ditutup tidak dapat ditarik kembali.
(2) Apabila penerimaan atau penolakan sesuatu perubahan yang diusulkan berarti penghapusan dengan sendirinya perubahan-perubahan lain yang diusulkan, maka usul-usul perubahan lain itu oleh pengusul dapat ditarik kembali, sekalipun perundingan sudah ditutup;jika masih ada perselisihan paham tentang penghapusan itu, DPR memutuskan.
Pasal 122.
(1) Apabila sesuatu usul yang dimajukan oleh Pemerintah kepada DPR dalam rapat telah diubah, maka pemungutan suara yang terakhir tentang usul itu seluruhnya, diundurkan sampai rapat yang berikut; kecuali jika DPR memutuskan lain.
(2) Sementara itu oleh Anggota-anggota demikian pula oleh Pemerintah dapat diusulkan perubahan-perubahan dengan tertulis.
Hanya usul-usul perubahan baru yang diperlukan sebagai akibat perubahan yang telah diterima atau karena penolakan suatu pasal dapat dimajukan.
(3) Usul-usul untuk mengubah yang dimaksudkan dalam ayat 2 dan pasal-pasal atau bagian-bagian lain yang bersangkutan, dapat dirundingkan sebelum pemungutan suara terakhir, kecuali jika DPR memutuskan Iain.
(4) Apabila berhubung dengan ditetapkan dalam ayat 2 dan 3 diadakan lagi perubahan-perubahan, maka pemungutan suara terakhir diundurkan lagi sampai rapat yang berikut. Dan perundingan baru tidak diadakan lagi.
Pasal 123.
Perubahan-perubahan nomor urutan pasal-pasal atau bagian-bagian lain, sebagai akibat perubahan-perubahan yang telah diterima dalam perundingan tentang sesuatu rancangan atau usul, demikian pula perubahan dalam penunjukkan nomor pasal-pasal atau Bagian-bagian lain, sebagai akibat dari pada hal tadi, diadakan oleh Ketua DPR.
§ 6. Hak menganjurkan seseorang buat sesuatu jabatan.
Pasal 124.
Apabila oleh Undang-undang Dasar atau oleh Undang-undang ditentukan, bahwa DPR diwajibkan memajukan anjuran calon untuk mengisi sesuatu jabatan yang lowong, maka bagi anjuran dan pemilihan calon itu berlaku ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal 7 sampai pasal 15.
Pasal 125.
Anjuran yang termaksud dalam pasal 124 oleh Ketua DPR disampaikan dengan tertulis kepada Presiden, dengan disertai pemberitaan pemilihan calon-calon termaksud dalam pasal tersebut.
BAB VIII.
TENTANG MOSI DAN RESOLUSI, DAN PETISI.
§ 1. Tentang Mosi dan Resolusi.
Pasal 126.
(1) Sekurang-kurangnya 5 orang Anggota dapat mengusulkan sesuatu Mosi atau Resolusi DPR, baik berhubung dengan soal yang sedang dibicarakan maupun yang mempunyai maksud tersendiri.
(2) Rancangan Mosi atau Resolusi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal dengan atau tidak disertai keterangan tertulis; rancangan Mosi atau Resolusi dengan secepatnya diperbanyak dan dibagikan kepada Anggota-anggota.
(3) Ketua menentukan bagaimana dan bilamana usul semacam itu akan dibicarakan dan keputusan itu diberitahukan olehnya kepada DPR berhak mengadakan perubahan dalam keputusan Ketua.
Pasal 127.
Amandemen-amandemen untuk mengubah sebagai termaksud dalam pasal 117 tidak diperkenankan mengenai rancangan Mosi atau Resolusi kecuali dengan persetujuan Pengusul Mosi atau Resolusi itu. Apa yang ditentukan dalam pasal 118 berlaku pula.
§ 2. Tentang Surat Permohonan (Petisi)
Pasal 128.
Ketua DPR mengirim surat permohonan atas nama DPR, sesudah surat permohonan itu, yang diperlakukan sebagai Mosi, diterima baik oleh rapat Pleno.
BAB IX
TENTANG SURAT-SURAT YANG MASUK
Pasal 129.
