„Peluru saudara tinggal dua butir, saudara Fadholie! Dua butir tak sanggup membunuh kami! Sedang kami sekarang sedang bersendjata! Menjerahlah!” kata Haris dalam kegelapan itu.
Sebuah sinar api jang menerangi sedjenak dengan letusan terdengar lagi.
Kemudian terdengar pintu belakang dibuka orang.
„Lekas, kedjar! Dia lari kegudang!”
Kami berlompatan kearah pintu itu. Lampu didalam gudang menjala samar². Tampak Fadholie lari terbirit-birit. Saja mulai menembak dia. Kanan kirinja penuh karungan kapok
„Djangan menembak sembarangan, Niko !” udjar Haris disebelah saja: „Sebab, disini akan mudah terbit kebakaran”
Tiba² Fadholie muntjul lagi. Kami tak ada jang menembak. Dia berdiri ditempat jang agak terang. Haris melarang untuk menembak dia.
„Tinggal sebuah peluru saudara!”" teriak Haris menggema didalam gudang.
„Baik!” balas Fadholie: „Tetapi saja tak mau menjera pada Tjempaka Merah! Saja tak mau begitu sadja tundu pada kamu sekalian! Lihatlah kematian Fadholie!”
Letusan pistolnja menggema. Dia rebah. Pelipisnja tembus kena peluru jang membunuh Chen Jie dulu.
„Sajang !” keluh Haris mendekati majat Fadholie jang terhampar dikaki kami: „Saksi dan penundjuk djalan mati
Haris mondar-mandir. Kemudian katanja sambil menundju kantor Fadholie:
„Niko, tilpun Kommissaris Dahlan! Esok suruh datang dan tentu ditemukan seorang perampok dan pembunuh jang mati dengan pistolnja sendiri! Dan siangnja aku akan datar dikantornja, tapi djangan dikatakan djuga, Niko!”
Setelah selesai menilpon kantor polisi agar disambungkan pada Kommissaris Dahlan esok pagi, saja memotret letak dan muka majat Fadholie sebentar, lalu kami berangkat bersama sama dalam Nash.
38