Hijau Hutanku

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Hijau Hutanku
oleh Evelyn
52491Hijau HutankuEvelyn

HIJAU HUTANKU

Evelyn
SMP Maria Padang

“Ahh...” Randhi merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Dia baru saja selesai membaca sebuah novel misteri. Sekarang ia berada dalam kereta yang membawanya ke kampung halamannya. Sudah berjam-jam dia berada dalam kereta itu. Keramaian kota telah berganti dengan sejuknya alam pedesaan.

Randhi adalah seorang fotografer terkenal. Hasil jepretannya diakui orang sebagai salah satu karya yang menakjubkan. Randhi menfokuskan diri di bidang streetphotography dan keindahan alam. Streetphotography adalah salah satu bidang fotografi yang fokus pada kota, baik keramaian ataupun kegiatan masyarakat. Pameran foto Randhi selalu ramai. Tidak sulit baginya untuk mencari sponsor pamerannya mengingat hasil fotonya.

“Sebentar lagi. Akhirnya hari ini tiba juga,” ucap Randhi dengan suara kecil. Dikeluarkannya sebuah kamera dan foto dari dalam tasnya. Di foto itu tampak seorang pemuda berdiri di pintu luar stasiun bersama seorang gadis. Keduanya tampak tersenyum gembira. Akan tetapi, di tengah kegembiraan senyum mereka, tersirat kesedihan dan ketidakrelaan.

Laju kereta semakin lama, semakin lambat. Akhirnya, ia berhenti di sebuah stasiun sederhana. Stasiun itu kecil. Di sekelilingnya berjejer tempat duduk. Tak ada orang yang berjualan di sana. Tetapi ramai oleh orang yang turun dari kereta dan juga orang yang menunggu. Di dekat Randhi, tampak sebuah keluarga yang berkumpul kembali dengan sang ayah. Suasana haru menyelimuti mereka. Randhi tersenyum kecut melihat mereka. Dengan pasti, dilangkahkannya kaki menuju pintu keluar

la memang sengaja tidak memberitahu keluarga terlebih dahulu, dengan maksud untuk kejutan. Ia melangkah menuju desa. Walaupun disebut desa, tetapi di sana listrik sudah mengalir ke rumah-rumah. Rumah beton pun mulai terlihat, walaupun rumah kayu tetap mendominasi. Mayoritas penduduk tetap bertani, sedangkan lainnya bekerja sebagai peternak dan pedagang. Mobil dan motor belum membumi di sana. Semua masih sederhana.

“Eh, Randhi ya? Wah, sudah besar Kamu. Kapan Kamu kembali? Kok tidak dikabari?” terdengar suara seorang bapak. Randhi menengok ke arah sumber suara.

“Ah, Pak Yudha. Sehat Pak? Maaf, tidak dikabari. Soalnya mau memberi kejutan untuk orang tua." Terjadilah percakapan hangat di antara mereka. Pak Yudha adalah guru Randhi dan juga orang pertama yang mendukung hobi fotografi Randhi. Pak Yudha sendiri juga akrab dengan orang tua Randhi. Tak lama sesudahnya, mereka bersama menuju rumah orang tua Randhi.

Ayah Randhi adalah kepala desa. Sebagai seorang kepala desa, ia telah sukses memajukan desa mereka. Orang-orang menyeganinya. Sedangkan ibu Randhi adalah seorang yang ayu dan rendah hati. Pembawaannya yang tenang dan bijaksana menjadikannya tempat curhat dan pemberi saran bagi para gadis desa. Dari cerita Pak Yudha, Randhi tahu bahwa sekarang ini masyarakat desa sedang ada masalah.

“Kau lihat tanah tandus di sana? Dulu di situ ada hutan rindang bukan? Hutan itu telah ditebang para penebang liar. Mereka hanya tahu menebang, tanpa tahu menanam. Akibatnya, ya seperti ini. Sekarang mereka mengincar hutan yang ada di sebelah sana. Ayah kamu sudah mencoba melarang mereka, tapi apa daya,” cerita Pak Yudha.

“Astaga! Tak kusangka ada masalah seperti ini,” ujar Randhi kaget. Pak Yudha hanya bisa menghela napas, pasrah.

Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Randhi. Randhi mengetuk pintu dan mengucap salam.

“Selamat siang. Ayah, Ibu, kalian ada dirumah?” Randhi membuka pintu. Tampak ibunya sedang duduk, menyulam. Melihat Randhi, diletakkannya sulamannya.

“Randhi! Ya, ampun. Anakku, sudah kembali. Astaga, Nak! Mengapa tidak diberitahu pada Ibu kalau kamu kembali? Setidaknya ibu bisa menjemputmu di stasiun,” Ibu Randhi memeluknya. Ia terlalu gembira melihat anaknya sehingga tak menyadari kehadiran Pak Yudha. Pak Yudha hanya tersenyum kecil melihat mereka.

“Maaf, Bu. Sengaja, untuk kejutan buat Ibu dari ayah. Tadi tengah jalan ketemu Pak Yudha. Dia yang mengantarku ke sini. Mana ayah, Bu?" Randhi balas memeluk ibunya. Mendengar nama Pak Yudha, ibu Randhi baru sadar. Dilepasnya pelukannya. “Astaga, maaf Pak Yudha. Soalnya tadi...” Ibu Randhi merasa bersalah.

“Ah, tidak apa-apa, Bu. Mana Bapak? Saya juga mau menyapanya,” potong Pak Yudha.

