Halaman:Taman Siswa.pdf/51

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

dimana terutama anggota² penduduk jang tua bertopang dagu dalam apathi dan kadang² mendjadikan sesuatu bangsa musnah. Kedjadian² demikian dapat djuga dilihat di Indonesia, seperti jang tampak dalam njanjian-tangis orang² Nias, (di-terbitkan oleh Dr. W. L. Steinhart dalam Verhandelingen Bataviaas Genootschap No. 73), jang permulaannja berbunji: Kami habis terbakar sebagai dedak diatas api jang bernjala-njala, kami musnah sebagai kaju manawa diantara lidah api, dan bagian lain jang tepat benar: manusia tidak saling kenal-mengenal lagi, dunia telah terlalu tua untuk dipakai sebagai tempat menari.

Optimismus Alisjahbana sebaliknja tersembunji dalam tidak adanja segala kebimbangan, apakah benda² kebudajaan asing itu, jang telah dikuasai dengan berhasil oleh beberapa orang kaum intellektuil jang telah lepas dari rakjat, dapat diikuti oleh rakjat jang karena paksaan ekonomi telah kehilangan fundamen²nja jang lama.

Sementara itu dalam tahun² '30 dan '40 ini angin politik lebih mengembus kearah tjita² nasional murni, seperti jang diwakili oleh Dewantoro, dari pada kearah jang lebih revolusioner-sosial, jang dalam bentuknja jang takbertjampur telah mengalami kekalahan dengan terpadamnja pemberontakan² tahun 1926 dan kemudian sekali lagi dalam penggabungannja dengan jang nasionalistis (dengan memuat azas non-koperasi Gandhi) dengan penghukuman, setelah dalam tahun 1929 arrestasi Sukarno jang pidato pembelaannja adalah suatu pengaduan berdasarkan analysis perhubungan kolonial setjara historis-materialistis. Alisjahbana, pengikut arah sosialistis, hanjalah terutama berhasil sebagai pembina bahasa, djadi dengan suatu jang disebutkannja „hasil sampingan”. Ini sebenarnja adalah dalam garis pertumbuhan jang dialami oleh gerakan nasional dalam tahun² ini: pertumbuhan nasionalismus daerah sampai mendjadi nasionalismus kesatuan Indonesia jang lebih sedar politik, dengan pendahuluan samar² untuk hendak membentuk djuga suatu kesatuan kebudajaan.

Pendirian Taman Siswa dalam hal ini praktis telah ditentukan selama perluasan gerakannja sedjak tahun 1930. Pada waktu itu ada seorang dari pembantu²nja jang karib datang tiba² memasuki kamar Dewantoro serta protes marah²: „Apa itu Taman Siswa jang di Makasar, bahkan tari² Serimpinja tidak ada?” Dengan tenang Dewantoro mendjawab: „Mengapa mereka mempunjai djuga tarian² serimpi? Itu tidak termasuk sama sekali dalam zaman silam kebudajaan. Djadi mereka tidak perlu mempunjainja.”

Heran kita sekarang mendengarkan utjapan ini, bukan sadja seperti pembantunja itu waktu itu, tetapi lebih² djuga kita sekarang ini, karena tidaklah pasti sama sekali, apakah utjapan itu sekarang masih berbunji demikian dengan tidak ada perobahannja. Tetapi hal itu djelas menundjukkan, bahwa pendiriannja adalah bebas dari imperialismus kebudajaan Djawa jang bagaimanapun. Tetapi djuga, bahwa soal pembentukan kebudajaan nasional Indonesia pada waktu itu belum lagi sedemikian pentingnja sebagai sekarang dan perkembangannja setjara berangsur-angsur dapat ditunggu. Lagipula sekolah² Taman Siswa didirikan ditempat-tempat, dimana penduduknja sendiri memintanja.

Walaupun begitu, sudah dalam tahun 1938 djuga di Solo diadakan konggres sekolah² partikelir untuk memikirkan persatuan pendidikan nasional (Konggres

44