Halaman:Si Umbuik Mudo.pdf/128

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini belum diuji baca

Berjawab salam dengan gurunya, dihunjamkan lutut yang dua, ditundukkan kepala yang satu, lalu berjalan Si Umbuik Mudo, berjalan dengan hati sabak, pulang dengan hati rusuh, teringat benar masa itu, kalau bukan karena laku diri, kalau bukan karena perangai diri, sesal yang tiada berguna, diserahkan saja kepada Allah. Berjalanlah si Umbuik Mudo, lambat laun berjalan, dekat semakin hampir, sampailah Ia di sana, sampai di rumah amainya, langsung naik seketika, berkata si Umbuik Mudo. “Duhai upik Puti Rambun Ameh, masak lah nasi setanak, masaklah gulai sebentar, sejak pagi sampai siang, denai belum makan dan minum, merentak rasa jantung denai.” Bertanaklah si Rambun Ameh, nasi masak gulai pun masak, kopi pun sudah terhidang pula, makanlah si Umbuik Mudo, minum makan sekalian, setelah minum dan makan, berkata si Rambun Ameh, “Oi Tuan Umbuik Mudo, benar jua kata Tuan, kakak Puti Galang Banyak sudah mati, dikubur di bukit Silanguang. Perihal pesan tuan dulu, sudah denai sampaikan, begitu juga wasiat Tuan, sudah denai tunaikan, begitu hilang kakak Galang Banyak, Denai bawakan payung panji, denai bawakan kain kafannya. Mendengar kata demikian, gumirang17 air matanya, jatuh dua jatuh tiga, bagai manik putus talinya, bagai intan putus pengarang, dibawanya menengadah, hati bak rasa disayat-sayat. Setelah lama kelamaan, karena lambat laun di sana, di rumah amai kandungnya, habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan, cukup tujuh bulan pepat, sakitlah si Umbuik Mudo, sakit yang tidak bangun lagi. Nasi dimakan rasa sekam, air diminum bak sembilu, banyaklah orang yang mengobat, banyaklah tawa yang dipakai, banyaklah tambak-tambakan, obat banyak sepenuh rumah, tawa sudah bercawan-cawan, lulur sudah bertimbun-timbun, sakit semakin parah jua. 17) Beriring-iringan

117