“Bapak sedang pertemuan dengan pemuka masyarakat yang lain. Mari saya antar,” jawab Ibu.

“Tidak apa-apa, Bu?” Tanya Randhi ragu.

“Tak apa-apa. Kepulanganmulah yang paling ayahmu tunggu-tunggu. Pasti tidak apa-apa,” jawab Ibu yakin. Mereka tiba di sebuah ruangan yang lebar. Ibu mengetuk pintu.

“Masuk,” terdengar suara ayah. Ibu masuk terlebih dahulu.

“Astaga, Ibu! Bukankah sudah saya bilang? Kalau tidak ada perlu,” kata-kata Ayah terhenti. Ibu menyingkir sedikit agar Randhi bisa masuk.

“Randhi? Kau sudah pulang?” Tanya Ayah tidak percaya.

“Ya, Ayah.”

“Hahaha. Astaga, Randhi, putraku Randhi sudah kembali,” Ayah tertawa gembira melihat kepulangan anaknya. Tak dipedulikannya pemuka-pemuka masyarakat yang ada di ruangan. Tak lama kemudian, suasana ramai karena semua mau berbicara dengan Randhi.

“Ayah, tadi sedang membahas apa? Tentang hutan yang ditebang itukah?” Tanya Randhi.

“Jadi kamu sudah dengar? Ya benar, kami sedang membahas itu,” jawab ayahnya

“Boleh aku ikut dalam pertemuan ini?” Pinta Randhi. Ayahnya ragu untuk menjawab, mengingat anaknya baru pulang dan pastinya sudah lelah.

“Pak, biarkan saja dia ikut. Anak muda sekarang, apalagi dari kota, pasti memunyai ide-ide yang bagus dan juga koneksi yang luas. Pastinya itu akan sangat membantu,” saran seorang ibu.

“Hah, baiklah. Kamu boleh ikut, Randhi.” Tak lama kemudian, suasana kembali tenang dan serius. Ibu Randhi menyediakan minum bagi semua. Pak Yudha pun tak ketinggalan.

“Jadi, saya rasa inti masalah yang kita hadapi sudah kita ketahui bersama. Sekarang bagaimana solusinya? Itulah yang harus kita pikirkan bersama. Apakah Bapak Ibu ada saran?”

“Bagaimana dengan surat perjanjian? Kita paksa mereka untuk menandatanganinya,” saran seorang bapak.

“Hal ini pernah kita bicarakan. Terakhir kali kita laksanakan, suratnya dibakar oleh mereka. Cara ini memang cara paling aman, tanpa kekerasan. Tetapi sungguh sulit untuk memaksa mereka.”

“Tak bisakah kita mengusir mereka langsung?” Tanya seorang ibu

“Sayang sekali, tidak bisa, Bu. Kita sama sekali tidak bisa melawan pengacara yang mereka sewa, dan memang benar mereka memiliki hak untuk menetap di sana.”

“Jadi, menurut Ibu dan Bapak, surat perjanjian adalah jalan teraman?" Tanya Randhi.

“Ya. Sejauh ini, itulah jalan keluar yang terbaik,” jawab ayah.

“Kalau begitu, saya ada cara untuk memaksanya,” jawab Randhi. Matanya memancarkan semangat yang membara.

“Oh ya? Bagaimana?” Tanya ayahnya bersemangat.

“Dengan kamera. Kita adakan sebuah pameran foto tentang tanah tandus yang ada di desa kita. Dalam pameran itu, kita undang pers dari berbagai surat kabar. Isi suratnya tentang persetujuan pihak lawan untuk mernbantu reboisasi tanah yang mereka tebang. Kalau tidak satah, perusahaan mereka cukup besar untuk memiliki harga diri yang tinggi. Kita manfaatkan hal itu untuk memaksa mereka,”

Semua orang yang mendengar hal itu agak ragu tentang keberhasilannya. Akhirnya, Pak Yudha membuka mulut, menyampaikan pendapatnya.

“Saya rasa tingkat keberhasilan rencana ini cukup besar. Tentu saja hal ini tidak mudah. Menurut kabar angin mereka akan berhenti menebang untuk sesaat karena alat-alat mereka rusak. Mereka sedang menunggu barang baru.”

Mendengar ini, semua menjadi yakin. Ternyata yang mereka ragukan adalah waktu yang dibutuhkan. Jika memang para penebang tidak menebang untuk sesaat, maka hutan yang dilindungi pun cukup banyak. Akhirnya semua setuju dengan rencana ini. Setelah beberapa lama, akhirnya pertemuan selesai dan semua kembali ke rumah masing-masing.

“Terima kasih, Nak. Dengan ini hutan kita kembali ada harapan,” kata Ayah sambil menepuk pundak Randhi.

“Sekarang kamu istirahat ya. Pasti kamu sangat lelah sekarang,” bujuk ibu.

“Maaf, Bu. Sekarang aku mau mengecek tanah yang tandus itu. Setelah itu baru istirahat. Maaf ya, Bu,” kata Randhi. la berlari sambil menyandang tas kamera yang entah sejak kapan ada di pundaknya itu. Orang tua mereka hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan putra semata wayang mereka.

Randhi berkeliling di tanah tandus itu. Ia tak menyangka akan separah ini. Dia menggeleng-geleng kepalanya, bersyukur bahwa ada hal yang bisa ia lakukan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok seorang gadis. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan tergerai. Mata hitamnya yang indah memancarkan kesedihan yang mendalam. Mata itu menatap tanah yang ada di hadapannya. Coklat tandus. Tanpa disadari, Randhi mengabadikan momen itu. Hasilnya bagus. Fokus pada mata sedih si gadis dan tanah tandus yang ditatapnya.