(1) Apabila DPR berpendapat bahwa tentang sesuatu hal yang disampaikan kepadanya, perlu diadakan pemeriksaan, maka hal itu diserahkan kepada suatu Seksi atau Panitia Khusus untuk diperiksanya. Seksi atau Panitia Khusus itu kemudian memajukan laporan yang memuat juga usul itu kepada DPR.
(2) Laporan itu harus selesai dalam waktu yang ditentukan oleh DPR.
(3) Sesudah laporan itu selesai, kemudian diperbanyak dan dibagikan kepada Anggota-anggota DPR untuk dibicarakan dalam rapat pleno.
Pasal 130.
(1) Apabila Seksi atau Panitia Khusus tidak dapat menyelesaikan pemeriksaannya dalam waktu yang telah ditetapkan, maka waktu itu atas permintaannya dapat diperpanjang oleh DPR atau apabila tidak bersidang, oleh Ketua.
(2) Apabila DPR atau Ketua memutuskan tidak akan memperpanjang waktu tersebut, maka DPR atau Ketua dapat membebaskan Seksi yang bersangkutan dari kewajibannya atau membubarkan Panitia Khusus itu dan mengangkat lagi Panitia Khusus baru.
Pasal 131.
Setelah perundingan-perundingan tentang hal dan usul yang dimaksud dalam pasal 129 selesai, maka jika perlu diadakan pemungutan suara, untuk itu berlaku ketentuan-ketentuan pemungutan suara dan tentang amandemen.
BAB X.
TENTANG PENINJAU.
Pasal 132.
(1) Peninjau-peninjau dilarang menyatakan tanda setuju atau tidak setuju.
(2) Ketua menjaga supaya larangan ini diperhatikan dan memelihara suasana yang tertib.
(3) Apabila larangan itu dilanggar, maka Ketua dapat memerintah kan para peninjau yang mengganggu ketertiban untuk meninggalkan ruangan.
(4) Ketua berhak, untuk mengeluarkan peninjau-peninjau yang tidak memperhatikan kesusilaan umum.
PENUTUP
Pasal 133.
(l) Usul-usul perubahan dalam peraturan ini dimajukan kepada Panitia Rumah Tangga untuk diteruskan beserta pertimbangannya kepada rapat Pleno DPR yang memutuskan apakah usul itu diterima atau ditolak ataupun diterima dengan perubahan.
(2) Apabila usul perubahan termaksud dalam ayat 1 dianggap penting oleh DPR, maka usul itu diserahkannya kepada Bahagian-bahagian, Seksi atau suatu Panitia Khusus untuk diperiksa lebih dahulu.
(3) Untuk pemeriksaan termaksud dalam ayat 2 berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 37 sampai pasal 61.
Pasal 134.
Semua hal yang tidak diatur dalam peraturan ini diputuskan oleh DPR.
Pasal 135.
Peraturan ini dinamakan "Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat" dan mulai berlaku pada hari ditetapkannya (27 September 1950).
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA R.I.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
No. 282.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK IDONESIA. TATA TERTIB. PENGUBAHAN-PENGUBAHAN Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tentang mengadakan pengubahan-pengubahan dalam Peraturan Tata-Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA.
Dalam rapatnya Pleno tertutup ke-4 pada tanggal 14 Januari 1952 di Jakarta,
Setelah membicarakan | : | dst. ; |
Menimbang | : | dst. ; |
M E M U T U S K A N :
Mengadakan perubahan-perubahan dalam Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai berikut:
I. Pasal 27 ayat (1) diubah menjadi:
"Dewan Perwakilan Rakyat membentuk pada tiap-tiap permulaan tahun sidang di antara anggota-anggotanya suatu Panitia Rumah Tangga yang terdiri dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sebagai anggota merangkap Ketua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Wakil Ketua III, dan sekurang-kurangnya 8 orang lainnya sebagai anggota, yang atas usul Ketua dengan mendengarkan keinginan Fraksi-fraksi Golongan-golongan ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat".
II. Pasal 30 ayat (1): perkataan-perkataan "delapan Bahagian" diganti dengan perkataan-perkataan "enam Bahagian".
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT | |
REPUBLIK INDONESIA; | |
K E T U A , | |
ttd. | |
S A R T O N O , | |
SEKRETARIS JENDERAL, | |
ttd. | |
S U M A R D I , |