Halaman:Taman Siswa.pdf/13

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

perkumpulan agama, berdasarkan pertimbangan, bahwa pekerdjaan pendidikan seperti jang di-tjita²-kan Taman Siswa, meminta tenaga dan djiwa seseorang dan bahwa agama tidak meminta lebih kurang sebagai salah satu dari nilai-hidup jang „menggontjangkan djiwa tiap² orang sampai mendalam dan sering membuat orang kehilangan kesetimbangannja. Tetapi disini harus kita perbedakan antara agama dan religi, untuk memahami lebih djelas Taman Siswa, jang berazaskan religi.” (Mangunsarkoro dalam Kol, Studien 1937, hal. 925).

Perbedaan antara agama dan religi inilah kuntji untuk mengerti, bahwa antara kedua tindakan jang berikut tidak ada pertentangan. Jang pertama ialah penolakan sekolah² gubernemen sebagai sekolah jang „tidak mengikuti salah satu aliran” oleh bapak gerakan Taman Siswa Dewantoro dalam prae-advisnja dikonperensi pengadjaran nasional jang pertama dalam tahun 1935 di Solo. Jang kedua ialah penolakan oleh Rapat Besar Taman Siswa, jang diadakan dalam bulan Djuni 1951 di Malang, peraturan bersama Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan dan Kementerian Agama mengenai pengadjaran agama disekolah-sekolah, dimana ditetapkan, bahwa pengadjaran agama ini harus diberikan, apabila sekurang-kurangnja ada sepuluh murid dari satu agama dalam satu kelas, dan murid² jang menganut kepertjajaan lain boleh meninggalkan kelas. Dalam resolusi penolakan ini, jang diterima setelah pendjelasan Dewantoro, sebagai pertimbangan antara lain diambil, bahwa peladjaran agama jang dimasukkan dalam rentjana peladjaran sebagai mata-peladjaran tidaklah sesuai dengan perkembangan kerohanian jang sewadjarnja dari anak itu dan sebab itu setjara psychologis dan pedagogis tidak dapat dipertanggungdjawabkan, dan selandjutnja bahwa kemerdekaan beragama harus diwudjudkan dengan „memilih kepertjajaan dengan bebas” jang hanja mungkin pada orang² jang akil-balig.

Kejakinan adalah jang paling penting dalam Taman Siswa dan ini memang telah ditentukan betul² oleh dua sila jang dianggap oleh Moh. Said paling penting. Dengan menerima Kodrat Alam dan Kodrat Ilahi dan mendjundjung tinggi kemerdekaan manusia sikap-hidup seluruhnja telah terbentuk, djadi inilah djuga pegangan dalam mendidik bagi pemimpin² Taman Siswa.

Keduanja djuga tidak dapat dianggap lepas dari masing², sehingga kita sebenarnja dapat berkata, bahwa inilah azas Taman Siswa: itulah pengalaman manusia dari dirinja sendiri sebagai hasil alam dengan daja kreatif, pengalaman dari paradoxnja hidup manusia jang mengetahui dirinja telah tertentu dan merasa dirinja bebas dan disinilah didapatnja kekuatan untuk bertindak, „jang djika dikerdjakan dengan kerendahan hati akan membuatnja sutji dan meninggikan deradjatnja” (Mangunsarkoro), seperti pekerdjaan pendidik jang dalam suasana ini mendjadi hidup „mengabdi sambil memimpin”. Itulah sikap „jang selalu memenuhi pikiran kami semua, pekerdja² untuk tjita² Taman Siswa, dan membuat kami dengan tidak mengenal tjape berusaha mentjapai jang sempurna” (Dewantoro) dan „jang menerangkan djuga, mengapa dalam Taman Siswa kita menemui hidup jang sederhana benar, bersahadja dan berkorban dengan kesabaran jang besar” (Mangunsarkoro). Malahan Moh. Said berpendapat, bahwa disini dikenalnja Nietzsche kembali dengan amor fati-nja dan dengan perkataannja: „Saja tidak memberikan sedekah, karena saja tidak tjukup miskin untuk itu”. Kerendahan

10