“Diah...” panggil Randhi dengan suara kecil. Tetapi hal itu cukup untuk mengagetkan si gadis.

“Randhi.” Senyum gembira menghiasi wajahnya. Tak lama kemudian, mereka sudah bercakap-cakap, bernostalgia bersama. Diah adalah gadis dalam foto lama itu. Randhi kembali karena janjinya kepada gadis itu. Hutan yang tandus ini adalah tempat perjanjian mereka. Karenanya, mereka bertekad kuat untuk menghijaukan kembali hutan kenangan mereka ini.

Esok harinya, Randhi mulai memoto. Para warga membantu berjaga-jaga apakah penebang ada yang datang atau tidak. Ternyata kelompok penebang akan mengirim orang untuk mengecek setiap siangnya. Hal ini membuat Randhi semakin was-was.

Setiap siang, Diah selalu mengantarkan makan siang untuk Randhi. Terkadang, Diah menjadi model foto Randhi tanpa disadarinya. Tanah tandus itu mulai ditumbuhi rumput-rumput kecil. Randhi memotret rumput itu. Fotonya menimbulkan kesan bahwa si rumput kesepian, sendirian di tanah yang tandus.

Di lain kesempatan, Randhi memotret seekor tupai yang datang entah dari mana. Tupai itu duduk di atas bekas tebangan pohon. Ia terlihat sedih, menatap hutan yang dulu merupakan rumahnya telah tandus. Bagi beberapa orang yang memandang foto itu, pasti merasa memiris.

Suatu hari, Randhi makan siang bersama dengan Diah di tanah tandus itu. Mereka makan dengan tenang. Saat itu tangan Diah menggenggam sedikit tanah dari tanah tandus itu. Ia tersenyum sedih mengingat masa lalu ketika ia dan Randhi bermain bersama di sana. Randhi yang melihatnya, kembali mengabadikan momen itu.

“Diah, kapankah senyummu kembali? Aku kembali karena ingin melihat senyum tulus, senyum kegembiraanmu. Tetapi mengapa kamu terus menerus tersenyum sedih? Tersenyum dengan air mata mengalir di hatimu. Mengapa kamu terus menahan tangismu? Tak Kau ijinkan mereka mengalir membawa pedih di hatimu. Mengapa?” pikir Randhi. Tiba-tiba terdengar teriakan. “Pengecek datang! Pengecek datang!”

Randhi kaget mendengar hal itu. Ia tak menyangka sama sekali. Biasanya mereka tiba setelah jam makan siang mereka berakhir. Tetapi sekarang masih jam makan siang. Ditariknya Diah agar bersembunyi di balik sebuah batu besar. Sedang ia membereskan makan siang secepat mungkin dan bersembunyi. Tak lupa dibawanya kamera.

Si pengecek kali ini tak lain tak bukan adalah pengacara kelompok penebang, Pak William. Pak William memiliki badan yang tinggi dan mata setajam elang. Hal ini membuat Randhi semakin was-was. Pak William berjalan dengan tenang menuju ke tempat mereka makan siang tadi. Tak sengaja diinjaknya remah-remah sisa makan siang tadi. Mendengar suara itu, Pak William berhenti. Matanya menatap ke sekeliling. Diah bergerak sedikit, gelisah. Mata Pak William menangkap ujung celananya.

Ia berjalan menuju ke batu tempat Diah bersembunyi. Dilihatnya ke balik batu. Tampak Diah duduk di sana. Pak William bersiul senang. Ditariknya Diah dengan kasar dan bertanya,

“Apa yang Kau lakukan di sini?” Pak William bertanya dengan suara licik.

“Tidak apa-apa. Hanya ke sini untuk mengenang masalalu,” jawab Diah dengan berani.

“Sendirian?”

“Sendirian.”

“Lalu tas ini siapa yang punya? Tadi Aku menemukannya di atas bekas tebangan pohon.” Tangannya menganyun-ayun tas tempat kamera Randhi. Randhi yang melihatnya, kaget. Ia mengutuk dirinya sendiri kurang hati-hati.

“Punyaku,” jawab Diah yakin.

“Benarkah? Lalu di mana kameramu?” Pak William mempererat cengkramannya di tangan Diah. Diah meringis kesakitan, Melihat hal itu, Randhi tidak tahan lagi. Dalam hatinya, bergejolak keinginan untuk menghajar Pak William dan melindungi Diah. Randhi keluar dari persembunyiannya sambil berkata,

"Itu milikku.”

"Keluar juga tikus ini akhirnya. Bukankah begitu?" Kata Pak William sambil mendorong Diah ke arah Randhi. Diah yang tak menyangka hal itu kehilangan keseimbangan. Randhi dengan sigap menangkapnya. Hal itu membuat mereka terjatuh dan kameranya terlepas dari tangan Randhi. Pak William memungutnya dan memeriksa foto-fotonya.

"Hoh, jadi kamu mau memublikasikan foto-foto ini untuk menyudutkan kami?” Tanya Pak William. Sesekali ia bersiul memuji foto-foto itu. Randhi diam, menatap Pak William dengan penuh kebencian. Tangannya memeluk Diah, siap melindunginya.

