seperti ini tentulah terjadi pada gatra yang memuat kata-kata bahasa Minangkabau yang sangat khas, yang padanannya dalam bahasa Indonesia tidak ada sehingga harus diurai atau diterang-jelaskan. Pada kasus gatra memuat kata-kata bahasa Minangkabau yang tidak diketahui artinya (biasanya kata-kata arkaik), hal yang dilakukan adalah kata tersebut dicetak miring (italiq) lalu diberi catatan kaki berupa kemungkinan arti kata dimaksud dalam bahasa Indonesia.
Demikianlah sejumlah hal yang menurut kami, tim konsultan, perlu diperhatikan oleh para penerjemah kaba yang menerjemahkan kaba ke dalam bahasa Indonesia. Sangat ingin kami katakan, penerjemahan kaba sebagai kaba (bedakan dengan penerjemahan kaba sebagai hikayat dan naskah sandiwara untuk kebutuhan pertunjukan tonil seperti pernah terjadi pada dua masa sebelumnya) sungguh sangat penting. Andai upaya penerjemahan kaba—dan kemudian penerbitannya tentu saja—tidak dilakukan sekarang, kita waswas: Apakah pada masa kemudian masih akan ada pihak yang peduli, mengingat zaman serba digital sudah menganga di depan mata. Untuk itu, penghargaan dan terima kasih harus kami ucapkan kepada Balai Bahasa Provinsi Sumatra Barat yang telah berinisiatif melakukan program penerjemahan sejumlah kaba ini (23 judul) ke dalam bahasa Indonesia.
Atas nama Tim Konsultan Penerjemahan,
Gus tf Sakai
vii