Halaman:Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.pdf/4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini belum diuji baca

KATA PENGANTAR

Sejak kerusuhan Mei 1998, masalah kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, menarik perhatian berbagai pihak, khususnya dari kelompok-kelompok penegak hak asasi manusia. Komnas Perempuan menganggap bahwa dua dokumen resmi tentang tragedi Mei — laporan nasional hasilkerja TGPF dan laporan dari Pelapor Khusus PBB - merupakan himpunan fakta-fakta penting yang perlu diketahui dan dinilai oleh mmasyarakat luas. Kami percaya bahwa kedua lapporan ini telah disusun berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan diluncurkan melalui penerbitan dua laporan resmi yang memaparkan fakta-fakta kerusuhan Mei 1998. Penerbitan ini dilakukan dalamrangka memperingati satu tahun berdirinya Komnas Perempuan (15 Oktober 1998) dan Hari Internasional Kekerasan terhadap Perempuan (25 November)

Laporan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang kekerasan seksual yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 mengejutkan masyarakat Jakarta dan sekaligus mengundang reaksi keras dari masyarakat. Sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat, pada bulan Juli 1998, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan tugas menyelidiki kerusuhan Mei, termasuk perkosaan yang terjadi. Langkah ini tek terpisah dari adanya pihak-pihak yang terus meragukan terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.

Di tengah-tengah kesimpangsuuran pendapat ini, sejumlah perempuan yang mewakili Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendatangi Bina Graha panda bulan Juli 1998 untuk menemui Presiden Habibie Rombongan ini mengajukan tuntutan agar Presiden RI mengutuk dan meminta maaf atas kejadian yang dialami korban kerusuhan, termasuk kaum perempuan etnik Cina, serta agar pemerintah segera melakukan investigasi independen dan mengadili para pelaku tindak kekerasan tersebut. Setelah mendengar pengalaman para pekerja kemanusiaan yang mendampingi langsung para korban kekerasan, maka Presiden Habibie memutuskan untuk menerima tuntutan yang telah disuarakan. Desakan agar pemerintah proaktif terbadap penghentian segala bentuk kekerasan terhadap seluruh perempuan di Indonesia, bukan saja terbadap kasusperkosaan Mei, kemudian dijawab dengan pembentukan sebuah independen yang mengemban misi tersebut. Tawaran awal dari Presiden untuk menamakan badan ini "komisi

nasional untuk perlindungan bagi perempuan, atas permintaan kaum perempuan diganti dengan nama Komisi Nasional Anti Kekerasan terbadap Perempuan. Komisi ini berdiri dengan Keputusan Presiden tertanggal 15 Oktober 1998.

i