"Tapi sayang sekali, masa hidup kamera ini cuma sampai hari ini." Kata Pak William sambil menjatuhkan kamera Randhi dengan kasar. Diinjak-injaknya kamera itu. Randhi sudah bersiap bangkit untuk menghajar Pak William. Tapi dirasakannya tubuh Diah yang bergetar ketakutan. Takut akan pertengkaran yang akan terjadi. Akhirnya Randhi memilih untuk menghindari pertengkaran dan melindungi Diah. Setelah puas, Pak William berlalu sambil tertawa senang, mengejek.

Randhi bangkit dan berjalan ke arah kameranya yang sudah hancur. Kamera yang sudah sekian tahun menemaninya. Tak disangkanya, kameranya akan hancur hari ini. Randhi mencari-cari sesuatu di antara sisa-sisa kameranya.

"Maaf. Gara-gara aku, kameramu..." ujar Diah, merasa bersalah.

"Tidak perlu minta maaf. Aku memang sudah ingin membeli kamera baru. Lagipula yang salah adalah William itu. Tapi sayang sekali, kurasa ia mengira kamera ini kamera digital. Padahal ini adalah kamera analog. Jadi selama negatifnya ini masih ada, semua baik-baik saja," ucap Randhi tersenyum sambil memamerkan negatif yang dicarinya.

Diah yang melihat hal itu tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menangis, terus menangis. Randhi terus menemaninya dalam hening.

'Mengapa? Mengapa Kau tidak menyalahkanku? Kalau saja aku tidak terjatuh, kalau saja aku tidak ketahuan, kalau saja aku tidak datang. Ya, benar. Kalau saja aku tidak datang. Kamera Randhi tidak akan rusak. Randhi tidak perlu bertemu dengan Pak William. Randhi tidak perlu susah payah berjuang untuk hutan ini. Randhi bisa saja hidup tenang di kota, membuka pameran, bersenang-senang dengan yang lain. Semua itu bisa terjadi kalau aku tidak datang. Ya, sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menghilang dari hadapannya. Sekarang! Maaf, Randhi. Dan selamat tinggal.'Pikir Diah dalam tangisnya. Segera ia bangkit pergi meninggalkan Randhi yang terus memanggilnya.

Esoknya, Diah tidak menemui Randhi. Ia juga tidak mengantarkan makan siang Randhi seperti biasa. Selama berhari-hari, Diah menolak menemui dan berbicara dengan Randhi. Ia terus menghindarinya. Mungkin memang terlihat begitu, tetapi semua itu hanya bagian luarnya saja. Pada dasarnya, Diah masih tetap memperhatikan Randhi walau hanya dari jauh.

Sedangkan di pihak lain, Randhi masih tetap sibuk. Malah makin sibuk. Ia sudah mendapatkan sponsor. Sponsornya sendiri adalah teman dekatnya, Surya. Surya adalah pemilik sebuah perusahaan besar. Koneksinya luas. Bahkan biasanya, Suryalah yang mencarikannya sponsor. Jarang sekali ia sendiri yang menjadi sponsor. Tapi, karena kali ini temanya spesial, Surya bersedia menjadi sponsor.

Setelah menemukan sponsor, Randhi harus mengurus tempat pelaksanaan pameran, waktu pelaksanaan dan lain-lain. Ia juga harus mencuci fotonya. Ukuran foto, foto yang dicuci, dan pencuciannya dilakukannya sendiri. Semua itu membuatnya sangat sibuk. Ibunya sendiri sudah bosan menyuruhnya makan, tetapi tidak pernah dihiraukan. Sesekali, Randhi juga harus ke kota.

Hari itu, Randhi dalam kereta menuju ke desa kembali. Persiapan di kota sudah selesai. Surya mengatakan untuk tidak khawatir mengenai tamu undangan dan biaya lainnya. Tetapi hal ini yang justru membuat Randhi menjadi tidak tenang.

"Sudah, tenang saja. Tamu undangan biar saya yang urus. Akan kuundang semua tamu yang akan membuat pameranmu menjadi spesial. Oh ya, mengenai pers saya sudah mengundang beberapa surat kabar penting dan beberapa dari majalah lokal. Sungguh tidak biasa bagi seorang Randhi untuk mengundang pers dalam pamerannya. Biasanya malah kamu yang menolak mereka. Dan... Astaga! Cepat benar waktu berlalu. Saya harus cepat, ada janji makan siang dengan salah satu tamu spesialmu. Sampai jumpa, Randhi."

Randhi teringat kecerewetan Surya dalam telepon terakhir mereka, Randhi bahkan tidak diberi waktu untuk berbicara. Randhi turun dari kereta dan dengan cepat berjalan ke desa. la masih harus mencuci beberapa foto lagi sebelum dikirim ke tempat pameran untuk dipajang. Sedangkan pameran tinggal lima hari lagi. Ia memutuskan untuk meletakkan masalah tamu undangan Surya dan memfokuskan diri pada foto. Tetapi sepertinya tidak berjalan baik, malah tambah buruk.

"Randhi. Gawat! Negatif foto kamu rusak, digunting seseorang dari kelompok penebang. Sedangkan foto-foto lain yang siap dikirim terbakar! Sekarang semua penduduk desa berkumpul untuk perang dengan kelompok penebang." Pak Yudha langsung mengabarkan kabar buruk itu begitu Randhi masuk ke desa.

Randhi merasa ada petir yang menyambarnya. Segera ia berlari dan mengecek sisa negatif yang telah digunting. Diterawangnya negatif-negatif yang masih cukup besar untuk menunjukkan foto apa itu. Ia terus berharap bahwa bukan foto itu yang tergunting. Tetapi saat mengecek, ia sadar.

"Ini bukan fotonya," ujar Randhi dengan suara kecil.

