Halaman:Taman Siswa.pdf/39

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

pengadjaran itu mempunjai djuga tjorak patriarchal jang djelas dengan suatu Rapat Orang²-tua sebagai pengurus besar dan dengan hak organisatoris Dewantoro untuk mengambil dalam hal² tertentu keputusan² setjara diktatorial. Salah seorang guru Taman Siswa di Djakarta, jakni Armijn Pane, (jang terutama terkenal sebagai sasterawan dari golongan Pudjangga Baru oleh romannja Belenggu jang disusunnja setjara roman Barat betul) pastilah djuga melihat dalam karangannja Taman Siswa dan pemimpinnja, bahwa keseimbangan tidaklah terus tetap dan bahwa misalnja kadang² timbul individualismus jang terlalu besar. Ia sendiri meninggalkan Taman Siswa setelah beberapa tahun, dan dengan dia beberapa guru² jang lain karena berbagai-bagai alasan, seperti keberatan² biasa terhadap suatu sistem pengadjaran jang bebas, selandjutnja keberatan terhadap menurut pandangannja kurangnja hak turut mengatur (medezeggenschap) dan sedikitnja uang nafkah, dan bahkan djuga karena terlalu kurang penjesuaian dengan pendapat² barat. Jang penghabisan ini menundjukkan dalam hal ini suatu perbedaan pendapat jang prinsipiel, walaupun hanja dalam suatu perasaan ketidaksenangan jang tidak lagi merasa betah dalam suasana Taman Siswa, jang kadang² memberikan kepada tiap² guru terlalu sedikit kesempatan untuk mengatur diri sendiri, sehingga kebanjakan dari mereka djatuh dalam „sikap-nerimo*) jang dipermodern”.

Pada umumnja dapat dikatakan bahwa untuk pemimpin² Taman Siswa, jang dididik setjara barat itu, kembali kepada kebudajaan sendiri, bagaimanapun djuga perlunja untuk memperkuat kesedaran nasional, hanjalah dapat berarti „hidupnja kembali” apa jang telah dimiliki djiwa sendiri, dalam hal jang paling baik, jakni djika tidak ada pertentangan dengan pendapat² lain jang telah dimiliki. Apabila setjara batin „hidup kembali” itu ternjata tidak mungkin, maka memanglah dapat ditjapai suatu bentuk, tetapi haruslah djuga diisi anggur baru dalam gentong lama dan dengan ini „hidup kembali” itu mendjadi tidak lebih dari suatu kegagalan politik. Demikianlah untuk sesuatu jang baru, jang timbul karena alasan² praktis, seperti pembagian sistem persekolahan dalam empat bagian, menurut kata Armijn Pane, ditjari djuga dengan radjin persamaan²nja dalam zaman Djawa Kuno, lebih² Ki Tjokrodirdjo di Semarang „banting tulang benar²” untuk ini, seakan-akan pertolongan satu²nja datang dari situ.

Ada baiknja untuk menjebutkan sekali gus, disamping kemungkinan pemilihan pura² itu, djuga pengoperan pura² jang telah sering diperlihatkan oleh kebudajaan Djawa aneh itu dalam sedjarahnja, dimana dioper bentuk² baru dengan tidak merasainja setjara batin, djadi gentong² baru diisi dengan anggur lama (de plus ça change, de plus ça reste le même = makin berubah, makin tetap tinggal itu-itu djuga), dan bahaja ini, sepandjang mengenai Taman Siswa dan gerakan nasional, kita alami hampir hanja dengan bentuk² kebalikan kebudajaan barat, seperti misalnja dengan azas² pengadjaran bebas dan dengan pengadjaran sosialismus.

Demikianlah setjara instruktif ada harganja untuk tjorak sosialistis gerakan nasional utjapan Dr. Tjipto Mangunkusumo (dalam Suara Parindra, Nop.-Des.1936): „Mereka (Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia) revolusioner, tetapi hanja revolusioner terhadap kekuasaan jang asing dari nasional, jang memerintah

_______________

  • ) sikap-menjerah

34