"Apa?" Pak Yudha tidak memercayai telinganya sendiri.

"Ini semua bukan foto tanah tandus. Ini adalah foto-foto yang kuambil di kota sebelum aku ke sini. Bahkan sudah pernah kupamerkan," Randhi menjelaskan.

"Apa? Jadi untuk apa kelompok penebang merusaknya?" Pak Yudha kebingungan dibuatnya.

"Yang mereka inginkan..." ujar Randhi. Matanya menerawang jauh, memikirkan sesuau.

"Astaga! Kita terjebak! Gawat. Pak, tolong antar saya ke tempat para warga berkumpul. Harus cepat," Randhi terlihat terburu-buru. Dalam hatinya ia terus berharap bahwa semuanya belum terlambat. Pak Yudha yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa menurut. Diantarnya Randhi ke tempat para warga berkumpul beberapa saat yang lalu.

"Yang lain? Mereka sudah berangkat ke tempat kelompok penebang," jawab salah seorang warga yang ditanyai Randhi.

"Astaga, ayo cepat Pak, sebelum semuanya terlambat." Randhi berlari sekuat-kuatnya. Tanpa disadarinya, Diah mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian, tampak olehnya kerumunan warga yang membawa senjata baik tajam maupun tumpul. Di hadapan mereka, berdirilah kelompok penebang dengan alat-alat kerja mereka yang baru. Terasa hawa mengerikan di sekeliling mereka.

"Hentikan!" Teriak Randhi.

"Randhi? Apa maksudmu? Mereka sudah menghancurkan harapan terakhir kita. Tak ada gunanya lagi untuk bersikap baik dengan mereka," maki seorang warga.

"Menghancurkan harapan terakhir? Justru kita sendiri yang hampir menghancurkan harapan kita. Jika kita melawan mereka, itu sama saja dengan masuk ke dalam perangkap mereka," balas Randhi lantang.

"Apa maksudmu?" Tanya warga kebingungan.

"Negatif yang mereka gunting bukanlah foto tanah tandus, tetapi foto-foto lamaku. Mereka bermaksud memprovokasi kita untuk menggunakan kekerasan. Dengan begitu, mereka bisa mengadukan kita ke pengadilan kota dan kita tidak bisa lagi memaksa mereka menandatangani surat perjanjian," jelas Randhi.

"Benarkah? Benarkah yang mereka gunting bukan negatif tanah tandus?"

"Ya. Aku masih bisa mengejar untuk mencuci semua foto itu sebelum pameran."

"Ah, syukurlah. Masih ada harapan." Salah seorang warga menghela napas lega.

"Bodoh benar kita, jatuh ke dalam perangkap seperti ini." Seorang warga menertawakan kebodohannya sendiri.

"Untung ada Randhi," warga yang menimpali.

Semua warga menghela napas lega dan bersyukur ada Randhi. Kalau saja bukan Randhi, mungkin tanah tandus mereka tidak akan pernah hijau lagi. Di pihak lain, William yang melihat hal itu, tidak tahan lagi. Ia tidak senang melihat rencana briliannya yang sebentar lagi akan berhasil digagalkan oleh Randhi. Ia merasa ia harus segera melenyapkan Randhi dari tanah ini. Diambilnya sebuah pisau tajam, dibidiknya ke arah Randhi dan dilemparnya. Diah yang melihat hal itu berlari, berusaha melindungi Randhi.

"Tidak!" Teriak Diah.

Setelah itu semua terasa seperti bergerak lambat sekali. Diah sampai tepat pada waktunya. Ia berhasil melindungi Randhi, Randhi tidak terluka sama sekali. Hanya saja bayarannya besar. Pisau itu mengenai tangan kiri Diah. Darah mengalir deras dari tangannya.

"Diah, Diah," panggil Randhi panik.

"Randhi, Kau tidak apa-apa?" Tanya Diah lirih. "Aku tidak apa-apa. Sekarang tenang, Diah. Akan kuantar kau ke rumah sakit," Randhi tetap panik.

"Syukurlah." Setelah itu, Diah pingsan. Darahnya telah banyak yang mengalir keluar. Para warga yang melihat hal itu diliputi kemarahan yang menjadi-jadi. Mereka merasa siap perang saat itu juga.

"Jangan menyerang. Sekarang yang terpenting adalah membawa Diah ke rumah sakit. Kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Diah," ucap Randhi. Matanya memancarkan api kemarahan yang membara tak terkendali.

Randhi tetap berusaha tenang, walau gadis yang paling ingin dilindunginya telah terluka. Saat mengantar Diah ke rumah sakit pun, Randhi memaksakan diri untuk tidak ikut. Karena dia tahu, jika dia pergi maka dia tidak akan pulang sampai Diah sadar. Sedangkan banyak tugas yang harus dikerjakannya. Yang jika tidak dikerjakan, maka ia menyia-nyiakan pengorbanan Diah.

Sejak itu, Randi bekerja sangat keras. Ia hampir tidak keluar dari ruang gelap tempat ia mencuci foto. Randhi tidak lagi mengenal waktu. Dia terus bekerja dan bekerja. Diah sudah sadar. Randhi senang mendengar kabar itu. Tetapi ia tetap tidak mau beristirahat dan terus bekerja. Seolah-olah bahwa itulah hukumannya karena tidak bisa melindungi Diah. Tiba-tiba, Diah menelepon dan ingin berbicara dengan Randi. Itulah saat pertama Randhi istirahat setelah sekian lama.

"Halo. Ran," sapa Diah.

"Halo, Diah. Bagaimana kabarmu? Lukamu sudah sembuh?" Tanya Randhi.

"Ah, tidak apa-apa. Lukanya cuma luka kecil, sebentar lagi pasti sembuh," kata Diah menghibur.

"Syukurlah. Hah. Diah, maaf. Aku tidak bisa melindungimu saat itu. Kalau saja bisa, kamu tidak akan..."

"Randhi, ini bukan salahmu. Lagipula, aku senang saat mendengar kabar bahwa kamu tidak terluka. Memang kadang-kadang agak sakit, tapi dengan begini hutan kita memiliki harapan lagi, bukan? Oh ya, kudengar kalau kamu sudah dua hari ini terus bekerja, tidak makan ataupun beristirahat. Benarkah?" Nada suara Diah terdengar khawatir sekali. Atau cuma perasaan Randhi?

'Dua hari! Astaga! Waktu begitu cepat berlalu. Berapa lama lagi pamerannya? Arghhh, otakku serasa tidak berjalan,' lamun Randhi.

"Randhi? Randhi...!" panggil Diah. Randhi tersadar dari lamunannya.

"Ah, ya?" Jawab Randhi, suaranya terdengar seolah berada di tempat lain.

"Hah, sepertinya benar kamu sudah lama tidak beristirahat. Randhi, pameran memang sudah dekat, tinggal dua hari lagi. Tapi ingatlah, jangan terlalu memaksakan diri. Jika kamu tidak bisa hadir saat pameran karena sakit, bukankah semua sia-sia saja? Kamulah yang memegang komando untuk mendesak kelompok penebang. Jika pada hari H kamu sakit, bagaimana?"

"Betul juga. Tapi fotonya..."

"Itu tidak penting. Sekarang yang penting kesehatanmu. Jumlah foto tidak menentukan keberhasilan kita. Tapi kamulah kuncinya. Sekarang tidak ada bantahan lagi, makan dan tidur! Jaga kesehatanmu baik-baik. Besok kutelpon lagi, ya. Awas kalau ternyata kamu tidak istirahat," kata Diah. Suaranya terdengar seolah dia sedang tersenyum.

"Baiklah, Nyonya," kata Randhi setengah mengejek. Setelah itu mereka tertawa bersama.

Dua hari kemudian, Diah sedang memandang jauh ke luar jendela. Matanya menerawang jauh ke masa lalu, saat dia dan Randhi bermain bersama di hutan. Orang tua mereka dulu memang sering melarang mereka ke sana. Tapi, pasti ada saja akal mereka untuk menyelinap masuk hutan. Mereka bermain, meranjat pohon, memetik buah ataupun bunga dan lain-lain. Suatu hari mereka bermain di hutan lagi. Kali ini mereka bermain petak umpet. Randhi yang menjaga. Diah berlari jauh masuk ke hutan. Diah bersembunyi di balik sebuah batu. Dia tertawa kecil. Dia berpikir pasti Randhi tidak bisa menemukannya. Dia menunggu dengan sabar.

Sementara itu, Randhi mencari Diah. Dia berteriak-teriak memanggil Diah. Diah tidak mendengar karena jarak mereka yang jauh. Randhi terus mencari dan mencari. Tak terasa hari telah sore. Diah yang bersembunyi mulai cemas dan ketakutan. Dia merasa tidak dapat bangkit dari tempat dia sembunyi. Tak lama kemudian, dia mulai menangis tersedu-sedu.

"Ketemu," terdengar suara Randhi. Diah mendongkakkan wajahnya. Terlihat wajah berseri-seri Randhi yang bercucuran keringat. Wajah Diah mulai terlihat lega dan berseri-seri.

"Iya." Ucapnya dengan senyum termanisnya.

"Diah?" Terdengar suara seseorang memanggilnya.

"Ya, saya sendiri," jawab Diah ragu. Keningnya berkerut. Ternyata seorang suster yang memanggilnya. Dia membawa sebuah kotak kado besar di tangannya.

"Ada kiriman dari Pak Randhi. Dia minta agar kamu memakai baju yang ada di dalam ini ke pamerannya. Ada sopir yang menunggu di bawah,” kata suster tadi dengan suara tenang tetapi mengandung makna.

"Ba, baiklah," kata Diah ragu.

'Randhi? Sejak kapan dia menjadi suka hal-hal misterius seperti ini?' Pikir Diah aneh. Tetapi dia menikmati rasa penasaran yang dirasanya.

Tak lama kemudian, Diah berdiri di depan pintu gerbang Pameran Foto Randhi. Diah tak menyangka pelaksanaannya di gedung besar seperti ini. Ia ragu apakah dia pantas masuk ke sana. Baju yang diberikan Randhi adalah baju pelaksanaan pamerannya sendiri. Di bajunya ada tulisan waktu pelaksanaan pameran, temanya, nama lengkap Randhi, sponsor dan lain-lain. Si sopir terus memaksanya untuk masuk.

Akhirnya Diah masuk juga. Terdapat banyak orang yang datang ke pameran itu. Diah terpengarah. Dia berjalan melihat-lihat foto yang dipajang. Ada foto sekelompok burung yang terlihat terbang meninggalkan tanah tandus. Mereka seolah tak rela meninggalkan 'rumah' mereka. Hati Diah seolah terasa memirih.

Diah berjalan lagi. Semua foto-foto Randhi terasa sedih dengan latar tanah tandus. Tiba-tiba mata Diah terpaku pada satu foto. Foto itu adalah foto seorang gadis yang menatap sedih tanah tandus. Mata yang indah diliputi kesedihan yang mendalam. Hati Diah sendiri langsung memiris melihat foto itu.

"Gadis itu... Aku ingin membahagiakannya. Entah dengan cara apa pun, aku ingin dia bahagia. Tinggal sedikit lagi, dia akan bahagia." Tiba-tiba terdengar suara Randhi. Diah menatap wajah Randhi ingin menyapanya. Tetapi suaranya tidak dapat keluar. Mata Randhi terbakar tekad kuat. Dada Diah terasa berat. Ia merasa air matanya akan mengalir keluar saat itu juga tanpa alasan jelas. Diah berusaha keras menahan air mata itu.

"Sekarang saatnya," kata Randhi sambil berlalu. Diah hanya bisa menatap punggungnya.

Pak William datang ke pameran sebagai wakil dari pihak Perusahaannya untuk penandatangan surat perjanjian kerja sama. Ia kebingungan melihat tempat ia berada saat itu. Semua orang yang hadir tidak tahu bahwa hutan yang di foto itu ditebang oleh pihak Pak William. Saat itu, adalah wawancara dengan Randhi oleh pers.

"Pak Randhi, foto-foto ini adalah foto tanah tandus yang ada di kampung halamanmu, benarkah?”

"Ya."

"Bersediakah Anda membagi tujuan dari pameran foto ini?" "Sebetulnya tujuannya adalah untuk mencari orang yang mau membantu menghijaukan kembali hutan ini. Tetapi sepertinya orang yang dicari sudah ketemu."

"Oh ya, siapakah dia?”

Randhi berjalan ke arah Pak William. Pak William yang tak menyadarinya kaget pada saat disapa.

"Bapak dan Ibu, inilah bapak yang baik hati yang bersedia membantu kami menghijaukan kembali hutan ini, Pak William," papar Randhi dengan percaya diri.

"Apa?" Kata Pak William tidak percaya.

Pers pun mengerutkan keningnya, bingung dengan apa yang terjadi. Randhi pun ikut-ikutan mengerutkan keningnya. Teringat oleh Pak William percakapannya dengan bosnya.

"Pak William, mari masuk. Saya ada tugas untuk kamu. Lima hari yang lalu, saya makan siang dengan Pak Surya. Kau tahu kan, pemiliki perusahaan terkenal itu? Nah, saat itu ia mengajukan kerja sama antara perusahaan kita dengannya. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan. Apalagi saat ini entah mengapa keuntungan kita menurun. Tetapi, ia mengajukan satu syarat. Ketika kutanya, ia mengatakan bahwa akan diberitahu pada saat penandatangan surat,"cerita si Bos.

"Hari ini adalah hari penandatanganannya. Tetapi karena ada rapat penting, saya minta Anda untuk mewakili saya. Dan Pak William, ingat! Apa pun syarat itu, kamu harus menyetujuinya! Kudengar di sana akan ada banyak pers yang berkumpul. Jangan memalukan nama perusahaan kita. Harapan perusahaan ada di bahumu. Ingat itu!" Demikian pesan terakhir atasannya sebelum ia berangkat.

Pak William pun bingung, tak dapat berpikir sama sekali.

'Apa-apaan ini? Mengapa Randhi ada di sini? Bukankah fotonya sudah kubakar? Mengapa ia masih bisa membuka pameran? Ada apa dengan tempat ini? Semua adalah foto-foto tanah tandus yang sudah kutebang. Bukankah ini tempat penandatanganannya? Atau aku salah alamat? Dan lagi, Pers! Bagaimana aku menjawab? Semoga saja mereka tidak mengetahui bahwa akulah yang telah menebang hutan itu, walaupun atas perintah Bos." Pak William terus berusaha menguak apa yang direncanakan Randhi. Keningnya berkerut bahkan lebih berkerut daripada Randhi dan pers.

"Ehm, maaf apakah Anda semua salah orang?" Tanya Pak William dengan nada dibuat seolah ragu-ragu. Sejauh ini, inilah cara terbaik yang terpikir olehnya. Tetapi sangat lemah.

"Tidak, tidak. Andalah Pak William yang berjanji akan membantu kami menghijaukan kembali hutan kami. Tidak salah lagi. Tanyakanlah pada Surya, teman saya."

'Surya? Pemilik perusahaan besar yang menjanjikan kerjasama dengan Bos? Apakah dia ada hubungan dengan Randhi?' Pak William menelan ludahnya diam diam dan tetap merasa aneh.

"Surya, temanku, orang yang kau maksud adalah Bapak ini kan?" Tanya Randhi pada Surya. Surya menatap sejenak pada Pak William dan bertanya.

"Bapak perwakilan dari perusahaan Kayu Sejahtera?" Tanya Surya

"Iya, benar. Saya William, pengacara sekaligus tangan kanan dari bos kami," jawab Pak William ragu. Surya mengangguk lalu berkata kepada Randhi,

"Tentu saja Bapak ini! Pak William adalah perwakilan dari perusahaan yang mau dan bersedia membantu teman baik saya. Ayo mari, surat perjanjian sudah saya sediakan. Sesuai janji saya pada Anda, surat perjanjian reboisasi hutan dan juga kerja samanya akan ditandangani pada saat puncak acaranya." Setelah itu, Surya berbisik kepada Pak William,

"Inilah syarat saya. Anda harus membantu Randhi untuk menghijaukan kembali hutannya. Bagaimana? Anda setuju?" Terlihat Surya dan Randhi tersenyum dengan dibumbui sedikit kelicikan.

"Ehm..., bos saya memang menyuruh saya menyetujui apa pun syarat itu. Tetapi...," jawab Pak William yang tiba-tiba dipotong oleh Randhi.

"Kalau begitu sudah diputuskan! Mereka menyetujuinya," katanya dengan penuh semangat.

"Tetapi kalian menjebak kami! Dan sekarang saya akan menelepon bos terlebih dahulu," kata Pak William garang.

"Oh ya, Pak William. Kalau tidak salah bos Anda sedang rapat bukan? Tahukah Anda rapat seperti apa yang membuat bos kamu harus menghadirinya walaupun ada momen penting seperti ini?" Tanya Surya santai. Pak William menelan ludah pelan-pelan lalu menjawab dengan suara kecil,

"Rapat yang sangat penting dengan perusahaan lain?"

"Bingo! Tepat sekali! Dan saya rasa, Anda pasti tahu bagaimana reaksi bos Anda jika Anda berani-berani meneleponnya sekarang, kan?" Jawab Surya dengan sedikit penekanan. Pak William membayangkan betapa ngerinya bosnya saat marah. Tiba-tiba terlintas suatu pemikiran di otaknya.

"Kau...., Kau yang mengorganisir rapat itu, kan?" Tanya Pak William geram.

"Astaga, pintar benar Anda! Pantas saja Randhi menyuruh saya berhati-hati," kata-kata itu cukup untuk membuat kepala Pak William menjadi berasap. Karena dengan begini, artinya ia harus mendatangani surat itu.

"Surya, Pak William! Ayo cepat, semua sudah menunggu," panggil Randhi yang sudah berada di tempat penandatanganan bersama para pers yang sudah mengambil posisi terbaik untuk mengambil foto dan wawancara.

Saat penandatanganan, Pak William diapit, atau lebih tepatnya dijaga, oleh Surya dan Randhi. Pak William mau, tidak mau, walau sebenarnya tidak mau, harus menandatangani surat itu.

Kilatan blitz kamera mengiringi penandatanganan surat perjanjian reboisasi hutan dan sekaligus kerja sama antara perusahaan milik Surya dengan perusahaan Kayu Sejahtera. Surya dan Randhi senang, tak menyangka bahwa akan semudah ini. Setelah selesai, pers ingin mewawancarai Pak William. Kesempatan itu dimanfaatkan Randhi untuk menyelinap dan menemui Diah. Ditinggalkannya Pak William menghadapi serbuan pers sendirian. Diah berdiri di dekat sana, menonton dari kejauhan. Randhi berhenti tepat di dekatnya.

"Randhi, selamat ya atas pameranmu. Semoga sukses besar. Dan terima kasih, karena telah mau berusaha menghijaukan hutan kami. Suatu hari nanti, akan kubalas kebaikanmu," ucap Diah tulus. Tetapi Randhi tetap saja menangkap kesedihan di matanya.

"Astaga, Diah! Hutan itu pasti akan hijau kembali. Aku telah sukses dengan semua rencanaku. Lalu sekarang mengapa matamu masih tetap memancarkan kesedihan?" Tanya Randhi depresi.

"Ini bukan urusanmu. Yang perlu kamu lakukan hanyalah memikirkan gadis yang kamu sukai itu," ucap Diah kasar.

"Ah, maaf. Aku sendiri tidak tahu mengapa bisa seperti ini. Aku...," ucap Diah salah tingkah tidak tahu mengapa dia bisa menjadi kasar seperti itu.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan kalau gadis itu tidak tersenyum?" Tanya Randhi.

"Eh?" Diah kebingungan.

"Lalu apa yang harus aku lakukan kalau gadis yang ingin aku bahagiakan, yang sedang berdiri di hadapanku ini tidak tersenyum?" Tanya Randhi lebih jelas.

"Aku?" Tanya Diah, masih belum mengerti.

"Ya, kamu," ucap Randhi.

"Tapi gadis yang kamu sukai itu gadis dalam foto ini, kan?" Tanya Diah.

"Ya. Dan itu adalah kamu. Kamu tidak mengenali dirimu sendiri?" Tanya Randhi setengah tertawa.

"Hah?" Diah tidak percaya. Ditatapnya foto itu baik-baik. Memang benar, model dalam foto itu kabur. Tetapi kalau dilihat baik-baik, itu adalah Diah. Diah sama sekali tidak memercayainya.

"Kapan Kau foto itu? Benarkah itu aku?" Tanya Diah bertubi-tubi.

"Takkan kujawab sebelum Kau jawab pertanyaanku. Kutanya sekali lagi, apa yang harus kuperbuat untuk membuatmu tersenyum, baik bibirmu maupun matamu?"

Diah terlihat ragu dan berpikir sejenak. Hal itu membuat Randhi menjadi gugup. Kemudian, dengan nada pasti dan senyum termanisnya, Diah menjawab.

"Tidak ada. Tidak ada lagi yang harus kamu lakukan. Selama kamu berada di sisiku, aku akan selalu tersenyum."

Bahagialah hati Randi.

"Terima kasih. Aku kan selalu ada di sisimu. Selamanya."

10 tahun kemudian,

Di dalam ruang tamu sebuah rumah terpajang dua foto. Yang pertama adalah foto Randhi dan Diah saat di stasiun. Foto lama yang menjadi pengobat rindu Randhi selama ini. Dan yang kedua adalah foto Randhi dan Diah dengan latar belakang hutan yang rimbun di belakang mereka.